Pengelolaan jurnal bukan perkara mudah. Ia adalah pekerjaan yang membutuhkan ketekunan dan strategi yang jitu. Apalagi kini jurnal juga masuk dalam pusaran ‘persaingan’ di tengah belantara data raya informasi era digital. Salah satu pembeda di antara ratusan jurnal di Indonesia, jurnal nasional bisa menggunakan indeksasi SINTA dari Kemendikbud Ristek.

Maka dari itu, pada 22 Juli 2022, DPPM UII mengundang seluruh pengelola jurnal di UII untuk menimba ilmu tentang pengelaan jurnal. Kesempatan kali ini digunakan sekaligus untuk berkonsultasi dengan pemateri dari tim arjuna kemendikbud ristekdikti terkait kendala dan kondisi jurnalnya dalam meraih indeksasi SINTA.

Prof Jaka Nugraha, Wakil Rektor 1 UII, mengatakan, pihaknya mengakui bahwa mengelola jurnal tidaklah mudah. Maka dari itu bidang I UII telah merancang strategi agar ada penghargaan dan mekanismenya untuk jurnal. “Kami sedang merancang pemberian insentif pada pengelola jurnal yg berhasil meningkatkan SINTA-nya,” kata Jaka dalam sambutannya.

“Nanti harapannya dengan ini khususnya bagi pengelola, agar meningkatkan kinerja. Kami harap semangat untuk meningkatkan kualitas pengelolaan jurnal, tidak hanya mendapatkan artikel yg berkualitas, termasuk dari sistem, bagaimana memahami algoritma mendapatkan indeksiasi sinta perlu kita pahami lebh jlas. Semoga persyaratan dan mekanismenya bisa kita penuhi dengan lengkap dan tidak lagi ada kendala dalam mengindeksasi ke Sinta,” harap Prof. Jaka menutup sambutannya.

Yoga Dwi Arianda, pembicara workshop ini juga hadir memberi beberapa pesan. Yoga adalah Koordinator Jurnal dan Publikasi Ilmiah, Direktorat riset, teknologi, dan pengabdian kepada masyarakat, Kemdikbudristek. Dirinya mengajak seluruh pengelola jurnal, untuk bisa meraih predikat SINTA 1. Sebab baru setengahnya dari total keseluruhan jurnal di UII yang sudah akreditasi. “Sedangkan di SINTA 1 se-indonesia itu baru di bawah sepuluh jurnal yang hasil akreditasinya Sinta 1. Karena yang lain itu SINTA 1 hasil dari SCOPUS, bukan murni dari hasil akreditasi seperti Jurnal EJEM di UII,” tambah Yoga.
Jurnal Komunikasi UII yang kini berpredikat SINTA 2 pun dianggap punya potensi mendapat SINTA 1 dari hasil akreditasi murni, bukan hasil konversi dari SCOPUS.

Journal management is a challenging matter. It is a job that requires persistence and an accurate strategy. Especially now that journals are also included in the vortex of ‘competition’ in the middle of the information universe of the digital era. One of the differences among hundreds of journals in Indonesia, national journals can use the SINTA index from the Ministry of Education and Culture and Research and Technology.

Therefore, on July 22, 2022, DPPM UII (Research Directorate at UII) invited all journal managers at UII to learn about journal management. This opportunity was used simultaneously to consult with presenters from the arjuna team of the Ministry of Education and Culture regarding the constraints and conditions of their journal in achieving the SINTA indexation.

Prof. Jaka Nugraha, Deputy Chancellor 1 of UII, said that his party admits that managing journals is difficult. Therefore, UII division I have designed a strategy so that there is an award and mechanism for the journal. “We are currently planning to provide incentives to journal managers who have succeeded in increasing their SINTA,” Jaka said in his speech.

“Later, the hope is with this, especially for managers, to improve performance. We hope that the enthusiasm for improving the quality of journal management, not only getting quality articles, including from the system, how to understand the algorithm for obtaining sinta indexation, we need to understand more clearly. Hopefully the requirements and mechanisms can be we fulfill it completely and there will be no more problems in indexing Sinta,” hoped Prof. Jaka closed his remarks.

Yoga Dwi Arianda, the speaker of this workshop, was also present to give several messages. Yoga is the Coordinator of Scientific Journals and Publications, Directorate of research, technology and community service, Ministry of Education and Culture. He invited all journal managers to achieve the SINTA 1 predicate because only half of the total journals at UII have been accredited. “Meanwhile, in SINTA 1 in Indonesia, there are only under ten journals whose accreditation results are Sinta 1. Because the others are SINTA 1 results from SCOPUS, not purely from the results of accreditation like the EJEM Journal at UII,” added Yoga.

The UII Communication Journal, which is now SINTA 2 predicated, is also considered to have the potential to get SINTA 1 from the results of pure accreditation, not the result of conversion from SCOPUS.

Iwan Awaluddin Yusuf, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

The Conversation Indonesia menerbitkan serangkaian artikel yang membahas kekerasan terhadap perempuan dalam rangka Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Sedunia pada 25 November.


Di Indonesia, perempuan ikut menggerakkan aksi solidaritas terhadap korban kekerasan atau yang dikenal dengan sebutan gerakan #MeToo. Salah satu penggerak aksi ini adalah para korban kekerasan seksual yang melaporkan pelaku pada polisi.

Baru-baru ini, dua kasus kekerasan seksual menarik perhatian publik. Kasus pertama adalah dugaan pemerkosaan terhadap mahasiswi Universitas Gadjah Mada oleh rekannya sendiri. Sedangkan kasus lainnya adalah dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah terhadap seorang guru di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Jika kesaksian perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Amerika Serikan telah berhasil menjatuhkan para pelaku yang merupakan pria yang berkuasa dan mendorong penegakan norma perusahaan yang menolak adanya pelecehan seksual, maka kesaksian para perempuan di Indonesia justru bisa membuat mereka terancam tindak pidana karena budaya yang menyalahkan korban (victim blaming) begitu meraja lela di Indonesia.

Media tidak hanya memainkan peran dalam melaporkan budaya victim blaming tersebut namun juga memperkuat keberadaannya.

Menyalahkan Korban

Kasus perkosaan di UGM menjadi perhatian publik setelah lembaga pers mahasiswa Balairung mengangkat laporan tentang kejadian yang menimpa Agni (bukan nama sebenarnya). Agni melaporkan telah dilecehkan secara seksual oleh teman satu programnya, HS, saat melakukan Kuliah kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku.

Balairung mewawancarai Agni dan menuliskan tanggapan pihak kampus atas laporan Agni. Menindaklanjuti laporan perkosaan yang disampaikan Agni, UGM langsung memberhentikan tersangka dari program KKN, sedangkan Agni tetap diperbolehkan melanjutkan programnya hingga selesai. Namun setelah KKN berakhir, Agni ternyata hanya memperoleh nilai C sementara teman-teman satu kelompoknya memperoleh nilai yang lebih tinggi.

Ketika mempertanyakan nilainya yang rendah, salah seorang pengelola KKN justru menyalahkan Agni karena bertindak ceroboh. Ia menilai peristiwa perkosaan itu telah membuat malu nama UGM di depan warga.

Dalam pertemuan lanjutan dengan universitas, seorang pejabat kampus justru membenarkan tindakan dosen pembimbing lapangan (DPL) yang memberi nilai C.

“Seandainya kamu tidak menginap di sana, peristiwa itu tidak akan terjadi”, tuturnya.

“Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi ikan asin pasti setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan,” seorang dosen lain memberikan pernyataan kontroversial.

Sementara itu di Lombok, seorang guru perempuan bernama Baiq Nuril yang merekam percakapan asusila yang dilakukan seorang kepala sekolah terhadap dirinya sebagai bukti untuk membela diri justru dihukum 6 bulan penjara dan didenda Rp500 juta. Ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena dianggap melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam menyebarkan dokumen elektronik dengan muatan asusila.

Kedua kasus tersebut hanyalah puncak gunung es dari budaya victim blaming yang cukup kuat terhadap korban tindak kekerasan seksual di Indonesia.

Budaya menyalahkan korban begitu lazim ditemui sehingga banyak penyintas akhirnya takut melaporkan kasus yang dialami. Para penyintas khawatir akan mendapat stigma buruk. Mereka juga dianggap merusak nama baik keluarga atau lembaga. Mereka bahkan dapat dikriminalisasi karena melaporkan pemerkosaan tersebut.

Peran media

Victim blaming adalah suatu bentuk sikap menyalahkan perempuan atas kekerasan seksual yang mereka alami. Gejala ini ditandai dengan kecenderungan memihak para pelaku. Masyarakat juga lebih banyak mendengarkan cerita versi pelaku.

Ketika menyalahkan korban, masyarakat terbiasa menuduh perempuan ikut bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Misalnya mereka bilang kasus itu bisa terjadi karena perempuannya mengenakan rok pendek, keluar malam sendirian, dan lain-lain. Mereka juga cenderung memberikan toleransi pada pelaku sehingga memungkinkan mereka untuk lepas dari hukuman.

Di Indonesia, kebiasaan menyalahkan korban sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki, ideologi yang mengakui hubungan tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Dalam budaya patriarki, posisi laki-laki lebih dominan, lebih berpengaruh, sementara perempuan diposisikan sebagai bawahan. Akibatnya, laki-laki menuntut rasa hormat dan kepatuhan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Media memainkan peran ganda dalam kasus kekerasan seksual. Di satu sisi, media adalah sumber informasi utama bagi masyarakat untuk mengetahui adanya kekerasan terhadap perempuan sekaligus menjadi salah satu sarana edukasi masyarakat dalam menyikapi kekerasan seksual. Media juga bisa memberi tempat agar suara penyintas didengar. Laporan Balairung tentang perkosaan Agni di UGM misalnya, telah menarik perhatian dan simpati publik atas kejadian tersebut.

Namun di sisi yang lain, liputan media juga dapat memperparah budaya menyalahkan korban. Hal ini mungkin terjadi karena media cenderung menampilkan perempuan sebagai sosok yang lemah, dan bukan penyintas yang bisa berjuang untuk mencari keadilan setelah diperkosa. Media juga cenderung menyalahkan perempuan dalam liputan tentang kekerasan seksual.

Sebuah penelitian tentang serangan seksual terhadap keturunan Tionghoa selama transisi politik Indonesia pada Mei 1998 oleh Susan Blackburn dari Monash University Australia menyoroti peran media dalam menyebarkan sikap menyalahkan korban. Temuan Susan menunjukkan bahwa pemberitaan media di Indonesia sering memojokkan perempuan dalam kasus kekerasan perempuan dengan mengatakan bahwa perkosaan bisa terjadi karena karena perempuan yang bersangkutan memancing hasrat seksual pemerkosa dengan pakaian “provokatif” dan “sensual”.

Sikap menyalahkan korban dalam masyarakat patriaki telah membuat para penyintas kekerasan seksual mengalami penderitaan ganda: diperkosa dan disalahkan. Ini akan menyebabkan para penyintas tidak merasa aman dalam membagikan cerita mereka kepada orang lain.

Sikap menyalahkan korban juga membawa dampak negatif lainnya.

Sosiolog Indonesia Ariel Heryanto melakukan penelitian lain tentang perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa dan dilecehkan secara seksual pada tahun 1998. Ia menemukan bahwa sebagian besar penyintas memilih untuk melarikan diri dari rumah dan berusaha menjalani hidup baru di tempat yang jauh karena trauma dan stigma buruk. Banyak yang mencoba mengatasi trauma tersebut dengan melupakan atau menyangkal bahwa kekerasan seksual telah terjadi. Akibatnya, kasus pemerkosaan tahun 1998 masih sulit untuk ditelusuri hingga saat ini.

Lingkungan masyarakat yang melanggengkan sistem patriarki juga memperkuat budaya memerkosa atau rape culture yang juga mendorong sikap menyalahkan korban. Budaya memerkosa didefinisikan sebagai lingkungan yang menoleransi perkosaan dan kekerasan seksual.

Budaya memerkosa ini dilestarikan melalui penggunaan bahasa yang merendahkan perempuan dengan mengomentari bentuk tubuh perempuan atau menggunakan lelucon seksual maupun kasus perkosaan sebagai bahan lelucon.

Bercanda tentang perkosaan mengabaikan fakta bahwa banyak penyintas pemerkosaan yang harus menghadapi luka fisik dan emosional sekaligus, karena setelah diperkosa (yang tidak pernah ia harapkan) ia juga disalahkan atau dijadikan bahan olok-olok oleh orang-orang di sekelilingnya.

Disadari atau tidak, kebiasaan ini membangun masyarakat yang mengabaikan hak dan keamanan perempuan.

Membela penyintas

Kasus perkosaan di UGM adalah momentum yang bisa mengingatkan bahwa kita harus mendukung para penyintas. Kita harus memprioritaskan untuk berdiri bersama penyintas. Dukungan publik untuk Baiq Nuril dari Lombok juga harus memicu reformasi penegakan hukum dan peradilan untuk melindungi korban kekerasan seksual di Indonesia.

Sikap menyalahkan korban dan budaya memerkosa adalah masalah yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Untuk melawannya, kita harus selalu mendukung penyintas, tidak hanya ketika kasus tersebut menimbulkan reaksi publik tapi setiap saat. Kita juga perlu mengubah cara pandang kita terhadap masalah pemerkosaan, dimulai dengan menghargai jenis pakaian apa pun yang mereka kenakan.The Conversation

Iwan Awaluddin Yusuf, Lecturer in Department of Communications, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber. Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

The development of digital technology now makes it easier to learn video-based content production. If you had to spend a lot of money in the past to get a good quality camera, now with smartphones, some of the obstacles in video production can be overcome. It’s cheap, fast, and quality can be considered sufficient.

However, learning to produce videos cannot be arbitrary. It’s not just about the ease and sophistication of the tool. Some aspects of the message, content, or ideas determine whether a video work can become an idol for the audience. That is what M. Iskandar T. Gunawan, a seasoned Growth and Development Film filmmaker, wanted to convey at the Video Production Nobar event on July 16, 2022.

Gunawan, as Iskandar is known, was one of the judges in appreciating the video work of UII Communications Department students, along with two other judges, namely Iven Sumardiantoro (Editor and Videographer for Iconisia TV) and Jogi Syamanta, Videographer for UII TV. The three became responders and assessors of student work in video production courses.

According to Gunawan, in the 45 works from each group, efforts have been seen to process ideas in the form of creative digital fans. “This effort can also be seen in the execution of the images and the packaging of the message. There is a video where I saw a very serious and universal message, and it was conveyed in good ways,” said Gunawan, a laboratory assistant at the UII Communications Department.

Gunawan also appreciated several students’ works that had the courage to develop wild and critical ideas. “I noted that there are several, for example, animation that is also interesting, one of those who have dared to choose the type of animation,” he said. “Including earlier there was the issue of loans (online loans) too, even though there were lacking details. For example, the talent is still looking at the camera, there are also other videos where the talent looks less brief.”

Not only short film videos. Many students also choose to produce videos of public service advertisements, commercial advertisements, talk shows, and video clips. One of them that received positive appreciation was the advertising video.

“This advertising video for people with disabilities is interesting, not only for activities but also supported by showing marginalized issues. It can synergize the story with the message you want to convey,” said Gunawan. Gunawan can say this because eating enough acid and salt touches on the issue of disabilities and minority groups in his documentaries.

Gunawan’s advice for videos with lots of dialogue elements is to prioritize vigilance. “In short films, be careful with playing dialogue, I can’t really catch the information from the dialogue. There are also those who use the local language dialect,” suggested Gunawan. According to him, dialogue is important, but don’t let it obscure the message you want to convey to the audience.

The course taught by lecturers Ratna Permata Sari, Ida Nuraini DKN, and Anggi Arif Fudin is always celebrated with an appreciation for work and awards every year. Anggi, one of the lecturers in charge of this course, said this learning pattern aims to enable students to make presentations and create creative, innovative, and inspiring works. “Later on these works can be their initial foothold to be able to make their final work,” said Anggi.

 

Perkembangan teknologi digital kini mempermudah pembelajaran produksi konten berbasis video. Jika dulu harus mengeluarkan kocek yang tak sedikit untuk mendapatkan kamera dengan kualitas bagus, kini dengan ponsel pintar sebagian kendala dalam produksi video bisa teratasi. Sudah murah, cepat, kualitas bisa dikata cukup.

Namun, belajar memproduksi video tidak bisa sembarangan. Ia tidak hanya melulu soal kemudahan dan kecanggihan alat. Ada aspek pesan, isi, atau ide yang menjadi penentu apakah suatu karya video bisa menjadi idola penontonnya. Begitulah yang ingin disampaikan M. Iskandar T. Gunawan, filmmaker kawakan dari Tumbuhkembang Film dalam acara Nobar Produksi Video, pada 16 Juli 2022.

Gunawan, sapaan Iskandar, adalah salah satu juri dalam apresiasi karya video mahasiswa Jurusan Komunikasi UII, bersama dua Juri lainnya yaitu Iven Sumardiantoro (Editor dan Videografer Ikonisia TV), dan Jogi Syamanta, Videografer UII TV. Ketiganya menjadi penanggap dan penilai karya mahasiswa di mata kuliah produksi video.

Menurut Gunawan, dalam 45 karya dari tiap kelompok, sudah terlihat upaya untuk mencoba mengolah ide, dalam bentuk digital fan kreatif. “Upaya ini juga terlihat dalam eksekusi gambar, dan pengemasan pesan. Ada video yang saya lihat pesannya sangat berat dan universal, dan telah disampaikan dengan cara-cara yang baik,” kata Gunawan, yang juga adalah Laboran di Jurusan Komunikasi UII.

Gunawan juga mengapresiasi beberapa karya mahasiswa sudah berani untuk mengeluarkan ide yang cukup liar dan kritis. “Saya mencatat ada beberapa, misalkan, animasi juga menarik, satu dari sekian yang telah berani memilih jenis animasi,” ujarnya. “Termasuk tadi ada isu pinjol (pinjaman online) juga, meskipun ada detil yang kurang. Misalnya talent-nya masih melihat kamera, ada juga video lain yang talentnya terlihat kurang brief.”

Tak hanya video film pendek. Mahasiswa juga banyak yang memilih produksi video Iklan Layanan masyarakat, Iklan Komersil, Talkshow, dan video clip. Salah satunya yang mendapat apresiasi positif adalah video iklan.

“Video iklan difabel ini menarik, tidak hanya aktivitas tapi juga didukung dengan menampilkan isu-isu yang terpinggirkan. Dia bisa mensinergiskan cerita dengan pesan yang ingin disampaikan,” papar Gunawan. Gunawan bisa berkata begini sebab cukup makan asam garam bersinggungan dengan isu difabel dan kelompom minoritas dalam film-film dokumenternya.

Saran Gunawan untuk video yang memasukkan banyak elemen dialog, adalah harus mengedepankan kewaspadaan. “Dalam film pendek, hati-hati dengan bermain dialog, saya tidak bisa begitu menangkap informasi dari dialognya. ada juga yang pakai dialek bahasa lokal,” saran Gunawan. Menurutnya, dialog itu penting, tetapi jangan sampai mengaburkan oesan yang ingin disampaikan pada khalayak.

Mata kuliah yang diampu dosen Ratna Permata Sari, Ida Nuraini DKN, dan Anggi Arif Fudin S, ini selalu dirayakan dengan apresiasi karya dan penghargaan tiap tahunnya. Anggi, salah satu dosen pengampu mata kuliah ini, mengatakan pola pembelajaran seperti ini bertujuan agar mahasiswa bisa presentasi dan membuat karya yang kreatif, inovatif dan inspiratif. “Nantinya karya-karya ini bisa jadi pijakan awal mereka untuk bisa membuat karya tugas akhir,” kata Anggi.

A lot of posts are produced every month on the website, but the number of visitors is often not maximized. In addition, the readability rate is also small. This can be seen from the duration of visits and long posts, but the time of holidays is only a few seconds. This is very unfortunate. Then how to optimize visits and existing content?

This was answered in the website optimization training held by the Public Relations of Universitas Islam Indonesia (UII) on July 4, 2022. This training invited Didik Arwinsyah, an online businessman and internet marketer. This event was intended to improve the affordability of official website content at Universitas Islam Indonesia. In addition to optimizing the affordability of writing, this training also aims to increase the capacity of website managers in all units and directorates at UII.

The problem that often occurs and is experienced by internet marketers or website managers is how to make their website at the forefront of search engines. “It is not because the writing is bad or uninteresting. Often website managers do not understand how to make their content appear on the first page of Google search when visitors type keywords in the search engine,” Didik Arwinsyah explained. “Internet marketers must pay attention to SEO so that our website, name, brand, or campus, appears on search engines,” Didik added.

Key Tips and Tricks to Optimize Campus Web SEO

SEO stands for Search Engine Optimization or commonly abbreviated as SEO. This SEO contains several references so that an article or content can be at the top of a search in a search engine like Google. Here, internet marketers or website managers must pay attention to several things, such as originality, writing length, and structure. And the most important thing is the content itself. Does our article answer visitors’ problems? Some tips are explained as follows.

Originality

The writing or article should not be the same as other media writing. The article must be original and not copied from existing papers to create SEO for See More Visitors. If the essay is the same, the writer must rewrite it with their grammar and paraphrasing.

Article length

The length of the article should be at least 500 words. Pieces that are too long must be very tiring to read. Articles that are too short will also not make for comprehensive writing. A well-written essay that can be tracked by Google search is usually around 500 words.

Problem-solver

Visitors or website visitors conduct searches to find information about certain things. Visitors are searching for answers to problems, and the article writing is an answer to the problem they are looking for. That means making sure the title of the article contains the keyword problem. And make sure the report includes the answer to the problem.

Articles that are different from other content creators

Articles on certain websites are often the same as on other websites. Usually, it only changes the language, but the essence is the same. Meanwhile, visitors are looking for many articles to find as much information as possible. Also, to find a different perspective from other articles. If one article with another only presents the same thing, of course, it will only be skipped by visitors. It is important to have content that has a different view and substance from other websites.

The Covid-19 pandemic has clearly limited space for movement. The short period bored everyone, and people wanted to immediately engage in activities within those limitations. The entertainment world is also looking for alternative solutions to keep the economy running. Many K-Pop music industries are also trying to make digital concerts amid the pandemic.

One of the phenomena of this digital concert was brought up by Salsabila Dewi Kemuning for her to explore more deeply as the topic of her thesis research. Results of her research, in addition to being presented in the final exam, She also presented in international seminars 6th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS). On Tuesday, 28 June 2022, this research will also be presented in the Monthly Discussion Center for Study and Documentation of Alternative Media (PSDMA) NADIM Communication Department UII.

Kemuning’s research is entitled Digital K-Pop Concert Room. This research wants to know three things that are also stated in the research objectives. The first problem is how to construct liveness in digital concert shows. The second is how the audience positions themselves in the digital liveness concert ‘space.’

Third, how does this K-POP digital concert-show work as an ideology that produces liveness and space? The first and second points are how the concert organizers make the audience and the concert feels so real as if they feel the atmosphere of a real concert.

Ethnographic Qualitative Research 

This research uses an ethnographic qualitative approach. The way to do this is by joining the informants when watching the concert digitally. After that, the researcher will record all behavioral expressions, expressions, and habits made by the informants during the digital concert. Usually, the informants and researchers already have a close and fluid relationship, so all expressions and behaviors that appear are very natural.

The Kemuning process in selecting resource persons must be selective so that the data generated in the research is credible. The resulting data can certainly be justified scientifically. Kemuning is looking for college students who are true K-pop fans. At least the informant has been fond of K-Pop for three years. “What is certain is that he or she will watch a digital concert,” said Kemuning, referring to her research sources who are digital concertgoers. The next criterion is that the source is a reputable fandom, meaning those closest to him/ her know very well that he/ she is a K-Pop fandom.

During the research period, Kemuning conducted interviews and direct observations related to the experience of the informants watching. Kemuning recorded what they felt and saw their expressions while watching, as well as the expressions they said while watching or after watching.

You can watch the video here too:

Integrating communication and Islamic studies is often only done with a normative perspective and abandoning Western-style critical thinking. In fact, in the era of disinformation, there is the importance of tabayyun journalism. This is a dialog process between Muslim and Western academics, so there is a process of synthesis or dialog.

To dialogize Islam and Communication, lecturers of Communication Sciences at the Universitas Islam Indonesia wrote the book “Islam in Communication Studies”. This book was launched in conjunction with the 27th Anniversary of the Faculty of Psychology and Social Culture (FPSB) UII on May 21, 2022. The book was dissected by two academics, Dr. Basuki Agus Suparno, M.Si. (Master of Communication Studies Program at UPN “Veteran” Yogyakarta) and Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si. (Lecturer of Communication Science Study Program FPSB UII).

In dissecting this book, Basuki noted that to integrate Islam and communication, one must have a valid understanding. “The validity of the western perspective, also has validity in understanding the Islamic perspective itself. because if we integrate the two without valid understanding, there will be overlap and chaotic integration studies,” said Basuki.

Masduki, one of the book reviewers who is also a lecturer in the Communication Department at UII, appreciated the academic spirit, examining the Islamic perspective historically and seeing the challenges of communication and Islamic studies in the future. In terms of history, Masduki explained that the phenomenon of celebrity academics has now been criticized in Ian Fleming’s Dark Academy discourse. The themes of communication studies that refer to the government have also been criticized until academics who fight against ideology were born. “We must try to do a de-western perspective with the marginalized or periphery, the writing must depart from criticism. if we refer to Adorno and friends of the Frankfurt school, we can take a historical approach. For example, by reading Islam and mustada’fin, and criticisms of a political economy nature,” Masduki explained.

So far, said Masduki, academics have made Islam a frame, but the communication that is built remains a Western mindset. “This is a simplification. It should be like an Islamic political history book. He sees Islam as a long civilization. Criticizing Islam,” said Masduki.

Masduki explained, if then referring as recommended by Hassan Hanafi, after we criticize Communication Studies from a western perspective, we must look at this empirical one, “what these friends do in this book. For example, how Islam in digital communication. Other challenges also arise, for example, how we can see the philosophical dimension of this, what is the epistemology of Islamic PR, what is the ontology, what is the axiology,” said Masduki,

In addition to the challenges of criticizing the perspective of Western thought in the Islamic context, there are also challenges in philosophical dimensions such as epistemology, ontology, and axiology. And the next challenge, said Masduki, is the institutional challenge. “We, in UII Communication Department, will establish Kaliurang School or Mazhab Kaliurang. We start by making UII way with Kaliurang School.”

Mengintegrasikan kajian komunikasi dan Islam seringkali hanya dilakukan dengan perspektif normatif dan meninggalkan pemikiran kritis ala Barat. Padahal di era disinformasi ada pentingnya tabayyun jurnalisme. Hal ini adalah proses dialog antara akademisi muslim dan barat sehinga ada proses sintesis atau dialog.

Dalam rangka mendialogkan Islam dan Komunikasi, dosen-dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menulis Buku “Islam dalam Studi Komunikasi”. Buku ini kemudian diluncurkan bersamaan dengan Milad ke-27 Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB) UII pada 21 Mei 2022. Buku ini dibedah oleh dua orang akademisi yakni Dr. Basuki Agus Suparno, M.Si. (Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta) dan Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si. (Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII).

Dalam membedah buku ini, Basuki memberikan catatan bahwa untuk Mengintegrasikan islam dan komunikasi,harus memiliki pemahaman yang sahih. “Kesahihan dari perspektif barat, juga punya kesahihan dalam memahami perspektif islam itu sendiri. karena kalau kita mengintegrasikan keduanya tanpa memahami secara sahih, maka akan terjadi tumpang tindih dan carut marut studi integrasilnya,” kata Basuki.

Masduki, salah satu pembedah buku yang juga Dosen Ilmu Komunikasi UII, memberikan apresiasi atas semangat akademis, menelaah perpektif islam secara historis dan melihat tantangan studi komunikasi dan islam ke depan. Dilihat dari sejarahnya, Masduki menjelaskan bahwa kini telah banyak dikritik fenomena selebritas akademisi dalam wacana Dark Academy dari Ian Fleming. Tema-tema studi komunikasi yang merujuk ke pemerintah ini juga menuai kritik hingga lahirlah akademisi yang melakukan perlawanan ideologi. “Kita harus mencoba melakukan de-western perspective dengan yang terpinggirkan atau periphery, tulisan itu harus berangkat dari kritik. kalau mengacu dari adorno dan kawan-kawan mazhab frankfurt, bisa pendekatan historis. Misal dengan membaca islam dan mustada’fin, dan kritik-kritik yang bersifat ekonomi politk,” jelas Masduki.

Selama ini, kata masduki, akademisi hanya mejadikan Islam sebagai bingkai, tetapi komunikasinya yang dibangun tetap pola pikir Barat. “ini menjadi penyederhanaan. Seharusnya seperti buku sejarah politik islam. Dia melihat islam sebagai peradaban yang panjang. Melakukan kritik dalam islam,” kata Masduki.

Masduki menjelaskan, jika kemudian merujuk seperti yang dianjurkan Hassan hanafi, setelah kita kritik Kajian Komunikasi yang perspektif barat, lalu kita harus lihat yang empiris ini, “yang dilakukan kawan-kawan ini di buku ini. Misalnya bagaimana islam in digital communication. Tantangan lain juga muncul misalnya bagaimana kita bisa melihat dimensi filosofis dari sini, epistemilogisna apa ini dari islamic PR, ontologisnya apa, aksiologisnya seperti apa,” ungkap Masduki,

Selain tantangan kritik perpektif pemikiran Barat dalam konteks Islam, juga tantangan dimensi filosofis seperti epistemologis, ontologis, dan aksiologi. Dan tantangan selanjutnya, kata Masduki adalah tantangan kelembagaan. “Kita, di Komunikasi UII, akan mendirikan Kaliurang School atau Mazhab Kaliurang Kita mulai dengan membuat UII way dengan Kaliurang School.”

Pandemi Covid-19 jelas membuat ruang gerak terbatas. Rentang waktunya yang tidak sebentar jelas membuat semua orang bosan dan ingin segera berkegiatan dalam keterbatasan itu. Dunia hiburan juga mencari alternatif solusi agar tetap bisa menjalankan roda ekonominya. Banyak industri musik K-Pop pun menjajal untuk membuat konser digital di tengah pandemi yang melanda.

Salah satu fenomena konser digital ini diusung oleh Salsabila Dwi Kemuning untuk dia telusuri lebih dalam sebagai topik riset skripsinya. Hasil risetnya, selain dia paparkan dalam ujian akhir, juga dia presentasikan dalam seminar Internasional Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) ke-6. Pada Selasa, 28 Juni 2022, riset ini juga dipaparkan di Diskusi Bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Ilmu Komunikasi UII.

Riset Kemuning ini berjudul Ruang Konser Digital K-Pop. Riset ini ingin mengetahui tiga (3) hal yang juga tertuang dalam ‘tujuan penelitian’. Pemasalahan yang pertama adalah bagaimana mengkonstruksi liveness dalam tayangan konser digital. Kedua adalah bagaimana penonton memposisikan diri dalam ‘ruang’ konser liveness digital.

Ketiga, bagaimana tayangan konser digital K-POP ini bekerja sebagai ideologi yang memproduksi liveness dan keruangan. Poin pertama dan kedua ini sebetulnya adalah bagaimana penyelenggara konser membuat seolah penonton dan konsernya terasa begitu nyata seolah merasakan atmosfir konser nyata.

Riset Kualitiatif Etnografis

Riset ini menggunakan pendekatan kualitatif etnografis. Cara melakukannya adalah dengan ikut serta dengan narasumber ketika menonton konsernya secara digital. Setelah itu, peneliti akan mencatat segala ekspresi perilaku, ungkapan, kebiasaan yang dilakukan oleh narasumber saat konser digital tersebut berlangsung. Biasanya narasumber dan peneliti sudah memiliki hubungan yang cair dan dekat, sehingga semua ekpresi dan perilaku yang muncul sangat natural.

Proses Kemuning memilih narasumberpun harus selektif supaya data yang dihasilkan dalam penelitiannya kredibel. Data yang dihasilkanpun tentu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kemuning mencari mahasiswa kuliah yang benar-benar penggemar K-pop. Setidaknya, informannya sudah menggemari K-Pop tiga tahun. “Yang pasti ia akan menonton konser digital,” kata Kemuning merujuk pada narasumber penelitiannya yang adalah penonton konser digital. Kriteria berikutnya adalah narasumber merupakan fandom yang punya reputasi, maksudnya orang-oarng terdekatnya tahu betul bahwa ia adalah fandom K-Pop.

Selama masa penelitian, kemuning melakukan wawancara dan observasi langsung terkait pengalaman narasumber menonton. Kemuning mencatat apa yang dirasakan, melihat ekspresi ketika menonton, juga ungkapan yang mereka ucapkan saat menonton atau setetelah menonton.