Reading Time: < 1 minute

Dalam forum Amir Effendi Siregar pada 26 September 2020, Muzayin Nazaruddin, Dosen Komunikasi UII, menyampaikan beberapa kebosanan dan kekeliruan para peneliti di indonesia terkait penggunaan analisis semiotika dalam membedah teks dalam sistem tanda.

Muzayin, yang sedang melanjutkan studi Ph.D di Tartu University di bidang semiotika, melihat kesalahan cara pandang semiotika oleh banyak peneliti di Indonesia. “DI Indonesia semiotika baru dipandang sebagai sebuah metode saja, belum sebagai sebuah paradigma,” ungkap Muzayin.

Selama ini kalau ingin menganalisis sebuah teks gambar, video, karya sastra, puisi pasti akan memakai semiotika. “Itu keliru sacara paradigmatis. Dalam komunikasi ada tradisi semiotika, cara mamandang fenomena dengan kacamata semiotika,” ungkap Muzayin.

Muzayin mencontohkan sebuah penelitian yang lazim dilakukan mahasiswa dan, sayangnya, juga dilakukan peneliti. Misal penelitian melihat simbol apa yang muncul dalam film atau media tertentu. Apa makna yang terkandung. Misalnya ada mahasiswa meneliti patriotisme dalam film. Tapi kalau kita kemudian renungkan, ternyata dia tidak memberikan sumbangsih apapun bagi pengembangan konsep patriotisme.

Kembali pada kecenderungan semiotika menjadi sebuah alat analisis teks ketimbang paradigma. Ketika Semiotika dipandang sebagai paradigma, maka ia tidak menyempit hanya sebagai metode analisis. Paradigma semiotik memungkinkan peneliti melihat setiap peristiwa, fenomena, media, dan gejala alam dengan cara pandang semiotik.

Misal, di Tartu University, tempat Muzayin mengambil program doktor Semiotika, hadir beragam kajian berdasar semiotika. Seperti Semiotika Budaya (culture semiotic), zoo semiotic, bahkan ada yang belum lazim di Indonesia yang di Tartu disebut bio-semiotic.

Lalu ia melanjutkan penjelasaannya dengan memberikan contoh bahwa jika semua fenomena komunikasi, peristiwa dilihat sebagai sebuah sign, yang bisa kita lihat di level penerima, atau level produksi, atau di level konteks jika semua dilihat secara semiosis yang saling berkaitan, maka semua peristiwa bisa dianalisa menggunakan semiotika.

Reading Time: 3 minutes

We have often heard about semiotics as a method of visual text analysis. Names like Roland Barthes, Pierce, or Saussure are no stranger to communicative friends. Semiotics as an analytical scalpel has even become a trend in analysis around the 2000s as seen from the existence of several compulsory courses on several campuses in Indonesia.

However, Muzayin Nazaruddin, one of the lecturers at the Islamic University Communication Science who also seriously studied semiotics with a master and took a Ph. D at the University of Tartu, wants to see in a bigger picture the tendency to use methods that are common in Indonesia. Semiotics should serve as a paradigm, not a text analysis tool.

At the Amir Effendi Siregar (AES) Forum on September 26, 2020, Muzayin showed a tendency to use the same semiotic tradition. As if it has become an example of how to operate the semiotic method in analyzing films or images. “That’s not wrong, but it’s boring.”

Muzayin gave an example of a study that is commonly carried out by students and, unfortunately, also carried out by researchers. For example, research looks at what symbols appear in certain films or media. What is the meaning contained. For example, there are students researching patriotism in films. However, if we reflect on it, it turns out that he did not contribute anything to the development of the concept of patriotism.

In research prevalence using semiotics, for example, there is also a common sense which is useless. “For example, we analyze a photo of a woman with a hijab, detailed analysis, we analyze the hijab, the background, what she is wearing, the analysis is complicated. The denotation and connotation are like this. Then at the end, this conclusion concludes that this woman is Muslim,” Muzayin explained an example of semiotic research which is common in Indonesia. “It looks like this is cool, the thesis is thick, but this is sad, because to say that a Muslim woman wearing a hijab does not have to use a semiotic. High school student also know that the hijab is a marker of a Muslim. This is where I often see semiotic research failing,” said Muzayin exemplifying more details. This ultimately makes semiotics studies boring, stagnant, and says nothing and does not contribute,” Muzayin said further.

How is the actual history of semiotics studies in Indonesia?

The development of semiotics studies in Indonesia can be seen for example in the 1990s. “In the 1990s, student study groups studied semiotics not from lecture texts. Then according to Emmanuel Subangun said that in 1992 the Circle of Semiotic Enthusiasts in Jakarta was established,” said Muzayin. This is quite encouraging, according to him.

Returning to the tendency of semiotics to be a text analysis tool rather than a paradigm. When Semiotics is seen as a paradigm, it does not narrow it just as analytical methods. The semiotic paradigm allows researchers to see every event, phenomenon, media, and natural phenomenon with a semiotic perspective. For example, at Tartu University, where Muzayin took his doctoral program in Semiotics, there were various studies based on semiotics, such as Culture Semiotics, zoo semiotic, there is even something that is not yet common in Indonesia which is called bio-semiotic in Tartu.

For semiotics, communication is the central point for understanding culture, said Muzayin. “This is especially for cultural semiotics,” Muzayin explained. As for Biosemiotics, Communication is a fundamental concept to understand nature. Muzayin continued, even for ecosemiotics, communication is central to understanding the dynamics relations of culture-nature.

“At the animal and plant level, even semiotics is understood as a communication between the two to see the semiosis process,” Muzayin added. This is a perspective that we need to understand together.

Semiotic analysis with a micro analysis model is to see the unit of analysis in detail in the film: break it down, then see the signs in the scene, then translate into denotation, index, symbol connotations, etc.

In fact there are other ways, for example macro analysis by viewing the film, by relating various phenomena or the context of the film being made and then analyzed. “How do we see a film as a sign that is present in a certain sign system and then interpreted as a sign,” Muzayin explained.

 

Reading Time: < 1 minute

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar

Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 12)

Topik:

Surat Kabar Militer di Indonesia 1939-1966: “Kedaruratan dan Militerisasi”

Pembicara:

Norman Joshua

Sedang menempuh studi program doktoral di Department of History, Northwestern University. Memiliki keterkaitan penelitian seperti kajian Asia Tenggara, sejarah Militer, militerisasi, hubungan sipil-militer, ekonomi politik internasional, dan revolusi nasional indonesia. Pernah menulis buku berjudul “Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950” yang diterbitkan oleh Marjin Kiri.

 

Jadwal

Sabtu 3 Oktober 2020
Pukul 14.00.
Via Zoom

atau

 

Registrasi:

 

Reading Time: 2 minutes

Semiotika sebagi sebuah metode analisis teks visual sudah sering kita dengar. Nama seperti Roland Barthes, Pierce, atau Saussure pasti juga tak asing bagi teman-temen komunikasi. Semiotika sebagai pisau bedah analisis bahkan pernah menjadi trend analisis di sekitar tahun 2000an terlihat dari adanya beberapa mata kuliah wajib di beberapa kampus di Indonesia.

Tetapi, Muzayin Nazaruddin, salah sorang pengajar di Ilmu Komunikasi Universitas Islam yang juga secara serius mempelajari semiotika dengan master dan menempuh Ph. D di University of Tartu, ingin melihat dalam gambaran lebih besar kecenderungan penggunaan metode yang jamak di lakukan di Indonesia. Semiotika harus dijadikan sebagai paradigma, alih-alih sebuah alat analisis teks.

Dalam acara Forum Amir Effendi Siregar (AES) pada 26 September 2020, Muzayin menunjukkan kecenderungan penggunakan tradisi semiotik yang itu-itu saja. Seolah sudah menjadi contoh bagaimana mengoperasikan metode semiotika dalam mengalisas film atau gambar. “Itu tidak salah, tapi membosankan.”

Dalam kelaziman penelitan menggunakan semiotika, misal, ada juga kelaziman yang sia-sia. “Misal kita menganalisis sebuah foto perempuan berjilbab, analisis detil, kita analisis jilbabnya, latarnya, apa yang ia pakai, analisisnya rumit. Denotasi dan konotasinya seperti ini. Lalu di ujungnya, kesimpulan ini menyimpulkan bahwa perempuan ini muslim,” Muzayin menjelaskan contoh penelitian semiotika yang umum di indonesia.

“Kelihatannya seperti ini keren, tebal skripsinya, tetapi Ini menyedihkan, karena untuk mengatakan perempuan berjilbab ini muslim tidak usah menggunakan semiotik. Anak SMA pun tahu bahwa jilbab adalah penanda seorang muslim. Di sinilah saya sering melihat penelitian semiotika gagal,” papar Muzayin mencontohkan lebih detil. Ini kan akhirnya membuat kajian semiotika menjadi membosankan, stagnan, dan tidak mengatakan apa-apa dan tidak berkontribusi,” kata Muzayin lebih jauh.

Bagaimana sebenarnya sejarah studi semiotika di Indonesia?

Perkembangan studi Semiotika di Indonesia bisa dilihat misal di tahun 1990an. “Di awal dekade 1990an kelompok studi mahasiswa belajar semiotika bukan dari teks-teks kuliah justru. Kemudian menurut Emmanuel Subangun mengatakan bahwa pada 1992 telah berdiri Lingkaran Peminat Semiotik  di Jakarta,” kata Muzayin. Ini cukup menggembirakan, menurutnya.

Bagi semiotika, komunikasi adalah titik sentral untuk memahami kebudayaan (culture), kata Muzayin. “Ini khususnya bagi cultural semiotics,” jelas Muzayin.  Sedangkan bagi Biosemiotics, komunikasi adalah konsep mendasar untuk memahani nature. Muzayin melanjutkan, bahkan bagi ecosemiotics, komunikasi adalah sentral untuk memahami dinamika relasi culture-nature.

“Di level hewan dan tumbuhan, bahkan semiotik dipahami sebagai komunikasi antara keduanya untuk melihat proses semiosis,” kata Muzayin menambahkan. Ini adalah perspektif yang perlu kita pahami bersama.

Analisis semiotika dengan model mikro analisis yaitu melihat unit analisis dengan detail dalam film: memecah, lalu melihat tanda-tanda dalam scene tersebut, lalu menerjemahkan dalam konotasi denotasi, indeks, simbol, dll.

Sebenarnya ada cara lain, misalnya analsis secara makro dengan melihat film tersebut, dengan mengaitkan berbagai fenomena atau konteks film itu dibuat lalu dianalisis. “Bagaimana kita melihat film sebagai sebuah sign yang hadir dalam sebuah sign system tertentu lalu dimaknai sebagai suatu petanda,” jelas Muzayin.

Reading Time: 2 minutes

Pelaksanaan serumpun pada 20 September 2020 telah usai. Para mahasiswa baru Jurusan Ilmu Komunikasi UII berkumpul dan disambut oleh Kaprodi Ilmu Komunikasi UII beserta para staf Komunikasi UII. Di saat berkumpul seperti ini para mahasiswa baru yang berasal dari jurusan Ilmu Komunikasi dapat mengenal satu sama lain. Harapannya mereka akan menjadi akrab dengan teman-teman, dosen, dan staf. Keceriaan tergambar dari wajah mahasiswa baru yang sangat tertarik pada Ilmu Komunikasi. Mereka merasa bangga telah masuk pada jurusan Ilmu Komunikasi UII.

Gambaran tersebut tampak dalam pertemuan daring masa orientasi Serumpun FPSB UII pada sesi pengenalan dan penyambutan program studi.   Pada sesi ini juga para mahasiswa baru diperkenalkan pada beberapa komunitas yang ada di jurusan Ilmu Komunikasi oleh Sekretaris Jenderal Himakom UII (Himpunan Mahasiswa Komunikasi Universitas Islam Indonesia), M. Diast. Ia menjelaskan beberapa komunitas internal yang ada di jurusan ini dan apa saja yang akan didapatkan dengan mengikuti kegiatan-kegiatan di dalamnya.

Setelah sekjend dari Himakom memberikan penjelasan dan pendapatnya tentang berbagai organisasi internal yang ada di Komunikasi UII, selanjutnya perwakilan staf dari Ilmu Komunikasi memberikan pendapat untuk menjelaskan fasilitas apa saja yang didapatkan setelah mahasiswa baru masuk di jurusan Ilmu Komunikasi. Fasilitas yang disediakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII seperti PSDMA (Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif) Nadim, yang memiliki koleksi penelitian dari para alumni, dosen, dan mahasiswa serta kumpulan beragam riset alternatif. Ada juga laboratorium yang dapat digunakan ketika mahasiswa membutuhkan alat produksi media atau peralatan yang menunjang untuk masa perkuliahan praktikum nantinya.

Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Puji Hariyanti, memberikan sambutan juga kepada mahasiswa baru. Puji mengatakan bahwa mulai saat ini mahasiswa harus semangat menjalani kuliah secara daring ke depan. “Selamat kepada mahasiswa baru dan selalu bersemangat dalam menjalan perkuliahan nantinya,” sambutnya. Ia juga memperkenalkan salam tiga jari khas Jurusan Komunikasi di Indonesia. Semua mahasiswa dan partisipan Zoom meeting riuh ramai berfoto bersama menunjukkan salam tiga jari simbol salam Komunikasi.

Setelah sambutan yang hangat oleh kaprodi Ilmu Komunikasi selanjutnya kaprodi memberikan kesempatan kepada mahasiswanya untuk berkenalan. Pada masa perkenalan ternyata mahasiswa Ilmu komunikasi berasal dari beragam daerah. Ada yang dari Aceh, ada dari Papua, Temanggung, dan tentu juga Jogja, Hal tersebut membuat Puji Hariyanti merasa kagum, bahwa semangat mengikuti masa orientasi dan perkenalan program studi tetap diikuti meski kesulitan sinyal dan koneksi dari jarak jauh sekalipun. Nyatanya, hal ini menunjukkan bahwa antusiasme mahasiswa baru sangat tinggi dan cukup interaktif.

—————-

Penulis: Ibnu Mufti Sumarno, Mahasiswa Magang Ilmu Komunikasi UII, Angkatan 2016

Editor: A. Pambudi W.

 

Reading Time: < 1 minute

Calling All Young Talent for Editors – Photographers – Videographer – News and Content Writer

Assalamu’alaikum kawan Nurani!

Saat ini, Rumpun Nurani sedang mencari Intern untuk bergabung di tim media kami. ⁣

Kalau kamu semangat buat menebar kebaikan

dan memberi dampak baik untuk

masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, yuk klik link:

Info Lengkap mengenai Pilihan Bidang Internship bisa klik di Bawah ini

 

Reading Time: < 1 minute

We are looking for

1. Data trainer and social media specialist

2. Content Analyst (Bahasa indonesia & English)

QUALIFICATION

Data trainer and social media specialist:

1. Final Year Student

(Bahasa & sastra indonesia, english letters, communication Study Program, or related)

2. Thorough and have neutral political view

3. Good time management skill

And so on Look further on Poster

Content Analyst (Bahasa indonesia & English):

1. Final Year Student (Bahasa & Sastra Indonesia,

English Letters, Socio-Political Science Study Program, or related)

2. Data oriented and have neutral political view

3. Eager to research

And so on look further on poster

Send to Atmatech, software development company.

[email protected]
www.atmatech.net
www.netray.net

———————————————————————-

Kami sedang mencari:

*Data trainer and social media specialist

*Content Analyst (Bahasa indonesia & English)

KUALIFIKASI

* Data trainer and social media specialist:

1. Mahasiswa Tingkat Akhir (Bahasa & Sastra indonesia,

Sastra Inggris, Prodi Komunikasi, atau terkait)

2. Teliti dan memiliki pandangan politik yang netral

3. Keterampilan manajemen waktu yang baik

Dan seterusnya Lihat Poster

* Analis Konten (Bahasa indonesia & Inggris):

1. Mahasiswa Tingkat Akhir (Bahasa & Sastra Indonesia, Sastra Inggris,

Program Studi Ilmu Sosial Politik, atau terkait)

2. Berorientasi data dan memiliki pandangan politik yang netral

3. Bersemangat untuk meneliti

Dan seterusnya lihat lebih jauh di poster.

Kirim lamaran dan CV ke Atmatech, perusahaan pengembangan perangkat lunak.

[email protected]

www.atmatech.net
www.netray.net

Reading Time: 2 minutes

On Sept, 23, 2020 at 1 PM, the UII Communication Science Department welcomed new students of UII. Vadhiya as Host and Jiany as Co-Host accompanied this conversation via Zoom Meeting Conference Application. This event in particular will introduce what the Department of Communication Science is about. Department of Communication Science holds an online “Welcoming Day”  to welcome New Students 2020 during the Pandemic

Around 250 new students (new students) of communication science dept. participated in this event. Lecturers, alumni, and the international students in the International Communication Program (IP), the Dean, and communication students generally took part. It was opened by reading the Quran by Ibrahim, a student of Communication Science, batch 2019. There was also religious and educational motivation delivered by the Dean of FPSB UII, Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog. He explained about the spirit of studying and self-provision in the future as well as improving himself as an UII student.

Head of the UII Department of Communication Science, Puji Hariyanti also gave a welcome and enthusiasm for online lectures that students will face in the future. Furthermore, Ms. Shorlihah (UII Communications Science Alumni, 2015) and Ms. Suwaibah (2019 IP Communications Student) from Thailand also shared their experiences of studying at UII. During his time at IPC, staff, lecturers and students always help, she said. “The main difficulty I get is the language problem, even so my friends helped me,” said Shorlihah.

After the opening was enough, The event continued with the video session. Discusses what the Department of Communication Science is. Explaining communication has 4 areas of interest. Programs and Curricula that exist in communication. Including also introduction to research activities and community service activities. The introduction of the lecturers and staff of the communication science department also showed on introductory video broadcast through the zoom application. Then continue the Q&A (Questions and Answer) event.

One of the freshmen asked about the P2A (Passage to Assean) program. Ida Nuraini explained that P2A is a workshop program and cultural studies held in ASEAN countries. The first P2A, for example, in 2018, students at several Asean campuses, including UII Communications Science Department, went on trips and photography competitions in 3 ASEAN countries: Malaysia, Thailand, Cambodia. This program seeks to increase understanding across cultures without borders.

A similar testimony was also expressed by Annisa Putri Jiany as the 2015 alumni of Communication Science and P2A program. She has gained a lot of experience in 3 different countries, and has made friends that are still ongoing. Other questions emerged. For example, what communities are in the communication science dept.? Will it interfere with lectures? Iven as an alumni of Communication Science class 2016 explained that the compulsory courses that are obtained are also related to the community. Therefore, activities in the community actually support lecture activities. Communities at Communication Science dept. can add to our relationships and not interfere with lectures. “In fact, it adds to the advantage of being in a community, because we can immediately practice our knowledge that we got in class,” said Iven Sumardiantoro.

———–

Author: Ridwan Ainurrahman, UII Communication Science Intern. Class of 2016

Editor: A. Pambudi W.

 

Reading Time: 2 minutes

Pembelajaran saat masih di SMA tentu sangat berbeda setelah menuju dunia perkuliahan. Dosen bukanlah tuhan. Artinya, mahasiswa dituntut belajar mandiri dengan sistem belajar berbeda. Peran dosen hanya menemani dan membimbing mahasiswa, dan tentu saja mahasiswa harus sadar sejak mula: mahasiswa berbeda dari siswa biasa seperti saat masih di SMP ataupun SMA.

Begitulah pesan yang disampaikan Herman Felani, Dosen Komunikasi UII, yang juga fokus pada kajian riset film dan kajian budaya Amerika. Herman memberikan banyak pesan dan panduan itu untuk para mahasiswa baru angkatan 2020 pada acara bertajuk “Welcoming day” pada Rabu (23/9). Acara ini juga sekaligus adalah pembekalan untuk mahasiswa baru menghadapi kuliah daring.

Respon Mahasiswa Baru: dari Pandemi hingga Kuliah Daring

Pembekalan ini dilakukan menggunakan Aplikasi Mentimeter. Aplikasi yang bisa melakukan survei dan sekaligus presentasi dan permainan ini menemukan banyak temuan. Saat ini mayoritas maba tetap berada di pulau jawa. Kebanyakan Maba memilih Komunikasi UII karena jurusan yang menyenangkan dan memiliki prospek kerja yang luas. Dari data 1186 pendaftar Komunikasi UII 2020 (per 22 September 2020) hanya 256 yang terpilih untuk menjadi mahasiswa Komunikasi UII. Komunikasi UII merupakan jurusan Favorit di UII dan maba merasa termotivasi.

Sementara itu, perasaan maba saat terkumpul juga di apliaksi menti ini. Pada masa pandemi ini kebanyakan maba merasakan sedih dan bosan. Muncul beragam kendala yang didapatkan. Misalnya sinyal dan juga keuangan. Perlu mengeluarkan lebih banyak biaya. “Sedih, susah sinyal, bosen dan no life,” kata maba yang menulis namanya Bedul, dari Majalengka.

Herman Felani menjelaskan mahasiswa dituntut untuk mengikuti kuliah daring dan mempelajari sistem pembelajaran terbaru ini. Menurutnya, maba angkatan 2020 adalah generasi visual dan millenials. Selain adanya beragam kekurangannya, yang didapatkan dari kelas daring juga memiliki kelebihan. Misalnya membuka kesempatan kerja tim tanpa batas. Buat tugas bersama dengan mahasiswa lain, prodi lain, kampus lain, bahkan negara lain. Sementara itu, berada di komunikasi UII, mahasiswa dapat bertukar opini dengan dosen tanpa canggung.

Hal ini bisa diberikan seperti dengan memberikan rekomendasi video, channel youtube, podcast, dan sebagainya. Baginya, kata Herman, dosen dan mahasiswa adalah rekan. Bukan tuhan dan hambanya. Herman juga membagikan sumber-sumber alternatif untuk mendapatkan E-book dan film Dokumenter sebagai salah satu media pembelajaran mahasiswa. Hal ini dapat menjadi modal mahasiswa dalam mengarungi pembelajaran sinkron dan asinkron.

Herman mengatakan bahwa angkatan 2020 ini adalah angkatan mahasiswa pertama yang kuat mengikuti kuliah dengan sistem full online. “Ini adalah tuntutan zaman, yakinlah pasti akan ada hikmahnya,” kata Herman memberi semangat.

Nothing Will Work Unless You Do,” tulis Herman di layar presentasinya mengutip kata-kata bijak dari seorang penulis Afrika Amerika, Maya Angelou. Kutipan ini dibuat agar memotivasi mahasisawa Ilmu Komunikasi UII angaktan 2020. Setelah itu, acara diakhiri dengan tanya jawab dan bagi-bagi merchandise menarik untuk penanya terbaik. Tentu tak lupa berfoto bersama untuk mengenang masa Welcoming Day 2020.

——————-

Penulis: Ridwan Ainurrahman,  Mahasiswa Magang Ilmu Komunikasi UII. Angkatan 2016

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: 2 minutes

How to Adjust to Online Lecture with Department of Communication Science

Studying while still in high school is certainly very different after going to the world of higher education. Lecturers are not gods. This means that students are required to study independently with a different learning system. The role of a lecturer is only to accompany and guide students, and of course students must be aware from the start: higher education students are different from ordinary students such as when they were in junior high or high school.

That was the message conveyed by Herman Felani, UII Lecturer in Department of Communications Science, who also focuses on film research studies and American cultural studies. Herman gave many of these messages and guidelines for new students of the 2020 class at an event entitled “Welcoming day” on Wednesday (23/9). This event is also a provision for new students to encounter online lectures because of pandemic.

New Student Responses: from the Pandemic to Online Lecture

This briefing is carried out using the Mentimeter Application. This application that can conduct surveys as well as presentations and games finds many findings. Currently the majority of freshperson remain on the island of Java. Most freshperson choose Communication Science of UII because the majors are fun and have broad job prospects. From the data of 1186 freshperson of UII 2020 Communication applicants (as of September 22, 2020) only 256 were selected to become  Communication Science students. UII Communication Science is the favorite department at UII and therefore all the freshperson feel motivated.

Meanwhile, the feelings of new students when they are collected are also in this min application. During this pandemic, most freshmen felt sad and bored. Various obstacles arise. For example signals and also finance. Need to spend more. “Sad, difficult to signal, bored and no life,” said the new student who wrote his name Bedul, from Majalengka.

Herman Felani explained that students are required to take online lectures and learn about this latest learning system. According to him, freshmen class 2020 are a visual generation and millennial. Apart from its various drawbacks, those that are obtained from online classes also have advantages. For example, opening up unlimited teamwork opportunities. Make assignments together with other students, other study programs, other campuses, and even other countries. Meanwhile, being in communication science department, students can exchange opinions with lecturers without being awkward.

This can be provided, such as by providing video recommendations, YouTube channels, podcasts, and so on. For him, said Herman, lecturers and students are colleagues. Not God and his servant. Herman also shared alternative sources to get E-books and documentary films as a medium for student learning. This can become student capital in navigating synchronous and asynchronous learning.

Herman said that this class of 2020 was the first strong student generation to attend lectures with a full online system. “This is the demand of the times, be sure there will be a lesson,” said Herman encouragingly.

Nothing Will Work Unless You Do,” Herman wrote on his screen, quoting the wise words of anAfro American writer, Maya Angelou. This quote was made in order to motivate Communication Science of UII students from batch 2020. After that, the event ended with questions and answers and distributing interesting merchandise for the best questioners. Of course, don’t forget to take a photo together to commemorate the moment of Welcoming Day, year 2020.

——————-

Author: Ridwan Ainurrahman, UII Communication Science Internship Student. Class of 2016

Editor: A. Pambudi W.