Melihat kecenderungan kualitas foto mahasiswa saat ini yang jauh dari estetika, lebih mengedepankan sensasi daripada estetika, maka Klik 18 mengadakan workshop Estetika Foto. Workshop ini diadakan pada 15 Oktober 2019 bekerjasama dengan Hurray Photography. Hurray Photography di Plosokuning menyediakan tempat dan wahana belajar bagi Klik18. Kegiatan dilaksanakan dengan mengundang tiga pembicara kunci. Mereka adalah Ardani Kresna, yang bicara soal rasa, pemekaan indra, dan juga semiotika foto (pemaknaan). Sedangkan Damar Sasongko, seorang fotografer profesional, dan Dian Ananta banyak bicara di ranah street photography.

Peserta yang mengikuti workshop ini variatif. Mulai angkatan 2012, hingga 2016. “Namun mayoritas memang ditujukan untuk angkatan 2018 dan 2019. Total ada sekira 60 orang peserta yang hadir,” kata Achmad Jais Mustafa, Wakil Ketua Klik18. Pria yang lebih sering disapa Jais, ini mengatakan workshop ini bertujuan meningkatkan kualitas karya, dan hasilnya akan dipamerkan pada pameran akhir tahun. “Praktik motretnya di makrab di Diksar 2019, lalu output-nya di pameran rencana 22 Desember,” ungkap Jais menjelaskan pameran akhir tahunnya. Menurut Jais, workshop ini adalah workshop tahunan klik18 dan ini adalah satu-satunya workshop yang terpisah dengan pameran.

Menurut Jais, Ardani dapat menjelaskan pemaknaan keindahan sebuah foto. Setelah itu peserta barulah diajak dan diarahkan pada genre-genre foto. “Mas Dani itu penyampaian materinya sangat seni, dia bisa menggambarkan yang nggak bisa digambarkan, foto suara di pagi hari, misalnya. Foto hutan kabut, burung-burung. karakternya fotonya fine art,” kata Jais berpendapat tentang jalannya workshop. Inti dari Dani, kata Jais, “Gimana kita bisa menginterpretasikan apa yang tak bisa ditangkap oleh foto.”

‌Sedangkan menurut Ardani, kru dan fotografer Klik19 sudah dapat menangkap konsep dalam foto, “tinggal eksekusi aja,” kata Dani seperti ditirukan Jais. Menurut mahasiswa angatan 2017 asli Ternate ini, tak hanya berbagi trik, dalam pelatihan itu foto-foto anggota Klik18 juga dibedah. “Ada timbal balik, anak klik sharing pengalaman gimana cara ambil fotonya juga,” kata Jais. Misalnya, kata Jais mencontohkan, ada sebuah foto karya Atta Rahmaputra. Atta memotret kipas warna-warni yang biasa dimainkan anak-anak. Terlihat asap. saat Atta ditanya alasannya, “asal ngambil katanya,” ujar Jais. Komentar Dani atas foto yang jadi contoh diskusi,”ini sudah art, tapi pesannya apa. Pesannya bukan dari caption, tapi langsung dari fotonya. Jadi mereka sudah tau pesannya tanpa harus lihat caption.” seperti dituturkan Jais. “Sering2 motret biar kalian tau karakter foto kalian,” kata Ardani kemudian memberi pesan dan tips pada anggota-anggota Klik18 kali itu.

Foto: Marcellino Bima/ Klik18

October 4, 2019 became a charming day. The reason was, HIMAKOM UII split the heat of the city of Jakarta in order to establish friendship and networking. Charming for meeting a lot new friends. On that occasion, Himakom UII visited to the secretariat of the Student Association of University of Indonesia’s Communication Sciences (HMIKUI). The event, which was given the theme of the National Visit, was a means of exchanging opinions and sharing anxiety and thoughts. Not only that, in the national agenda, HIMAKOM UII also learned and shared experiences with HMIK UI about organizational management, lectures and campus conditions and the latest communication issues.

The hope, this national visit can create inspiration and establish friendly relations between the two parties. And of course, both parties can also increase opportunities for cooperation in matters relating to communication, the media, and also of course the student movement especially in the scope of the Department or Communication Science Program.

This National Visit was also attended by representatives of the communities at  Communications Science. Such as Redaksi Komunikasi which was represented by the chairman and the board of management. There are also Klik18, Kompor.kom, Dispensi, and Galaxy Radio which also participated in enlivening and sharing in the forum.

Based on the records, this is the second time for Himakom UII’s visit to Himakom partners in Indonesia. Previously, a regional visit was conducted by Himakom UII to Komakom UMY. Previously, there were also many Himakom (Communication Student Association) from other campuses who came to gain experience from Himakom UII. Noted as a visit from Himakom UPN “V” Yogyakarta and Himakom UIN Yogyakarta and other himakoms who are members of the Indonesian Communication Studies Student Association (IMIKI)

4 Oktober 2019 jadi hari yang cerah. Pasalnya, HIMAKOM UII membelah panasnya kota Jakarta demi menjalin silaturahim. Cerah ceria bertemu kawan baru. Pada kesempatan hari itu, Himakom UII melakukan kunjungan ke sekretariat Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (HMIKUI). Acara yang diberi tema Kunjungan Nasional ini merupakan sarana bertukar pendapat serta berbagi kegelisahan dan pemikiran. Tak hanya itu, dalam agenda nasional itu, HIMAKOM UII juga belajar dan berbagi pengalaman dengan HMIK UI soal pengelolaan organisasi, perkuliahan dan kondisi kampus dan isu komunikasi terkini.

Harapannya, kunjungan nasional ini dapat menciptakan inspirasi dan menjalin hubungan silaturahim kedua belah pihak. Dan tentu saja, kedua belah pihak juga bisa meningkatkan peluang kerjasama dalam hal-hal berbau komunikasi, media, dan juga tentu saja pergerakan kemahasiswaan khususnya di lingkup Jurusan atau Program Studi Ilmu Komunikasi.

Kunjungan Nasional ini juga diikuti oleh perwakilan komunitas-komunitas yang ada di Komunikasi UII. Seperti Red-Aksi Komunikasi yang diwakili ketua dan jajaran pengurusnya. Ada juga Klik18, Kompor.kom, Dispensi, dan Galaxy Radio yang juga turut serta meramaikan dan berbagi dalam forum tersebut.

Berdasar catatan, ini adalah kali kedua kunjungan Himakom UII ke mitra Himakom se Indonesia. Sebelumnya kunjungan sifatnya regional dilakukan Himakom UII ke Komakom UMY. Meski begitu, bukan berarti tidak ada kemitraan. Sebelumnya juga banyak himakom dari kampus-kampus lain yang bertandang menimba pengalaman dari Himakom UII. Tercatat seperti kunjungan dari Himakom UPN “V” Yogyakarta dan Himakom UIN Yogyakarta serta himakom-himakom lain yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia (IMIKI)

‌”Enaknya digital itu,” kata Tri Ghofur, tim Kreatif Narasi TV, “Judulnya clickbait tapi kontennya sesuai.” Ghofur memulai sesi diskusi dengan jawaban demikian. Clickbait boleh, tapi konten harus sesuai, bukan bombastis tapi isinya sama sekali tak berhubungan dengan judul. Teknik mengemas sajian produk siaran dengan kreatif menjadi penting di era digital kini. Begitulah yang dikemukakan Tri Ghofur dalam Workshop produksi program Uniicoms TV pada 30 September 2019 di Lab. Audiovisual Prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII.

 

Ghofur, panggilan akrabnya, menceritakan bagaimana ia memulai karir di Narasi TV, sebuah televisi berplatform digital besutan Najwa Shihab, Dahlia Citra, dan Catharina Davy. Ia yang kini menjadi tim kreatif program Tompi Glenn di Narasi TV, mendorong para peserta workshop untuk selalu memanfaatkan potensi sekitar untuk menciptakan program yang kreatif.

 

Uniicoms TV misal punya target, “Aku kebayang misal tadi ada dimanfaatin aja seniman jogja, tokoh terkenal di jogja karena mereka udah jadi, jogja aja cukup. Bikin program dengan mereka,” kata Ghofur. Alumni Komunikasi UII ini mengatakan Uniicoms TV sudah harus memanfaatkan potensi Jogja yang berlimpah seniman, tokoh, budaya, dan potensi lain untuk menjadi daya dorong popularitas program Uniicoms TV.

 

Saran ini membuat peserta tertantang sekaligus berpikir. Bagaimana caranya? Misalnya salah satu peserta, Bagus,  menanggapinya di tengah diskusi. Ia bingung, tanpa bermaksud mendiskriditkan lembaga manapun,  mengapa acara-acara dengan konten judul ‘cinta-cintaan’ atau yang berlabel ‘hijrah’ justru lebih ramai. Namun jika isunya berat seperti soal kepentingan publik, malah sepi. Ghofur melihat fenomena itu bisa disikapi dengan membuat program yang kreatif dengan konten yang alternatif. “Harus berani sih (berpikir alternatif),” kata Ghofur.

 

Bisa saja uniicoms TV bikin program yang ‘ngepop’ dan itu ada nama besar di sana. “Talkshow sama siapa, itu nama besar yang bisa kita ‘do mpleng’namanya. Atau bahas isunya yang lagi tren. Tapi tetap berbobot konten dan kemasannya,” usulnya pada peserta yang kesemuanya adalah kru Uniicoms TV dan pendatang baru dalam dunia digital broadcasting. “Kan teman-teman mahasiswa waktu luang masih punya, manfaatkan. Misal dulu kan ada tuh program TV main-main ke rumah musisi TV . Bisa memodifikasi itu,” tambahnya lagi. Bisa juga, kata Ghofur, Ia dulu sering bertandang ke rumah Adam Sheila On 7, dari situ ia bisa membuat event dengan SO7 pengisinya. Berawal dari intensitas bertamu. Bisa saja diajak kerja bareng kolaborasi program kreatif tertentu. “Rumahnya (Mas Adam) deket banget di sini, main dulu aja.”

 

Selain berdiskusi, workshop juga diisi dengan praktik membuat program acara. Peserta berkelompok dan akhirnya menelurkan beberapa rancangan ide program berdasar prinsip STP (Segmentasi, Target, Positioning). Ide ditulis beserta konsep, dan rencana host yang potensial  termasuk sponsor apa yang potensial menjadi target. Misalnya ada peserta yang berencana membuat program olahraga yang ‘fun’, atau juga program obrolan santai dengan gaya anak muda, dan beragam rancangan program lainnya.

“That’s the comfort of the digital world,” said Tri Ghofur, Creative team of Narasi TV , “The title is clickbait but the content is appropriate.” Ghofur began the discussion session with such answers. Clickbait may, but the content must be appropriate, not bombastic and unrelated to the title. The technique of packaging a presentation of a broadcast product creatively becomes important in today’s digital era. That was what Tri Ghofur said in the Workshop on TV Program Production of the Uniicoms TV on 30 September 2019 in the Audiovisual Laboratory of Communication Science Department of FPCS UII.

Ghofur, his nickname, tells how he began his career in Narasi TV, a digital television platform made by Najwa Shihab, Dahlia Citra, and Catharina Davy. He, who is now a creative team in the Tompi Glenn program on Narasi TV, encourages workshop participants to always utilize the potential around them to create creative programs.

For example Uniicoms TV has a target, “I imagine, for example, that there have been benefits from Jogja artists, famous figures in Jogja because they are ready, just enough. Make a program with them,” said Ghofur. Ghofur, the Communication Science Department Alumni, said that Uniicoms TV had to utilize Jogja’s abundant potential of artists, figures, culture and other potentials to be the driving force for the popularity of Uniicoms TV programs.

This suggestion makes the participants both challenged and think. How to? For example, one participant, Bagus, responded in the middle of the discussion. He was confused, without intending to discuss any institution, why events with the content title ‘love’ or labeled ‘Hijra’ were even more crowded. But if the issue is heavy as a matter of public interest, it is always quiet enthusiasts.

 

Ghofur sees that this phenomenon can be addressed by creating creative programs with alternative content. “You have to be brave (think alternative),” Ghofur said.

Uniicoms TV could make a program that is ‘snapping’ and there is a big name there. “Talkshow with whom, that’s a big name that we can use their popularity. Or maybe we can create program that discuss the issue that trending. But still weighing on the content and packaging,” he suggested to participants who were all Uniicoms TV crews. For example, there used to be a TV program playing to the house of a TV musician. We could modify it,” he added. It could also, said Ghofur, he used to come to the house of Adam Sheila On 7, from where he could make an event with SO7 fillers. Starting from visiting intensity. It could be invited to work with certain creative program collaborations. “The house (Mas Adam) is very close here, just come visit there first.”

In addition to discussions, the workshop was also filled with the practice of making program planning. Participants in groups and finally spawn some program ideas based on the principles of STP (Segmentation, Target, Positioning). Ideas are written along with concepts, and potential host plans including what sponsors are potential targets. For example there are participants who plan to create a ‘fun’ sports program, or also a casual chat program with a youth style, and various other program designs.

 

Hundreds of combined students from all of DIY huddled in front of the Auditorium on the 2nd Floor of the UII Library Building on September 28, 2019. They were also activists from the student press, the journalistic community, and many were also students of the Communication Science Department. Not only students, there are also lecturers and education staff who participated in this activity. Everyone looked enthusiastic because they were also busy carrying laptops to follow the material. This event is a collaboration with the Communication Science Department of UII and the Alliance of Independent Journalists (AJI) Indonesia, which is also supported by Google News Initiative and Internews.

The activity entitled “Halfday Facting Checking” was facilitated by two Google certified trainers namely Rini Yustiningsih and Agung Purwandono. This activity was also held ahead of International Rights to Know Day on September 28. The focus of this training is to hone the skills of the general public, community, campus academics, student journalists to utilize a number of tools on the internet to conduct online verification that is widely circulating in cyberspace.

The speaker, Rini Yustiningsih, from Solo Pos Newspaper, and Agung Purwandono from KR.com showed several slides presenting about hoax examples. First, what must be understood before checking the facts is understanding the difference between Misinformation and Disinformation. Misinformation means wrong content but is trusted by the broadcaster. Whereas on the contrary, Disinformation is the wrong content, and the broadcaster knows it is wrong, but is still intentionally distributed.

Rini said, there are 7 kinds of misinformation content. For example, examples of misinformation that are misleading. Events are different, but the context is related to other contexts or assumptions. Rini gave an example of earthquake news in regencies in Indonesia by adding “In this location the 6.5 magnitude earthquake was visited after Jokowi Masyaaalah” he said. There is no direct relationship between Jokowi’s visit and the earthquake. There are also examples of information contents that are illogical but are trusted because of certain religions and beliefs. Rini and Agung gave an example of a Facebook account showing a picture of a smiling baby and added, “This baby smiled at birth because he escaped the fierceness of his mother who wanted to abort her.”

But is there any reason behind misinformation and disinformation content? First, this is due to the weak quality of journalism, said Agung. Journalists often (and of course the mass media) are more concerned with profits and clicks than quality. The essence of journalism is forgotten for profit. Second, misinformation and disinformation can often also occur to create an atmosphere that Agung said, “funny content.” Some content creators also create such ambiguous content for the sake of earning money. Furthermore, Agung said, and this was recently rampant and crowded during the last election moment which was the reason, “political movements. Of course the reason for content to be misinformed and also because the content was made by clickbait. This type of clickbait content sacrificed accuracy, quality, and correctness thereby increasing the amount of revenue from clicks and traffic on the page.

Tips For Fighting Hoax

Agung gives tips for fighting hoaxes, misinformation, and disinformation. First, do not immediately believe and share information what you get on social media. If you find a hoax, fight. You also have to be skeptical (suspicious), check, and re-check. If you find disinformation and misinformation content, don’t be silent. Do the following, said Agung. Check the site address, for example check the site address on the domainbigdata.com site. “Enter the site address into the domain databigdata. Later you will see which websites are credible and open, which are suspicious,” Agung said. Try comparing kompas.com and enter beritaterheboh.com enter domainbigdata.com, he said again to test.

Agung also said, we should check visual details. Often events are written in Jogja, but after examining the visual details show the building is not jogja. Be careful too many writings that mimic the original news. Check “about us” or “editor” menu. If the publisher, website editor clearly stated, clear address, and trusted, the content is likely to be trusted and credible. “According to the Press Law, it must be clear and the name of the person in charge,” said Agung. In addition, the news web should include Guidelines for Media News Coverage on its page.

In addition to checking facts and hoaxes, participants were asked to be hygienic in the digital world. The material “Digital Hygiene” which is also the closing session advises us to always change passwords (keywords) on email, smart phone applications, and everything connected in the digital world. Even if you don’t, use strong keywords that aren’t easy to guess. Agung and Rini suggested that participants can try to enter passwords on the password strength test website at howsecureismypassword.net. Participants are also asked to enter an email address on the website haveibeenpwneed.com to find out if an email has been broken into. If you have, protection measures must be taken immediately: strengthen passwords, avoid accessing email on public computers, and so on.

 

Ratusan mahasiswa gabungan dari seluruh DIY menyemut di depan Auditorium Lantai 2 Gedung Perpustakaan UII pada 28 September 2019. Mereka juga beberapa adalah aktivis lembaga pers mahasiswa, komunitas jurnalistik, dan banyak juga yang juga adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi. Tak hanya mahasiswa, ada juga dosen dan staf tenaga pendidikan yang ikut kegiatan ini. Semua terlihat antusias karena juga ramai bawa laptop untuk mengikuti materi. Acara ini adalah kerja bareng Prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang juga didukung Google News Initiative dan Internews.

Kegiatan berjudul “Halfday Factchecking” ini difasilitasi oleh dua trainer bersertifikasi Google yaitu Rini Yustiningsih dan Agung Purwandono. Kegiatan ini juga dihelat menjelang hari hak informasi internasional pada 28 September. Fokus dari pelatihan ini adalah mengasah keterampilan masyarakat umum, komunitas, akademisi kampus, jurnalis mahasiswa untuk memanfaatkan sejumlah tools di internet guna melakukan verifikasi online yang banyak beredar di dunia maya.

Pemateri, Rini Yustiningsih, dari Solo Pos, dan Agung Purwandono dari KR.com menunjukkan beberapa slide presentasi soal contoh-contoh hoax. pertama, yang harus dipahami sebelum mengecek fakta adalah mengerti dan memahami beda antara Misinformasi dan Disinformasi. Misinformasi berarti konten yang salah namun dipercaya oleh penyebarnya. Sedangkan sebaliknya, Disinformasi adalah konten yang salah, dan penyebarnya mengetahuinya salah, tetapi tetap sengaja disebarkan.

Kata Rini, Ada 7 Macam konten misinformasi. Misalnya, contoh misinformasi yang misleading atau dihubung-hubungkan. Peristiwa berbeda, namun konteksnya dihubungkan dengan konteks atau asumsi yang lain. Rini menyontohkan berita gempa di kabupaten di Indonesia dengan ditambahi “Di lokasi ini gempa 6,5 SR pasca dikunjungi Jokowi Masyaaalah” katanya. Tidak ada hubungan langsung kunjungan jokowi dengan terjadinya Gempa. Ada juga contoh konten-konten informasi tidak logis tapi dipercaya karena agama, kepercayaan tertentu. Rini dan Agung menyontohkan gambar sebuah akun facebook menunjukkan gambar bayi tersenyum dan ditambahkan, “Bayi ini tersenyum ketika lahir karena lolos dari keganasan ibunya yang ingin menggugurkan dia.”

Namun adakah alasan di balik konten misinfomasi dan disinformasi? Pertama, ini akibat kualitas jurnalisme yang lemah, kata Agung yang juga. Seringkali jurnalis (dan tentu saja media massa) lebih mementingkan keuntungan dan klik ketimbang kualitas. Esensi jurnalisme dilupakan demi profit. Kedua, konten mis dan disinformasi bisa terjadi juga sering untuk menciptakan suasana yang kata Agung, “lucu-lucuan.” Beberapa kreator konten juga membuat konten yang ambigu seperti itu untuk kepentingan cari duit. Selanjutnya, kata Agung, dan ini belakangan marak dan ramai saat momen pemilu lalu yaitu alasan, “gerakan politik. Tentu saja alasan konten menjadi mis dan disinformasi juga karena konten dibuat dengan cara umpan klik (clickbait). konten umpan klik macam ini mengorbankan akurasi, kualitas, dan kebenaran sehingga meningkatkan jumlah penghasilan dari klik dan traffic pada laman.

Tips Untuk Lawan Hoax

Agung memberikan tips untuk melawan hoax, misinformasi, dan disinformasi. Pertama, jangan langsung percaya dan share. Jika temukan hoax, lawan. Kamu juga harus skeptis (curiga), cek, dan ricek. Jika menemukan konten yang disinformasi dan misinformasi jangan diam. Lakukan hal berikut, kata Agung. Cek alamat situs, misal cek alamat situs di situs domainbigdata.com. “masukkan alamat situs ke web domainbigdata itu. nanti akan terlihat mana website yang kredibel dan terbuka, mana yang mencurigakan,” kata Agung. Coba bandingkan kompas.com dan beritaterheboh.com masukkan ke domainbigdata.com, katanya lagi untuk menguji.

Agung juga bilang, kita sebaiknya cek detail visual. Seringkali ditulis kejadian di Jogja, tapi setelah ditelisik detil visualnya menunjukkan bangunan bukan jogja. Hati-hati juga banyak juga tulisan yang meniru berita asli. Cek “about us” atau menu “redaksi”. Jika penerbit, redaksi website tertera jelas, alamat jelas, dan terpercaya, tentu konten kemungkinan bisa dipercaya dan kredibel. “Sesuai UU Pers harus jelas dan nama penanggungjawabnya,” kata Agung. Selain itu, web berita sebaiknya mencantumkan Pedoman Pemberitaan Media Siber dalam lamannya.

Selain mengecek fakta dan hoax, peserta diminta untuk selalu higienis dalam dunia dijital. Materi “Digital Hygiene” yang juga jadi penutup sesi menyarankan kita untuk selalu mengganti password (kata kunci) pada surat elektronik, aplikasi, dan semua yang terhubung dalam dunia digital. Jikapun tidak, pakai kata kunci yang kuat dan tidak mudah ditebak. Agung dan Rini menyarankan peserta mencoba masukkan password di website tes kekuatan password di howsecureismypassword.net. Peserta juga diminta memasukkan alamat email di situs haveibeenpwneed.com untuk mengetahui sudah pernahkah email dibobol. Jika sudah pernah, baiknya tindakan proteksi segera dilakukan: kuatkan password, hindari mengakses email di komputer publik, dan lain sebagainya.

Ditemani cemilan dan sajian teh, diskusi berlangsung hangat. Malam itu kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengundang Masduki, Dosen Komunikasi UII, berbicara membagikan pengalamannya selama tinggal di Jerman soal kondisi terkini media dan jurnalisme di Jerman. Diskusi yang berlangsung pada 24 September 2019 ini dihadiri oleh jurnalis, pegiat pers mahasiswa, aktivis NGO, dan beberapa mitra AJI yang lain. Cerita soal kondisi media di Jerman menjadi penting untuk memperbarui dan membandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia kini juga. Refleksi dan diskusi ini seakan kulakan informasi sehingga menjadi pelajaran untuk bersikap di dunia media dan pers di Indonesia.

Meski Jerman sering dicap sebagai negara maju di Eropa, kata Adink, panggilan akrab Masduki, ada tiga tabu yang harus dipahami jurnalis dan media di Jerman. Pertama, tabu meliput yang menentang eksistensi holocaust. “Holocaust pasti ada, tidak boleh dilawan,” kata Adink. Sepertinya, Jerman ingin memori soal pembantaian massal (holocaust) di Jerman jaman nazi tidak boleh hilang. Kesan yang ditangkap ingin orang di masa mendatang tidak mengulangi sejarah kelam itu. Kedua, ada tabu, meski tidak dilarang, meliput soal Neo Nazi. “Orang-orang Jerman seperti merasakan mimpi buruk Jerman pernah punya Hitler,” katanya menjelaskan. Tabu ketiga adalah Hate Speech terhadap pemerintah yang belum disahkan. “Masih untung sekarang pemerintahnya dari partainya Merkel yang moderat,” tambahnya.

Media di Jerman juga sangat partisan. “Karena media cetak adalah alat kaderisasi kepartaian. Dan itu jadi gurita bisnis tersendiri. Sampai hari ini baru ada dua atau tiga media yg benar-benar reperesentasi media yg non partisan: murdoch dan dkk,” papar Adink. Bahkan, lanjut Adink, media yang berjaringan dengan Majalah Tempo yang melakukan investigasi Panama Paper, Süddeutsche Zeitung, itu milik partai moderat di Jerman selatan. “Dia berkoalisi dengan partainya merkel, CDO,” jelas Adink. Kondisi ini mungkin serupa di indonesia yang pernah memiliki fase media yang harus partisan pada 1950an.

Namun, lanjut Mahasiswa doktoral Institute of Communication Studies & Media Research (IfKW), Ludwig Maximilians University of Munich (LMU Munich), ini ada dua hal yg berbeda. Antara ownership dan newsroom. “Unik ini. Kayak gereja, itu dibiayai oleh pajak gereja. Sekali anda nulis KTP-nya katolik maka anda kena pajak gereja. Dan apa dilakukan gereja katolik? Gereja Katolik, tapi bikin kegiatan utk refugee/ penyintas muslim,” kata Masduki. Seperti diketahui sebelumnya, Merkel memutuskan tampung 1 Juta pengungsi muslim di Jerman.

Masduki menambahkan, “Jadi, koran barangkali adalah bisnis partai, kalau medianya bagus, itu bagus buat citra partainya.” Berbeda dengan di Indonesia. Media di Indonesia sering digunakan oleh pemilik untuk mencitrakan pemilik, menguatkan citra politik dan membesarkan kepentingan ekonomi, jelas Adink sambil menuding beberapa media di Indonesia yang ‘partisan.’ Tommy Apriando, Ketua AJI Yogyakarta, salah satu peserta diskusi itu, mengiyakan. Kata Tommy, di iNews misalnya, sudah menjadi rahasia umum, “kalau urusannya bapak, ya suruh berangkat. Di Lombok dan beberapa daerah. Kalau ada acara bapak di daerah, nggak ada yg boleh ngalahkan. Partainya harus masuk.”

Kondisi Finansial Media dan Organisasi Jurnalis Jerman

Media di Jerman juga sudah mulai melakukan iuran publik. Der spiegel misalnya. Mulai mengarah ke crowfunsding digital, kata Adink. “Memang harusnya ke sana, mengambil dari pengiklan, pembeli eceran, apalagi subscriber membuat eceran menurun. Maka mau nggak mau pembiayaan lewat crowfunding,” papar Adink. Bahkan Riset-riset besar di Jerman dibiayai crowdfunding.

Bagaimana dengan organisasi jurnalis, tanya Shinta Maharani, jurnalis Tempo, salah satu peserta diskusi. Organisasi jurnalis juga ada iuran untuk menghidupi organisasi, jawab Adink. Organisasi Jurnalis seperti DJV (Deutscher Journalisten-Verband), “nggak pusing kalau di-PHK,” kata Adink lagi.

Di Indonesia, juga mulai bermunculan investigasi atau liputan dengan dana berbasis crowdfunding, meski belum banyak. “Modelnya tempo institute, fredom unlimited, dan NGO, tolong bikin liputan energi dong, tapi yang tentukan Tempo. Silakan ajukan proposal investigasi, nanti diseleksi. Didanai,” kata Tommy berbagi cerita dan pengalamannya melakukan investigasi bareng Tempo Institute.

Masduki mengatakan di Jerman ada riset crowdfunding untuk siaran konten layanan publik bisa mencapai 30 juta euro. Maka ada banyak start-up yang bikin podcast. Itu dibiayai oleh crowdfunding. Melalui online platform. “Misal dia nyetor 50 euro, bulan depan aku udah dapat podcast,” ungkapnya.

“Yang sosial cepat kalau di Indonesia. Misal yang dilakukan Ananda Badudu menggalang dana untuk aksi di Jakarta. Atau untuk kemanusiaan. Tapi kalau buat liputan jurnalisme investigasi sulit. Contoh Mas Wahyu Dhyatmika saja butuh 25 juta, Tapi baru setelah 3 bulan baru mencapai 5 juta,” kata Tommy menceritakan.

Adink bercerita dan menganalisa, sebab mengapa iuran publik di Jerman bisa marak dan berhasil. “Karena di jerman itu mungkin sudah mikir pasca material, kita butuh informasi yang bermutu. Nalarnya begitu.”

Apa yang harus Indonesia pelajari dari cerita Jerman ini? “Kita ke depan harus combating hoax dengan produksi konten terus. Nah dana itu juga bisa dengan crowdfunding, AJI dan jurnalis bisa berkolaborasi bikin konten seperti podcast, sekarang masih jarang kan konten podcast oleh jurnalis,” jawab Adink kemudian.

Accompanied by snacks and tea offerings, the discussion was warm. That night the office of the Alliance of Independent Journalists (AJI) Yogyakarta invited Masduki, Communication Lecturer of UII, to share his experiences while living in Germany about the current state of media and journalism in Germany. The discussion which took place on September 24, 2019 was attended by journalists, student press activists, NGO activists, and several other AJI partners. Stories about the condition of the media in Germany are important to update and compare with what is happening in Indonesia today. This reflection and discussion seemed to be like information so that it became a lesson to behave in the world of media and the press in Indonesia.

Although Germany is often labeled as a big country in Europe, said Adink, Masduki’s nickname, there are three taboos that must be understood by journalists and the media in Germany. First, the taboo covers those who oppose the existence of the holocaust. “There must be a Holocaust, no resistance,” Adink said. It seems that Germany wants to remember the memory of the massacre (holocaust) in Germany in the Nazi era. The impression captured wants people in the future not to repeat the dark history. Second, there are taboos, although not prohibited, covering Neo Nazis. “The Germans feel like a nightmare Germany once had Hitler,” he explained. The third taboo is Hate Speech against the government which has not been approved. “It’s still fortunate that the government is now from the moderate Merkel party,” he added.

The media in Germany is also very partisan. “Because print media is a party cadre regeneration tool. And it is a separate business octopus. To this day there are only two or three media that truly represent non-partisan media: murdoch and etc,” said Adink. In fact, continued Adink, the media networked with Tempo Magazine which conducted a investigation into the Panama Paper, Süddeutsche Zeitung, belonged to a moderate party in southern Germany. “He formed a coalition with Merkel’s party, CDO,” said Adink. This condition may be similar in Indonesia which had a media phase that had to be partisan in the 1950s.

However, continued the doctoral student of the Institute of Communication Studies & Media Research (IfKW), Ludwig Maximilians University of Munich (LMU Munich), there are two different things. Between ownership and newsroom. “This is unique. Like a church, it is funded by the church tax. Once you write the Catholic on your ID card, then you are taxed by the church. And what does the Catholic Church do? The Catholic Church, but makes activities for Muslim refugees,” Masduki said. As previously known, Merkel decided to accommodate 1 million Muslim refugees in Germany.

Masduki added, “So, the newspaper may be a party business, if the media is good, it is good for the party’s image.” Unlike in Indonesia. Media in Indonesia is often used by owners to image owners, strengthen their political image and enhance economic interests, explained Adink while accusing some media in Indonesia of being ‘partisan’. Tommy Apriando, Chairperson of AJI Yogyakarta, one of the discussion participants, agreed. Tommy said, on iNews, for example, it was common knowledge, “if it’s your business, tell me to leave. In Lombok and some areas. If there is an event in the area, no one can beat it. The party must enter.”

Financial Condition of  Media and Journalist Organizations in Germany

The media in Germany has also begun to make public contributions. Der spiegel for example. Began to lead to digital crowfunsding, said Adink. “Indeed, there should be, taking from advertisers, retail buyers, especially subscriber to make retail decline. So inevitably financing through crowfunding,” said Adink. Even major research in Germany is funded by crowdfunding.

What about journalist organizations, asked Shinta Maharani, a Tempo journalist, one of the discussion participants. Journalist organizations also have fees to support the organization, said Adink. Journalist organizations such as the DJV (Deutscher Journalisten-Verband), “don’t bother if they get laid off,” Adink said again.

In Indonesia, there has also begun to be an investigation or coverage with crowdfunding-based funds, although not much. “The model is institute tempo, unlimited fredom, and NGOs, please make an energy coverage, but determine Tempo. Please submit an investigation proposal, then it will be selected. Funded,” said Tommy, sharing his story and experience investigating with Tempo Institute.

Masduki said in Germany there was crowdfunding research for broadcasting public service content that could reach 30 million euros. So there are lots of start-ups that make podcasts. It was funded by crowdfunding. Through an online platform. “For example he deposited 50 euros, next month I already can podcast,” he said.

“The social one is fast if in Indonesia. For example, Ananda Badudu raises funds for action in Jakarta. Or for humanity. But for investigative journalism coverage it is difficult. For example, Mas Wahyu Dhyatmika alone needs 25 million, but only after 3 months only reached 5 million. “Tommy said.

Adink told and analyzed, the reasons why public contributions in Germany could flourish and succeed. “Because in Germany it might have been post-material thinking, we need quality information. Reason is like that.”

What should Indonesia learn from this German story? “In the future we have to combine hoaxes with content production continuously. Now the funds can also be with crowdfunding, AJI and journalists can collaborate to create content such as podcasts, now it is still rarely podcast content by journalists,” Adink answered later.

 

Waktu Cilik, atau masa kecil, adalah tema pameran yang dipilih mahasiswa Komunikasi UII yang tergabung dalam kegiatan mahasiswa dalam Komunitas Lensa Ilmu Komunikasi di gedung unit 18 Komunikasi UII. Pameran rutin, yang biasa disebut Panik (Pameran Perdana Anak Klik.18) itu, adalah pameran yang menjadi wadah ekshibisi perdana angkatan muda Klik18. Disebut Panik2018 karena kali ini yang punya hajat pameran adalah giliran angkatan 2018. Tema masa kecil, atau “Dunia Kecilku” seperti tertera dalam poster promosinya, berusaha menyuguhkan perbedaan permainan dan kenangan masa kecil saat kita tumbuh besar.

Pameran yang dihelat selama tiga hari mulai 19-21 September 2019 di Perpustakaan Pusat UII ini diikuti oleh sekira 35 foto hasil karya satu angkatan. Masa kecil dikenal selalu berisik, bahkan tak jarang panik. Rasanya pas dengan rancangan panitia yang ramai dan penuh gelegar dari hari pertama pameran, hingga puncaknya ada Awarding Night atau malam penganugerahan foto terbaik. Selain pameran, acara ini juga diramaikan dengan Workhsop “Basic Landscape and Portrait Photography” bersama Yosafat YK pada 20 September 2019. Ada juga pertunjukan dari bintang tamu Kavca Dio dan Wafi.

“Pengunjung yang hadir mencapai 350 orang, mas,” kata Winesti Rahayu, Panitia Panik 2018, saat dihubungi terpisah. Pada malam puncak penganugerahan diumumkan pemenang foto-foto terbaik. Pemenangnya Juara 1 diraih oleh Syahrul (angkatan 2018), Lalu Rissa Juara 2 dari angkatan 2018, dan Juara 3 adalah Finda dari angkatan 2017. “Jadi itu photo contest-nya dari foto-foto yang dipamerin. Kemudian pemenangnya diambil juga dari hasil vote pengunjung pameran,” kata Winesti menjelaskan mekanisme penganugerahan.