IP Communication Teatime: Eat, Pray, and Study di Turki

Reading Time: 2 minutes

Banyak orang menginginkan studi ke luar negeri dengan berbagi alasan. Tapi, suka duka tentu ada. Turki, salah satu negeri incaran untuk belajar, tapi kalian harus bersiap untuk kangen Indonesia karena makanan dan atmosfer belajarnya. Terlebih di masa pendemi yang memasung orang untuk tetap tinggal di rumah dan rebahan sepanjang hari. Cuaca musim semi dan Idul Adha yang akan membuat betah tinggal disana.

 

Cerita tersebut menjadi suka duka Balya Ibnu Mulkan, salah satu alumnus Teknik Industri Universitas Islam Indonesia yang kini tengah menempuh master bisnis administrasi (MBA) di Turki. Ngobrol ringan bulan ramadhan ini diselenggarakan International Program Communication Universitas Islam Indonesia sembari ngabuburit menunggu waktu berbuka puasa pada Jumat, 28 Mei 2021.

 

Berpuasa dan Lebaran di Turki sangat tidak menarik, menurut Balya. Susana puasa dan lebarannya dengan hari normal tidak ada perubahan sama sekali. Meskipun ia menyukuri karena cuaca tidak begitu panas di kisaran 16-19 derajat celsius, menjelaskan waktu puasa yang panjang. Waktu puasa pun lebih lama daripada di Indonesia yang hanya sekitar 14 jam. “Tahun ini hanya 16 jam karena sedang spring (musim semi). Kalau tahun lalu bisa 17 jam karena summer,” kata Balya. Terlebih masa pendemi yang mengharuskan mereka hanya di rumah saja, dan tiak bisa kemana-mana dijaga ketat oleh polisi.

 

Bicara soal makanan, faktor ini adalah masalah yang sangat pelik bagi mahasiswa Indonesia di Turki. Makasna di turki sangat manis cederung ke asam. Balya mengakui tak satupun jenis makanan yang dapat dia nikmati dan cocok di lidahnya. Balya merasa tersiksa soal makan, baginya sekali dua kali tidak masalah, tetapi untuk masa yang lama menjadi sangat menyiksa. “setiap kali makan, aku selalu pingin pulang rasanya,” Balya mengaku.

 Jika di Indonesia satu dosen pembimbing bisa mendampingi 30-50 mahasiswa. “Di sini (Turki), satu dosen hanya mendampingi empat mahasiswa,” ungkap Balya.

Bahkan ada fenomena menarik terkait makan dan studi di Turki yang jamak dialami mahasiswa Indonesia. menurut Balya, lamanya masa studi di Turki tidak bergantung cemerlang atau tidaknya prestasi mahasiswa, tetapi karena lingkungan dan makanan. Rata-rata untuk menamatkan studi master dibutuhkan waktu 2 tahun. Tapi mahasiswa Indonesia lebih cepat dari waktu tempuh lazim itu. “Biasanya nggak betah karena makanan dan lingkungan,” kata Balya.

 

Selain makanan, juga lingkungan sosial dan atmosfer belajar. Indonesia mahasiswa biasa saling ngobrol santai dan kerja kelompok untuk mengerjakan tugas. Tapi, di turki tidak. Kultur belajar yang sangat berbeda ini menjadi tantangan tersendiri bagi Balya. Tantangan makin nyata karena pendampingan supervisor sangat ketat. Jika di Indonesia satu dosen pembimbing bisa mendampingi 30-50 mahasiswa. “Di sini (Turki), satu dosen hanya mendampingi 4 mahasiswa,” ungkap Balya.