​Mendamba Budaya Literasi & Jurnalisme Damai pada Rivalitas Sepak Bola

Reading Time: 2 minutes

Sudah sejak lama banyak media yang bermain api. Mereka hanya memberitakan konflik yang terjadi antar suporter dan tim sepak bola. Akibatnya, bukan solusi, melainkan friksi semakin membesar. Begitulah diskursus yang mencuat pada diskusi “Media dan Sepak Bola: Perspektif Media Massa dalam Melihat Rivalitas Sepak Bola Indonesia”.

 Diskusi ini diadakan di Halaman Parkir Student Area depan Gedung Unit 18 Prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII. Diskusi media & sepak bola yang berlangsung pada 22 November 2019 ini menghadirkan Narayana Mahendra, Dosen Komunikasi UII, dan FX Harminanto, Jurnalis Kedaulatan Rakyat. Mereka adalah dua orang yang dipercaya sebagai pembicara oleh Panitia Diskomunikasi Komunikasi UII dan Militansi 04 dalam rangkaian Sesasi Diskomunikasi 2019. 

FX Harminanto, wartawan KR, yang jadi pembicara diskusi kali itu mengatakan bahwa rivalitas tetap penting dalam olahraga dan kehidupan supporter. “Rivalitas itu harus diimbangi dengan literasi. Jangan kurang baca. Saya pesan, mulai nanti share ke teman yang lain, harus share berita bola secara utuh. Bukan tidak dibaca tapi asal share,” katanya menanggapi berita konflik supporter dalam peristiwa sepak bola di Indonesia belakangan ini.

Sedangkan Narayana Mahendra Prastya, Dosen Komunikasi UII, spesialis klaster jurnalisme dan komunikasi olahraga, mengatakan tiap wartawan mungkin punya pemahaman berbeda-beda. “Supporter di kampus harus melakukan kritik dan jalurnya sesuai hukum. Memang prosesnya lebih lama daripada membalas sebuah kebencian dengan cara yang lebih kejam,” ungkapnya.

Diskusi dihadiri  mahasiswa komunikasi UII, perwakilan supporter, dan beberapa tamu undangan yang concern pada isu media dan sepakbola di Indonesia.

Alkausar misalnya, salah satu peserta mahasiswa Komunikasi UII, mencoba memertanyakan soal mengapa media tidak menggunakan Jurnalisme Damai dalam tiap peliputan konflik suporter dan laga sepak bola. “Untuk jurnalisme damai dalam media itu gimana seharusnya? Kalau kasusnya ada suporter yang meninggal, kalau kita hanya mencari yang salah, maka sampai kapan, tidak akan ada yang selesai. Bagaimana jurnalisme damai digunakan?” Kata Al, panggilan Alkausar.

Jurnalisme damai memang digunakan sering dalam konflik atau peperangan, kata Narayana. Rusuh suporter sepak bola bisa dilihat sebagai bencana sosial, dan ,”jurnalisme damai itu bisa digunakan sebenarnya,” kata Narayana. Belum ada media yang mengarahkan,”ini penting lho suporter ini dengan ini berdamai,” sambungnya.

Narayana menambahkan bahwa pemberitaan tentang suporter jangan berhenti soal sanksi. Tetapi media juga tak bisa menunggu soal fakta ini, perlu riset, perlu menggali.

Memang kecenderungannya media sering berhenti di sanksi dan konflik, kata FX Harminanto.  Menurutnya, ini disebabkan media sekarang dituntut cepat, dan yang paling cepat dimintai keterangan tentu kepolisian. “Belum sampai ke solusi harusnya gimana,” katanya menganalisis. Jika media berniat menuju ke sana butuh riset yang mendalam. “Sekarang kan media olahraga kebanyakan daring ya, dan klaim gaji kan dari jumlah berita yang dibikin. Jadi memang sulit bikin berita yang mendalam.”

Meski begitu, FX Harminanto menambahkan hal itu akan jadi masukan untuk dirinya dan media, “Jangan sepak bola hanya jadi komoditas.”