Teatime: Tugas Public Relation di tengah Pandemi

Reading Time: 2 minutes

Di saat-saat kondisi krisis, kebutuhan informasi sangat kencang. Arus informasi pun demikian. Banyaknya kebutuhan dan arus informasi tersebut sering kali justru membuat orang panik, dan simpang siur karena informasi yang saling tumpang tindih. Dalam sebuah institusi pendidikan seperti Universitas Islam Indonesia (UII), dibutuhkan sebuah tim Public Relation (PR) untuk mengatur informasi.

Teatime kali ini, Kamis, 8 Juli 2021, mengusung tema mitigasi krisis covid-19 oleh Public Relation (PR) di Universitas Islam Indonesia (UII). Diskusi peran PR di tengah pandemi ini mengundang Ratna Permata Sari. Ia adalah seorang Dosen Ilmu Komunkasi UII, sekaligus Kepala Public Relation (PR) UII.

Bisa dibayangkan ketika terjadi krisis, orang akan bertanya-tanya apa yang terjadi, apakah ada informasi terbaru, apa yang harus aku lakukan jika teman kost ada yang terinfeksi virus korona. Apa yang harus aku lakukan jika saya sendiri yang terinfeksi. Tak hanya seputar itu, simpang siur tentang perkuliahan daring juga sempat menjadi masalah.

Dalam situasi pandemi ini, PR harus membuat seperangkat aturan arus informasi untuk membendung arus informasi yang justru malah menyesatkan. Informasi yang benar akan membuat baik mahasiswa, orangtua, karyawan, juga dosen mendapatkan informasi jelas dan tepat.

Selain membuat informasi terkait protokel kesehatan di lingkup UII, PR UII juga membuat call center yang akan membantu semua civitas akademi UII mendapatkan informasi yang tepat dan akurat.

Misalnya informasi terkait urusan dan peraturan perkuliahan dan kerja-kerja di lingkungan UII. “Kalau ada informasi yang nggak jelas sumbernya bisa ditanyakan lewat call center. Informasi menjadi satu pintu jadi tidak membuat orang-orang bingung,” kata Ratna, yang juga adalah dosen spesialis klaster riset Komunikasi Visual.

Selain membuat call center, PR UII juga membuat perangkat aturan terkait kunjungan ke kampus. Bagaimana membuat aturan yang dapat memitigasi penularan covid misalnya dengan membuat Standart Operasiona prosedur (SOP) untuk beberapa jenis kasus. Misalnya membatasi jumlah tamu, membuat aturan, mengatur ruangan yang boleh dipakai, juga aturan penggunaan alat deteksi covid-19.

Kondisi pandemi ini bukanlah hal yang selalu sama, selalu berubah dengan adanya peningkatan kasus, merebaknya kasus di satu lokas tertentu, juga kebijakan pemerintah yang berubah-ubah. Dalam kondisi seperti ini, Ratna mengakui bahwa pandemi ini bukan krisis yang mudah. Ia juga mencontohkan beberapa negara yang juga masih belum berhasil sepenuhnya. “Nggak ada yang benar-benar ahli dalam menangani krisis di pandemi covid-19 ini,” ungkap Ratna.

Dalam kondisi ketidakpastian krisis ini, aturan dapat berubah kapan saja. Aturan tersebut harus berdasarkan atas kondisi terkini dan kemungkinan apa yang bisa terjadi ke depan. “Misal genose, ternyata sudah diketahui tidak begitu akurat mendeteksi adanya virus covid-19, makanya harus diubah,” kata Ratna.