Teatime #11: Nggak Kritis, Ya Krisis

Reading Time: 2 minutes

Pada era digital ini, situasi dunia maya semakin crowded. Banyak persebaran berita palsu dan makin lama semakin sulit untuk mencari mana fakta dan opini. Maka dari itu untuk menghindari dari berita palsu dan tidak jelas kebenarannya, mahasiswa diharuskan untuk berfikir kritis dalam mencari fakta suatu informasi. Jika mahasiswa tidak memiliki sifat kritis bisa menjadi bom waktu dan berbahaya pada masa depan mereka.

Teatime episode 11 kali ini  berusaha menjawab itu. Kali ini mengangkat tema tentang “Bridging program” di International Program Komunikasi UII.  Pada diskusi ini menghadirkan dosen internal dari IP Communication (IPC) UII. Diskusi pada 11 September 2020 ini, sangat menarik karena pada diskusi ini tuan rumah akan membawakan tema yang menjadi ciri khas dari program IPC.

Acara diskusi ini disiarkan lewat Live Instagram IPC (@ip.communication.uii). Nadira Muthia Subhari selaku tuan rumah dari IPC mendampingi diskusi dan berbagi tentang informasi terkait dengan Bridging Program bersama dosen Ilmu Komunikasi IPC Mr. Ginanjar Gailea. Diskusi memberikan gambaran khususnya bagi mahasiswa baru IPC.

Maka jurusan Ilmu Komunikasi membuka mata kuliah khusus yang berbeda dengan program ilmu komunikasi regular bernama “Bridging Program”. Pada bridging program mahasiswa akan berdiskusi bersama teman dan dosen bagaimana cara menjadi seoarang mahasiswa yang dapat berfikir kritis,

Berfikir kritis merupakan keterampilan yang membantu mahasiswa untuk membedakan mana yang fakta, opini, dan hoax. Bridging Program adalah fasilitas khusus yang diberikan kepada semua program mahasiswa internasional UII. Fasilitas ini membantu mahasiswa internasional dalam mempersiapkan mereka beradaptasi di lingkungan pembelajaran Universitas dan membantu dalam mata kuliah lain.

Kelas Bridging juga berusaha mengubah cara pandang mahasiswa. Biasanya ketika masih di SMA, pelajar dipandu langkah demi langkah dengan detil, kini ketika masuk lingkungan universitas, bahkan dosen hanya memberikan panduan dan sisanya diskusi dan belajar mandiri. Dunia kampus memungkinkan dosen sebagai jembatan ilmu, bukan menjadi sentral layaknya jaman SMA. Paradigma ini yang harus dipahami oleh mahasiswa baru di IPC.

“Saya akan mendorong mahasiswa untuk menikmati kelas saya. Saya menyadari bahwa setiap mahasiswa memiliki tingkat kapasitas intelektual yang berbeda tetapi itu bukan ukuran utama di kelas saya. Saya ingin dari siswa saya adalah menjadi proaktif dan percaya diri,” kata Ginanjar Gailea.

Bridging program juga dapat mengasah keterampilan (Skill) seorang mahasiswa untuk menjadi kreatif dan kritis serta memiliki intuisi yang sangat baik, Jika mahasiswa memiliki sifat tersebut nantinya akan menjadikan mahasiswa yang berinovasi dan siap menghadapi dunia luar. Mr. Ginanjar mengatakan tidak ragu-ragu jika ada mahasiswa IP yang ingin konsultasi tentang programnya. “Tak usah membangun sisi menakutkan dari kelas kuliah, kelas saya buat menyenangkan kok,” sambung Ginanjar.

Apa saja keterampilan yang dipelajari bersama dalam bridging program? “ada macam-macam,” kata Ginanjar. “Misalanya kita akan belajar bersama tentang bagaimana menjadi pembelajar mandiri, academic writing, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan lainnya,” katanya. Keterampilan ini akan sangat berguna jika ia dipahami dengan baik dan selalu dipraktikkan menurutnya.

Ia selaku dosen IP akan menerima dengan baik agar mahasiswa tersebut dapat menjadi lebih baik dan siap dengan matang menghadapi dunia internasional. Mr. Ginanjar berharap adalah ketika pandemi selesai, mahasiswa ilmu komunikasi IPC siap untuk keluar tanpa ragu dalam menghadapi segala kondisi.

————-

Penulis: Ibnu Mufti Sumarno, Mahasiswa Komunikasi Angkatan 2016, Magang di Ilmu Komunikasi UII (International Program)

Penyunting: A. Pambudi W.