Read the first article here. 

Know your roots to do an internship. It depends on what you will do. It would help if you have a good attitude than knowledge only. When you think your competence is not good as theirs, it is the gap. 

“Thats feeling also happens to me. The key is just to be grateful for yourself. Focus on yourself, not another person,” said Yasser Muhammad Syaiful, Country Head ELSA, Corp, the speaker at the International Program of Communication (IPC) Workshop. The workshop title is “Workshop Internship Preparation for Global Future” Cicil.co.id feat IPC. The workshop is also in collaboration with Elsa Speak on May 5th, 2021. 

On that occasions, many students were also asking some questions to sharpener their understanding. For example, Nadhira Mutia, an International Program student, asking about curriculum vitae (CV). “How to provide best evidence to our CV?”

Yasser said that it is our task to ensure HRD knows who we are. “Be honest and be articulate, give the best picture of you, put your number there. It shows your evidence and credibility,” Yasser Answer.

Yasser also emphasized the importance of extracurricular activities. “The first thing first, you have already joined in any organization. List down the organization and your role. Just list down,” said Yasser. “After it, you can describe it. You have to put your description and also your result or achievement. Describe what your role there, what your impact there,” added Yasser. By describing our role in the organization, the recruiter will know how we deal with problems and how we solve them. “They will also know the way you deal with people.”

Use Linkedin apps also can make our CV better. Linkedin already has its measurement. Make your good profile on Linkedin. Yasser said that our CV in Linkedin is the easiest way to make a good profile.

Another question was came from Baiq Muthia Maharani, “Do you have any mistake and how to handle mistake?”

Yasser said that having the mindset that making mistakes is does not matter. “This is the way I did, I just put my note. Every time I just put the list and put it on my sticky note,” Yasser said. The idea is as long as you know the mistake and you can prevent it, it’s good, and list it. “It’s okay to make a mistake, just apologize, and you can find how to improve it.”

In the last session, Yasser reminds us that all we have is to gain these four mindsets: know why, be a new you, total action, and evaluation. If you have none of these four mindsets, you will not be motivated to do your best.

Pandemi adalah berkah, dan Ramadhan menjadi menjadi momen mahasiswa seru untuk kolaborasi. Kenapa? Karena pendemi, semua kegiatan fisik dibatasi. Tapi justru karena tak mampu menjankau secara fisik dan kini semua kegiatan dilakukan secara online dan virtual, kolaborasi menjadi sangat mudah.

Momen Pendemi di tengah Ramadan ini menjadi kesempatan emas bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo. Kolaborasi Kajian Ekonomi Politik Komunikasi dilakukan antara Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII dan Ilmu Komunikasi UNS, ini bertepatan dengan bulan Ramadan, mereka menggagas Kelas Alternatif: Ngaji Ekopol Media yang untuk volume 1 ini akan dilakukan sebanyak tujuh pertemuan mulai dari 12 April 2021 hingga 24 Mei 2021. Ngaji Ekopol ini mendaku Annisaa Fitri, pemantik sekaligus Dosen Komunikasi UNS dan Dr. Rer. Soc. Masduki, Dosen Komunikasi UII, sebagai pemantik di sesi kuliah tamu khusus studi kasus penyiaran indonesia dalam kacamata Ekonomi Politik.

Beberapa tema yang diusung antara lain adalah Sejarah Media Penyiaran Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi politik Media, Pemikiran kritis dan Kritik katas Modernitas, Sejarah Studi Ekonomi Politik di Amerika, dan kajian pemikiran tokoh mulai dari Adorno dan Habermas tentang Culture Industry dan Public Sphere, Vincent Mosco tentang komodifikasi khalayak, konten, dan pekerja, Mosco & Chomsky soal komodifikasi imanen & manufacturing consent, hingga Fuch yang mengkaji soal digital labour, dan membaca kembali teori kritis di era digital.

Ada juga kuliah tamu dengan mendatangkan pakar seperti Masduki, Dosen Ilmu Komunikasi UII, yang konsen di sejarah ekonomi politik media penyiaran publik. Antusiasmenya pun lumayan tinggi yaitu rata-rata 40 hingga 50 partisipan.

Diminati Lintas Kampus dan Lintas Daerah

“Aku sama temen-temen UNS menggagas Ngaji Ekonomi Politik ini biar temen-temen (dari kampus lain) yang tertarik bisa ikut,” ungkap Alif Madani, salah satu Mahasiswa ilmu Komunikasi UII, angkatan 2016, yang turut menggagas kolaborasi Diskusi Ngaji Ekopol lintas kampus ini. Salah satu yang mendasari diskusi ini adalah ketertarikan banyak mahasiswa pada kajian kritis tetapi mereka tidak mendapatkannya di kurikulum kampus mereka. Gagasan mulanya berasal dari banyak pertemuan dalam forum yang digelar Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi/IMIKI antar daerah. Beragam diskusi dan obrolan digelar. “Malah di UNS mereka sudah punya komunitas kajian ekopol lebih dulu yang merasa perlu memperdalam kajiannya,” kata Alif.

Peminat diskusi inipun tak hanya dari Kampus UII dan UNS saja. Mahasiswa dari kampus lain juga banyak yang tertarik mengikuti diskusi Ekopol ini. Peserta lain berasal dari kampus jateng-DIY antara lain adalah Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan, Unversitas Respati Yogyakarta, Sekolah Tinggi Pemerintahan Desa APMD, Universitas Pembangunan Nasional “veteran” Yogyakarta, dan juga ada dari luar kota seperti Universitas Tarumanegara, Universitas Tidar Magelang, dan Univ. Nurul Jadid Probolinggo.

Berawal dari ngobrol-ngobrol dan diskusi informal, “diskusi ini merupakan dorongan dari temen-temen di Solo yang pengin belajar perspektif kritis di komunikasi, tapi di kampusnya masih minim bahkan nggak ada. Jadi tanggung jawab moral juga temen-temen Jogja yang sudah lebih dulu belajar ekopol dan kajian kritis lainnya dari ruang kelas kuliah di Komunikasi UII,” jelas Alif sebagai salah satu inisiator dari Komunikasi UII.

(gambar properti milik #NgajiEkopolmedia)

On January 4, 1946, a secret carriage group containing Soekarno and his friends arrived at Tugu Train Station, Yogyakarta. Their arrival marked the move of the capital from Jakarta which had been occupied by Allied forces from NICA (Nederlandsch Indië Civiele Administratie) to Yogyakarta.

The Indonesian government moved several Indonesian Ministries to Yogyakarta, including the Ministry of Information, which was then followed by the Indonesian Film Agency (BFI). The transfer of the two institutions prompted artists and republican sympathizers to also move to Yogyakarta. This incident made Yogyakarta at that time not only the center of Indonesian government, but also the center of arts and cinema in Indonesia.

Four Key Actors

“There are four important actors in Yogyakarta as the capital of Indonesian films: the Indonesian Film Agency, the Ministry of Information, Mataram Entertainment, and Kino Drama Atelier,” said Dyna Herlina Suwarto on Saturday, April 24, 2021. Dyna speaks in the discussion entitled Yogyakarta as the Capital City of Indonesia’s Film. This webinar is held by the collaboration of the PSDMA Nadim and KNSK. PSDMA Nadim is stands for Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA) Nadim Department of Communications UII. KNSK is stands for National Consortium for History of Communication (KNSK).

The Speaker who is familiarly called Dyna is a lecturer in the Communication Department at Yogyakarta State University. She is also founder of Rumah Sinema, and NGO who is focused on youth and media literacy. She is also active in the Indonesian Film Reviewers Association (KAFEIN). Currently, Dyna is undertaking doctoral studies in Film and Television Studies, University of Nottingham.

Dyna stated that Yogyakarta in 1946-1949 could be called the media capital, because Yogyakarta was considered a safe place that allowed economic, knowledge, cultural and political interactions. Creative actors from various parts of Indonesia also interact with each other and expand local, national and international networks. Finally, the relatively stable conditions in Yogyakarta allow for capital accumulation, market expansion and distribution systems.

Media Capital

When the media capital discussed by Michael Curtin was initiated by the private sector, Yogyakarta as the media capital was actually owned by the state as the main actor.

“In modern media capital , as mentioned by Curtin, the objective is financial accumulation. Meanwhile at that time in Jogja the main objective of media or films produced at that time was politics. Recognition of Indonesia’s independence and sovereignty as well as the accumulated knowledge of the film production industry itself,” said Dyna who also active in the Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF).

There are several films that are important to discuss in the Yogyakarta era from 1946 to 1949. One of the documentary film produced by the Indonesian Film Agency is Indonesia Fight for Freedom. This film was brought to the United Nations to gain recognition of Indonesian sovereignity. Apart from films, the establishment of film academies Cinedrama Institute and Kino Drama Atelier is also significant. These film academies has also become a milestone in the development of film in Indonesia.

Although in the end the Dutch attacked Yogyakarta on December 19th, 1948 and brought the film to a halt at that time, this era has become an interesting piece of film history in Indonesia.

——–

Reporter and Author: Rizky Eka Satya, UII Department of Communication’s student, Class of 2015. Internship at PSDMA Nadim at Department of Communications UII.

Editor: A. Pambudi W.

 

Hasil Disertasi Dr. rer. Soc, Masduki, MA, salah satu dosen senior di Komunikasi UII, tak henti-hentinya didiskusikan dan dibedah dalam beberapa kesempatan diskusi online. Pada bulan Ramadan ini pun, diskusi tentang penyiaran publik kembali hadir mengisi waktu paska tarawih pada Senin, 3 Mei 2021.

Menariknya, diskusi kali ini digagas secara kolaboratif oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo. Bertepatan dengan bulan Ramadan, temanyapun adalah Kelas Alternatif: Ngaji Ekopol Media yang akan dilakukan sebanyak 7 pertemuan. Di kesempatan keempat ini, diskusinya adalah kuliah tamu mengusung Sejarah Media Penyiaran Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi politik Media dengan Masduki sebagai pembicara tamu. 50 partisipan mengikuti sesi ini.

Masduki mengatakan kemungkinan kalau orang Indonesia pasti bakal protes dan bertanya-tanya, “Ngapain riset tentang media penyiaran publik kita RRI TVRI yang secara market mengalami decline?” dari survey Nielson saja media penyiaran publik ini hanya medapatkan 2 sampai 2.5 poin. “Ini juga juga dipertanyatakan supervisor saya?” kata Masduki menceritakan pengalamannya memulai disertasi ini di Jerman.

Mengapa Topik Disertasi Penyiaran Publik Menarik?

“Saya tidak sedang meneliti sebuat institusi. Kita membicarakan sejarah lembaga penyiaran dalam konfigurasi politik yang sedang berubah di Indonesia. Sebuah lembanga penyiaran di sebuah bangsa yang sedang berubah, dan mengalami dinamika politik yang tidak stabil,” jawab Masduki kemudian.

Ketika bicara sejarah, pasti kita akan membayangkan kronologi tanggal dan bulan tertentu terjadinya peristiwa penting sejarah. Setidaknya begitu yang ada di benak kita ketika mendengar sejarah. Seperti bagaimana kita belajar sejarah di sekolah dulu. “Tidak seperti itu. Kita bisa saja cari di blog atau website tertentu selesai,” ungkap Masduki. “Melihat sejarah tidak melulu harus kronologis, tetapi memotret beberapa momentum penting sejarah lalu dilihat dalam dimensi yang lebih makro,” ujar Masduki.

Lalu Masduki memberikan gambaran salah satu chapter disertasinya dan buku yang membantunya dalam proses risetnya melihat gambaran penyiaran publik di negara-negara dunia ketiga. Ketika memulai chapter Sejarah Media Penyiaran Dunia Ketiga, Masduki menemukan sebuah Buku berjudul “Broadcasting in the Third World: Promise and Performing” oleh Elibu Katz (guru Besar University di Israel, dan Geoge Wedell.

“Buku ini menarik. Berisi tentang strategi orientasi dan performa konten media penyiaran 11 negara dunia ketiga termasuk Indonesia di tahun 70an, lalu di-compare dengan dunia pertama,” jelas Masduki.

Buku tersebut membantu Masduki dalam melihat fase sejarah media penyiaran Indonesia pada tahun 70an yang sangat kental dengan tiga hal. “Lintasan sejarah penyiaran di dunia ketiga, yang selalu menjadi platform penyiaran adalah, yang pertama, harus mendorong integrasi nasional.” Jelas Masduki yang kemudian menjadi tidak heran jika slogan RRI atau TVRI tidak jauh-jauh dari kata pemersatu bangsa atau media publik milik bangsa. “Yang seperti ini tidak ditemukan di negara dunia pertama.”

Yang kedua adalah Media menjadi corong pembangunan ekonomi dan sosial. Masduki meriwayatkan bahwa di Tahun 70 Peraturan Pemerintah nomor 55, PP pertama tentang penyiaran Indonesia yang isinya secara spesifik mematikan siaran politik di media komersial. Dan RRI menjadi corong pemerintah menyiarkan pembangunan, dan swasta disetir oleh pemerintah. Pada era Suharto inilah mendapatkan citra sebagai agent of socio-economic development.

Tujuan terakhir adalah perubahan dan kesinambungan budaya. Budaya menjadi yang utama dalam siaran saat itu. “Dan ini menjadi cenderung apolitis. Dan ini masih kita temukan sekali lagi sekarang,” ujar Masduki mengajak peserta untuk melihat dan mengenali penyiaran publik Indonesia yang masih didominasi oleh konten budaya alih-alih produk jurnalismenya yang kritis. “Pendek kata, menurut saya, walaupun ini dilakuka di 11 negara, kalau kita lihat, tiga hal ini masih menjadi warna paltform penyiaran kita,” simpul Masduki.

Ditarik mundur lagi di masa kepemimpinan Soekarno, menjelaskan berkembangnya ikon modernisasi dan simbol kemajuan pembangunan fisik di era sukarno. Jadi secara politik, penyiaran di indonesia bukan dibangun untuk mengakomodasi hak politik warga negara, melainkan tujuan politis alih-alih kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi. Sedangkan media penyiaran Publik pada masa paska reformasi penyiaran ia ibaratkan seperti, “By Law (secara hukum) penyiaran publik dilihat sebagai hal yang mencerdaskan kehidupan bangsa, namun faktanya lebih pada menyiarkan kebudayaan,” kata Masduki.

Pada tanggal 4 Januari 1946, rombongan gerbong rahasia berisikan Soekarno dan kawan-kawan tiba di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Kedatangan mereka menandai perpindahan ibu kota dari Jakarta yang telah diduduki oleh pasukan Sekutu dari NICA (Nederlandsch Indië Civiele Administratie) ke Yogyakarta.

Pemerintah RI memindahkan beberapa Kementerian RI ke Yogyakarta, di antaranya adalah Kementerian Penerangan yang kemudian diikuti oleh Badan Film Indonesia (BFI). Perpindahan kedua institusi tersebut membuat para seniman dan simpatisan republik turut pindah ke Yogyakarta. Peristiwa ini membuat Yogyakarta pada waktu itu tidak sekadar pusat pemerintahan Indonesia, melainkan menjadi pusat kesenian dan perfilman di Indonesia pula.

Empat Aktor Perfilman Indonesia Awal

“Terdapat empat aktor penting dalam Yogyakarta sebagai Ibu kota Film Indonesia: Badan Film Indonesia, Kementerian Penerangan, Stitchting Hiburan Mataram, dan Kino Drama Atelier,” ujar Dyna Herlina Suwarto, pembicara dalam diskusi dengan judul “Yogyakarta sebagai Ibu kota Film Indonesia” yang diadakan oleh kolaborasi Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII dengan Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK) pada Sabtu, 24 April 2021.

Perempuan yang akrab disapa Dyna ini merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta, pendiri Rumah Sinema, serta aktif di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Ia juga aktif dalam Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (KAFEIN). Saat ini, Dyna sedang menjalankan studi doktoral di Film and Television Studies, University of Nottingham.

Dyna menyebutkan bahwa Yogyakarta pada tahun 1946-1949 dapat disebut sebagai media capital (ibu kota media), karena Yogyakarta dinilai sebagai tempat yang aman yang memungkinkan terjadinya interaksi ekonomi, pengetahuan, budaya dan politik. Aktor kreatif dari berbagai wilayah Indonesia juga saling berinteraksi serta memperluas jaringan kerja lokal, nasional, dan internasional.  Terakhir, kondisi Yogyakarta yang relatif stabil memungkinkan terjadinya akumulasi modal, perluasan pasar, dan sistem distribusi.

Ketika ibu kota media yang dibahas oleh Michael Curtin diinisiasi oleh swasta, Yogyakarta sebagai media capital justru dimiliki negara sebagai aktor utamanya.

“Kalau dalam modern media capital yang disebutkan Curtin tujuannya adalah akumulasi finansial, sedangkan waktu itu di Jogja tujuan utama media atau film yang diproduksi waktu itu adalah politik. Pengakuan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia serta akumulasi pengetahuan industri produksi film itu sendiri,” ujar Dyna.

Terdapat beberapa film yang penting untuk dibahas di era Yogyakarta 1946-1949, salah satunya adalah film dokumenter produksi Badan Film Indonesia “Indonesia Fight for Freedom” yang dibawa ke PBB untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Selain film, pendirian akademi film “Cinedrama Institute” dan “Kino Drama Atelier” juga menjadi tonggak perkembangan film di Indonesia.

Walaupun pada akhirnya Belanda menyerang Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 dan membuat perkembangan film pada saat itu terhenti, namun era tersebut telah menjadi potongan menarik sejarah perfilman di Indonesia.


Reporter dan Penulis: Rizky Eka Satya, Mahasiswa Komunikasi UII, Angkatan 2015. Magang di PSDMA Nadim Komunikasi UII.

Penyunting: A. Pambudi W.

Film production requires not only technical quality but also sensitivity to point-of-view and critical thinking. Perspective in seeing an issue is also crucial for filmmakers, especially women or gender, viewing topics and film production.

A filmmaker needs to understand women’s perspectives so that, in the end, a film is created that is sensitive to the interests of vulnerable groups such as women.

“The film method can be drawn on a very personal question: What if this incident happened to my sister. Or what if it happened to my mother, or a female member of my family,” said Kisno Ardi. He was a speaker at the screening and discussion of the film entitled ‘Whip in Aceh, the Veranda of Mecca’ on Friday, April 23, 2021.

This film screening and discussion resulted in the final project of director Nurhamid Budi Sutrisno, UII Student at Department of Communications, class 2017. This film raised the topic of the phenomenon and the other side of the caning punishment applied in Nanggroe Aceh Darussalam. This event is a routine discussion held by PSDMA Nadim UII at the Department of Communications.

Budi, Nurhamid’s nickname, said that he deliberately tried to take the point of view of social pressure experienced by people who were sentenced to caning. The social pressures ranged from being embarrassed in public to being ostracized and ostracized by society. “Supposedly if we used a woman’s perspective, we would not side with this exile. Imagine if our women’s families were in that position,” said Kisno, who is also a community activist cum documentary filmmaker.

So as a documentary filmmaker, Kisno said, filmmakers must present a new perspective on what we offer to society. So it is natural for documentary films to use one point of view.

“Unlike journalistic products, documentaries are not required to comply with journalistic rules, cover both sides, for example. However, journalism and documentary have something in common: factual,” said Kisno.

Kisno suggested to Budi that the filmmaker’s point of view and partisanship in the film should be seen. Even if necessary, the filmmaker must reflect events on themselves to make the filmmaker’s presence more accurate in understanding the film’s subject.

Therefore, it is crucial to understand and study the perspective of women as a form of siding with groups or community entities that are often disadvantaged. The filmmaker’s alignment with women and vulnerable groups is beneficial so that discrimination does not occur and repeat. Kisno hopes filmmakers should internalize this perspective because we have female family members and other vulnerable groups. Here is where the student’s filmmaker intelligence in working on the final project is tested.

 

Informasi ini berlaku untuk mahasiswa Komunikasi UII yang telah memasuki masa magang. Anda, mahasiswa Komunikasi UII dapat mendaftar untuk mengikuti program magang mahassiswa di Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Perencanaan Nasional (ATR/BPN). Jika berminat bisa menilik informasi di: https://ppsdm.atrbpn.go.id/ dan Info gambar berikut:

Produksi film dokumenter membutuhkan tak hanya kualitas teknis, melainkan juga kepekaan mengambil sudut pandang dan berfikir kritis. Perspektif dalam melihat sebuah isu juga penting bagi seorang filmmaker. Terutama perspektif perempuan atau gender dalam memandang isu dan produksi film.

Perspektif perempuan penting dipahami bagi seorang filmmaker sehingga pada akhirnya tercipta film yang peka terhadap kepentingan kelompok rentan seperti perempuan.

“Caranya bisa ditarik pada pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi. Bagaimana kalau peristiwa ini menimpa saudara perempuan saya, ibu saya, atau anggota keluarga saya yang perempuan, misalnya,” kata Kisno Ardi, pembicara dalam acara Pemutaran dan Diskusi Film ‘Cambuk di Serambi Mekkah’ pada Jumat, 23 April 2021.

Pemutaran film dan diskusi ini mendapuk karya tugas akhir dari sutradara Nurhamid Budi Sutrisno, Mahasiswa Komunikasi UII angkatan 2017. Film ini mengangkat topik tentang fenomena dan sisi lain hukuman cambuk yang diterapkan di Nanggroe Aceh Darussalaam. Acara ini adalah Diskusi rutin yang dilaksanakan oleh PSDMA Nadim Komunikasi UII.

Budi, panggilan akrab Nurhamid, mengatakan bahwa ia sengaja mencoba mengambil sudut pandang tekanan sosial yang dialami orang yang divonis hukuman cambuk. Tekanan sosial itu mulai dari malu berada di depan umum sampai pengucilan dan diasingkan oleh masyarakat. “Seharusnya jika kita menggunakan perspektif perempuan, kita tidak akan berpihak pada pengasingan ini. Bayangkan jika keluarga perempuan kita yang berada pada posisi tersebut,” papar Kisno, yang juga adalah pegiat komunitas cum dokumentaris.

Maka sebagai filmmaker dokumenter, Kisno mangatakan, filmmaker harus menyajikan cara pandang baru apa yang kita tawarkan dalam masyarakat. Maka adalah hal yang wajar bila film dokumenter menggunakan satu sudut pandang.

“Tidak seperti produk jurnalistik, dokumenter tidak diwajibkan memenuhi kaidah jurnalistik, cover both side, misalnya. Namun antara jurnalistik dan dokumenter punya kesamaan: faktual,” papar Kisno.

Menurut Kisno, ia menyarankan pada Budi, bahwa sudut pandang dan keberpihakan filmmaker dalam film harus terlihat. Bahkan jika perlu, peristiwa harus direfleksikan pada diri sendiri sehingga kehadiran filmmaker semakin nyata dalam memahami subyek film.

Perspektif perempuan karenanya, penting dipahami dan dipelajari sebagai bentuk keberpihakan pada kelompok-kelompok atau entitas masyarakat yang seringkali dirugikan. Keberpihakan filmmaker pada perempuan dan kelompok rentan sangat berguna agar diskriminasi tidak terjadi dan berulang. Kisno mengharapkan perspektif ini diinternalisasi karena setiap kita memiliki anggota keluarga perempuan dan kelompok rentan lain. Di sinilah kecerdasan filmmaker mahasiswa dalam penggarapan tugas akhir diuji.

We need to go home, return to standard. If the term mobile phone, we have to restore or restart. We, as Muslims, restart five times a day. Every year we also restart with fasting. All Islamic ritual activities go towards Eid. Back to nature. Aware of his human existence.

That’s what Didik Purwodarsono, a spiritual speech at the UII FPSB Religious Ta’lim said on Friday, April 23, 2021, through the online conference application, Zoom Meeting. The speech which is routinely held by the dean of the Faculty of Psychology and Socio-Cultural Sciences, Universitas Islam Indonesia is carried out in the context of strengthening Islam and internalizing Islamic nuances. The speech was also held to enliven the month of Ramadan and the 26th Anniversary of FPSB this year.

According to Didik, fasting is also an educational momentum. “Education is teaching humans to be able to guide their every demand. As a lecturer, there are two tests, religious science and professional science, guiding students to have the ability to be smart and wise,” said Didik. Didik explains what he means by instructions and demands.

“We have to set from the epigastrium to top (guidance) and from the epigastrium to bottom (demand),” he said explaining the meaning of fasting like a cell phone, actually returning (restarting) the concept of the human future. The first restart, when referring to the Quran Surah Maryam (33), humans should not forget the three major events, namely the events of birth, death, and events of life after death. Didik said, in the Quran Surah Yasin (verse 12), Allah revives humans to appreciate their achievements and inscriptions (alms, useful knowledge, and pious children).

“Why do we have to wait for death, because life is to make achievements, not waiting for appreciation,” explained Didik, who is also the caretaker of a boarding school in Sleman. “If we have achievements just to wait to die is a loss, then the Quran in Surah Yasin (12) states that we need to live again to receive a fair award for our achievements and inscriptions.”

So for fasting to reach Eid al-Fitr, to achieve the sanctity of human life, humans must be perfect in looking at the future, namely worldly goodness and hereafter. “Therefore, it is not surprising that we are encouraged to pray in full to get good not only in this world but also in the hereafter. The trick is to read Rabbana Atina Fiddunya hasana Wa fil Akhirati Hasanah,” he said.

It is possible, said Didik, that we only conceptualize in educational teaching about future achievements before death, not after death. “In Javanese terms, wong iman iku bayarane katah, ganjarane turah. People of faith are paid a lot, and the rewards are excessive. So we are looking for rewards and payments,” said Didik. “Have we used our budget allocation to build the house we live in to wait to die and at the same time for the house we will live in in the afterlife?” Said Didik throws a reflective question sentence.

Didik gives the example of the people of Kuwait, Yemen, and the surrounding areas educating children not only to build a decent house that is sufficient (worldly) but also to prepare for a future home by saving mosque waqf.

“The world is the grass, the hereafter is the rice, the Javanese say. If we plant rice, we will reap the grass. On the other hand, if we plant grass, we will never get rice,” explained Didik with an analogy from Javanese local wisdom. That is, if we pursue the afterlife then there is the potential to get the world. On the other hand, if you pursue the world, it is impossible to get the afterlife.

The next human restart, said Didik, is as stated in the Quran Surah Ali Imron verse 112, is to become a valuable human being.

Humans who are valuable and useful are humans who are not greedy for plants, animals, and damage for the sake of humans. “Fasting brings humans back to take care of the earth,” said Didik. There is a servitude through what in Islam is called hablu minallah and hablu minannas. Connect with God and fellow creatures.

So if humans have restarted themselves, the hope of piety is the fruit. Taqwa is a necessity. Towards holiness or human nature as a leader with Islamic guidance is a mercy for the universe.

 

Kita perlu mudik, kembali ke standar. kalau istilah ponsel, itu kita harus restore atau restart. Kita juga sebagai seorang muslim itu restart sehari lima kali. setiap tahun kita juga restart dengan puasa. semua aktivitas ritual islam itu menuju idul fitri. kembali ke fitrah. menyadari eksistensi manusianya yang manusiawi.

Begitulah kata Didik Purwodarsono, penceramah dalam Kajian FPSB UII pada Jumat, 23 April 2021 lewat aplikasi konferensi daring, Zoom Meeting. Kajian yang rutin diselenggarakan oleh dekanat Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia ini dilaksanakan dalam rangka penguatan keislaman dan internalisasi nuansa keislaman. Kajian juga dihelat demi menyemarakkan bulan ramadhan dan Milad FPSB ke 26 tahun ini.

Menurut Didik, puasa juga menjaid momentum pendidikan. “Pendidikan adalah mengajar manusia supaya bisa menuntun setiap tuntutannya. Sebagai dosen tesnya dua, ilmu syar’i dan ilmu profesi, membimbing mahasiswa agar memiliki
kemampuan untuk cerdas dan bijaksana,” kata Didik. Didik menjabarkan apa yang ia maksud dengan tuntunan dan tuntutan. “Kita harus mengatur ulu hati ke atas (tuntunan) dan ulu hati ke bawah (tuntutan),” katanya menjelaskan

Makna puasa layaknya ponsel, sesungguhnya mengembalikan (restart) konsep masa depan manusia. Restart yang pertama, bila merujuk Quran surat Maryam (33), manusia tidak boleh lupa tiga peristiwa besar yaitu peristiwa kelahiran, kematian, dan peristiwa hidup sesudah mati. Didik bilang, dalam Quran Surat Yasin (ayat 12), Allah menghidupkan manusia untuk
menghargai prestasi dan prasastinya (sodakoh jarinyah, ilmu yang bermanfaat, anak soleh).

“Kenapa kita harus menunggu kematian, karena hidup untuk mencetak prestasi bukan menungu apresiasi,” jelas Didik yang juga adalah Pengasuh Pondok Pesantren di Sleman ini. “Kalau kita punya prestasi hanya untuk menunggu mati itu rugi, maka Quran surat yasin (12) menyebutkan maka kita butuh hidup lagi untuk menerima penghargaan yang adil atas prestasi dan prasasti kita.”

Maka agar puasa mencapai idul fitri, mencapai kesucian kehidupan manusia, maka manusia harus sempurna menatap masa depan, yaitu kebaikan duniawi dan ukhrowi. “Oleh karenanya tak heran bila kita dianjurkan berdoa secara lengkap agar mendapatkan kebaikan tak hanya di dunia melainkan akhirat juga. Caranya dengan membaca Rabbana Atina Fiddunya hasana Wa fil Akhiroti Hasanah,” katanya.

Jangan-jangan, kata Didik menegaskan, kita hanya mengonsep dalam pengajaran pendidikan soal prestasi masa depan sebelum mati, bukan sesudah mati. “Dalam istilah jawa, wong iman iku bayarane katah, ganjarane turah. Orang iman itu bayarane banyak, dan ganjarannya berlebih. Jadi kita cari ganjaran dan bayaran,” ungkap Didik. “Apakah kita sudah menggunakan alokasi anggaran kita untuk membangun rumah tinggal yang kita tinggali untuk menunggu mati dan sekaligus untuk rumah yang akan kita tinggali di akhirat?” Kata Didik melontarkan kalimat pertanyaan yang sifatnya reflektif.

Didik memberi contoh orang Kuwait, Yaman, dan sekitarnya mendidik pada anak untuk tak hanya bangun rumah layak yang cukup (duniawi) melainkan juga mempersiapkan untuk rumah masa depan dengan menabung wakaf masjid.

“Dunia itu rumputnya, akhiratnya itu padinya, kata orang jawa. Kalau kita menanam padi, kita akan menuai rumput. Sebaliknya, kalau kita menanam rumput, tidak akan pernah mendapat padi,” jelas Didik dengan suatu ibarat dari kearifan lokal jawa. Maksudnya, kalau kita mengejar akhirat maka ada potensi mendapatkan Dunia. Sedangkan sebaliknya, jika mengejar dunia, mustahil mendapat akhirat.

Restart manusia yang berikutnya, kata Didik, adalah seperti yang tertuang dalam Quran Surat Ali Imron ayat 112, adalah menjadi manusia yang bernilai.

Manusia yang bernilai dan bermanfaat adalah manusia yang bukan rakus dan serakah dengan tanaman, hewan, dan merusak demi kepentingan manusia. “Puasa mengembalikan manusia agar ikut menjaga bumi,” kata Didik. Ada sebuah pelayanan-penghambaan melalui apa yang dalam islam disebut hablu minallah dan hablu minannas. Berkoneksi dengan Allah dan sesama makhluk.

Maka jika manusia telah me-restart diri, harapannya takwa adalah buahnya. Takwa adalah keniscayaan. Menuju kesucian atau fitrah manusia sebagai pemimpin dengan panduan islam yang menjadi rahmat untuk semesta.