Reading Time: 2 minutes

The Covid-19 pandemic has clearly limited space for movement. The short period bored everyone, and people wanted to immediately engage in activities within those limitations. The entertainment world is also looking for alternative solutions to keep the economy running. Many K-Pop music industries are also trying to make digital concerts amid the pandemic.

One of the phenomena of this digital concert was brought up by Salsabila Dewi Kemuning for her to explore more deeply as the topic of her thesis research. Results of her research, in addition to being presented in the final exam, She also presented in international seminars 6th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS). On Tuesday, 28 June 2022, this research will also be presented in the Monthly Discussion Center for Study and Documentation of Alternative Media (PSDMA) NADIM Communication Department UII.

Kemuning’s research is entitled Digital K-Pop Concert Room. This research wants to know three things that are also stated in the research objectives. The first problem is how to construct liveness in digital concert shows. The second is how the audience positions themselves in the digital liveness concert ‘space.’

Third, how does this K-POP digital concert-show work as an ideology that produces liveness and space? The first and second points are how the concert organizers make the audience and the concert feels so real as if they feel the atmosphere of a real concert.

Ethnographic Qualitative Research 

This research uses an ethnographic qualitative approach. The way to do this is by joining the informants when watching the concert digitally. After that, the researcher will record all behavioral expressions, expressions, and habits made by the informants during the digital concert. Usually, the informants and researchers already have a close and fluid relationship, so all expressions and behaviors that appear are very natural.

The Kemuning process in selecting resource persons must be selective so that the data generated in the research is credible. The resulting data can certainly be justified scientifically. Kemuning is looking for college students who are true K-pop fans. At least the informant has been fond of K-Pop for three years. “What is certain is that he or she will watch a digital concert,” said Kemuning, referring to her research sources who are digital concertgoers. The next criterion is that the source is a reputable fandom, meaning those closest to him/ her know very well that he/ she is a K-Pop fandom.

During the research period, Kemuning conducted interviews and direct observations related to the experience of the informants watching. Kemuning recorded what they felt and saw their expressions while watching, as well as the expressions they said while watching or after watching.

You can watch the video here too:

Reading Time: 2 minutes

Integrating communication and Islamic studies is often only done with a normative perspective and abandoning Western-style critical thinking. In fact, in the era of disinformation, there is the importance of tabayyun journalism. This is a dialog process between Muslim and Western academics, so there is a process of synthesis or dialog.

To dialogize Islam and Communication, lecturers of Communication Sciences at the Universitas Islam Indonesia wrote the book “Islam in Communication Studies”. This book was launched in conjunction with the 27th Anniversary of the Faculty of Psychology and Social Culture (FPSB) UII on May 21, 2022. The book was dissected by two academics, Dr. Basuki Agus Suparno, M.Si. (Master of Communication Studies Program at UPN “Veteran” Yogyakarta) and Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si. (Lecturer of Communication Science Study Program FPSB UII).

In dissecting this book, Basuki noted that to integrate Islam and communication, one must have a valid understanding. “The validity of the western perspective, also has validity in understanding the Islamic perspective itself. because if we integrate the two without valid understanding, there will be overlap and chaotic integration studies,” said Basuki.

Masduki, one of the book reviewers who is also a lecturer in the Communication Department at UII, appreciated the academic spirit, examining the Islamic perspective historically and seeing the challenges of communication and Islamic studies in the future. In terms of history, Masduki explained that the phenomenon of celebrity academics has now been criticized in Ian Fleming’s Dark Academy discourse. The themes of communication studies that refer to the government have also been criticized until academics who fight against ideology were born. “We must try to do a de-western perspective with the marginalized or periphery, the writing must depart from criticism. if we refer to Adorno and friends of the Frankfurt school, we can take a historical approach. For example, by reading Islam and mustada’fin, and criticisms of a political economy nature,” Masduki explained.

So far, said Masduki, academics have made Islam a frame, but the communication that is built remains a Western mindset. “This is a simplification. It should be like an Islamic political history book. He sees Islam as a long civilization. Criticizing Islam,” said Masduki.

Masduki explained, if then referring as recommended by Hassan Hanafi, after we criticize Communication Studies from a western perspective, we must look at this empirical one, “what these friends do in this book. For example, how Islam in digital communication. Other challenges also arise, for example, how we can see the philosophical dimension of this, what is the epistemology of Islamic PR, what is the ontology, what is the axiology,” said Masduki,

In addition to the challenges of criticizing the perspective of Western thought in the Islamic context, there are also challenges in philosophical dimensions such as epistemology, ontology, and axiology. And the next challenge, said Masduki, is the institutional challenge. “We, in UII Communication Department, will establish Kaliurang School or Mazhab Kaliurang. We start by making UII way with Kaliurang School.”

Reading Time: 2 minutes

Mengintegrasikan kajian komunikasi dan Islam seringkali hanya dilakukan dengan perspektif normatif dan meninggalkan pemikiran kritis ala Barat. Padahal di era disinformasi ada pentingnya tabayyun jurnalisme. Hal ini adalah proses dialog antara akademisi muslim dan barat sehinga ada proses sintesis atau dialog.

Dalam rangka mendialogkan Islam dan Komunikasi, dosen-dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menulis Buku “Islam dalam Studi Komunikasi”. Buku ini kemudian diluncurkan bersamaan dengan Milad ke-27 Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB) UII pada 21 Mei 2022. Buku ini dibedah oleh dua orang akademisi yakni Dr. Basuki Agus Suparno, M.Si. (Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta) dan Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si. (Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII).

Dalam membedah buku ini, Basuki memberikan catatan bahwa untuk Mengintegrasikan islam dan komunikasi,harus memiliki pemahaman yang sahih. “Kesahihan dari perspektif barat, juga punya kesahihan dalam memahami perspektif islam itu sendiri. karena kalau kita mengintegrasikan keduanya tanpa memahami secara sahih, maka akan terjadi tumpang tindih dan carut marut studi integrasilnya,” kata Basuki.

Masduki, salah satu pembedah buku yang juga Dosen Ilmu Komunikasi UII, memberikan apresiasi atas semangat akademis, menelaah perpektif islam secara historis dan melihat tantangan studi komunikasi dan islam ke depan. Dilihat dari sejarahnya, Masduki menjelaskan bahwa kini telah banyak dikritik fenomena selebritas akademisi dalam wacana Dark Academy dari Ian Fleming. Tema-tema studi komunikasi yang merujuk ke pemerintah ini juga menuai kritik hingga lahirlah akademisi yang melakukan perlawanan ideologi. “Kita harus mencoba melakukan de-western perspective dengan yang terpinggirkan atau periphery, tulisan itu harus berangkat dari kritik. kalau mengacu dari adorno dan kawan-kawan mazhab frankfurt, bisa pendekatan historis. Misal dengan membaca islam dan mustada’fin, dan kritik-kritik yang bersifat ekonomi politk,” jelas Masduki.

Selama ini, kata masduki, akademisi hanya mejadikan Islam sebagai bingkai, tetapi komunikasinya yang dibangun tetap pola pikir Barat. “ini menjadi penyederhanaan. Seharusnya seperti buku sejarah politik islam. Dia melihat islam sebagai peradaban yang panjang. Melakukan kritik dalam islam,” kata Masduki.

Masduki menjelaskan, jika kemudian merujuk seperti yang dianjurkan Hassan hanafi, setelah kita kritik Kajian Komunikasi yang perspektif barat, lalu kita harus lihat yang empiris ini, “yang dilakukan kawan-kawan ini di buku ini. Misalnya bagaimana islam in digital communication. Tantangan lain juga muncul misalnya bagaimana kita bisa melihat dimensi filosofis dari sini, epistemilogisna apa ini dari islamic PR, ontologisnya apa, aksiologisnya seperti apa,” ungkap Masduki,

Selain tantangan kritik perpektif pemikiran Barat dalam konteks Islam, juga tantangan dimensi filosofis seperti epistemologis, ontologis, dan aksiologi. Dan tantangan selanjutnya, kata Masduki adalah tantangan kelembagaan. “Kita, di Komunikasi UII, akan mendirikan Kaliurang School atau Mazhab Kaliurang Kita mulai dengan membuat UII way dengan Kaliurang School.”

Reading Time: 2 minutes

Pandemi Covid-19 jelas membuat ruang gerak terbatas. Rentang waktunya yang tidak sebentar jelas membuat semua orang bosan dan ingin segera berkegiatan dalam keterbatasan itu. Dunia hiburan juga mencari alternatif solusi agar tetap bisa menjalankan roda ekonominya. Banyak industri musik K-Pop pun menjajal untuk membuat konser digital di tengah pandemi yang melanda.

Salah satu fenomena konser digital ini diusung oleh Salsabila Dwi Kemuning untuk dia telusuri lebih dalam sebagai topik riset skripsinya. Hasil risetnya, selain dia paparkan dalam ujian akhir, juga dia presentasikan dalam seminar Internasional Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) ke-6. Pada Selasa, 28 Juni 2022, riset ini juga dipaparkan di Diskusi Bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Ilmu Komunikasi UII.

Riset Kemuning ini berjudul Ruang Konser Digital K-Pop. Riset ini ingin mengetahui tiga (3) hal yang juga tertuang dalam ‘tujuan penelitian’. Pemasalahan yang pertama adalah bagaimana mengkonstruksi liveness dalam tayangan konser digital. Kedua adalah bagaimana penonton memposisikan diri dalam ‘ruang’ konser liveness digital.

Ketiga, bagaimana tayangan konser digital K-POP ini bekerja sebagai ideologi yang memproduksi liveness dan keruangan. Poin pertama dan kedua ini sebetulnya adalah bagaimana penyelenggara konser membuat seolah penonton dan konsernya terasa begitu nyata seolah merasakan atmosfir konser nyata.

Riset Kualitiatif Etnografis

Riset ini menggunakan pendekatan kualitatif etnografis. Cara melakukannya adalah dengan ikut serta dengan narasumber ketika menonton konsernya secara digital. Setelah itu, peneliti akan mencatat segala ekspresi perilaku, ungkapan, kebiasaan yang dilakukan oleh narasumber saat konser digital tersebut berlangsung. Biasanya narasumber dan peneliti sudah memiliki hubungan yang cair dan dekat, sehingga semua ekpresi dan perilaku yang muncul sangat natural.

Proses Kemuning memilih narasumberpun harus selektif supaya data yang dihasilkan dalam penelitiannya kredibel. Data yang dihasilkanpun tentu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kemuning mencari mahasiswa kuliah yang benar-benar penggemar K-pop. Setidaknya, informannya sudah menggemari K-Pop tiga tahun. “Yang pasti ia akan menonton konser digital,” kata Kemuning merujuk pada narasumber penelitiannya yang adalah penonton konser digital. Kriteria berikutnya adalah narasumber merupakan fandom yang punya reputasi, maksudnya orang-oarng terdekatnya tahu betul bahwa ia adalah fandom K-Pop.

Selama masa penelitian, kemuning melakukan wawancara dan observasi langsung terkait pengalaman narasumber menonton. Kemuning mencatat apa yang dirasakan, melihat ekspresi ketika menonton, juga ungkapan yang mereka ucapkan saat menonton atau setetelah menonton.

Reading Time: 2 minutes

The music industry has been affected by the Covid-19 Pandemic. The pandemic in an unclear time frame makes the music industry have to make creative innovations to turn the wheels of their industry. The concept of digital concerts must be lived. They must consider how digital concerts can feel real instead of just showing regular video shows. For example The Online Concert BTS, NCT 127 online concert, and etc.

Salsabilla Dewi Kemuning, a student of the Department of Communications at the Universitas Islam Indonesia (UII), raised this digital concert phenomenon as the topic of her undergraduate thesis research. She saw how the audience could feel the atmosphere of this digital concert. He explained the liveness concept of this online concert at the Monthly Discussion Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA) NADIM of Communication Department UII on Tuesday, 28 June 2022.

To make the digital concert so real, the event organizer made various efforts, both visual appearance and audience experience. For example, by presenting a live chat feature, video calls, rest breaks, and stage creations. Some of the explanations for these efforts are as follows:

Live chat

The audience can feel so connected to the concert directly (synchronously) by providing a live chat feature where the audience can comment directly in the chat column provided.

Video call and lightstick

The existence of this video call makes the audience feel that when they are watching this concert, they are sure that this concert is taking place. Especially when the stage screen also shows all the audience from all directions, their faces live. In addition, the lights tick on the ticket is also used to impress a real concert.

Breaktime for rest

The impression of liveness is also felt when the artist needs a short break to rest. This break is also often done by artists when they do live concerts. Participants also got a real concert atmosphere when the artist asked for a break to change clothes or take a break.

Stage layout

The event organizer does two kinds of stage layouts when building a liveness image. The first is to use the studio during concerts and Augmented Reality (AR) to present effects on stage. The second is to build an outdoor concert stage with all the concert equipment like a real concert. “The two methods received different responses from the audience. The audience can feel the aura of the concert more with the second method,” said Kemuning.

 

Reading Time: 2 minutes

Industri musik ikut terimbas Pandemi Covid-19. Pandemi dalam rentang waktu yang tidak jelas membuat industri musik harus membuat inovasi kreatif memutar roda industri mereka. Konsep konser digital harus dijalani. Mereka harus memikirkan bagaimana konser digital dapat dirasakan begitu nyata, alih-alih sekadar menampilkan tayangan video biasa. Misalnya Online Concert BTS, konser online NCT 127, dan sebagainya.

Salsabila Dwi Kemuning, salah satu mahasiswa Jurusan ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) mengangkat fenomena konser digital ini sebagai topik riset skripsinya. Ia melihat bagaiamana atmosfer konser digital ini dapat dirasakan oleh penontonnya. Konsep liveness konser online in ia ceritakan di Diskusi Bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Ilmu Komunikasi UII pada Selasa 28 Juni 2022.

Untuk membuat konser digital itu begitu nyata dirasakan, pihak Event organizer melakukan berbagai upaya baik visual appearence maupun audience experience-nya. Misalnya dengan menghadirkan fitur obrolan langsung (live chat), video call, jeda istirahat, hingga kreasi tata panggung. Beberapa penjelasan upaya itu adalah sebagai berikut:

Live chat

Membuat penonton merasaka begitu terhubung dengan konser secara langsung (sinkron) adalah dengan memberikan fitur live chat dimana penonton bisa memberikan komentar secara langsung di kolom chat yang disediakan.

Video call dan lightstick

Adanya fitur video call ini membuat penonton merasa bahwa saat ia sedang menonton konser ini, ia yakin bahwa konser ini nyata sedang berlangsung. Terlebih ketika layar panggung juga menampilkan semua penonton dari semua penjuru ditampilkan wajah mereka secara live. Selain itu, fasilitas lightstick yang ada di ticket juga digunakan untuk mengesankan real concert.

Breaktime untuk istirahat

Kesan liveness juga terasa saat artis membutuhkan break sejenak untuk istirahat. Break ini juga sering dilakukan oleh artis saat mereka melakukan konser langsung. Atmosfer konser real juga didapatkan peserta saat artis meminta jeda waktu untuk berganti baju atau istirahat.

Tata panggung

Ada dua macam tata letak panggung yang dilakukan oleh Event organizer saat membangun liveness image. Pertama adalah dengan menggunakan studio saat konser dan menggunakan Augmented Reality (AR) untuk menyajikan efek-efek di panggung. Kedua adalah membangun panggung konser outdoor dengan segala kelengkapan konser layaknya real concert. “Kedua metode ini mendapat tanggapan berbeda dari penonton. Penonton lebih bisa merasakan aura konser dengan metode kedua,” ungkap Kemuning.

You can watch the video here too:

Reading Time: < 1 minute

Peraturan travel ban dan larangan berkumpul selama pandemi membuat konser-konser K-Pop terpaksa dibatalkan. Sayangnya, digitalisasi format konser ini menciptakan banyak tanda tanya di dalam kepala khalayak. Konser online K-Pop dinilai tidak lagi memiliki esensi karena tidak bisa mempertemukan idola dan penggemar dalam satu lokasi.

Lantas, bagaimana tayangan konser digital K-Pop dikonstruksi sebagai
sebuah “konser” dalam benak penonton?

Mari merapat dan kita diskusikan bersama pada:

📅: Selasa, 28 Juni 2022
🕓: 16:00 WIB
📌: Klik Tombol di bawah ini untuk Tautan Zoom

Reading Time: < 1 minute

Kepada Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII, berikut ini adalah tawaran untuk berkarya dan menambah pengalaman keilmuan, jejaring, dan wawasan di bidang media, perpektif komunikasi pemberdayaan, profetika komunikasi, dan humanisme. Silakan daftar menjadi relawan di lembaga Rifka Annisa Women Crisis Centre. Lokasinya di Yogyakarta. Anda bisa mendaftar pada posisi relawan atau magang. Mau daftar tinggal Klik bit.ly/VolunteerRifka22 ya. Berikut ini informasi detilnya:

Sobat Rifka
Rifka Annisa memperpanjang masa recruitment relawan.

Silahkan cek informasi lengkap melalui link: bit.ly/KualifikasiVolunteer.
Pendaftaran melalui link: bit.ly/VolunteerRifka22.
Kami tunggu hingga tanggal 26 Juni 2022.

Jika membutuhkan informasi lebih lanjut silahkan email: [email protected]

Reading Time: 2 minutes

Indonesian Public Service Broadcasting (PSB) Institutions (LPP) such as RRI, TVRI, and Local LPP public broadcasting institutions should provide quality broadcasts. It is not only entertaining but also has to be informative and educational.

He conveyed this at the Capacity Building Training for Local Public Broadcasting Institutions (LPPL) in Indonesia, 13-15 June 2022, in Solo. Masduki, one of the RPLPP Founders and an UII Communications Lecturer, was also present. Masduki was emphasizing that in today’s digital era, Local PSB must begin to realize that Local PBS is responsible to the public as taxpayers whose funds make PSB viable. “Because of taxes from the public, on the other hand, PSB must provide quality content in return,” said Masduki

Masduki, UII Communications Lecturer, said that in a study last year, in November 2021, Jacobs Media conducted research on the main reasons why the public still listens to public radio. The five things that stand out the most, to be more reliable and objective, “to be informed about the news,” he said. Then the second is learning new things, in-depth perspectives on reporting, and finally, feeling more appreciative of the listener’s intelligence.

Bambang Muryanto, Chairman of the PSB Clearing House (RPLPP), appealed to all Local PSB broadcasters to adhere to the verification principle when producing journalistic works. Especially, when implementing the concept of conflict-sensitive journalism. Apart from conflict-sensitive journalism, this capacity building also contains investigative journalism material. Shinta Maharani, Chairperson of the Yogyakarta Alliance of Independent Journalists (AJI) and an RPLPP activist, also delivered the investigative material. In addition, another material is reflection and broadcast program production with Darmanto.

Pambudi, RPLPP activist and UII Communication Staff, researcher, and the mentor of this training, presented three Local PSB problems from all the training participants who attended. 53 people from 29 local PBS representatives participated in this survey. The survey found that Human resources, finance, and infrastructure problems were three issues that were considered by the participants as the main problems in their PSB. These Local PSB participants throughout Indonesia are Local PSB, who are members of Persada Indonesia (Regional Public Radio and TV Association). The participants are committed to interestingly presenting content based on the training materials presented in these three days.

 

Reading Time: 2 minutes

Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Indonesia seperti RRI, TVRI, dan LPP Lokal sebagai sebuah lembaga penyiaran milik publik memiliki kewajiban untuk memberikan tayangan yang berkualitas. Tidak hanya menghibur semata. Tetapi juga harus informatif dan mendidik.

Hal ini disampaikannya pada Pelatihan peningkatan kapasitas Lembanga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) di Indonesia, 13-15 Juni 2022, di Solo, itu, Masduki, salah satu Dewan Pendiri RPLPP dan juga Dosen Komunikasi UII, turut hadir. Masduki hadir juga sebagai mentor dalam kesempatan tersebut, turut menekankan bahwa di era digital saat ini harus mulai menyadari bahwa LPPL bertanggungjawab pada publik sebagai pembayar pajak yang dana tersebut menjadikan LPPL bisa hidup. “Karena pajak dari publik, sebaliknya LPPL harus memberikan konten yang berkualitas sebagai timbal balik,” kata Masduki

Masduki, Dosen Komunikasi UII, mengatakan, pada penelitian setahun lalu, November 2021, Jacobs Media melakukan penelitian terkait alasan utama kenapa publik masih mendengarkan radio publik. Lima hal yang paling menonjol adalah pertama, lebih terpercaya dan dan objektif, “to be informed about the news,” katanya. Lalu kedua adalah mempelajari hal-hal baru, perspektif yang mendalam pada pemberitaan, lalu terakhir adalah terasa lebih menghargai kecerdasan pendengar.

Bambang Muryanto, Ketua Rumah Perubahan LPP yang kali ini adalah mentor pula, mengimbau seluruh lembaga penyiaran LPPL untuk berpegang pada prinsip verifikasi ketika memproduksi karya jurnalistik. Terutama saat mengimplementasikan konsep jurnalisme sensitif konflik. Di samping jurnalisme sensitif konflik, pengembangan kapasitas ini juga berisi materi investigative journalism. Materi investigasi ini diampu oleh Shinta Maharani, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta sekaligus aktivis RPLPP. Selain itu, materi lain adalah materi refleksi dan produksi program siaran bersama Darmanto.

Pambudi, pegiat RPLPP dan juga staf di Komunikasi UII, juga mentor pelatihan ini, menyajikan tiga masalah LPPL dari seluruh peserta pelatihan yang hadir. Survei ini diikuti oleh 53 orang dari perwakilan 29 LPPL dari peserta pelatihan LPPL Se-Jawa. Sumber daya manusia, keuangan, dan infrastruktur adalah tiga persoalan yang dianggap oleh para peserta sebagai masalah utama di LPP-nya. Para peserta LPPL se-Indonesia ini adalah LPP Lokal yang tergabung dalam Persada Indonesia (Perhimpunan Radio dan TV Umum Daerah). Dalam pelatihan ini, para peserta berkomitmen untuk menyajikan konten secara menarik berdasar materi-materi pelatihan yang disampaikan dalam tiga hari ini.