Reading Time: < 1 minute

Assalamu’alaikum wr.wb.

Dengan ini kami mengundang Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UII untuk menghadiri Sosialisasi dan Pembekalan Magang

Jadwal

SABTU, 16 Okt 2021

Jam 13.00 Wib

Zoom

WAJIB untuk mahasiswa angakatan 2018 dan Mahasiswa angkatan sebelumnya yang belum melaksanakan magang. Demikian Informasi ini kami sampaikan atas perhatiaannya diucapkan terimakasih.

Reading Time: 2 minutes

Setelah sebelumnya diadakan sesi berbagi cerita pengalaman Abdul Rohman, Dosen RMIT Vietnam, menembus jurnal internasional dan pengalaman menulis naskah untuk publikasi jurnal internasional, sesi selanjutnya adalah trik mencari jurnal internasional yang bukan abal-abal. Masduki, Dosen Komunikasi UII, yang baru saja kembali dari studi di Munich, Jerman, berbagi cerita terbaru soal memilih jurnal internasional dan alasan kuat mengapa dosen harus menulis di jurnal internasional.

Setidaknya ada lima hal yang menjadi alasan seorang dosen di Indonesia harus menulis di Jurnal Internasional, kata Masduki, pada acara workshop dan sharing session tips mencari jurnal dan menulis artikel untuk jurnal bereputasi internasional. Acara yang diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII pada 8 Oktober 2021 mengundang beragam peserta. Pesertanya adalah para pengelola jurnal Komunikasi UII (Sinta 2) dari berbagai kampus di Indonesia, dan Dosen Komunikasi UII.

Alasan pertama adalah menulis dalam maksud berbagi hasil riset untuk mengurangi kesenjangan informasi dan pengetahuan akademik antara timur dan barat. Selama ini, kata Masduki, pengetahuan didominasi oleh akademisi barat. Akademisi timur kemudian harus tunduk pada supremasi pengetahuan dan kodifikasi yang dibuat oleh barat. Alasan kedua, dengan menulis di jurnal internasional, akan memperkuat reputasi akademik dan rekognisi di level global. Dalam catatan Masduki, UII berada di rangking 27 se-Indonesia dalam hal terindeks Scopus.

Pemikiran “timur” dari akademisi Indonesia lewat publikasi artikel di jurnal internasional juga merupakan, “sebuah bentuk silaturahmi akademik internasional, sekaligus memperkuat basis komunitas pada minat studi serupa,” papar Masduki pada para peserta.  Selain ada juga alasan yang cukup praktis yaitu keempat, membantu peningkatan karir dan kewenangan akademik menuju jabatan dosen posisi Lektor Kepala dan Guru Besar. Sedangkan alasan kelima lebih melihat pada faktor praktis individual: dengan menulis di jurnal internasional akan menambah jumlah penghargaan baik dalam bentuk finansial maupun sosial.

Masduki melanjutkan, setidaknya kita harus memilih beberapa kriteria untuk memilih jurnal internasional bereputasi. Misalnya, jurnal yang dituju sebaiknya adalah jurnal open access. Kriteria selanjutnya adalah penerbit jurnal berasal dari penerbit komersial atau dari universitas. Sebisa mungkin hindari jurnal berbayar mahal. Termasuk juga kriteria penting adalah jurnal tersebut tidak pernah masuk dalam predatory journal (diragukan). Yang paling mudah melihat jurnal internasional ini bereputasi atau tidak adalah jurnal tersebut memiliki SJR (Scientific Journal Ranking) lebih dari 0.10 atau Impact Factor (IF) minimal 0,5. Perhatikan pula proses review rasional mulai dari 3 hingga 12 bulan.

Reading Time: 2 minutes

After previously holding a sharing session on the experiences of Abdul Rohman, RMIT Vietnam Lecturer, penetrating international journals and his experience of writing manuscripts for international journal publications, the next session is a trick to find international journals that are not fake. Masduki, a Department of Communications Lecturer at UII, who recently returned from his studies in Munich, Germany, shared his latest story about choosing an international journal and the crucial reasons why lecturers should write in international journals.

There are at least five reasons why a lecturer in Indonesia should write in an International Journal, said Masduki, at the workshop and sharing session on tips for finding journals and writing articles for journals of international repute. The event organized by the UII Communication Studies Study Program on October 8, 2021, invited various participants. The participants are UII Communication journal managers (Sinta 2) from multiple campuses in Indonesia and UII Communication Lecturers.

Five Reasons

The first reason is to share research results to reduce the information and academic knowledge gap between the east and the west. So far, said Masduki, western academics have dominated the knowledge understanding. Eastern academics then had to submit to the West’s supremacy of knowledge and codification. The second reason is, That writing in international journals will strengthen academic reputation and recognition at the global level. In Masduki’s notes, UII is ranked 27th in Indonesia in Scopus indexing.

The “eastern” thinking from Indonesian academics through the publication of articles in international journals is also “a form of international academic friendship, as well as strengthening the community base for similar study interests,” Masduki explained to the participants. Apart from that, there are also reasonably practical reasons, namely fourth, helping to increase careers and academic authority towards lecturer positions for Head Lecturer and Professor jobs. While the fifth reason looks more at individual practical factors: writing in international journals will increase the number of awards in both financial and social forms.

Masduki continued to choose several criteria to select a reputable international journal. For example, the intended journal should be an open-access journal. The following criterion is that the journal publisher comes from a commercial publisher or a university. As much as possible, avoid expensive paid journals. An important criterion is that the journal has never been included in a predatory journal (doubtful). The easiest thing to see if this international journal is reputable or not is that the journal has an SJR (Scientific Journal Ranking) of more than 0.10 or an Impact Factor (IF) of at least 0.5. Also, pay attention to the rational review process starting from 3 to 12 months.

Reading Time: 2 minutes

Lecturers must not only carry out teaching activities but also research and serve. Disseminating research to a global audience has also become necessary in the current digital era. Therefore, special skills are needed not only for lecturers but also for managing editors of the Jurnal Komunikasi UII to find reputable international journals and understand how to write and send international journal articles.

To realize this mission, UII Communication Studies Study Program held a workshop and sharing session on tips on finding journals and writing articles for journals of international repute on October 8, 2021. The participants were lecturers and managers of UII Communication journals from UGM, Diponegoro University, Halu Oleo University, UPN Yogyakarta. , and also Universitas Islam Indonesia/UII.

Abdul Rohman shared his stories and experiences through international journals in this event. So far, his articles have been published in several global journal publishers such as the International Journal of Communication, the New Media & Society journal, and the Media, Culture & Society journal. He is also a lecturer at the Department of Communication, School of Communication & Design, RMIT University Vietnam. 

According to Abdul Rohman, it should be understood that writing articles for international journals is not always smooth. It takes perseverance, enthusiasm to continue to rise to face rejection, to a steady writing habit. Abdul Rohman, for example, is accustomed to immediately writing ideas and writing ideas so that he becomes the first draft of writing. “Usually, the first draft is still very early. Anything that comes to mind is immediately written down. Anything,” said Abdul Rohman. He is used to writing in his mother tongue, Javanese, rather than directly speaking English. According to him, every writer has habits and comforts that must be found as a rhythm in writing. Then the following process is to write and rearrange the initial draft.

The next process is to ask for feedback or input on our manuscript. Feedback can come from colleagues, mentors, or even friends. This input is significant as the reader’s perspective is more distant than our manuscript. Then the next stage is to enter the editing and rewriting steps. At this stage, proofreading is also carried out. This is the stage where we must understand the style or environment of the intended journal target. If we have fulfilled the journal’s scope, immediately submit the manuscript.

Besides Abdul Rohman, there was also a sharing session with Masduki, a Communication Lecturer at UII whose articles have also been published in international journals. Masduki told one of the reasons for writing in international journals and the trick to choosing reputable international journals and not fake ones.

 

Reading Time: 2 minutes

Sebuah kewajiban bagi dosen untuk tidak hanya melakukan aktifitas mengajar, melainkan juga meneliti, dan mengabdi. Proses diseminasi penelitian kepada khalayak global juga menjadi niscaya di era digital seperti saat ini. Maka dari itu dibutuhkan keterampilan khusus tidak hanya untuk dosen, tapi juga untuk editor pengelola Jurnal Komunikasi UII, untuk bisa menemukan jurnal internasional yang bereputasi dan memahami cara menulis dan mengirim artikel jurnal internasional.

Demi mewujudkan misi tersebut, Prodi Ilmu Komunikasi UII mengadakan workshop dan sharing session tips mencari jurnal dan menulis artikel untuk jurnal bereputasi internasional pada 8 Oktober 2021. Pesertanya adalah dosen dan pengelola jurnal Komunikasi UII yag berasal dari UGM, Undip, Universitas Halu Oleo, UPN Yogyakarta, dan juga UII.

Pada acara ini Abdul Rohman berbagi cerita dan pengalamannya menembus jurnal internasional. Selama ini artikelnya telah diterbitkan di beberapa penerbit Jurnal internasional seperti di International Journal of Communication, jurnal New Media & Society, dan jurnal Media, Culture & Society. Ia juga adalah pengajar di Jurusan Komunikasi, School of Communication & Design, RMIT University Vietnam, 

Menurut Abdul Rohman, patut dipahami proses menulis artikel untuk jurnal internasional tidak melulu mulus. Perlu ketekunan, semangat untuk terus bangkit menghadapi penolakan, hingga habit menulis yang ajeg. Abdul Rohman misalnya, ia terbiasa segera menulis gagasan dan ide menulis sehingga menjadi draf pertama tulisan. “Biasanya firts draft ini ya masih awal sekali. Apa yang terlintas segera ditulis. Apa saja,” kata Abdul Rohman. Ia sendiri terbiasa menulis dalam bahasa ibunya, jawa, ketimbang langsung berbahasa Inggris. Menurutnya setiap penulis memiliki kebiasaan dan kenyamanannya masing-masing yang harus ditemukan sebagai ritme dalam menulis. Barulah proses selanjutnya adalah menulis dan menata ulang draf awal tersebut.

Proses berikutnya, adalah meminta feedback atau masukan atas naskah kita. Masukan bisa berasal dari kolega, mentor, atau bahkan teman. Masukan ini sangat berarti sebagai kacamata pembaca yang lebih berjarak dibanding kita dengan naskah kita sendiri. Kemudian tahap selanjutnya adalah masuk tahapan editing dan rewriting. Pada tahap ini pulalah dilakukan proofreading. Di sinilah tahap kita harus memahami gaya atau selingkung target jurnal yang dituju. Jika selingkung jurnal sudah kita penuhi, segera lakukan submission naskah.

Selain Abdul Rohman, dilanjutkan pula sesi sharing bersama Masduki, Dosen Komunikasi UII yang artikelnya juga telah banyak terbit di jurnal level internasional. Masduki bercerita salah satunya soal alasan menulis di jurnal internasional dan trik memilih jurnal internasional bereputasi dan bukan abal-abal.

Reading Time: 2 minutes

Jurnalisme investigasi adalah keharusan. Ia menjadi pendobrak dan penguak aktor di balik kezaliman kekuasaan. Namun tampaknya banyak buku tentang jurnalisme investigasi hanya berkutat di wilayah teori. Ia hanya menjadi textbook atau buku ajar di ruang-ruang kelas. Padahal ada realitas politis dan psikologis di lapangan yang juga penting dipotret sehingga dapat menjadi pembelajaran dan pengembangan jurnalisme investigasi.

Masduki, Dosen Ilmu Komunikasi UII mengatakan, buku yang bisa menjadi rujukan selama ini soal Jurnalisme Investigasi adalah buku jurnalisme investigasinya yang ditulis oleh Dhandy Dwi Laksono. “Sedangkan buku yang lain adalah buku yang ditulis mantan praktisi yang kini menjadi akademisi,” kata Masduki sebagai pembicara dalam Bedah Buku “Serba Serbi Jurnalisme Investigasi” pada 24 September 2021 via Zoom meeting. “Kelemahannya adalah, buku seperti ini hanya mereproduksi teksbook dan lebih teoritis,” imbuhnya. Bedah buku yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, ini juga menghadirkan penulis buku, Agoeng Wijaya (Redaktur Pelaksana Majalah Tempo), Yogi Zul Fadhli (Direktur LBH Jogja), dan juga dipandu oleh Faried Cahyono (Anggota AJI Yogyakarta) sebagai moderator.

Buku ini, kata Masduki, akan menambah referensi tentang jurnalisme investigasi itu sendiri tapi juga menjadi pembelajaran bagi jurnalis/praktisi, akademisi, calon jurnalis dan para pengamat. “Dengan begitu, AJI Jogja sudah meluaskan jangkauannya pada tidak hahya jurnalis tapi juga pada institusi-institusi penunjangnya,” kata Masduki.

Menurut Masduki, Ini juga membuktikan bahwa jurnalis itu memang srharusnya tidak hanya mampu menulis berita yang menawarkan informasi tetapi juga menjadi jurnalis yang juga sebagai intelektual. Sebagai jurnalis dan intelektual, ia adalah insan yang punya otoritas untuk menulis pandangan-pandangannya. Baik tentang profesinya maupun hal-hal di luar dirihya.

Buku ini juga menjadi bukti bahwa buku ini sebagai penanda penulisnya memiliki kepedulian pada generasi agar lebih concern pada keterampilan yang lebih spesifik yakni investigasi. “Saya juga melihat buku tentang jurnalisme investigasi itu masih langka. Baik secara kuantitas maupun kualitas,” ujarnya.

Bagi Masduki, yang juga adalah doktor di bidang media dan penyiaran publik, kekurangan lainnya dari buku teksbook adalah ia luput dan tertinggal menangkap suasana. Misalnya, kata Masduki, suasana empiris di lapangan, atau tekanan psikologis maupun politik jurnalis di lapangan. Buku ajar di kelas kuliahan juga tertinggal memotret perkembangan pola kerja jurnalisme itu sendiri. “Sekarang kan eranya digital. Jurnalisme digital. Kalau dulu yang disebut tadi kan resep jurnalisme investigasi yang klasik itu, Itu kan ada tiga resep: paper trail, people trail, dan money trail,” jelas Masduki. “Itu kan sekarang sebagiannya bisa dilacak menggunakan platform digital. Ini tidak dibahas dalam buku jurnalisme digital, bahkan buku-buku jurnalisme di indonesia.”

Reading Time: 2 minutes

Investigative journalism is a must. It became a battering ram and revealed actors behind the tyranny of power. But it seems that many books on investigative journalism are only in the realm of theory. It only becomes a textbook or textbook in classrooms. There are political and psychological realities in the field that are also essential to be photographed to be used as learning and development of investigative journalism.

Masduki, Lecturer at Department of Communications of Universitas Islam Indonesia, said the book that can be used as a reference on Investigative Journalism nowadays is “investigative journalism” written by Dhandy Dwi Laksono. “Meanwhile, the other books are books written by former practitioners who are now academics,” said Masduki. Masduki is a speaker at the Book Review of “Stories of Investigative Journalism” on September 24, 2021, via Zoom meeting. “The downside is, books like this only reproduce textbooks and are more theoretical,” he added. 

The book review, organized by the Alliance of Independent Journalists (AJI) Yogyakarta, also featured the author of the book, Agoeng Wijaya (Managing Editor of Tempo Magazine). Yogi Zul Fadhli (Director of LBH Jogja) is also the speaker. The discussion are guided by Faried Cahyono (AJI Yogyakarta Member) as moderator.

This book, said Masduki, will add references to investigative journalism itself and be a lesson for journalists/practitioners, academics, aspiring journalists, and observers. “Thus, AJI Jogja has expanded its reach not only to journalists but also to their supporting institutions,” said Masduki.

According to Masduki, this also proves that journalists should be able to write news that offers information and become journalists who are also intellectuals. As a journalist and intellectual, they are a person who has the authority to write their views—both about their profession and things outside of themself.

This book is also proof that this book is a marker of the author’s concern for the generation to be more concerned with a more specific skill, namely investigation. “I also see that books on investigative journalism are still rare. Both in terms of quantity and quality,” he said.

For Masduki, who is also a doctor in media and public broadcasting, another drawback of textbooks is that they fail to capture the atmosphere. For example, said Masduki, the empirical atmosphere in the field, or journalists’ psychological and political pressure on the ground. Textbooks in college classes are also left behind in photographing the development of the work pattern of journalism itself. 

“Now is the digital and Digital journalism era. In the past, what was mentioned was the classic investigative journalism recipe. There are three recipes: the paper trail, the people trail, and the money trail,” Masduki explained. “That’s part of it now can be tracked using digital platforms. This is not discussed in digital journalism books, even journalism books in Indonesia.”

 

Reading Time: 2 minutes

Ketika banjir, gempa bumi, atau tsunami, atau bencana apa pun datang, apa yang harus kita lakukan? Karena kurangnya komunikasi pengetahuan bencana masa lalu, tidak ada generasi baru yang tahu bagaimana bencana terjadi di masa lalu. Oleh karena itu kita perlu mentransfer pengetahuan dari generasi masa lalu kepada generasi mendatang. Itulah ilustrasi sederhana dari apa yang kami sebut Komunikasi Risiko Bencana. Tapi apa sebenarnya pentingnya itu?

Alfi Rahman mengatakan bahwa salah satu yang penting hal itu adalah memberdayakan audiens untuk membuat pengambilan keputusan yang tepat. Jadi orang dapat membuat lebih banyak pilihan tentang risiko dalam bencana. Hal penting lainnya dari komunikasi risiko bencana adalah, “Meningkatkan kepercayaan pada lembaga manajemen risiko, masyarakat diberdayakan,” kata Alfi Rahman, peneliti di Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia, pada Annual Report Workshop Globalisasi diselenggarakan oleh International Program of Communication Department UII (Universitas Islam Indonesia). Annual Workshop on Globalization dengan tema “Bencana, Media, dan Globalisasi” dilaksanakan pada tanggal 25 September 2021, online melalui Zoom Meeting.

Komunikasi Bencana dan Risiko juga membantu membangun pemahaman demi upaya mengelola risiko. Ini juga menyesuaikan komunikasi, termasuk mempertimbangkan Respon emosional terhadap kejadian tersebut. Alfi berpesan kepada seluruh mahasiswa sebagai peserta bahwa komunikasi berisiko. Ini juga mencegah Perilaku negatif dan Mendorong respons konstruktif terhadap krisis atau bahaya.

Alfi juga menggambarkan bagaimana orang Menciptakan transfer pengetahuan untuk membuat komunikasi risiko bencana ke generasi berikutnya. Ia mencontohkan Kisah Smong Risiko Tsunami di Kepulauan Simeuleue, Aceh. Warga Simeulue Harus membuat pesan tentang bencana dan pengetahuan Melalui tindakan sebagai aspek kedua dari komunikasi risiko bencana.

Kisah-kisah Smong ini juga menjadi pelajaran dalam menyelamatkan nyawa saat tsunami Samudra Hindia 2004. Alfi memaparkan bahwa pada tahun 1907 ada 50% (ada yang mengatakan 70%) warga masyarakat Simeulue direnggut nyawanya oleh tsunami. Namun pada tahun 2004, tiga orang dilaporkan tewas, menunjukkan dampak positif dari Cerita Smong Sebagai sinyal peringatan.

Selain Alfi, Workshop juga mengundang Ruzinoor Che Mat selaku associate professor Universiti Utara Malaysia dan Herman Felani selaku Dosen Departemen Komunikasi UII. Sementara pidato Alfi tentang komunikasi risiko bencana, Ruzinoor berbicara tentang Simulasi Pemodelan 3D untuk Evakuasi Banjir, dan Herman berbicara tentang pandemi dan globalisasi.

Reading Time: 2 minutes

When floods, earthquakes, or tsunami, or any disaster come, what should we do? Because of the lack of past disaster knowledge, None of the new generations will know how the disaster happens in the past. Therefore we need to transfer knowledge from the past generation to the future generation. That is a simple illustration of what we call Disaster Risk Communication. But what is precisely the importance of it?

Alfi Rahman said that One of the important is to Empower the audience to make informed decision-making. So people can make more choices about risk. Another essential thing of disaster risk communication is, “Increase trust In risk management institution, people empowered,” said Alfi Rahman, a researcher at the Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) of Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia, at Annual Workshop on Globalization held by International Program of Communication Department UII (Universitas Islam Indonesia). The Annual Workshop on Globalisation under the theme “Disaster, Media, and Globalization” was held on September 25, 2021, online by Zoom Meeting.

Disaster and Risk Communication also help build understanding For efforts to manage risks. It also tailors communication, so it considers emotional Response to the event. Alfi told all of the students as a participant that risk communication. It also prevents negative Behavior and Encourages constructive response to crisis or danger.

Alfi also illustrates how people Create a knowledge transfer to make a disaster risk communication into the next generation. He told the example of The Smong Story Of tsunami risk in Simeuleue Islands, Aceh. It should make a message about the disaster and a knowledge Through action as the second aspect of disaster risk communication.

These Smong stories have also been a lesson learned In saving lives during The 2004 Indian ocean tsunami. Alfi presents that in 1907 there were 50% (some said that 70%) That the tsunami killed the Simeuluean People. But in 2004, three people were reportedly killed, showing the positive impact of the Smong Story As a warning signal.

Besides Alfi, the Workshop also invited Ruzinoor Che Mat as associate professor of Universiti Utara Malaysia and Herman Felani as the Department of Communication UII. While Alfi’s speech is about disaster risk communication, Ruzinoor speaks about 3D Modelling Simulation for Flood Evacuation, and Herman talks about pandemics and globalization.

Reading Time: 2 minutes

Banyak mahasiswa yang mengira Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim adalah perpustakaan. Tak heran karena PSDMA Nadim sementara ini, secara fisik, dipenuhi dengan buku-buku. Sebenarnya, banyak hal yang Nadim lakukan. Seperti namanya, pusat studi dan dokumentasi, Nadim melakukan studi dan dokumentasi seperti diskusi, penelitian, dan juga pengumpulan media-media alternatif. Ia adalah Pusat Studi dan Pusat dokumentasi khusus media alternatif.

Perkenalan dengan PSDMA Nadim ini menjadi topik ngobrol santai teatime International Program Communication Department Universitas Islam Indonesia (UII). Teatime ini mengundang Ifa Zulkurnaini, seorang staf sekaligus peneliti di Nadim. Teatime kali ini dipandu oleh Lani Diana, mahasiswa IPC UII Angkatan 2018, pada Jumat, 24 September 2021.

Ifa menjelaskan bahwa PSDMA Nadim digagas salah satunya oleh Muzayin Nazaruddin, Dosen Komunikasi UII (Dosen spesialis Media, Bencana, dan Semiotika) yang saat itu menjabat sebagai Kepala Laboratorium Ilmu Komunikasi UII. “Beliau ingin ada wadah buat mahasiswa yang ingin penelitian, pengabdian masyarakat, sharing pengetahuan, atau diskusi. Janggal kalau diwadahi di laboratorium, nggak nyambung. Jadi dibikinlah PSDMA Nadim ini di tahun 2008,” Jelas Ifa.

Mengenai koleksi di PSDMA Nadim, tidak hanya buku yang dimilki, PSDMA Nadim lebih mengedepankan media alternatif, artinya bukan media yang banyak umum ditemui. Nama NADIM sendiri diambil dari nama seorang bibliografer ribuan manusrkrip di Bagdad bernama Ibn Al Nadim yang hidup pada tahun 990an. Selain mengumpulkan, ia juga membaca dan mengkatalogisasinya. Begitupun PSDMA Nadim, tidak sebatas buku saja yang dimiliki, tapi juga film, pamfet, tabloid, majalah, dan jurnal. “Kalau teman-teman pengin nonton film-film lama, tapi nggak bisa ke bioskop, bisa pinjam di Nadim,” kata Ifa saat cerita tentang koleksi Nadim yang beberapa bisa dipinjam secara online.

Selain mengkoleksi beberapa media alternatif, nadim punya kegiatan yang bisa diikuti oleh siapapun baik mahasiswa ataupun umum yakni diskusi yang dilakukan satu hingga dua kali sebulan. “Tiap bulan diisi oleh mahasiswa atau dosen baik dari UII maupun universitas lain.”