Reading Time: < 1 minute

Welcoming Day Komunikasi UII:

Pengenalan Pembelajaran Daring

Jadwal:

Rabu 23 September 2020

13.00 – Selesai

Pembicara:

Herman Felani, S.S., MA

Turn On Camera, Set Your Hometown on Virtual Backgrounds, And Prepare Yourself

Reading Time: 2 minutes

Pada era digital ini, situasi dunia maya semakin crowded. Banyak persebaran berita palsu dan makin lama semakin sulit untuk mencari mana fakta dan opini. Maka dari itu untuk menghindari dari berita palsu dan tidak jelas kebenarannya, mahasiswa diharuskan untuk berfikir kritis dalam mencari fakta suatu informasi. Jika mahasiswa tidak memiliki sifat kritis bisa menjadi bom waktu dan berbahaya pada masa depan mereka.

Teatime episode 11 kali ini  berusaha menjawab itu. Kali ini mengangkat tema tentang “Bridging program” di International Program Komunikasi UII.  Pada diskusi ini menghadirkan dosen internal dari IP Communication (IPC) UII. Diskusi pada 11 September 2020 ini, sangat menarik karena pada diskusi ini tuan rumah akan membawakan tema yang menjadi ciri khas dari program IPC.

Acara diskusi ini disiarkan lewat Live Instagram IPC (@ip.communication.uii). Nadira Muthia Subhari selaku tuan rumah dari IPC mendampingi diskusi dan berbagi tentang informasi terkait dengan Bridging Program bersama dosen Ilmu Komunikasi IPC Mr. Ginanjar Gailea. Diskusi memberikan gambaran khususnya bagi mahasiswa baru IPC.

Maka jurusan Ilmu Komunikasi membuka mata kuliah khusus yang berbeda dengan program ilmu komunikasi regular bernama “Bridging Program”. Pada bridging program mahasiswa akan berdiskusi bersama teman dan dosen bagaimana cara menjadi seoarang mahasiswa yang dapat berfikir kritis,

Berfikir kritis merupakan keterampilan yang membantu mahasiswa untuk membedakan mana yang fakta, opini, dan hoax. Bridging Program adalah fasilitas khusus yang diberikan kepada semua program mahasiswa internasional UII. Fasilitas ini membantu mahasiswa internasional dalam mempersiapkan mereka beradaptasi di lingkungan pembelajaran Universitas dan membantu dalam mata kuliah lain.

Kelas Bridging juga berusaha mengubah cara pandang mahasiswa. Biasanya ketika masih di SMA, pelajar dipandu langkah demi langkah dengan detil, kini ketika masuk lingkungan universitas, bahkan dosen hanya memberikan panduan dan sisanya diskusi dan belajar mandiri. Dunia kampus memungkinkan dosen sebagai jembatan ilmu, bukan menjadi sentral layaknya jaman SMA. Paradigma ini yang harus dipahami oleh mahasiswa baru di IPC.

“Saya akan mendorong mahasiswa untuk menikmati kelas saya. Saya menyadari bahwa setiap mahasiswa memiliki tingkat kapasitas intelektual yang berbeda tetapi itu bukan ukuran utama di kelas saya. Saya ingin dari siswa saya adalah menjadi proaktif dan percaya diri,” kata Ginanjar Gailea.

Bridging program juga dapat mengasah keterampilan (Skill) seorang mahasiswa untuk menjadi kreatif dan kritis serta memiliki intuisi yang sangat baik, Jika mahasiswa memiliki sifat tersebut nantinya akan menjadikan mahasiswa yang berinovasi dan siap menghadapi dunia luar. Mr. Ginanjar mengatakan tidak ragu-ragu jika ada mahasiswa IP yang ingin konsultasi tentang programnya. “Tak usah membangun sisi menakutkan dari kelas kuliah, kelas saya buat menyenangkan kok,” sambung Ginanjar.

Apa saja keterampilan yang dipelajari bersama dalam bridging program? “ada macam-macam,” kata Ginanjar. “Misalanya kita akan belajar bersama tentang bagaimana menjadi pembelajar mandiri, academic writing, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan lainnya,” katanya. Keterampilan ini akan sangat berguna jika ia dipahami dengan baik dan selalu dipraktikkan menurutnya.

Ia selaku dosen IP akan menerima dengan baik agar mahasiswa tersebut dapat menjadi lebih baik dan siap dengan matang menghadapi dunia internasional. Mr. Ginanjar berharap adalah ketika pandemi selesai, mahasiswa ilmu komunikasi IPC siap untuk keluar tanpa ragu dalam menghadapi segala kondisi.

————-

Penulis: Ibnu Mufti Sumarno, Mahasiswa Komunikasi Angkatan 2016, Magang di Ilmu Komunikasi UII (International Program)

Penyunting: A. Pambudi W.

Reading Time: 2 minutes

Musik selalu menemani aktifitas sehari-hari kita. Musik juga hadir sejak jaman dahulu. Demi kepentingan kajian studi di Indonesia, maka tulisan ini akan diperpendek mulai jaman kolonial dan pra kemerdekaan.

Dalam bincang sejarah yang diadakan Forum Amir Effendi Siregar (AES), Idham Resmadi, Dosen Industri Kreatif dari Telkom University, membagi sejarah kajian musik dalam 4 fase periodesasi. “Dimulai dari jaman kolonial dan pra kemerdekaan, paca kemerdekaan, masa industri musik dan pasca reformasi,” kata Idhar pada 19 September 2020.

Pada acara yang diadakan oleh PSDMA Nadim Komunikasi UII, ini Idhar mengatakan bahwa fase pertama yaitu di masa kolonial muncul Radio NIROM, dimana penjajah Belanda sehari hari selalu menikmati musik. Lalu muncul juga soeara NIROM yang berbentuk leaflet. Isinya adalah susunan acara di radio tersebut.

Lama-lama terjadi perebutan dan pengaruh budaya mulai berkembang. “Misalnya antara penggemar keroncong tradisional dengan keroncong yang agak kebarat-baratan. Bakal berkembang istilah, arena kontestasi budaya, ada istilah keroncong gado-gado karena ada anggapan pengaruh barat itu ada pengaruh kebudayaan dan nilai-nilai negatif,” jelas Idhar.

Fase kedua adalah pascakemerdekaan. Di jaman ini musik belum memasuki era komersialisasi, dan masih terjadi perebutan pengaruh antara Timur dan Barat. Aura perebutan wacana nilai budayanya masih kuat, kata Idhar. Tapi di media cetak seperti Diskorina, perdebatan dan kritik tak lagi keras seperti sebelumnya. Dan cenderung berisi informasi ringan seperti astrologi, cerita humor, teka teki silang, dll. “Saat itu, budaya Barat lebih mudah diterima oleh remaja.”

Di tahun sekitar 65an, musik menjadi alat propaganda politik orde Baru. Dulu musik dipakai oleh ABRI (kostrad), bahkan juga melalui pertunjukan musik. “Bahkan strategi budayanya itu tentara sampai punya grup band sendiri,” imbuhnya.

Setelah itu ada perebutan wacana “Kampungan vs Gaul” antara penggemar musik “Dangdut vs Rock” yang cukup ramai. Opini seperti ini dibawa oleh majalah Aktuil. Di majalah itu juga, trend busana juga mudah ditetima dan diadaptasi oleh masyarakat Indonesia.

Di tahun 1970an-1980an musik berkembang. Dan di tahun tahun ini musik memasuki dunia industri. Banyak juga berkembang tabloid dan majalah musik yang isinya menunjang industri musik dari aspek ekonomi. Majalah itu isinya tak jauh dari hiburan, gaya hidup, atau Gosip. “Terjadilah simbiosis mutualisme antara musik dan media. Media menjadi penunjang promosi musik, dan musik menjadi komoditas.”

Reading Time: < 1 minute

Teatime 12th edition will invite:

Ade Hidayat – Filmaker/

Founder Banua Filmmaker Forum/ Founder Kalimantan Aruh FIlm Festival

(Alumni of communication Science Department, batch 2005).

The next International Program of Communication’s Teatime

Theme:
Sharing Experiences on Building A Film Ecosystem In Kalimantan

Live On Instagram

Schedule

Sunday, September, 18th, 2020
Start at 4pm (UTC+7)Keep update on IGTV
@ip.communication.uii
@adedae

Reading Time: < 1 minute

Webinar Teknik Reportase dan Foto Jurnalistik bersama Komunikasi UII dan SMA 1 Sleman

Sabtu – 19 September 2020

Pukul 09.30-11.00

Via Zoom Conference:

Kelas akan dipandu dan diisi oleh

Narayana Mahendra P

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII

Galih Yoga

Freelance Photographer

Siti Fauziah

Mahasiswi Ilmu Komunikasi UII

 

 

 

 

Reading Time: 3 minutes

IP Programs During the Pandemic: Keeping Up with Strict Health Protocols. The Covid-19 pandemic has affected many activities, especially teaching activities in schools and colleges of higher education. The Universitas Islam Indonesia (UII) is no exception, which has set new rules for activities during the pandemic period. One example is the UII International Program (IP). Activities here comply with the rules by complying with the Rector’s Circular and government protocols during the pandemic.

IP UII has one of the excellent programs related to global mobility or international mobility. Through interviews with the Directorate of Partnerships / International Affairs Office (DK / KUI), Dian Utami, many programs of global mobility are  still possible to be implemented online. For example Summer Programs, Internships, Lecture Series, Web Seminars, Student Exchange, and Double Degree. Bridging Program in the form of the development of skills such as academic and learning skills training is also implemented in the form of online lectures. The form can be asynchronous or synchronous according to the Circular of the Rector of UII.

 

Some were postponed, some changes from offline to online

In the Communication Science Department, especially the International Program of Communication (IPC), activities related to global mobility such as the annual Passage to Asean (P2A) program and Student Exchange had to be postponed. Even though they had received offers to implement the P2A program virtually, the IPC still chose to postpone the P2A program. The delay is carried out indefinitely.

“We still hope that there will be an opportunity to get hands-on experience in the P2A program. By going directly abroad. So, currently we can only provide tell to students regarding the postponement of several programs,” said Ida Nuraini Dewi KN, as the IPC secretary.

Various interesting programs with international insight still continue, said this specialist lecturer in journalism and media studies. IPC programs implemented during the pandemic, among others is International Webinar held in May and Career Webinar held in August. There are also Teatime’s regular Talk Show and  Annual Workshop with the theme The Future of Globalization which was held last July.

The Annual Workshop invited Assoc. Prof. Dr. Huey Rong Chen from the Graduate School of Journalism, Chinese Culture University, Taiwan. Meanwhile, the Teatime Talk Show invited Zaki Habibi, a PhD candidate from Lund University, Sweden.

If usually the Annual Workshop is held offline and is open to IPC students and the public, then during the pandemic period the program must be transferred to online. Ida said, in general, several programs such as seminars would still be held even though they were online. Collaboration and research requiring face-to-face meetings and overseas trips where possible will be carried out online.

International Programs in Other Departments / Major

Similar conditions also occur in the International Relations Department. Activities related to global mobility cannot be carried out during the pandemic period. Karina Utami Dewi, as the Secretary of the International Program (IP) of International Relations (IR) Department confirmed this.

Even so, several programs that have been planned and will be implemented in the odd semester of 2020/2021. For example a visiting professor from NUS (National University of Singapore) who will teach in IP for 1 semester. Other programs include implementing IELTS simulations for all IP students and providing mentor academic facilities. Academic mentors are to assist IP students in implementing online learning.

During the pandemic period, the programs that can be implemented in the IP of IR Department vary. For example the Bridging Program and Inspiring Lecture with the Ministry of Foreign Affairs. There are also several guest lectures from experts in various subjects in IP. These programs are carried out as usual. The only difference is the form of implementation which is done online.

Even so, the implementation of the program ran smoothly and in general IP students were able to participate well. “Of course there are technical barriers such as connections. This is because most of the IP students return to their hometown. Not all of them have stable internet connections there,” said Karina when interviewed via email.

UII Internationalization Globally 

Dian said that this is understandable during the pandemic period that many programs cannot be implemented as usual. Programs that cannot be implemented can be transferred to other programs. In essence, other activities have benefits and outcomes that support achieving UII Strategic Plan. Including increasing the internationalization of UII globally.

DK / KUI provides facilities in the form of services related to the initiation of new partners proposed by the Department or Faculty. Partners come from both industry, government, academia, and society. In addition, DK / KUI also continues to play a role in delivering information by publishing international activities within UII. Whether it’s mobility activities for lecturers, students, and students.

———–

Author: Fitriana Ramadhany (Student of the Department of Communication Science UII – Internship for the International Program of Communication UII)

Editor: A. Pambudi W

 

 

Reading Time: 3 minutes

Pandemi Covid-19 telah mempengaruhi banyak aktivitas, terutama pada kegiatan mengajar di sekolah dan perguruan tinggi. Tak terkecuali Universitas Islam Indonesia (UII) yang menetapkan aturan baru pada kegiatan selama masa pandemi. Salah satu contohnya adalah International Program (IP) UII. Kegiatan-kegiatan di sini patuh pada aturan dengan mematuhi Surat Edaran Rektor dan kebijakan protokol pemerintah selama pandemi.

IP UII memiliki salah satu program unggulan yang berkaitan dengan global mobility atau mobilitas internasional. Melalui wawancara dengan Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional (DK/KUI), Dian Utami, banyak program global mobility  masih memungkinkan untuk dilaksanakan secara daring. Misalnya Summer Program, Magang, Lecture Series, Seminar Web, Student Exchange, dan Double Degree. Kegiatan Bridging Program yang berupa pengembangan skill seperti ‘academic and learning skill training’ juga dilaksanakan dalam bentuk perkuliahan daring. Bentuknya bisa asinkron maupun sinkron sesuai dengan Surat Edaran Rektor UII.

 

Beberapa ditunda, Beberapa Konversi dari Luring ke Daring

Pada program studi Ilmu Komunikasi khususnya International Program of Communication (IPC), kegiatan yang berkaitan dengan global mobility seperti program tahunan Passage to Asean (P2A) dan Student Exchange harus ditunda. Meskipun telah mendapatkan penawaran untuk melaksanakan program P2A secara virtual, pihak IPC tetap memilih untuk menunda program P2A. Penundaan dilakukan hingga batas waktu yang tidak dapat ditentukan.

“Kami masih berharap nantinya akan ada kesempatan untuk mendapat pengalaman langsung di program P2A. Dengan pergi langsung ke luar negeri. Maka, saat ini kami cuma bisa memberikan pemahaman kepada mahasiswa terkait penundaan beberapa program,” ujar Ida Nuraini Dewi KN, selaku sekretaris IPC.

Beragam program menarik berwawasan internasional tetap berlanjut kata  Dosen Spesialis kajian Jurnalisme dan Media ini. Program-program IPC yang dilaksanakan selama pandemi antara lain International Webinar yang dilaksanakan pada bulan Mei dan Webinar Karir yang dilaksanakan pada bulan Agustus. Ada pula acara bincang-bincang rutin Teatime dan  Annual Workshop bertema The Future of Globalization yang dilaksanakan pada Juli lalu. Annual Workshop sempat mengundang Assoc. Prof. Dr. Huey Rong Chen dari Graduate School of Journalism, Chinese Culture University, Taiwan. Sedangkan Talk Show Teatime sempat mengundang Zaki Habibi, PhD kandidat dari Lund University, Swedia.

Apabila biasanya Annual Workshop dilaksanakan secara luring dan terbuka untuk mahasiswa IPC dan umum, maka selama masa pandemi program tersebut harus dialihkan ke media daring. Ida mengatakan, secara umum beberapa program seperti seminar tetap akan dilaksanakan meskipun secara daring. Kerjasama dan riset yang memerlukan pertemuan tatap muka dan perjalanan luar negeri pun apabila memungkinkan akan dilaksanakan secara daring.

Program internasional di Jurusan/ Prodi Lain

Kondisi serupa juga terjadi pada Program Studi Hubungan Internasional (HI) UII. Kegiatan yang berkaitan dengan global mobility tidak dapat dilaksanakan selama masa pandemi. Karina Utami Dewi, selaku Sekretaris Program Studi International Program (IP) Hubungan Internasional (HI) mengkonfirmasi hal tersebut. Meskipun begitu, beberapa program yang telah direncanakan dan akan dilaksanakan pada semester ganjil 2020/2021 tetap berlanjut. Contohnya visiting professor dari NUS (National University of Singapore) yang akan mengajar di IP selama 1 semester. Program lainnya misalnya pelaksanaan simulasi IELTS bagi seluruh mahasiswa IP dan  pemberian fasilitas akademik mentor. Akademik mentor adalah sebagai pendamping mahasiswa IP dalam melaksanakan pembelajaran daring.

Selama masa pandemi program yang dapat terlaksana di IP HI beragam. Misalnya Bridging Program dan Inspiring Lecture bersama Kementerian Luar Negeri. Ada juga beberapa kuliah tamu dari pakar di berbagai mata kuliah di IP. Program-program tersebut dilaksanakan seperti biasa. Bedanya hanya bentuk pelaksanaan yang dilakukan secara daring.

Meskipun begitu, pelaksanaan program berjalan dengan lancar dan secara umum mahasiswa IP dapat berpartisipasi dengan baik. “Tentu saja ada hambatan-hambatan teknis seperti koneksi. Sebab, sebagian besar mahasiswa IP pulang ke daerah masing-masing. Tidak semuanya memiliki koneksi internet yang stabil,” jawab Karina ketika diwawancara via surel.

Internasionalisasi UII Secara Global

Berkaitan dengan program-program yang tidak dapat terlaksana, Dian mengatakan hal tersebut adalah hal yang dapat dimaklumi selama masa pandemi. Program yang tidak dapat dilaksanakan dapat dialihkan ke program lain. Intinya aktivitas lainnya itu  memiliki kemanfaatan dan luaran yang mendukung pencapaian Rencana Strategis UII. Termasuk untuk peningkatan internasionalisasi UII secara global.

DK/KUI  memberikan fasilitas berupa layanan terkait inisiasi mitra baru yang diusulkan oleh Program Studi atau Fakultas. Mitranya berasal baik dari industri, pemerintah, akademisi, maupun masyarakat. Selain itu, DK/KUI juga terus berperan menyampaikan informasi dengan mempublikasikan aktivitas internasional di lingkungan UII. Baik itu kegiatan mobilitas untuk dosen, tenaga didik, maupun mahasiswa.

———–

Penulis: Fitriana Ramadhany (Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UII – Magang Program Internasional Jurusan Ilmu Komunikasi UII)

Editor: A. Pambudi W

 

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 10)

Topik:

Membaca Ulang Media Musik Indonesia: Selera, Kelas, dan Warisannya

Pembicara:

Idhar Resmadi

Penulis dan dosen di Fakultas Industri Kreatif Telkom University. Lebih banyak menulis tentang musik dan budaya populer. Penerima hibah riset musik dari British Council 2019 dan hibah kebudayaan Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2020 dari Kemendikbud. Bukunya antara lain Music Records Indie Label (2008), Based on A True Story Pure Saturday (2013), Jurnalime Musik dan Selingkar Wilayahnya (2018), dan beberapa buku antologi lainnya.

Jadwal:

Sabtu, 19 September 2020
Pukul 10:00 WIB
Via Zoom

dan

Registrasi:

 

 

Reading Time: 3 minutes

During the pandemic, news gathering in various news websites must continue. If as journalists in their usual conditions they have to go out to find news and conduct interviews, then there is a slight difference during a pandemic. That’s the story of Retyan Sekar, a journalist, on the talk show ‘Teatime’ made by Department of Communication International Program (IP) Universitas Islam Indonesia (UII) on August 30, 2020.

For almost an hour, guided by Annisa Putri Jiany, Retyan shared stories about pursuing a career path as a journalist. Live Instagram Teatime’s theme “Study Life Impact to Carrier”, explores the experiences of this Communication Science’s alumni batch 2015.

Retyan, her nickname, said that working in online media must have a way to keep sources and finish news in all conditions. During a pandemic, interviews can be done online and some information can be searched through social media. In stark contrast to the pre-pandemic era.

Even though at first glance his career looks smooth, in fact his passion for journalism was not obtained in a short time. She has cultivated his experience in journalism since childhood.

Early Interest in Journalism

Since childhood, Retyan has always liked to participate in various competitions such as storytelling and poetry. This is what made her accustomed to writing and speaking in public. Retyan also loves to talk in front of the camera and has been familiar with broadcasting since she was nine years old. Until 2007, Retyan was invited to participate in making a documentary film and was selected as a young reporter.

When studying at the Universitas Islam Indonesia (UII), Retyan had joined the UII student press agency known as Himmah. Retyan said, through Himmah, he learned a lot about writing, the basics of journalism, teamwork, and sensitivity to internal issues. In addition, She also gained experience in dealing with the global world when She joined UII MUN and Jogja International Delegates.

Retyan’s interest in journalism led her to choose UII Communication Science Department. “From the beginning, I entered Communication Science already steadily entering specialization in Journalism. In my opinion, journalism is really fun. So we have like-minded friends to exchange ideas as well as be friends to play with. Because since I was little I often participated in competitions that were related to public speaking, without realizing it that shaped me,” said Retyan.

Reaching and Living The Dream Career Path

According to Retyan, who currently works at Kumparan online media, initially She just wanted to know how online media works. While at Kumparan, he was taught a lot on how to write and structure correctly. This made her determined to continue to improve writing patterns.

Despite having an internship at Kompas TV, since graduating Retyan has not been too confident about his writing skills. So She chose to look for work challenges that required her to develop her writing skills.

However, is it enough to achieve a dream career only with the support of enthusiasm or interest? Retyan advised that to achieve dreams, the key is to set goals. According to her, because by having a goal, the decisions made will feel more rational.

Even though the pandemic has hit and hindered his work, She advised to always be smart in seeing the positive side of all events. “Life is not a competition. These are tough times for everyone, and don’t beat yourself up for everything that happens in situations like this. Because the target that has been planned is chaotic does not mean you can blame yourself. Negative thinking is okay, but try to take the positive side. We can actually learn anything in the current situation, for example English, and so on,” She said.

——-

Writer: Fitriana Ramadhany (Student of Communication Major of UII, Internship at International Program of Communication Science Department UII)

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: < 1 minute

Banyaknya akun palsu di medsos bisa jadi karena pemabahan tentang internet sehat masih rendah. Diperlukan literasi yang berkelanjutan untuk mencegah hal ini.

Dosen Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Raden Narayana Mahendra Prastya menyebut media sosial (medsos) memang memilik sifat yang sangat bebas. Kendali sepenuhnya berada di tangan penggunanya. Ini diperparah dengan pendaftaran akun medsos sangat mudah dan bisa berisi identitas palsu. Kondisi ini mengakibatkan banyaknya hoax yang beredar.

Meski demikian, menurut Narayana masyarakat bisa bersama-sama mencegah hal ini. Setiap medsos seperti facebook, twitter maupun youtube memiliki mekanisme filter masing-masing. “Masyarakat dan publik bisa sama-sama mengamati. Jika ada akun yang tidak benar kita bisa ramai-ramai melaporkannya dengan mekanisme report spam agar akun tersebut ditutup,” jelasnya.

Selain itu, kesadaran masyarakat terhadap pengguna internet sehat harus juga didengungkan terus. Masyarakat harus diberikan literasi yang cukup agar tidak mudah mempercayai hoax yang banyak beredar di internet.

Narayana mengusulakan agar ada pendidikan internet sejak dini yang dilakukan oleh pemerintah. “Sudah saatnya pendidikan tentang internet sehat dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah dari kelas 1 hingga kelas 9,” terangnya.

Literasi ini menurutnya lebih tepat dilakukan dibanding dengan melakukan pembatasan misalnya dengan penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai syarat membuka akun medsos. Literasi yang selama ini sudah dilakukan masih terbatas oleh kalangan LSM dan kampus-kampus, sehingga belum bisa dilakukan secara kontinyu.

“Saya kurang sependapat penggunaan KTP untuk membatasi akun Medsos. Menurut saya yang lebih tepat adalah dengan jalan literasi. Masukkan kurikulum pendidikan internet sehat sejak dini, hal ini akan meminimalisir efek negative dari internet,” terangnya.


Tulisan ini telah dipublikasikan lebih dulu oleh Sindonews. Kami terbitkan ulang demi kepentingan edukasi, arsip, dan dokumentasi dalam kerangka kerja Knowledge management civitas akademik Komunikasi UII . Termasuk di dalamnya dokumentasi dan kemas ulang pendapat dan opini Dosen Komunikasi UII.