Tag Archive for: teatime

Reading Time: 2 minutes

Di saat-saat kondisi krisis, kebutuhan informasi sangat kencang. Arus informasi pun demikian. Banyaknya kebutuhan dan arus informasi tersebut sering kali justru membuat orang panik, dan simpang siur karena informasi yang saling tumpang tindih. Dalam sebuah institusi pendidikan seperti Universitas Islam Indonesia (UII), dibutuhkan sebuah tim Public Relation (PR) untuk mengatur informasi.

Teatime kali ini, Kamis, 8 Juli 2021, mengusung tema mitigasi krisis covid-19 oleh Public Relation (PR) di Universitas Islam Indonesia (UII). Diskusi peran PR di tengah pandemi ini mengundang Ratna Permata Sari. Ia adalah seorang Dosen Ilmu Komunkasi UII, sekaligus Kepala Public Relation (PR) UII.

Bisa dibayangkan ketika terjadi krisis, orang akan bertanya-tanya apa yang terjadi, apakah ada informasi terbaru, apa yang harus aku lakukan jika teman kost ada yang terinfeksi virus korona. Apa yang harus aku lakukan jika saya sendiri yang terinfeksi. Tak hanya seputar itu, simpang siur tentang perkuliahan daring juga sempat menjadi masalah.

Dalam situasi pandemi ini, PR harus membuat seperangkat aturan arus informasi untuk membendung arus informasi yang justru malah menyesatkan. Informasi yang benar akan membuat baik mahasiswa, orangtua, karyawan, juga dosen mendapatkan informasi jelas dan tepat.

Selain membuat informasi terkait protokel kesehatan di lingkup UII, PR UII juga membuat call center yang akan membantu semua civitas akademi UII mendapatkan informasi yang tepat dan akurat.

Misalnya informasi terkait urusan dan peraturan perkuliahan dan kerja-kerja di lingkungan UII. “Kalau ada informasi yang nggak jelas sumbernya bisa ditanyakan lewat call center. Informasi menjadi satu pintu jadi tidak membuat orang-orang bingung,” kata Ratna, yang juga adalah dosen spesialis klaster riset Komunikasi Visual.

Selain membuat call center, PR UII juga membuat perangkat aturan terkait kunjungan ke kampus. Bagaimana membuat aturan yang dapat memitigasi penularan covid misalnya dengan membuat Standart Operasiona prosedur (SOP) untuk beberapa jenis kasus. Misalnya membatasi jumlah tamu, membuat aturan, mengatur ruangan yang boleh dipakai, juga aturan penggunaan alat deteksi covid-19.

Kondisi pandemi ini bukanlah hal yang selalu sama, selalu berubah dengan adanya peningkatan kasus, merebaknya kasus di satu lokas tertentu, juga kebijakan pemerintah yang berubah-ubah. Dalam kondisi seperti ini, Ratna mengakui bahwa pandemi ini bukan krisis yang mudah. Ia juga mencontohkan beberapa negara yang juga masih belum berhasil sepenuhnya. “Nggak ada yang benar-benar ahli dalam menangani krisis di pandemi covid-19 ini,” ungkap Ratna.

Dalam kondisi ketidakpastian krisis ini, aturan dapat berubah kapan saja. Aturan tersebut harus berdasarkan atas kondisi terkini dan kemungkinan apa yang bisa terjadi ke depan. “Misal genose, ternyata sudah diketahui tidak begitu akurat mendeteksi adanya virus covid-19, makanya harus diubah,” kata Ratna.

Reading Time: < 1 minute

Kuliah di jurusan International di dua kampus sekaligus bukan perkara gampang. Tapi, bukan berarti hanya anak pintar saja yang bisa mengikutinya. Mengerjakan sesuatu yang besar tak mesti harus selalu mendapatkan nilai A dan IPK 4.

Pengakuan tersebut keluar dari mulut Defita Dwinusa, mahasiswa Komunikasi UII International Program angkatan 2019. Defita diundang dalam ngobrol daring Teatime International pogram of Communication Department (IPC) Universitas Islam Indonesia, pada Sabtu, 2 Juli 2021.

Mahasiswa yang hobi taekwondo itu mengikuti program transfer kredit atau International Credit Transfer. Separuh kuliahnya dia selesaikan di Komunikasi UII separuh lagi di Mapua University, Filipina. Di Mapua University, Defita juga mengambil mata kuliah yang yang berkorelasi dengan ilmu-ilmu komunikasi agar semua mata pelajaran salih berhubungan.

Perkuliahan dalam program International Credit Transfer ini adalah program yang baru diselenggarakan tahun ini. Perkualiahan pun belum dilangsungkan. Satu hal yang sangat dikhawatirkan Defita adalah beban kuliah yang berat dan bahasa pengantar kuliah. “semoga saja pembealjaran dengan bahasa Ingris penuh bukan Tagalog. Tidak bisa dibayangkan,” kata Defita.

Kita tahu bahwa beban kuliah international di dua universitas itu berat, hal ini juga ditanyakan oleh salah satu peserta diskusi Teatime. Ketika ditanya tentang bagaimana mengelola waktu, Defita menjawab dengan melihat prioritas dan kembali mengingat niat dan rasa tanggungjawab. “Sama seperti kita kuliah biasanya:  melakukan apa tanggungjawab kita. Mana yang prioritas? Bermain media sosial atau kuliah kita,” kata gadis kelahiran Jawa Barat itu.

Mengingat kuliah di dua international bukan hal sepele dan juga tak murah, Defita mengaku bahwa dia bukanlah anak dengan prestasi akademik yang cemerlang. Kata-kata Defita ini bisa dikutip oleh siapapun yang ingin maju dan berhasil seperti defita. “Jangan kira aku anak pintar. Bukan. Aku cuma orang yang selalu melakukan apa yang harusnya aku lakukan. Itu saja,” tegas gadis yang kualitas tendangannya sudah diganjar sabuk hitam itu.

Reading Time: 2 minutes

Studying International majors at two campuses at once is not an easy matter. But, that doesn’t mean only smart kids can follow it. Doing something big doesn’t have to always have an A mark and a GPA of 4.

 This talk came from the mouth of Defita Dwinusa, a student at the Department of Communication, International Program, class 2019. Defita was invited to an online chat at Teatime by the International Program of Communication Department (IPC) at the Universitas Islam Indonesia. The discussion was held on Saturday, July 2, 2021, via Instagram Live by Instagram account at ip.communication. The regular discussion every Friday brings together various speakers with many experiences and perspectives.

Defita, who likes taekwondo, participates in International Credit Transfer. He completed half of her studies at UII, the other half at Mapua University, Philippines. At Mapua University, Defita also takes courses that are correlated with communication studies so that all subjects are interconnected.

Lectures in the International Credit Transfer program are a new program held this year. The lecture has not yet taken place. One thing that really worries Defita is the heavy lecture load and the language of instruction. “Hopefully the learning is in full English, not Tagalog. It is unimaginable,” said Defita.

We know that the burden of international lectures at the two universities is heavy, this was also asked by one of the participants in the Teatime discussion. When asked about how to manage time, Defita answered by looking at priorities and again remembering her intentions and sense of responsibility. “Just like we usually go to college usually: doing what we are responsible for. Which is the priority? Playing on social media or our lectures,” said the girl born in West Java.

Considering that studying at two international universities is neither trivial nor cheap, Defita admits that she is not a child with brilliant academic achievements. Defita’s words can be quoted by anyone who wants to progress and succeed like Defita. “Don’t think I’m smart. No. I’m just a person who always does what I have to do. That’s all,” said the girl whose kick quality has been rewarded with a black belt.

Reading Time: 2 minutes

Trying various opportunities and joining several international institutions opens the door to international knowledge and excitement. Feel and experience directly associating with people with different cultures, as well as introducing Indonesian culture and wealth in the land of a hundred palaces.

The experience was passed by Jorgi Radivka. Jorgi is a 2014 student of Department of Communication at the Universitas Islam Indonesia, who had the opportunity to do an internship as a teacher at an elementary school in the middle of the blue continent of Europe, the Czech Republic. She shared this experience in one of the online casual chat programs made by UII’s International Program of Communication UII on Saturday, June 26, 2021. Annisa Putri Jiany led a discussion with Jorgi, exploring his various experiences with AIESEC in Czech.

Jorgi is a member of an international organization whose mission is to spread peace and humanity. His organization is by inviting young people to do international internships or activities as well as to develop youth leadership potential. The organization is (Association Internationale des Etuadiants Sciences Economiques et Commerciales (AIESEC).

In that school, Jorgi has to teach for approximately two months. Many of them do not know Indonesia. They don’t even know there is a country called Indonesia. Jorgi finally brought a map of the globe and showing where Indonesia is located. He also introduced Indonesian language and songs.

Not only that, he also introduced batik motifs by wearing batik every time he went to school and discussing batik with his friends.

At first there were several obstacles he faced when teaching at school . The language barrier is one of the obstacles because English is not the main language of the people in the Czech Republic. This language barrier makes the students not pay much attention during the learning process. But Jorgi has some tricks that he uses to win attention back. “I use the traditional game here. Gobak sodor for 10-15 minutes to let them be happy first. After that they want to pay attention to the lesson.”

He recounts the funniest and most memorable experiences. On several occasions Jorgi also cooks for his friends and the teachers there. He was so happy and satisfied because he managed to make his friends spicy. “They can’t really eat spicy food, but I cook bakwan and sambal matah. They can’t stand how spicy it is, but they’re done.”

Reading Time: 2 minutes

Mencoba berbagai peluang dan bergabung beerapa lembaga international membuka pintu pengetahuan dan keseruan pengalaman international. Merasakan dan mengalami langsung bergaul dengan orang dengan kultur yang berbeda, sekaligus mengenalkan kultur dan kekayaan Indonesia di negeri seratus istana.

Pengalaman itu dilalui oleh Jorgi Radivka. Jorgi adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia angkatan 2014, yang berkesempatan magang sebagai pengajar di sekolah dasar di tengah-tengah benua biru Eropa, Republik Ceko. Pengalaman ini ia bagikan di salah satu program ngobrol santai daring Teatime besutan International Program Communication UII pada Sabtu, 26 Juni 2021. Annisa Putri Jiany memandu diskusi dengan Jorgi, mengulik beragam pengalamannya bersama AIESEC di Ceko.

Jorgi tergabung dalam sebuah organisasi International yang misinya adalah untuk menyebarkan kedamaian dan kemanusiaan dengan mengajak anak-anak muda magang atau berkegiatan International sekaligus untuk menumbuhkan potensi kepemimpinan pemuda. Organisasi tersebuat adalah (Association Internationale des Etuadiants Sciences Economiques et Commerciales (AIESEC).

Dalam sekolah itu Jorgi harus mengajar selama kurang lebih dua bulan. Banyak diantara mereka yang tidak mengenal Indonesia. Bahakan tidak tahu ada negara bernama Indonesia. Jorgi akhirnya membawa peta globe dan menunjukkan dimana Indonesia teretak. Ia juga mengenalkan bahasa dan lagu-lagu Indonesia.

Tak hanya itu, Ia juga mengenalkan motif batik dengan mengenakan batik setiap kali ke sekolah dan memperbincangkan dengan teman-temannya.

Mulanya ada beberapa hambatan yang ia alami ketika mengajar di sekolah. Kendala bahasa menjadi salah satu penghambat karena bahasa Inggris bukannah bahasa utama orang-oarang di Czech Republic. Kendala bahasa ini membuat murid-murinya tidak begitu memeberikan perhatian saat proses belajar. Tapi Jorgi punya beberapa trik yang dia gunakan untuk merebut perhatian kembali. “aku pakai permaian tradisional di sini. Gobak sodor 10-15 menit biar mereka senang dulu. Setelah itu mereka mau perhatikan pelajaran.”

Ia mencerikan pengalaman paling lucu dan mengesankan. Dalam beberapa kesempatan Jorgi juga memasak untuk teman-temannya para guru di sana. Ia yang begitu senang dan puas karena berhasil membuat teman-temannya kepedasan. “Mereka itu kan tidak begitu bisa makan pedas, tapi aku memasak bakwan dan sambel matah. Mereka nggak tahan betapa pedasnya, tapi habis.”

 

Reading Time: 2 minutes

If you have the talent or desire to expand your experience internationally, immediately join the UII International Mobility Program. International travel allows you to expand your network, improve your English language skills, and add perspective on things. Whether it’s a matter of cross culture understanding to increasing insight related to your studies and interests in academic studies.

In general, English proficiency is the key to joining the UII international Mobility program. “Partner universities with UII also require fluency in English. IELTS 6 or IBT with equivalent score. Or TOEFL ITP is also okay. They, several partner campuses, allow students to register with the TOEFL ITP,” said Nihlah Ilhami, Head of the International Mobility Division, UII on June 11, 2021 at the UII Communication Program International Teatime casual talk. Nihlah said that English language skills must be improved from now on if students plan to expand their experience abroad.

“At least you can try toefl ITP first. Because some partners still accept this, especially for short programs or ICT (International Credit Transfers),” explained Nihlah. “Especially our partners in Asia such as Malaysia and Thailand. Europe and Australia still require IELTS,” he said. Nihlah said, we can improve English language skills also use a relatively easy method using the Duolingo application, he said.

“If you are interested in registering for the IISMA (Indonesian International Study Mobility Awards) tomorrow, it is reported that the quota has been increased by the ministry. Try registering first. Then just test one of the IELTS or TOEFL ITP, “advises Nihlah. According Nihlah, students can also try an online test TOEFL free.” for a time normally allowed to be. And I’m sure you can do it, you’re still young, do it.

“Whatare the conditions for the program of international mobility ?

“Suppose such IISMA, programs carried out regularly every year, drawn by the Kemendikbud ristek. You first must have a passport,” said Nihlah. This condition is the most important first. “Even though this is a pandemic situation, a passport is still a requirement that you must have. You must have a GPA of 3 to join any program abroad. Because our partners require it,” he added. The next requirement is of course English, as evidenced by TOEFL or IELTS. The rest is self-readiness to recognize culture and exchange views in a globalized world. “We will learn about the local people there, the language, culture, and various experiences that are really very different,” he said.

How does this mobility program take place during a pandemic. “The majority of countries have closed visits, but don’t worry, there is always virtual mobility. But now we know that there are several countries that have opened their own countries, such as the Netherlands and South Korea,” said Nihlah. Some UII students have started to go for dual degree studies to several partner countries and have opened overseas visits. “That’s why we have partners in the Netherlands and South Korea. Our faculty students at FBE have made a mobility trip to South Korea yesterday, Alhamdulillah, and have arrived there safely,” he said.

 

 

Reading Time: 2 minutes

JIka kamu punya bakat atau keinginan untuk memperluas pengalaman di lingkup internasional, segera saja gabung di UII International Mobility Program. Perjalanan internasional memungkinkan kamu meluaskan jaringan, meningkatkan kemampuan bahasa inggris, hingga menambah perspektif tentang memandang suatu hal. Baik itu soal cross culture understanding hingga peningkatan wawasan yang berkaitan dengan studi dan minat kajian akademikmu.

Secara umum, kecakapan bahasa inggris adalah kunci mengikuti program UII international Mobility. “Partner university dengan UII juga mensyaratkan kelancaran berbahsa inggris. IELTS 6 atau IBT dengan skor setara. Atau TOEFL ITP juga boleh. Mereka, beberapa kampus mitra, mengijinkan mahasiswa untuk mendaftar dengan Toefl ITP,” Kata Nihlah Ilhami, Kepala Divisi International Mobility, UII pada 11 Juni 2021 di bincang santai Teatime Internasional Program Komunikasi UII. Nihlah mengatakan, kecakapan bahasa inggris mulai harus ditingkatkan sejak sekarang jika nantinya mahasiswa berencana meluaskan pengalaman di luar negeri.

“Minimal kamu bisa mencoba dulu toefl ITP. Karena beberapa partner masih menerima ini, terutama untuk short program atau ICT (International Credit Transfer,” jelas Nihlah. “Terutama partner kita di asia seperti Malaysia dan Thailand. Kalau eropa dan australia masih mensyaratkan IELTS,” katanya. Nihlah mengatakan, kita bisa meningkatkan kemampuan bahasa inggris juga menggunakancara yang relatif mudah denga pakai Duolingo, katanya.

“Kalau kalian tertarik untuk mendaftar IISMA (Indonesian International Study Mobility Awards) besok, kuotanya kabarnya ditambah oleh kementrian. Coba saja dulu daftar. Lalu tes saja salah satu dari IELTS atau TOEFL ITP,” saran Nihlah. Menurtu Nihlah, mahasiswa bisa coba juga tes online TOELF gratis. “Untuk beberapa kali biasanya boleh. Dan saya yakin kamu bisa melakukannya, kamu masih muda, lakukanlah.”

Apa saja sih syaratnya untuk mengikuti program international mobility?

“Misalkan seperti IISMA, program yang dilaksanakan reguler tiap tahun, dibuat oleh oleh kemendikbudristek. Kamu pertama harus punya paspor,” kata Nihlah. Syarat ini adalah pertama yang paling penting. “Meskioun ini situasi pandemi, paspor tetap syarat yang harus kamu miliki. Kamu harus punya IPK 3 untuk bergabung di program apapun ke luar negeri. Karena partner kita mensyaratkan itu,” imbuhnya. Syarat selanjutnya tentu bahasa inggris tadi, yang dibuktikan dengan TOEFL atau IELTS. Selebihnya adalah kesiapan diri untuk mengenali budaya dan bertukar pandangan di dunia global. “Kita akan belajar tentang local people di sana, bahasa, budaya, dan berbagai pengalaman yang sungguh sangat berbeda,” katanya.

Bagaimana program mobility ini berlangsung di masa pandemi. “Mayoritas negara menutup kunjungan, tapi tenang, selalu ada virtual mobility. Tapi sekarang kita tahu ada beberapa negara yang membuka negaranya, seperti belanda dan korea selatan,” kata Nihlah. Beberapa mahasiswa UII sudah mulai berangkat untuk studi dual degree ke beberapa negara yang bermitra dan telah membuka kunjungan luar negeri. “Itu kita punya partner di Belanda dan Korea Selatan, Mahasiswa fakultas kita di FBE sudah melakukan perjalanan mobility ke korea selatan kemarin Alhamdulilah, dan sudah sampai di sana dengan selamat,” katanya.

 

Reading Time: 2 minutes

Many people want to study abroad for various reasons. But, of course, there are ups and downs. Turkey is one of the most popular countries to study, but you have to be prepared to miss Indonesia because of its food and learning atmosphere. Especially during this pandemic, which keeps people from staying at home and lying down all day. Spring weather and Eid al-Adha will make you feel at home there.

 The story became the ups and downs of Balya Ibnu Mulkan, an alumnus of Industrial Engineering at the Islamic University of Indonesia who is currently pursuing a Master of Business Administration (MBA) in Turkey. The International Communication Program of the Islamic University of Indonesia held this Ramadan light chat while hanging out waiting for the time to break the fast on Friday, May 28, 2021.

 Fasting and Eid in Turkey are very unattractive, according to Balya. Fasting atmosphere and Eid with regular days there is no change at all. Although he was grateful because the weather was not so hot in the range of 16-19 degrees Celsius, explaining the long fasting time. Fasting time is also longer than in Indonesia, which is only about 14 hours. “This year it’s only 16 hours because it’s spring . Last year, it could be 17 hours because it was summer,” said Balya. Especially during the pandemic, which requires them to only stay at home, can’t go anywhere and is closely guarded by the police.

 Food is a complicated problem for Indonesian students in Turkey. Food in Turkey is too sweet and tends to sour. Balya admits that none of the types of food that he can enjoy and fit on her tongue. Balya feels tormented about eating; once or twice is okay for him, but for a long time, it becomes very torturous. “Every time I eat, I always want to go home,” Balya confessed.

 If in Indonesia, one supervisor can accompany 30-50 students. “Here (Turkey), one lecturer only accompanies four students,” said Balya.

There is even an interesting phenomenon related to eating and studying in Turkey, which Indonesian students commonly experience. According to Balya, the length of the study period in Turkey does not depend on the student’s achievements, whether they are brilliant or not. For Indonesian students, it depends on the environment and food. 

On average, it takes two years to complete a master’s studies. But Indonesian students are faster than the usual travel time. “Usually I don’t feel at home because of the food and the environment,” said Balya.

 Apart from food, there is also a social environment and learning atmosphere. Indonesian students usually chat with each other casually and work in groups to do assignments. But not in Turkey. This very different learning culture is a challenge for Balya. The challenge is getting real because the supervisor’s assistance is rigorous. If in Indonesia, one supervisor can accompany 30-50 students. “Here (Turkey), one lecturer only supevise four students,” said Balya. 

 

 

 

 

Reading Time: 2 minutes

Banyak orang menginginkan studi ke luar negeri dengan berbagi alasan. Tapi, suka duka tentu ada. Turki, salah satu negeri incaran untuk belajar, tapi kalian harus bersiap untuk kangen Indonesia karena makanan dan atmosfer belajarnya. Terlebih di masa pendemi yang memasung orang untuk tetap tinggal di rumah dan rebahan sepanjang hari. Cuaca musim semi dan Idul Adha yang akan membuat betah tinggal disana.

 

Cerita tersebut menjadi suka duka Balya Ibnu Mulkan, salah satu alumnus Teknik Industri Universitas Islam Indonesia yang kini tengah menempuh master bisnis administrasi (MBA) di Turki. Ngobrol ringan bulan ramadhan ini diselenggarakan International Program Communication Universitas Islam Indonesia sembari ngabuburit menunggu waktu berbuka puasa pada Jumat, 28 Mei 2021.

 

Berpuasa dan Lebaran di Turki sangat tidak menarik, menurut Balya. Susana puasa dan lebarannya dengan hari normal tidak ada perubahan sama sekali. Meskipun ia menyukuri karena cuaca tidak begitu panas di kisaran 16-19 derajat celsius, menjelaskan waktu puasa yang panjang. Waktu puasa pun lebih lama daripada di Indonesia yang hanya sekitar 14 jam. “Tahun ini hanya 16 jam karena sedang spring (musim semi). Kalau tahun lalu bisa 17 jam karena summer,” kata Balya. Terlebih masa pendemi yang mengharuskan mereka hanya di rumah saja, dan tiak bisa kemana-mana dijaga ketat oleh polisi.

 

Bicara soal makanan, faktor ini adalah masalah yang sangat pelik bagi mahasiswa Indonesia di Turki. Makasna di turki sangat manis cederung ke asam. Balya mengakui tak satupun jenis makanan yang dapat dia nikmati dan cocok di lidahnya. Balya merasa tersiksa soal makan, baginya sekali dua kali tidak masalah, tetapi untuk masa yang lama menjadi sangat menyiksa. “setiap kali makan, aku selalu pingin pulang rasanya,” Balya mengaku.

 Jika di Indonesia satu dosen pembimbing bisa mendampingi 30-50 mahasiswa. “Di sini (Turki), satu dosen hanya mendampingi empat mahasiswa,” ungkap Balya.

Bahkan ada fenomena menarik terkait makan dan studi di Turki yang jamak dialami mahasiswa Indonesia. menurut Balya, lamanya masa studi di Turki tidak bergantung cemerlang atau tidaknya prestasi mahasiswa, tetapi karena lingkungan dan makanan. Rata-rata untuk menamatkan studi master dibutuhkan waktu 2 tahun. Tapi mahasiswa Indonesia lebih cepat dari waktu tempuh lazim itu. “Biasanya nggak betah karena makanan dan lingkungan,” kata Balya.

 

Selain makanan, juga lingkungan sosial dan atmosfer belajar. Indonesia mahasiswa biasa saling ngobrol santai dan kerja kelompok untuk mengerjakan tugas. Tapi, di turki tidak. Kultur belajar yang sangat berbeda ini menjadi tantangan tersendiri bagi Balya. Tantangan makin nyata karena pendampingan supervisor sangat ketat. Jika di Indonesia satu dosen pembimbing bisa mendampingi 30-50 mahasiswa. “Di sini (Turki), satu dosen hanya mendampingi 4 mahasiswa,” ungkap Balya. 

 

 

 

Reading Time: 2 minutes

“Mustada’afun atau orang terpinggirkan dalam Islam dimanifestasikan apa?” lontaran pertanyaan moderator ini mendapat jawaban yang menarik dan tak pendek. Lalu Holy memberikan satu gambaran konteks sosial masyarakat modern yang saat ini dengan banyaknya gedung dan mobil mewah berseliweran. “Cara paling gampang” kata Holy, “ kita bisa ngecek apakah ada tetangga yang masih kelaparan atau tidak, kekurangan atau tidak”.

Komunikasi profetik bukan cuma dakwah. “Dakwah juga komukasi profetik, cuma itu berada di dimensi prakmatis-normatif; tatacara ibadah. Kamu boleh gini, nggak boleh gitu.”

Tetapi dalam komunikasi profetik tidak mengeliminasi tata-cara ibadah yang frontal dalam penjelasan Holy tentang mewujudkan masyarakat yang adil. “Dalam praktek komunikasi profetik, kalau tidak bisa dengan cara halus dan disampaikan melalui tata cara normatif, kalau kiranya harus demo, ya demo.”

Mustada’afun pada jaman nabi MUhammad dulu biasanya dapat dilihat dari status sosial dan ekonomi, misalnya miskin dan budak. Jaman sekarang harus diteliti dulu. Misalnya, apakah pengemis itu masuk dalam kategori orang tertindas. “jaman sekarang ini memang ada yang pengemis sebagai ‘profesi’ dan bahkan lebih kaya dari dosen UII,” contoh Holy sambil bergurau.

Dalam keseharian mahasiswa misalnya, ada juga yang tertindas. Misalnya ditengah mahasiswa yang setelah kuliah ini punya akses untuk mendapatkan pekerjaan dari kampus dengan akreitasi A dan predikat unggul, tetapi ada juga yang kehilangan kesempatan karena kampusnya akreditasi C, padahal bisa jadi ketrampilannya lebih baik. Nah, ketika ada banyak yang berpeuang, ada sedikit tidak. Ini kan tertindas, tidak adil sistem penerimaan pekerjaannya.

Contoh kasus lain, Holy memberikan gambaran tentang seorang waria tua. “Waria itu untuk mendapatkan pekerjaan saja sulit. Di tengah masyarakat terkucilkan, apalagi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Waria saja yang muda tertindas, apalagi yang sudah tua yang secara fisik sudah lemah.” Holy tidak mengesampingkan soal kontroversi waria, “ini soal manusia yang tertindas. Mereka perlu dirangkul, bukan dikucilkan dan malah jadi rentan.”

 

“Waria itu untuk mendapatkan pekerjaan saja sulit. Di tengah masyarakat terkucilkan, apalagi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Waria saja yang muda tertindas, apalagi yang sudah tua yang secara fisik sudah lemah.”

-Holy Rafika Dhona-

Untuk menigkatkan sense dan mengenali apakah masih ada yang terntidas disekitar kita, perlu banyak membaca; membaca kondisi, membaca keadaan selain juga penting membaca buku. ”Harus dikembangkan sense bahwa ada masalah di sekitar kita, sesuatu itu tidak terjadi dengan sendirinya, everthing is constructed,” saran Holy pada mahasiswa yang ingin lebih peka terhadap situasi sosial di sekitar mereka.