Mahasiswi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia (FPSB UII) berpartisipasi dalam konferensi ilmiah internasional di Rangsit University Thailand. Konferensi bertajuk 4th Rangsit University National And International Research Conference On Science And Technology, Social Science, And Humanities 2019 dan UII ini diadakan pada 25-26 April 2019. Kedua mahasiswa UII atas nama Dian Annisa (Ilmu Komunikasi 2015) dan Pratiwi Mulido (Hubungan Internasional 2015) mempresentasikan penelitian penelitian Products Brand Image mengenai Modern Liberalism.

Sebelumnya mereka harus mengumpulkan full paper untuk dapat berpartisipasi. Paper yang sudah dikumpulkan akan direview oleh pihak pelaksana. Butuh satu hingga tiga kali revisi hingga penelitian peserta bisa diterima dan peserta mendapatkan Letter of Acceptance.

Disampaikan Dian Annisa bahwa di sana ia menyampaikan hasil penelitian dengan harapan dapat bermanfaat untuk peserta konferensi. “Tujuan dari kegiatan ini ialah sebagai wadah untuk berbagi pengetahuan dan hasil penelitian. Sebagai peserta pemula tentunya kami sangat senang dengan ilmu yang didapatkan dan pengalaman yang luar biasa dengan akademisi global”, tuturnya.

Penelitiannya yang berjudul “Effects of the Starbucks Products Brand Image on the Consumer Perception in XXI Empire Cinema” fokus pada pengaruh citra merek dan persepsi konsumen terhadap Produk Starbucks. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan ada efek yang muncul dari branding Starbucks dalam mengubah persepsi konsumen di Starbucks XXI Empire cabang Yogyakarta untuk mengkonsumsi produk-produknya. Manfaat dari penelitian ini tentunya dapat menjadi rujukan dalam memulai bisnis kedai kopi.

Sementara penelitian Pratiwi Mulido berjudul “Overview Of Modern Liberalism Theories About The Impact Of Economic Reform Vietnam”. Penelitian ini membahas tentang reformasi ekonomi Vietnam ditinjau dari teori modern liberalism.

“Penelitian ini menunjukan bahwa keberhasilan dalam reformasi ekonomi (Doi Moi) tidak berlangsung lama di Vietnam karena fakta menunjukan terjadi ketidakstabilan dalam PDB Vietnam. Dengan pendekatan teori Liberalisme Modern dapat dijelaskan bahwa pemerintah ikut serta dalam kegiatan ekonomi dan bertanggung jawab atas krisis ekonomi”, pungkas Pratiwi. Kedua mahasiswa pun berharap mereka dapat terus aktif dalam kegiatan akademik sarat manfaat seperti yang mereka ikuti kali ini. (GT/ESP)

Melihat pentingnya peran ikatan alumni terhadap kampus, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB), Universitas Islam Indonesia (UII) menginisiasi pembentukan ikatan alumni prodi serta buka bersama alumni pada Minggu (2/5). Acara tersebut berlangsung di Eastparc Hotel Yogya dan dihadiri perwakilan alumni serta pengurus prodi.

Kegiatan diawali dengan pembacaan surat keputusan tentang pembentukan Ikatan Alumni Prodi Ilmu Komunikasi Ruang Interaksi Alumni Komunikasi (Relasi) FPSB UII dan pengangakatan pengurus periode 2019/2023.

Dalam surat tersebut, diputuskan pengurus yang terdiri dari ketua, sekertaris, bendahara dan beberapa bidang, yang masa baktinya selama 2019-2023. Masa bakti selama empat tahun terhitung sejak penetapan yakni pada tanggal 10 bulan Mei tahun 2019, ditandatangani oleh ketua Dewan Perwakilan Wilayah Ikatan Alumni UII Didik Noor Dewantoro, SH, MM, serta Totok Purwanto S.H, Selaku sekertaris.

Pengurus yang dilantik di antaranya sebagai dewan pembina antara lain Dr. H. Fuad Nashori., S.Psi., M.Si., M.Ag., Dr. Phil. Emi Zulaifah., Dra., M.Sc., Puji Hariyanti., S.Sos., M.Kom. Selanjuntya, Muhammad Candra Kurniawan sebagai Ketua, wakil ketua dijabat oleh Intan Tanjung Sari, Muhammad Ikhsan Permana Putra, Ransi Hamsa Umar, dan Muhammad Akherus.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan, dan Alumni UII, Dr. Drs. Rohidin., S.H., M.Ag dalam sambutannya menekankan pentingnya peran alumni bagi akreditasi. “Saat akreditasi, pertanyaan terkait ikatan alumni prodi selalu ditanyakan, akan tetapi kita hanya bisa menunjukkan Ikatan alumni UII yang di dalam AD ART hanya ada satu.” Jelas Rohidin.

Dengan terbentuknya ikatan alumni tingkat prodi, diharapkan dapat mendorong para alumni dalam memberikan kontribusi mereka terhadap kampus. Dalam paparannya, Rohidin juga menyampaikan bahwa beberapa program terkait ikatan alumni telah disusun pihaknya. Salah satunya tentang regulasi donasi alumni, yang digunakan untuk membantu mahasiswa yang kurang mampu.

Melengkapi pernyataan Wakil Rektor, Didik Noor Dewantoro menyampaikan, “Aktivtas di luar keluar dapat berupa bakti sosial, kalau di DIY kita adakan sumbangan air bersih, mengadakan qurban di daerah terpencil, di daerah banjir kita juga ikut menyumbang, serta aktivitas sosial lainnya. Sedangkan untuk kegiatan internal kita ada pengajian rutin, dan juga di rumah sakit UII ada diskon bagi para alumni.” Jelasnya.

Pihaknya juga mendorong pembentukan IKA di tingkat prodi. “Kemarin kita dari Farmasi, Teknik Sipil, Ekonomi, beberapa di Fakultas Ilmu Agama Islam, serta beberap jurusan lain segera menyusul.” Imbuhnya.

Sebagai ketua IKA Relasi, Muhammad Candra Kurniawan yang juga merupakan alumni Ilmu Komunikasi angkatan kedua setelah Ilmu Komunikasi Berdiri tahun 2004, mengungkapkan rasa syukur atas dibentuknya organisasi ini. Candra berharap organisasi ini dapat menyatukan lagi para alumni yang telah lama lulus, yang tidak hanya ada di Indonesia tetapi juga yang ada di luar nergeri.

“Dengan terbentuknya Relasi semoga kita bisa saling membantu, saling support, kita bisa saling berbagi informasi, berbagi ilmu antara sesama alumni juga para adik-adik yang masih menempuh pendidikan, sehingga membawa manfaat untuk bersama.” Tegasnya. (DD/ESP)

Workshop menulis jurnal internasional adalah salah satu rangkaian dari The 5th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) dari 14-16 April 2019 di Auditorium FPSB UII. Acara yang dimoderatori oleh Herman Felani Tandjung dan diisi oleh pemateri Kati Lindström asal ahli Landscape Semiotic dari KTH Royal Institute of Technology, Swedia. Pada kesempatan workshop itu ratusan peserta hadir baik dari peserta konferensi maupun undangan. Acara ini diselenggarakan untuk membiasakan dan memberi kesempata pada Lindström berbagi pengalaman tentang penulisan jurnal secara internasional.

Lindström mengatakan tahapan penulisan jurnal internasional harus dicermati dengan benar. Standar penerbit juga tidak boleh luput diperhatikan. Pertama, persiapkan tema dan tulisan dengan matang dengan sumber-sumber yang kredibel. Hati-hati dengan self plagiarism. Setelah tahap persiapan selesai, tahap selanjutnya adalah memilih jurnal yang sesuai dengan tema yang kita tulis. Apakah ia relevan, apakah contoh yang diberikan sudah tepat. Setelah itu, proses submitting atau pendaftaran bisa dilakukan. Setelah submit, adalah masuk tahap review. Pada tahap ini yang perlu dilakukan adalah berdiskusi dengan reviewer dan membuka pandangan dan masukan.

Dalam workshop ini Lindström juga mendapat beberapa pertanyaan. Misalnya pertanyaan peserta dari Universitas Lambung Mangkurat. Ia bertanya apakah mungkin mengirim dua artikel jurnal ke 2 jurnal berbeda. “Tidak, itu tidak diperbolehkan, ambil kembali naskah anda jika itu terlalu lama dalam satu penerbit jurnal,” kata Lindström. Lalu ia bertanya lagi, “artikel jurnal saya menghilang, saya sudah mencarinya di digital tapi tidak ditemukan.” Menurut Lindström, itu tidak mungkin. “Itu pasti ada dalam database Scopus, anda bisa melacaknya di sana,” kata Lindström.

Tips dan Trik

Lindström menyarankan banyak hal. Misalnya, “‌Keep writing everyday an hour, (menulislah setiap hari satu jam). At the last automatically (pada akhirnya anda akan merasa terbiasa otomatis dalam menulis). Never a week because you will forget. (jangan sampai seminggu, karena anda bisa saja lupa ide anda),” kata Lindström. Menurut Lindström mengapa harus tiap hari, karena memulai lebih sulit. Tetapi sebaiknya kita juga harus menikmatinya. “its hard if you not enjoy that,” saran Lindström. Ada juga pertanyaan lain, mengapa harus menulis di jurnal internasional terdaftar scopus? “‌in scopus is more attraction, a lot more people to read. (Di scopus akan lebih banyak orang tertarik membaca karya kita),” katanya menjawab.

The international journal writing workshop is one of a series of The 5th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) from April, 14 until 16, 2019 at the FPCS UII’s Auditorium. The program was moderated by Herman Felani Tandjung and Kati Lindström as the speaker. Lindström is a Landscape Semiotic experts from KTH Royal Institute of Technology, Sweden. On this occasion, hundreds of participants attended both from the conference and invited participants. This event was held to familiarize and give Lindström a chance to share experiences on journal writing internationally.

Lindström said the stages of writing an international journal must be observed properly. Publisher standards also should not be overlooked. First, prepare themes and writings carefully with credible sources. Be careful with self plagiarism. After the preparation stage is complete, the next step is to choose a journal that matches the theme we are writing about. Is it relevant, is the example given right. After that, the submitting or registration process can be done. After submitting, the review stage is entered. At this stage what needs to be done is to discuss with the reviewer and open views and input.

In this workshop Lindström also received several questions. For example the questions of participants from Lambung Mangkurat University. He asked if it was possible to send two journal articles to two different journals. “No, that’s not allowed, take your manuscript back if it’s taking too long in one journal publisher,” Lindström said. Then he asked again, “my journal article disappeared, I have searched it digitally but not found.” According to Lindström, that is impossible. “It must be in the Scopus database, you can track it there,” Lindström said.


Tips and tricks


Lindström suggests many things. For example, “Keep writing everyday an hour. At the last automatically (eventually you will feel accustomed to writing automatically). Never a week because you will forget. (Not until a week, because you can just forgot your idea), “Lindström said. According to Lindström why it has to be every day, because starting is more difficult. But we should also enjoy it. “its hard if you don’t enjoy that,” Lindström suggested. There is also another question, why should I write in an international journal registered with Scopus?” Scopus is more attraction, a lot more people to read. On Scopus there will be more people interested in reading our work,” She said.

Untuk menjalin kerja sama yang baik dalam bidang keilmuan, khususnya dalam bidang penelitian komunikasi ruang dan lingkungan, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB), Universitas Islam Indonesia (UII), menyelenggarakan Konferensi Internasional yang kelima kalinya, pada Senin (15/4). Kegiatan dilangsungkan di Auditorium FPSB lantai 3 bertajuk “5th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) 2019” dengan tema “Communication Space and Environmental”

Konferensi internasional yang berlangsung selama 3 hari yaitu pada tanggal 14-16 April 2019 ini diisi dengan berbagai macam agenda. Hari pertama dilaksanakan pre-conference, sedangkan hari kedua dilaksanakan pembukaan konferensi dan penyampaian materi oleh pembicara kunci. Selanjutnya, pada hari terakhir diisi dengan sesi paralel lanjutan serta workshop bertajuk “How to Prepare Article for an International Journal”.

Wakil Dekan 2 FPSB UII, Dr. Phil. Emi Zulaifah., M.Sc dalam sambutannya mengucapkan selamat datang kepada para peserta yang datang dari berbagai negara, serta menyampaikan harapan agar kegiatan ini dapat meningkatkan semagat kolaborasi guna menciptakan kemaslahatan bersama.

“Tradisi kolaborasi interdisiplin ilmu sudah berlangsung sejak kampus ini berdiri pada 1945. Hal ini didasari oleh kesadaran bapak pendiri bangsa melalui dunia pendidikan, salah satunya membangun universitas ini (UII”, Jelasnya.

Senada, ketua panitia penyelenggara Holy Rafika Dhona., S.I.Kom., M.A menyebutkan terdapat lebih dari 100 abstrak yang terkumpul dengan 50 peserta yang hadir tak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari Malaysia, Filipina, Arab Saudi, dan Australia.

Sementara, Prof. Kati Lindstrom dari Institut Teknologi Kerajaan KTH Swedia dan Universitas Tartu Estonia, sebagai pembicara kunci pada konferensi tersebut, memaparkan materinya tentang “Perils of Celebratory Framing or Why History and Semiotics Matter For Biodiversity Communication”.

Ia menjelaskan keanekaragaman hayati saat ini, digambarkan melalui 3 bentuk, yaitu makanan (beras), hutan dan air, yang kemudian dikomunikasikan melalui pengadilan budaya, dan infrastruktur pariwisata. Sebagai bagian dari lingkungan, untuk melindunginya, tidak hanya terkait dengan praktek ilmu pengetahuan tetapi juga terkait pada nilai dan narasi budaya.

Ia menambahkan terdapat tiga warisan budaya yang menarasikan tentang lingkungan. Pertama bahwa kepedulian lingkungan yang kompleks terkadang direduksi menjadi narasi masa lalu, sederhana, dan menggugah. Kedua, representasi berlebihan terhadap lingkungan telah membentuk bias terhadap fenomena lain. Dan yang terakhir, tanggapan terhadap perubahan lingkungan, tergantung pada seberapa baik perubahan ini, sesuai dengan narasi menarik yang telah ada sebelumnya.

Untuk itu, ia menyebutkan diperlukan kebijakan yang baik dan tidak bertumpu pada nilai-nilai penguasa dalam menjaga lingkungan. Sehingga kebijakan tidak hanya dari perspektif lanskap hidup atau organisme yang dilindungi. Kebijakan cenderung bergantung pada konstruksi naratif yang kuat seperti alam dan budaya, diri dan lainnya, daripada perbedaan yang bermakna untuk kehidupan individu. (DD/ESP)

Retyan Sekar, a researcher in this discussion under the theme: The Space and Power in Jogja, got interesting and unusual findings. Retyan drew conclusions from her research (research title: Normalization of Demonstrations at the Jogja Zero Kilometers. He tracked during the pre-reformation era in Indonesia, none of the activists in the 80s and 90s were interested in protesting at the zero kilometer of Jogja. “In that era, the demonstration was usually held at the Gedung Agung or the closest is at Keraton Palace,” said Retyan, who is also a student female activist in Yogyakarta.

There is no big magnet to protest at Zero Kilometers’ Jogja, said one of the research sources. Likewise, during the reform era, the concentration of student demonstrations was not at Zero Kilometers’ Jogja. “In fact, the Gejayan Street, Bundaran UGM, and along the Malioboro Street or the Gedung Agung (National Palace) were the points of action,” Retyan said in the Monthly Routine Discussion of UII Communication Department on Tuesday, April 9, 2019, in the RAV (Mini Theatre) Room of UII Communication Department.

The student and civil protest is going to be popular to be held at the zero Kilometer of Jogja is in the post-reform era around 2004. At that time, many artists who protested at zero-kilometer Jogja as a form of counter-discourse to the government. In 2010 until now, the opposite happened. The Provincial Government of Yogyakarta carried out a counter discourse by making the zero kilometer jogja, at the end of Malioboro street, as the center of Jogja’s. What have they done was by revitalizing the infrastructure of the zero kilometers so that Zero Kilometer Jogja become the center of everything. Retyan, by the Geographic Communication perspective and using the Foucoult’s theory that listed in “Discipline and Punish”, saw this practice of space production by this local government as the normalization of protest actions.

There is discipline, supervision, and surveillance, by the local government through the media and various factors in the protest actions that held at the zero-kilometer point of Jogja. The demonstration at the zero kilometers is also being mediated by the media. Even though during the pre-reform and reformation, there was no interest and important point to made the zero kilometer as the peak of the demonstration. In the middle of the discussion, during the question and answer session, one of the discussion participants, Razik, questioned Retyan’s analysis, and quoting Henry Lefebvre’s thought.

“How actually happened, is media the only one that formed a Zero Kilometer as an action/ demonstration space or actually there are other factors or elements that formed? Is zero space important because it is part of “mode of production” of the capitalism model in Jogja?” Asked Razik. Retyan answered that she did not deny that there were other factors that formed the Zero Kilometer of Jogja as space of the center of the demonstration, but her research focus was that the media also contributed to the protest actions so that activists in the post reform era choosing zero kilometers of Jogja rather than at other locations such as other activists in the previous era.

This Discussions that were also carried out while breaking the fasting of ramadhan was became a space of appreciation and meeting of ideas. It also became a forum for sharing stories, methods, and techniques in conducting or doing research at the UII Communication Studies.

This writing is a continuation of What’s Up with Jogja Scrummy and the Zero Kilometer of Jogja?

 

Vivi Mulia Ningrum and Retyan Sekar Nurani, students of Communication Studies (2015), began to sit in front of the participants of the discussion in the Audio Visual Room (Mini Theater) of UII’s Communication Department. Both were accompanied by Risky Wahyudi, researcher and staff of Center for Study and Documentation of Alternative Media NADIM (PSDMA Nadim) Communication Department  of the Universitas Islam Indonesia (UII). Today, Tuesday, April 9, 2019, the three of them were the center of attention from the attendees at the Monthly Routine Discussion of UII Communication Department under the discussion theme: Space and Power in Yogyakarta.

This discussion is the first series on student research series in the Geography Communication cluster. Risky Wahyudi said, Communication Department hopes that this Monthly Discussions such as this models can strengthen the academic culture, academic pulpits, and become learning spaces for research, service and previous preaching. Both the research conducted by lecturers, students, and academicians can be used as learning and appreciation space.

Vivi and Retyan, in their thesis research, try to dismantle the ideology and practice of space production in Jogja. The results are diverse, Vivi for example, found in her research that Jogja Scrummy produced its outlets and outlets in such a random way just to form the ideology that Jogja was formed as a tourism city. “How can Dude Herlino advertise that Jogja Scrummy is a typical product of Jogja but he wears traditional Javanese clothes which are not typical of Jogja, but Surakarta?” Vivi said. The packed tagline reads “Remember Jogja, Remember Jogja Scrummy” suggests that their consumers are also tourists: people who travel. Jogja is no longer formed as a student city, but tourism, even though it is inconsequential, he said. The design of the interior space is arranged so that consumers who come not only shop but also take photographs.

“So the photo of artist Dude Herlino is mediation, then photographed consumers have also been included as a presenter, twice as much as this,” added Vivi, who claimed to have gone back and forth from Jogja Scrummy outlets for more than 15 times. Starting from interviewing various buyers there, He also recorded interviews, saw forms, found patterns, and simultaneously recited the meaning behind the space in Scrummy Yogyakarta. The atmosphere of the discussion warmed up when Risky Wahyudi, the moderator, questioned the conception of consumers as tourists who were not entirely right. .

For him and according to his observations in recent years, consumers of Yogyakarta Scrummy look not tourists but students or jogja people who buy their products to be made as souvenirs. The formation of Jogja as a tourist city does not seem right. Vivi answered by explaining the emphasis on the meaning of the Jogja Scrummy tagline interpretation that looked as if the consumer segment was a tourist seen from the choice of words in the tagline. Discussion # Series of Geography Communication Clusters

Retyan Sekar, peneliti dalam diskusi Ruang dan Kuasa di Jogja (Selain NYIA), mendapat temuan menarik sekaligus tak biasa. Retyan menarik kesimpulan dari risetnya soal Normalisasi Demonstrasi di Titik Nol Kilometer Jogja. Ia melacak selama pra reformasi, tidak ada satupun aktivis pada 80an dan 90an yang tertarik untuk melakukan aksi protes di titik nol kilometer jogja. “Pada jaman itu, yang ada biasanya aksi demo dilakukan di gedung agung atau kraton yang paling dekat,” kata Retyan yang juga adalah aktivis perempuan di Yogyakarta ini. Tak ada magnet besar untuk melakukan aksi protes di titik nol kata salah satu narasumber risetnya. Begitu juga pada masa reformasi, konsentrasi aksi demontrasi mahasiswa justru bukan di Titik nol Kilometer.

“Malah gejayan, bunderan UGM, dan sepanjang jalan malioboro atau gedung agung yang jadi titik-titik aksi,” tambah Retyan dalam Diskusi Rutin Bulanan Prodi Ilmu Komunikasi UII pada Selasa, 9 April 2019, di Ruang RAV Prodi Ilmu Komunikasi UII. Kecenderungan aksi demontrasi marak dilakukan di titik nol muncul pada masa paska reformasi sekitar 2004an. Saat itu banyak seniman yang melakukan aksi protes di titik nol kilometer jogja sebagai bentuk kontra wacana pada pemerintah.

 

Pada 2010 ke sini, yang terjadi sebaliknya, Pemerintah Daerah Provinsi DIY (pemda) melakukan perlawanan wacana balik dengan menjadikan titik nol sebagai titik sumbu jogja dengan melakukan revitalisasi fisik titik nol kilometer nol. Retyan, dengan kacamata Komunikasi Geografi dan menggunakan teori Foucoult dalam “Discipline and Punish”, melihat praktek produksi ruang oleh pemda ini sebagai normalisasi aksi-aksi protes. Ada pendisiplinan dan pengawasan oleh pemda lewat media dan beragam faktor pada aksi yang dilakukan di titik nol kilometer Jogja. Demonstrasi di titik nol menjadi termediatisasi juga oleh media. Padahal selama pra reformasi dan reformasi, tidak ada satupun ketertarikan dan titik penting untuk memasukkan titik nol kilometer sebagai puncak demontrasi.

 

Di tengah diskusi, saat sesi tanya jawab, salah seorang peserta diskusi, Razik, mempertanyakan analisis Retyan disambi mengutip Henry Lefebvre. “Bagaimana sebetulnya, apakah media adalah yang satu-satunya yang membentuk titik nol sebagai ruang aksi atau sebetulnya ada faktor atau elemen lain yang membentuk?Apakah ruang titik nol menjadi penting karena itu adalah bagian dari “mode of production” dari model kapitalisme di Jogja?“ tanya peserta tersebut.

 

Retyan menjawab bahwa ia tidak menafikan ada faktor-faktor lain yang membentuk ruang titik nol sebagai titik pusat demonstrasi, namun fokus dia adalah media juga punya andil dalam memediatisasi aksi-aksi di titik nol sehingga membuat aktivis-aktivis paska reformasi lebih memilih aksi di titik nol ketimbang di titik-titik lain seperti aktivis-aktivis lain di era sebelumnya.

Diskusi yang juga dilakukan sembari berbuka bersama itu menjadi ruang apresiasi dan pertemuan gagasan. Ia juga menjadi wadah berbagi cerita, cara, metode, dan teknik dalam melakukan penelitian di Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Tulisan ini adalah lanjutan dari Ada Apa dengan Jogja Scrummy dan Titik Nol Kilometer Jogja?

Sore itu, Vivi Mulia Ningrum dan Retyan Sekar Nurani, mahasiswa Ilmu Komunikasi (2015), mulai duduk di depan para peserta di Ruang Audio Visual (RAV Mini Theatre) Prodi Ilmu Komunikasi UII. Keduanya ditemani Risky Wahyudi, peneliti dan staf dari Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia  (UII). Kali ini, Selasa, 9 April 2019, mereka bertiga adalah pusat perhatian dari para hadirin di Diskusi Rutin Bulanan Prodi Ilmu Komunikasi UII dengan tema Ruang dan Kuasa di Jogja. Diskusi ini adalah diskusi seri pertama dari diskusi seri penelitian mahasiswa dalam klaster Komunikasi Geografi.

 

Risky Wahyudi mengatakan, prodi punya harapan Diskusi Bulanan dengan model seperti ini dapat menguatkan kultur akademik, mimbar akademik, dan menjadi ruang pembelajaran atas kerja-kerja penelitian, pengabdian, dan dakwah terdahulu. Baik itu penelitian yang dilakukan dosen, mahasiswa, maupun sivitas akademika yang dapat dijadikan pembelajaran dan ruang apresiasi.

 

Vivi dan Retyan, dalam penelitian skripsinya, berusaha membongkar ideologi dan praktek produksi ruang di Jogja. Hasilnya beragam, Vivi misalnya, menemukan dalam risetnya bahwa Jogja Scrummy memproduksi ruang-ruang gerai dan outlet-nya sedemikian rupa secara serampangan hanya untuk membentuk ideologi bahwa Jogja dibentuk sebagai kota pariwisata. “Bagaimana bisa iklan Dude Herlino mengatakan Jogja Scrummy adalah produk khas Jogja tetapi ia memakai pakaian adat jawa yang beskapnya bukan khas jogja, melainkan Surakarta?” kata Vivi yang . Tagline yang dikemas berbunyi “Ingat Jogja, Ingat Jogja Scrummy” mengesankan bahwa konsumen mereka juga adalah wisatawan: orang yang berwisata. Jogja bukan lagi dibentuk sebagai kota pelajar, melainkan pariwisata, meski secara ngawur, katanya.

 

Desain ruang interiornya pun diatur sehingga konsumen yang datang tak hanya berbelanja tapi juga berswafoto. “Jadi foto artis Dude Herlino adalah sudah mediasi, lalu konsumen berswafoto juga sudah termasuk termediatisasi, dua kali termediatisasi ini,” tambah Vivi yang mengaku telah bolak-balik outlet Jogja Scrummy hampir lebih dari 15 kali. Mulai dari mewawancarai beragam pembeli di sana, Ia juga mencatat wawancara, melihat bentuk, menemukan pola, dan sekaligus mendaras makna di balik ruang di Jogja Scrummy.

Suasana diskusi pun menghangat saat kemudian Risky Wahyudi, moderator, mempertanyakan konsepsi konsumen sebagai wisatawan yang tidak sepenuhnya tepat. Baginya dan menurut pengamatannya tahun-tahun belakangan, konsumen Jogja Scrummy terlihat bukanlah wisatawan melainkan mahasiswa atau orang jogja yang membeli produknya untuk dijadikan oleh-oleh. Pembentukan Jogja sebagai kota wisata sepertinya belum tepat. Vivi menjawabnya dengan menjelaskan titik tekannya pada makna tafsir tagline Jogja Scrummy yang melihat seakan segmen konsumennya adalah wisatawan terlihat dari pilihan-pilihan kata dalam tagline.

 

Diskusi #SeriPenelitian Klaster Komunikasi Geografi

 

“You are better apprenticed to community media, to be a creator, a planner. Instead of an internship in a large industry but to be a photocopier or clipper who has far-reaching communication skills.”

The three people who have been waiting for sharing their experiences in the professional job are now sitting at the front desk of the UII Auditorium. The three people are expert practitioners who will amaze their professional stories in front of hundreds of students at UII’s FPSB Communication Department. To mention from left, the youngest, is a professional broadcaster from UNISI Radio, Syarif or commonly called Acil’s as his radio name. Then beside him, there was Sigit Raharja, from Diskominfo Kulon Progo, and Ir. Riyanto, MM. Secretary of Community Empowerment and Child Protection Department of Yogyakarta Government.

All three explain the same thing: if you want to get into the world of work, the key is perseverance, want to learn, and believe in yourself. Acil for example said, even though now people often say the world of radio is approaching the twilight, but he rejects it. It was precisely the words of people about his work in the world of broadcasting that made him even more challenged and convinced that the world of radio would still live. People only change the medium, for example there is sound-cloud, there are podcasts, there are radios that can be accessed via the internet. So, perseverance and enthusiasm for learning are the key to facing digital developments in the world of work. Similarly, said Sigit Raharja and Riyanto from the regional government in DIY.

On that occasion, 5/4/2019, at the FPSB UII Auditorium, Anang Hermawan, Lecturer in Communication Department at UII, also gave a brief description of the implementation of the internship as a graduation requirement at the FPSB UII Communication Department.

Today, the this activity titled “Provisioning and Internship Preparation” was joined by dozens of Communication students in the class of 2015 who would start doing an internship.

“It used to be called KKK (Communication Work Lecture), which was held before the thesis. Now it has become an apprenticeship, and is carried out after the thesis is finished,” Anang said.

“The goal is to work on a thesis more seriously. Then you can enter the practical world,” he said. Anang explained, this was one of the three marrow bones of the UII Communication Department. “Our bone marrow is scientific research, academic/ knowledge, and practical,” he explained.

The concept of an communication department’s internship such as like this intends to actualize academic & practical competence. Internships are also an arena for realizing social competence (soft skills).

According to Mutia Dewi, one of the lecturers of Empowerment Communication expertise, now this communication department student can take advantage of the cooperation that has been established between Communication Department with more than 10 partners from government agencies, the private sector, creative industries, NGOs, community media, and others.

These partners such as the Office of Governance, KOMPAS TV, the Office of Women’s Empowerment, Konner Digital Asia, Diskominfo Kulon Progo, UNISI Radio, Tirto.id, X-Code Films, Cinema, Cornellia CO, INFEST Yogyakarta, Mojok.co, UNIICOMS TV, Metro TV, NET TV, BPPTKG, Mafindo, Narasi TV, Combine Resource Institution, Public Relations of DIY Government, Culture Office of Yogyakarta Government, and others.