Reading Time: 2 minutes

Based on the latest news on Covid-19 cases in Indonesia. Until December 2020, there were nine thousand cases recorded, said the spokesperson of the Government of Yogyakarta Special Province. Therefore, some actions urge to do. UII also began to anticipate.

Hence, Fathul Wahid, The Rector of Universitas Islam Indonesia give an announcement on Wednesday (16/12). He state that the next semester learning is run online. It will begin in the academic year 2020/ 2021. Some courses such as medical therapy, clinical education, studios, and certain practicums of each faculty can be run offline. This was announced in the latest Circular of the Rector of UII.

Every courses must also pay attention to the health protocols if that are run offline. It is stated in the Regulation of the Rector of UII Number 10 of 2020. It is concerning Mitigation Guideline and the New Order of the UII Responding to the pandemic of Corona-virus Disease 2019 (Covid-19).

Likewise, Head of Communication Sciences Department of UII, Puji Hariyanti, also states that the Department of Communication Science is still running online lectures in the next semester. This aims to anticipate an increase Covid-19 cases.

Synchronous and Asynchronous Lecture System

“All courses are still being run online. It will start on March 1, 2021. We are still using various tools. Such as Zoom Meeting Application, Google Meet, teaching video, podcast on Spotify, Google classroom, WhatsApp and other applications,” said Puji on Tuesday (26/1). All the application integrated with Google Classroom as the core.

Some lecturers teach using Zoom for synchronous learning. Meanwhile, some others produce podcast audio, learning video, or giving assignments by WhatsApp Group for asynchronous learning. The use of several applications of the latter mentioned, aimed at minimizing the use of student’s internet quota.

As previously known, students of the Department of Communication Science came from various regions in Indonesia, even those in the remote area.

Back to Hariyanti, students can finish the courses that require practice such as Photography, Video Production, and others by using their respective smartphone cameras. Hence, students can fulfill their tasks without having to come to campus.

Whereas, the International Program of Communication (IPC) also conducts online lectures in the next semester. It will be the same as the previous semester since the pandemic. However, IPC UII is still postponing programs based on global mobility. This year in February and March 2021, IPC UII held a cultural exchange program and conducted online.

The IPC Secretary, Ida Nuraini Dewi K. N., who is also a Citizen Journalism Specialist,  said, “The requirement for graduation at IPC is to participate in one of the global mobility programs. So if students of IPC join a P2A program (Passage to Asean) or exchange program, it can meet their global mobility requirements.”

————-

Author and Reporter: Sera Zahria, Internship Student of International Program of Communication, batch 2016

Editor: A. Pambudi W.

 

 

Reading Time: 2 minutes

Berdasarkan pemberitaan terbaru kasus Covid-19 di Indonesia. Hingga Desember 2020, masih ada sembilan ribu kasus tercatat, kata juru bicara Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu, beberapa tindakan mendesak untuk dilakukan. UII pun mulai melakukan antisipasi.

Demikian pengumuman Rektor Universitas Islam Indonesia Fathul Wahid pada Rabu (16/12). Ia menyatakan, pembelajaran semester depan dijalankan secara online. Peraturan tersebut berlaku pada tahun ajaran 2020/2021. Beberapa mata kuliah seperti terapi medik, pendidikan klinik, studio, dan praktikum tertentu dari masing-masing fakultas dapat dijalankan secara offline. Hal itu diumumkan dalam Surat Edaran Rektor UII terbaru.

Setiap kursus juga harus memperhatikan protokol kesehatan jika dijalankan secara offline. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan PT Rektor UII Nomor 10 Tahun 2020. Hal itu terkait Pedoman Mitigasi dan Tatanan Baru UII Menyikapi Pandemi Virus Corona 2019 (Covid-19).

Senada dengan itu, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi UII, Puji Hariyanti, juga menyatakan Jurusan Ilmu Komunikasi masih menjalankan perkuliahan secara online pada semester depan. Hal tersebut bertujuan  mengantisipasi peningkatan kasus Covid-19.

Sistem Perkuliahan Sinkron dan Asinkron

“Semua mata kuliah masih dijalankan secara online. Ini akan dimulai pada 1 Maret 2021. Kami masih menggunakan berbagai alat. Seperti Aplikasi Zoom Meeting, Google Meet, video pengajaran, podcast di Spotify, Google classroom, WhatsApp, dan aplikasi lainnya,” kata Puji, Selasa (26/1).

Beberapa dosen mengajar menggunakan Zoom untuk pembelajaran sinkron. Sementara itu, ada yang memproduksi audio podcast, video pembelajaran, atau pemberian tugas oleh Grup WhatsApp dan semua terintegrasi dengan Google Classrom, untuk pembelajaran asynchronous. Penggunaan beberapa aplikasi yang disebutkan terakhir, bertujuan untuk meminimalisir penggunaan kuota internet mahasiswa.

Seperti diketahui sebelumnya, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi berasal dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan hingga ke pelosok.

Kembali ke Hariyanti, mahasiswa dapat menyelesaikan mata kuliah yang membutuhkan praktek seperti Fotografi, Produksi Video, dan lainnya dengan menggunakan kamera ponsel pintar masing-masing. Sehingga mahasiswa dapat menyelesaikan tugasnya tanpa harus datang ke kampus.

Sedangkan International Program of Communication (IPC) juga menyelenggarakan perkuliahan online pada semester berikutnya. Ini masih sama seperti semester sebelumnya sejak pandemi bermula. Namun, IPC UII masih menunda program berbasis mobilitas global. Tahun ini di bulan Februari dan Maret 2021, IPC UII mengadakan program pertukaran budaya dan dilakukan secara online.

Sekretaris IPC UII, Ida Nuraini Dewi KN, yang juga merupakan Dosen Spesialis Jurnalisme Warga menyampaikan, “Syarat untuk lulus di IPC adalah mengikuti salah satu program mobilitas global. Jadi jika mahasiswa IPC bergabung di Program P2A (Passage to Asean) atau program pertukaran, itu dapat memenuhi persyaratan mobilitas global mereka.”

————-

Penulis dan Reporter: Sera Zahria, Mahasiswa Magang Komunikasi Program Internasional, angkatan 2016

Penunting: A. Pambudi W.

Reading Time: 2 minutes

Perencanaan penerbitan Jurnal khusus untuk mahasiswa Komunikasi UII kini telah memasuki persiapan tahap pertama. Tahap pertama adalah menyiapkan pedoman penerbitan, nama jurnal, struktur redaksi, hingga aturan main penulis dan editor. Tak lupa, etika publikasi juga telah dirancang.

Menurut Puji Rianto, Kepala Unit Jurnal dan Publikasi Ilmiah, FPSB UII, kesiapan Prodi Komunikasi UII untuk menerbitkan satu jurnal baru khusus mahasiswa, ini adalah bentuk kegemarannya membaca manuskrip jurnal. Jurnal sebagai wadah pemikiran ilmiah dan akademik dosen dan mahasiswa harus dikelola dengan baik. Meski begitu, segala sesuatunya harus siap bahkan sejak pilot project.

“Jurnal mahasiswa komunikasi ini adalah proyek percontohan untuk peningkatan publikasi karya ilmiah mahasiswa di Prodi Komunikasi UII,” sambung Puji Rianto di kesempatan temu wicara dan rapat pertama penerbitan jurnal mahasiswa pada 26 Januari 2021.

Puji berharap, karya skripsi yang menawan dan nilainya baik, dapat diedit dan dikirim pada redaksi jurnal mahasiswa. Dari sini mahasiswa memungkinkan dirinya berlatih sejak mula.

Optimis Memacu Karya Ilmiah Mahasiswa

Senada dengan itu, melalui Zoom Meeting, Muhammad Jamil, wakil dari Direktorat Perpustakaan UII, mengapresiasi  upaya pendirian jurnal komunikasi UII untuk mahasiswa. Mahasiwa pada gilirannya akan terpacu menulis yang baik, dan menyelesaikan karya penelitiannya dengan dedikasi untuk dimuat dalam jurnal ilmiah.

Menurut Jamil, ke depan sebaiknya ada pemisahan laman jurnal antara jurnal mahasiswa dan yang sekarang. Beberapa konferensi juga membuat pemisahan meski alamat laman sudah masuk dalam jaringan Open Journal System (OJS) ini.

“Ke depan akan ada jurnal juga untuk Prodi Hubungan Internasional, dan juga PBI,” kata Puji yang juga adalah dosen Klaster Riset Kebijakan dan Regulasi Media di Komunikasi UII, ini. Rapat terbatas ini diikuti oleh beragam pihak dari staf pengelola jurnal di Unit Jurnal FPSB UII, Perpustakaan UII, Webmaster, dan juga dosen Komunikasi UII.

Meski namanya adalah jurnal mahasiswa, nama dan sampul akan dirancang dengan desain profesional. “Tampilannya akan bagus, proses editing dan juga proofread-nya sudah disiapkan dengan baik,” tutup Puji berharap optimis.

 

Reading Time: < 1 minute

Planning to publish special journals for Communication students UII has now entered the first stage of preparation. The first stage is to prepare publishing guidelines, the name of the journal, the editorial structure, and the guidelines for writers and editors. Not to forget, publication ethics have also been designed.

According to Puji Rianto, Head of the Journal and Scientific Publication Unit, FPSB UII, the readiness of the UII Communication Department to publish a new journal specifically for students, this is a form of his passion for reading journal manuscripts. “This student communication journal is a pilot project to increase the publication of student scientific papers in the Communication Department of UII,” continued Puji Rianto on the occasion of a talk show and the first meeting of student journal publishing on January 26, 2021.

Improving Student Scientific Publications

Likewise, through Zoom Meeting, Muhammad Jamil, representative from the UII’s Directorate of Library, appreciates the efforts to establish communication science journals for students. Students in turn will be motivated to write well, and complete their research work with dedication to be published in scientific journals.

“In the future there will also be journals for the International Relations Department, and also English Education Department,” said Puji who is also a lecturer in the Media Policy and Regulation Research Cluster at the Communication Department. This limited meeting was attended by various parties from journal management staff at the FPSB UII Journal Unit, UII Library, Webmasters, and also UII Communication lecturers.

Even though the name is a student journal, the names and covers will be designed with a professional design. “It will look good, the editing process as well as the proofread have been well prepared,” said Puji, hoping to be optimistic.

 

Reading Time: 2 minutes

Penulis asing banyak mempertimbangkan jurnal yang telah terindeks DOAJ dan Copernicus. Keduanya dianggap sebagai indeks menengah di level internasional.

Begitulah pengalaman Jurnal Ekonomi dan Keuangan Islam (JEKI) dari FBE UII ketika berbagi dalam FGD Pengelola Jurnal se-UII pada 12 Januari 2021 via Zoom Meeting. Pengelola Jurnal Komunikasi UII dan Asian Journal of Media and Communication (AJMC), jurnal internasional, di Komunikasi juga ikut urun rembug dalam FGD tersebut.

Heri Sudarsono, pengelola JEKI, bahkan mengatakan bahwa JEKI bahkan memberi fee pada penulis luar negeri pada saat jurnalnya terindeks di sinta 3. Ada kriteria juga penulis tidak perlu membayar untuk kirim naskah jika ia adalah penulis asing atau berkolaborasi dengan penulis asing. Trik itu ia jalankan agar memacu peningkatan jumlah penulis asing di jurnalnya.

Banyak trik dan tips yang bisa dicontoh dan diterapkan agar jurnal dilirik oleh penulis internasional. Selain konsistensi gaya dan mutu penulisan baik secara teknis dan substansi, indeks jurnal juga perlu diperhatikan, seperti dikemukakkn di awal tulisan.

Menurut Heri, pemetaannya terhadap tipologi jurnal di UII masih sedikit yang terindeks DOAJ dan copernicus. “Maka di sinilah pada FGD ini penting kita menjadikan FGD ini forum menentukan wadah merumuskan strategi yang terukur dan menyeluruh bagi perkembangan jurnal di UII,” kata Heri, juga disepakati oleh Eko siswoyo, pengelola Jurnal Sains dan Teknik Lingkungan (JSTL), yang juga sebagai moderator FGD ini.

Menurut Eko, Ada dua jenis indeks DOAJ. “terindeks DOAJ dengan green tick itu lebih banyak diperhatikan oleh penulis asing kabarnya,” katanya. Hasil pemantauan Eko, jurnal yang sudah terindeks DOAJ di uii baru 6 jurnal. Meski belum DOAJ, AJMC milik Komunikasi UII sudah terindeks copernicus.

Imam Djati Widodo, WAkil Rektor 2 UII, mengakatakan, pihaknya akan terus mendukung perkembangan jurnal di UII, “Misalnya tadi ada usul pelatihan OJS, lalu kemarin juga ada kami support insentif tiap akhir tahun pada jurnal-jurnal yang progress-nya baik.” Beberapa waktu lalu, kata Imam, pada akhir 2020, Rektorat UII memberi dana hibah secara selektif untuk perkembangan jurnal di UII yang jumlahnya sekira 20 hingga 50 juta rupiah tiap jurnalnya. Salah satu penerimanya adalah Jurnal Komunikasi milik Program Studi Ilmu Komunikasi. Capaian ini tidak lain karena pendampingan terstruktur dari Unit Jurnal dan Publikasi Karya Ilmiah FPSB UII, sebuah unit khusus yang memiliki tugas meningkatkan dan mengembangkan potensi dan kualitas jurnal di lingkup FPSB UII.

Pada kesempatan akhir FGD, para pengelola jurnal se-UII akhirnya bersepakat akan mendorong dan berkomitmen agar jurnalnya dapat terindeks DOAJ dan copernicus. Harapannya, jika dua indeks menengah ini telah tercapai, penulis di level internasional akan lebih tertarik. Harapannya, pihak universitas akan memfasilitasi, misalnya dengan pelatihan dan beragam dukungan seperti dikemukakan di mula.

Reading Time: 2 minutes

Syarat agar jurnal yang anda kelola terindeks Scopus, ia haruslah spesifik. Namun, membuat jurnal anda terindeks Scopus bukan perkara nama yang spesifik, melainkan ruang lingkup. Tentu saja penggunaan bahasa inggris secara konsisten juga adalah syarat utama.

“Agar terindeks Scopus, bukan soal nama jurnalnya. Namun soal isinya. Berbahasa inggris, juga reviewer dan penulisnya plural,” kata Dr. Lukman, S.T., M. Hum, Sekretaris Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah VI Jawa Tengah, dalam Pelatihan Jurnal Online UII, pada 12 Januari 2021, via Zoom Meeting Conference.

Heri Sudarsono, pengelola Jurnal Ekonomi & Keuangan Islam, memandu pelatihan dengan tema “Meningkatkan Kualitas Tata Kelola Jurnal Menuju Akreditasi SINTA 2 dan Indeks SCOPUS” ini.

Lukman juga mengatakan kunci agar dapat tembus indeks Scopus adalah dengan memperhatikan dua hal. Pertama dari segi teknis: mutu penyuntingan gaya dan format. Lalu kedua dari segi substansi: kualitas konten dan gagasan tulisan.

Menurutnya, yang dimaksud spesifik agar terindeks scopus adalah bukan soal nama, tetapi spesifik ruang lingkupnya. “Meski begitu, alangkah baiknya nama jurnalnya dibuat yang spesifik juga,” tambahnya kemudian.

Konsistensi dalam teknis penyuntingan dan substansi tulisan rupanya adalah langkah pertama bahkan ketika ingin jurnal diindeks dalam pengindeks apapun. Kerapian tata kelola jurnal, kejelasan fungsi antar pengelola jurnal, tugas editor, dan tugas reviewer yang jelas juga jadi syarat jurnal menjadi rujukan.

Konsistensi juga sudah ditunjukkan oleh pengelola Asian Journal of Media and Communication (AJMC). Jurnal internasional di Komunikasi ini dalam catatan sudah terindeks copernicus. Langkah menuju Scopus, seperti yang disebut Lukman, tentu sudah sedikit mudah. Selain juga karena jurnal AJMC sudah berbahasa inggris secara konsisten dan melibatkan beragam penulis asing. Sedangkan Jurnal Komunikasi UII sedang menuju re-akreditasi menuju Sinta 3 pada bulan mendatang.

Peserta juga bertanya pada Lukman, sebagai pakar publikasi dan jurnal kemenristek/BRIN soal peran editor dan reviewer dan konsistensi dalam penyuntingan naskah jurnal. Menurut Lukman, editor bisa menulis di jurnalnya sendiri, asal reviewernya tidak diri sendiri. Namun sebaiknya hindari menulis di jurnal sendiri, agar tidak jago kandang, kata Lukman menjelaskan.

Lukman menambahkan, bahwa tugas editor adalah membuat tulisan agar enak dilihat secara teknis. “Ngoreksi kesesuaian dengan selingkung itu tugas editor bukan reviewer.”

Sedangkan Reviewer melakukan penegecekan apakah tulisan telah memiliki state of the art, punya dampak dan singkatnya, “reviewer bikin tulisan enak dibaca idenya, bukan periksa titik koma dan gaya bahasa,” ungkap Lukman.

Para peserta juga diharapkan belajar dari contoh-contoh jurnal yang telah terindeks scopus. Misalnya dalam penggunaan crosslinking. Jurnal terindeks Scopus / elsevier pasti ada Crosslinking, katanya. Crosslinking menghubungkan pustaka ke sumber aslinya. “Anda bisa melihat dan mencontoh pada jurnal-jurnal elsevier standarnya bagaimana lihat di naskahnya,” jelas Lukman.

Apakah jurnal tidak boleh mengubah gaya penulisan? Pertanyaan lain mengemuka. Menurut Lukman, boleh saja jurnal mengubah gaya penulisan, tetapi harus konsisten.

Lalu jika semua sudah dibenahi, konsistensi telah dijalani, apa lagi langkah berikutnya? “Kalau ketentuannya sudah bisa, segera cek kesiapan dan submit di ready for scopus, langsung segera saja. Tapi jangan asal yakin tanpa persiapan segala hal tadi lalu mendaftar di ready for scopus ya, pasti ditolak,” kata Lukman. “Kebanyakan kejadian jurnal di Indonesia itu begitu belakangan ini, sehingga kemarin muncul kesan kalau dari Indonesia pasti asa-asalan, semoga dari UII tidak begitu.”

Lukman memberi pesan dan kesan penutup juga pada para peserta pelatihan yang adalah seluruh pengelola jurnal di UII. “Ibu-ibu dan bapak-bapak harus memahami instrumen di arjuna dan ketentuan SInta. Harus konsisten, teliti, dan jeli. Antara volume satu dan berikutnya, tulisan satu dan lainnya apakah sudah konsisten gaya, penulisan, dan mutu penyuntingannya dengan selingkung. Itu harus hati-hati.”

diskusi Komunikasi profetik
Reading Time: 2 minutes

Akhir tahun 2020 lalu, Holy Rafika Dhona menulis ssebuah buku yang diterbitkan oleh UII press. Dalam buku yang berjudul Komunikasi Profetik ‘Perspektif Profetika Islam ini, Holy banyak merujuk pada Kuntowijoyo yang juga melihat islam sebagai sebuah konsep ilmu pengetahuan ketimbang bangunan religiusitas semata.

Menurut Holy, Kuntowijoyo sebenarnya hanya mencoba menjelaskan bagaimana mengimplementasikan paradigma profetik itu. “Ya itu Kunto menjelaskan metode profetik dengan dua itu: sintetik analitik dan struktural transendental. Lalu saya tambahkan dialektika historis karena melihat tentu Kunto sebagai sejarawan menggunakan itu,” jelasnya. Holy Rafika Dhona mengatakan hal tersebut dalam Bedah Bukunya pada Minggu (17/1) secara daring dalam Forum Alumni KBM (Kajian Budaya dan Media).

Dari sini, Holy ingin menekankan bahwa ia lebih menambahkan bagaimana komunikasi profetik dijadikan sebagai alat perlawanan kaum yang lemah, dan membela mustad’af (kaum lemah atau kelompok rentan).

Holy berusaha mentranslate istilah profetik ke hal yang sifatnya komunikasi. “Islam itu sistem pengetahuan, kemudian kita perlu mengembangkannya, dan dia menamankannya sebagai perspektif profetik. Kata Kunto,” jelas Holy menerangkan soal perspektif Profetik ala Kuntowijoyo.

“Saya kini sedang menyusun sejarah wacana mengenai kenapa muncul komunikasi islam. Misalnya bila membahas tokoh Harjani Hefni. Menurut saya, model logic-nya mengimpor seluruhnya yang ada di Mesir sana kemudian diterjemahkan ke Indonesia. Jadi muncul komunikasi islam itu. Kalau Prof Iswandi ambilnya dari Kuntowijoyo. Lalu ada yang membedakan Komunikasi Islam, Komunikasi Dakwah, dan lain-lain. Terminologi ini dari Prof. Iswandi saya ambil,” kata Holy.

Muhammad Heychael, Dosen Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, juga merupakan salah satu pembedah buku dalam forum tersebut, mengatakan bahwa buku ini mampu keluar dari jebakan islamisasi pengetahuan yang sangat dikotomis ditahun 80-an, terlepas dari kekurangan metodologi dan praksis. “Islamisasi pengetahuan ini adalah ada semacam penandaan bahwa yang ini islam dan yang ini tidak. Dan ini muncul dari inferioritas globalisasi. Dan ini akhirnya tidak substantif,” kata Heychael berpendapat.

Alih-alih menandai, apa yang perlu disumbangkan islam pada wacana itu, “Menurut saya ini jadi penting sehingga kita tidak menjadi normatif. Jadi tidak sibuk menandai ini sekular dan islami, lalu tetapi tidak memunculkan substansi hal yang baru. Dan Holy berhasil keluar dari jebakan itu,” Heychael menambahkan.

Menurut Heychael, buku yang ditulis Holy dalam buku ini barulah bagian awal yang menjabarkan prinsipnya saja. Ia memberikan pandangan untuk menjabarkan buku ini dengan perspektif baru sebagaimana Kuntowijoyo, misalnya tentang bagaimana konsep komunikasi profetik digunakan dalam jurnalisme atau ranah lain.

“Apa yag ditulis Holy belum selesai. Dialognya belum selesai. Kita mungkin saja bisa menawarkan perspektif baru dari yang sebelumnya. Kan kunto itu perspektif teologi pembebasan. Misal kita ambil dari jurnalisme. Bagaimana jurnalisme menggunakan ini (komunikasi profetik). Bagaimana konsep keberpihakannya, bagaimana konsep keadilannya. Nah Holy baru menggambarkan prinsipnya,” terangnya.

Diskusi Komunikasi proetik Komunikasi UII
Reading Time: 2 minutes

At the end of 2020, Holy Rafika Dhona wrote a book published by UII press. In this book entitled Prophetic Communication ” of Islamic Prophetic Perspectives, Holy refers to Kuntowijoyo who also sees Islam as a scientific concept rather than a mere religious building.

According to Holy, Kuntowijoyo was actually just trying to explain how to implement the prophetic paradigm. “Yes, Kunto explained the prophetic method with two things: synthetic analytic and transcendental structural. Then I added the historical dialectic because of course Kunto as a historian used it,” he explained. Holy Rafika Dhona said this in his online Book Review on Sunday (17/1) at the KBM Alumni Forum (Cultural and Media Studies).

From this, Holy wants to emphasize that he adds more to how prophetic communication is used as a means of resistance for the weak, and defends mustad’af (the weak or vulnerable groups).

Holy tries to translate prophetic terms into things that are communication in nature. “Islam is a knowledge system, then we need to develop it, and he named it a prophetic perspective. Kunto said,” Holy explained about Kuntowijoyo’s prophetic perspective.

“I am currently compiling a history of discourse on why Islamic communication emerged. For example, when discussing the character Harjani Hefni. In my opinion, the logical model imports everything in Egypt there and then it is translated into Indonesia. So it appears Islamic communication. If Prof. Iswandi takes it from Kuntowijoyo. Then there is a difference between Islamic Communication, Da’wah Communication, and others. I took this terminology from Prof. Iswandi, “said Holy.

Muhammad Heychael, Communication Lecturer at Multimedia Nusantara University, who is also one of the book reviewers at the forum, said that this book was able to break out of the trap of Islamization of knowledge which was very dichotomous in the 80s, despite the lack of methodology and praxis. “The Islamization of this knowledge is a sign that this is Islamic and this is not. And this arises from the inferiority of globalization. And this is ultimately not substantive,” Heychael argues.

Instead of marking what Islam needs to contribute to the discourse, “I think this is important so that we do not become normative. So we are not busy marking this as secular and Islamic, but not bringing up any new substance. And Holy managed to get out of the trap,” Heychael added.

According to Heychael, the book Holy written in this book is only the beginning that describes its principles. He gave a view to describe this book with a new perspective like Kuntowijoyo, for example on how the concept of prophetic communication is used in journalism or other domains.

“What Holy has written is not finished yet. The dialogue is not finished. We might be able to offer a new perspective from the previous one. Kan kunto is a liberation theology perspective. For example, we take it from journalism. How does journalism use this (prophetic communication). concept of justice. Now Holy just describes the principle, “he explained.

 

Diskusi Komunikasi profetik Holy Komunikasi UII
Reading Time: 2 minutes

Belakangan, muncul kritik pada kajian komunikasi islam. Komunikasi islam dianggap mengalami kemandekan. Bagaimana tidak. Selama ini kajian komunikasi islam tak beranjak pada bahasan seputar prinsip komunikasi dalam al-quran. Seperti qaulan syadiidan dan baliigha. Sesungguhnya, dimensi komunikasi dalam Quran lebih dari itu.

Holy Rafika Dhona, Dosen Komunikasi UII, mengatakan hal tersebut dalam bedah bukunya berjudul Komunikasi Profetik, ‘Perspektif Profetika Islam’ dalam Komunikasi pada Minggu (17/1) secara daring. Forum Alumni KBM (Kajian Budaya dan Media) membedah buku karya Holy Rafika dengan mengundang dua pembedah. Pertama Fita Fathurokhmah, Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kedua, M. Heychael, Dosen Komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara.

“Komunikasi islam itu mandek cuma di mengenali apakah ini di qoulan balighan, qaulan syadiidan, dan lain-lain. Tetapi, ketika ada mustad’afin kok nggak dibahas?” kata Holy Rafika, penulis buku yang terbit pada akhir 2020 ini. Menurut Holy, buku yang diterbitkan oleh UII Press, ini mencoba mendorong gagasan islam yang memberi rahmat untuk semesta bahkan untuk mereka yang tertindas.

Holy mempertegas dengan pengandaian, “ini ada orang tertindas lho di sini. Kok dibiarin saja. Islam itu nggak begitu harusnya. Islam itu kan membahas prinsip soal keadilan,” sambung Holy.

Apa hubungan keadilan dan orang yang tertindas dalam Komunikasi Profetik? Menurut Holy melihat fenomena ketertindasan dengan nilai keadilan mudah sekali.  Holy menegaskan bahwa dari kacamata Islam. Islam memiliki konsep bahwa orang yang tertindas menandakan bahwa ia tidak medapatkan keadilan. Menurutnya, Islam hadir untuk membela yang lemah  agar keadilan apat ditegakan. “Orang tertindas itu kan orang yang nggak mendapatkan Keadilan. Maka islam hadir untuk membela mereka yang lemah, agar mendapat keadilan,” jelas Holy.

Fita Fathurokhmah, di sisi yang lain, memberi catatan atas terbitnya buku ini.  ia memberikan masukan agar buku ini disusun dengan lebih praksis agar “Masukan saya, Mas Holy, bisa tulis buku selanjutnya lebih ke praksis. Ini akan laku pasti. Bagaimana Komunikasi Profetik dari level intrapribadi, dari level antarpribadi, kelompok, massa, publik, hingga level media dan organisasi,” usul Fita.

Selain itu, Tita  juga mengkritik mengapa buku ini tidak membahas bangunan konseptualisasi pengetahuannya menganai  apa epistimologi, apa  aksiologi, danapa  epistemologinya.

Holy menunjukkan bahwa soal konseptualisasi pengetahuan telah dibahas oleh penulis sebelumnya, misalnya Prof Iswandi dan Heddy Ahimsa. Prof Heddy Shri Ahimsa dan Iswandi Syahputra sudah menulis penekanannya pada konseptualisasi pengetahuan dan lain-lain. Ada perbincangan soal ontologi, aksiologi, dan epistemologi profetik. “Kalau  Prof Iswandi dan Ahimsa itu mustad’afin (membela kaum lemah)nya hilang,” ungkapnya. Disini Holy ingin melengkapai kajian komunikasi rofetik degna perpektif yang kurang selama ini, ia menambal bagian lain.

“Kalau lihat versi pak Ahimsa, nanti jadinya perdebatan ilmu atau bukan. Tapi, menurut saya ilmu itu harus rahmatan lil alamin,” tambahnya.

 

Diskusi Komunikasi Profetik Holy Komunikasi UII
Reading Time: 2 minutes

Recently, there has been criticism on the study of Islamic communication. Islamic communication is considered stagnant. How come. So far, the study of Islamic communication has not moved on to discussing the principles of communication in the Koran. Like qaulan syadiidan and baliigha. In fact, the communication dimension in the Quran is more than that.

Holy Rafika Dhona, Communication Lecturer at UII, said this in an online review of his book entitled Prophetic Communication, ‘Islamic Prophetic Perspectives’ in Communication on Sunday (17/1) online. The KBM Alumni Forum (Cultural and Media Studies) dissected Holy Rafika’s book by inviting two dissectors. First, Fita Fathurokhmah, Lecturer in Communication and Islamic Broadcasting from UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Second, M. Heychael, Lecturer in Communication at Multimedia Nusantara University.

“Islamic communication stagnates, only to recognize whether this is in qoulan balighan, qaulan syadiidan, etc. But, when there is mustad’afin, why is it not discussed?” said Holy Rafika, author of the book published at the end of 2020. According to Holy, the book, published by UII Press, tries to push the idea of ​​Islam that gives mercy to the universe even for those who are oppressed.

Holy emphasized the assumption, “There are people who are oppressed, you know. How can you just leave it. Islam is not what it should be. Islam discusses the principle of justice,” Holy continued.

What is the relationship between justice and the oppressed in Prophetic Communication? According to Holy, seeing the phenomenon of oppression with the value of justice is very easy. Holy emphasized that from an Islamic perspective. Islam has the concept that people who are oppressed indicate that they do not get justice. According to him, Islam exists to defend the weak so that justice can be upheld. “People who are oppressed are people who do not get justice. So Islam is here to defend those who are weak, in order to get justice,” Holy explained.

Fita Fathurokhmah, on the other hand, gave notes on the publication of this book. He gave input so that this book should be prepared more practically so that “My input, Mas Holy, can write the next book more on praxis. This will sell for sure. How is Prophetic Communication from the intrappersonal level, from the interpersonal level, groups, masses, the public, to the level of media and organizations, “suggested Fita.

In addition, Fita also criticized why this book did not discuss the conceptualization of her knowledge building about what epistemology is, what axiology, and what is epistemology.

Holy points out that the issue of conceptualization of knowledge has been discussed by previous authors, for example Prof. Iswandi and Heddy Ahimsa. Prof. Heddy Shri Ahimsa and Iswandi Syahputra have written their emphasis on the conceptualization of knowledge and others. There are talks about ontology, axiology, and prophetic epistemology. “If Prof Iswandi and Ahimsa it mustad’afin (defending the weak)is missing,” he said. Here Holy wants to complete the study of rhophetic communication from a perspective that has been lacking so far, he patched another section.

“If you look at Pak Ahimsa’s version, there will be a debate about knowledge or not. But, in my opinion, knowledge must be rahmatan lil alamin,” he added.