Reading Time: 2 minutes

Setelah Forum Amir Effendi Siregar (AES) sebelumnya diramaikan dengan lebih dari 200 pendaftar, kali ini Forum AES kembali diadakan. Tim kreatif Forum AES kini mengangkat tema Gegar Epistemik Komunikasi Orde Baru dan Pasca Pembangunan. Kali ini, pada 4 Juli 2020, pembicara mencapai salah satu kesimpulan bahwa Rezim Presiden Soeharto Memengaruhi Kurikulum dan Riset Ilmu Komunikasi Indonesia.

“Kemarin Mas Luthfi Adam sudah menjelaskan bahwa sejarah itu dibagi menjadi history of what, history of who, dan history of where. Mungkin bulan ini Forum AES tampaknya akan fokus pada history of What. Jadi, tentang studi komunikasi di Indonesia,” ucap Holy Rafika Dhona, moderator sekaligus Dosen di Program studi ini, memulai acara via aplikasi Zoom ini.

Pada Serial Forum AES yang kedua ini, Justito Adiprasetio, akademisi ilmu komunikasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) akan berbicara tentang sekelumit dan sejarah epistemik komunikasi sejak orde Soeharto. Bagaimana ‘publisisitik’ dan ‘penerangan’ menjadi arus utama. Sebelum istilah ‘ilmu komunikasi’ sebagai program studi populer di kampus-kampus Indonesia. Justito, akrab dipanggil Tito,  sedang merampungkan buku tentang Sejarah Pengetahuan dan Kekuasaan Imu Komunikasi di Indonesia.

Rezim Soeharto Memengaruhi Kurikulum dan Riset Ilmu Komunikasi

Bagaimana Riset-riset Komunikasi Didisiplinkan untuk Mendukung Pembangunanisme?

Tito, mengutip Michael Morfit di Majalah Prisma, pada 1970-1980an, hampir di setiap departemen pemerintah mendirikan satu seksi penelitian dan pengembangan untuk melaksanakan “penelitian yang berorientasi pada garis kebijakan.” Begitu juga yang terjadi di Departemen Penerangan.

Riset-riset yang kini bersandar pada misalnya, hibah Dikti atau Kominfo, dulu justru bertumpu total pada Departemen Penerangan. Kampus saat itu benar-benar menempel pada Departemen Penerangan sebagai sponsor penelitian. Inilah yang ditemukan Tito juga. Misalnya, ia memaparkan temuan riset-riset kampus  pada periode 1970-1980. Hampir semua riset adalah pesanan Departemen Penerangan atau Bappenas. Proyeknya pun berkisar misalnya, pada soal Keluarga Berencana (KB), perencanaan Pelita, dan lain-lain.

Itu terjadi di UI, Unpad, Sekolah TInggi Ilmu Komunikasi di Surabaya dan sebagainya. Semua judul riset mengacu seakan untuk menguatkan kebijakan pemerintah. “Bahkan saya mencari data penelitian yang disponsori oleh swasta. Setidaknya atau penelitian yang tidak disponsori negara itu tidak ada datanya. Saya tidak bilang tidak ada ya. Tapi tidak ada datanya. Tapi mungkin itu keterbatasan saya,” katanya heran. “Bahkan yang swasta pun dibiayai untuk men-support Departemen Penerangan.

Bahkan Prof. Alwi Dahlan menulis tentang riset-riset komunikasi pada 1970-1980an itu. Kata Alwi, riset-riset saat itu hanya menunjukkan legitimasi keilmuan tanpa tujuan yang mendasar. Alwi Dahlan menyebutkan banyak hasil penelitian pada masa itu tidak mencerminkan gejala yang diteliti. “Ini kalimatnya persis dari alwi dahlan.  Tahun 1970-1980 riset-riset komunikasi itu pada akhirnya, ‘alat ukur, skala, desain, dan bahkan kuesioner yang serupa, digunakan untuk meneliti masalah yang berbeda-beda tanpa perubahan dan pendalaman yang layak’ tulisnya,” kata Tito membaca kutipan tulisan Alwi Dahlan.

bersambung ke Rezim Soeharto Memengaruhi Riset dan Kurikulum

——————————

Mengawali Forum AES bulan ini ada Justito Adiprasetio yang akan mempresentasikan Gegar Epistemik Komunikasi Orde Baru dan Paska Pembangunan. Selanjutnya, pada 18 juli akan hadir Ignatius Haryanto yang akan mempresentasikan penelusuran awal sejarah ilmu komunikasi di indonesia. Kemudian antara 26-31 diisi oleh Antoni dari Univ. Brawijaya. Holy Rafika, Kepala Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif Nadim Komunikasi UII, mengakatan, kemungkinan Antoni dari Brawijaya salah satunya akan bercerita pengalaman Brawijaya bekerja dalam lapangan kajian sejarah komunikasi ini.

Reading Time: 3 minutes

After the Amir Effendi Siregar Forum (AES) was previously enlivened by more than 200 registrants, this time the AES Forum was held again. The creative team of the AES Forum now carries the theme of the Great Epistemic Communication of the New Order and Post-Development. This time, on July 4, 2020, the speaker reached one of the conclusions that President Soeharto’s Regime Influenced the Indonesian Communication Curriculum and Research.

“Yesterday Lutfi Adam explained that history was divided into history of what, history of who, and history of where. Maybe this month the AES Forum seems to be focusing on history of What. So, about communication studies in Indonesia,” said Holy Rafika Dhona, the moderator and lecturer in this Communication Science Department, started the event via the Zoom Video Conference.

In this second AES Forum Series, Justito Adiprasetio, a communication science academician from Padjadjaran University (Unpad) will talk about a bit and epistemic history of communication since the Suharto order. How ‘publicistics’ and ‘penerangan/ information’ become the main stream. Before the term ‘communication science’ as a popular study program on Indonesian campuses. Justito, fondly called Tito, is completing a book on the History of Knowledge and the Power of Communication Sciences in Indonesia.

The Suharto Regime Influenced Communication Science Curriculum and Research

How Are Communication Research Disciplined to Support Developmentalism?

Tito, quoting Michael Morfit in Prisma Magazine, in the 1970-1980s, in almost every government department established a research and development section to carry out “line-oriented research.” The same thing happened in the Information Department (departemen penerangan).

Research which now relies on for example, grants from the Directorate of Higher Education or the Ministry of Communication and Information, used to rely entirely on the Ministry of Information. The campus at that time was really attached to the Ministry of Information as a research sponsor. This is what Tito found too. For example, he explained the findings of campus research in the 1970-1980 period. Nearly all research is ordered by the Ministry of Information or Bappenas. The project also revolved around, for example, on Family Planning (KB), Pelita planning, and others.

It happened at UI, Unpad, the School of Communication Science in Surabaya and so on. All research titles refer to as if to strengthen government policy. “In fact, I am looking for research data sponsored by the private sector. At least or research that is not sponsored by the state there is no data. I did not say there was no yes. But there is no data. But maybe that is my limitation,” he said in surprise. “Even the private sector has been funded to support the Ministry of Information.

Even Prof. Alwi Dahlan wrote about communication research in the 1970-1980s. Alwi said, the research at that time only showed the legitimacy of science without a fundamental purpose. Alwi Dahlan said many of the results of the study at that time did not reflect the symptoms studied. “This is the exact sentence from Alwi Dahlan. In the 1970-1980 communication Science studies, in the end, ‘measuring tools, scale, design, and even similar questionnaires, were used to examine different problems without appropriate changes and deepening’ he wrote,” Tito said, reading the quote written by Alwi Dahlan.

continued to the Soeharto Regime Influencing Research and Curriculum (2)

——————————

Starting this month’s AES Forum, Justito Adiprasetio will present the Epistemic Concussion of the New Order and Post-Development Communication. Furthermore, on July 18 there will be Ignatius Haryanto who will present an initial trace of the history of communication science in Indonesia. Then between 26-31 filled by Antoni from Univ. Brawijaya. Holy Rafika, Head of the Center for Study and Documentation of Alternative Media Nadim UII Communications, said, it is likely that Antoni from Brawijaya, one of them will tell Brawijaya’s experience working in the field of communication history studies.

Reading Time: 3 minutes

Sebenarnya, bukan saja menelusuri pengalaman internasional, melainkan juga membau ‘rasa’ pengalaman internasional. Pengalaman internasional penting dan perlu dirasakan oleh mahasiswa Indonesia, bukan melulu untuk membangga-banggakan. Namun juga memahami perbedaan perspektif, budaya, bahkan meluaskan jaringan akademik dan intelektual. Itulah yang kiranya ingin ditekankan Iwan Awaluddin Yusuf, Dosen Komunikasi UII yang kini sedang manamatkan program doktoral media dan jurnalisme di Monash University Australia sebagai pembicara dalam acara bincang-bincang Teatime #2 International Program of Communication UII.

Acara yang dihelat Program Internasional Komunikasi UII ini mengundangnya untuk melacak dan membagi apa saja perlunya pengalaman internasional untuk pengembangan diri dan keilmuan mahasiswa. Tema yang diangkat pada Teatime kedua ini adalah “Seeking the international experiences”.  Moderator pada Jumat 3 Juli 2020, itu adalah Ida Nuraini Dewi KN, Sekretaris Program Internasional Komunikasi UII, yang juga Dosen Spesialis Klaster Jurnalisme dan Media.

Sore itu, Iwan Awaluddin dari Melbourne, dan Ida Nuraini, dari Jogja berbincang selama satu jam. Lewat Aplikasi Live Instagram, Iwan menceritakan bahwa apa yang diraihnya hingga bisa mendapatkan beasiswa dari  LPDP studi di Monash University bukan berasal dari berpangku tangan. Ada usaha, doa, dan rekam jejak yang dibangun sebelum mencapainya. “Bagi beberapa orang mungkin mendapat kesempatan pengalaman internasional ini mungkin mudah, tapi ini bukan hal yang mudah buat saya apalagi meraih skor IELTS 7,” katanya menceritakan prosesnya meraih beasiswa.

Apakah pentingnya International Experiences?

Bincang-bincang Instagram yang sudah ditonton oleh lebih dari 100 pemirsa ini juga memberi pencerahan (insight) baru soal bagaimana memandang international experience. Bagi Iwan, pengalaman internasional itu bukan hanya soal studi ke luar negeri. Ada dua hal: formal dan non formal. Pengalaman internasional yang formal misalnya studi di kampus luar negeri. Atau misalnya yang non formal ada diundang menjadi pembicara di kegiatan ilmiah internasional, riset bersama, atau kelas pendek (short course). Iwan menceritakan pada Ida, moderator hari ini, bahwa ia pertama kali mengalami ‘rasa’ pengalaman internasional justru karena rekam jejaknya aktif menulis blog.

“Saya kan aktif menulis blog tentang media dan pers. Saat itu tulisan saya tentang kebebasan pers dilihat baik dan membuat saya diundang oleh kampus di Myanmar bicara tentang kebebasan pers di Indonesia,” kenang Iwan.

Bicara tentang pengalaman luar negeri, justru kemampuan menulis dan banyaknya publikasi dalam karya Iwan-lah yang membuat pihak Monash University luluh dan menerimanya melanjutkan studi di sana. Jejaringnya dengan profesor di Monash juga sangat membantunya melobi dan menembus Monash University. “Kualitas publikasi karya-karya saya inilah yang menjadi salah satu yang meyakinkan pembimbing,” kata Iwan.

Apa Pengalaman Internasional yang Bisa dibagikan?

Iwan membagikan banyak pengalaman internasionalnya. Iwan mengatakan ia, di sana, justru tak hanya belajar tentang Australia, melainkan belajar indonesia pula. Penuturan Iwan menguak bahwa di Australia banyak sekali studi tentang indonesia. “Saya justru belajar alat musik bundengan Dieng, Wonosobo. Saya belajar dari jurusan etnomusikologi di Monash. Sementara kita tidak tahu indonesia sendiri. Memang kita perlu menjaga jarak sedikit, malah jadi tahu,” katanya.

“Saya lihat pemandangan yang sangat alami, bersih dan menakjubkan,” kata Iwan takjub. “Saya lihat bunga-bunga Australia aloha, saya ingat sawah. Bagi orang sini, begitu indahnya sawah, karena di sini nggak ada. mungkin mereka juga takjub dengan randu, sama lah dengan kita lihat sakura di Jepang. Memang kita harus memberi jarak,” sambungnya.

Memang, kata Iwan, penting kita hadir langsung merasakan ‘bau’ negara lain sebagai bagian mengalami pengalaman internasiona. Misal, kata Iwan, “ada stereotipe soal Islam di Australia ketika masih di Indonesia. Ketika ke sana ternyata nggak juga seperti itu stereotipenya tuh. Saya justru belajar islam udah datang ke australia dibawa oleh orang makassar lebih dulu dari  James Cook yang nemuin Australia.”

Maka, kata Iwan, perlu kita tak hanya bergaul dengan komunitas yang hanya ingin membenarkan kita. Kita perlu memahami dan mempelajari orang dan pemikiran yang lain agar mengerti. “kalau kita masih terkungkung pemikirannya dan nyaman dengan yang ini-ini saja, kita nggak akan berkembang pemikirannya,” jelasnya.

Inilah yang kemudian disebut Iwan dan Ida makna dari mengalami International Experience: discover new things about new culture.

 

 

.

Reading Time: 3 minutes

Actually, not only tracing international experience, but also smells a ‘sense’ of international experience. It was the purpose of the title: Seeking and Taste The International Experiences. International experience is important and needs to be felt by Indonesian students, not merely to be proud of. But also understanding differences in perspective, culture, even expanding academic and intellectual networks. That is what I would like to emphasize Iwan Awaluddin Yusuf, UII Communication Lecturer who is currently completing a doctoral program in media and journalism at Monash University Australia as a speaker at the UII Teatime # 2 International Program of Communication talk show.

The event, which was held at the UII International Communication Program, invited him to track and share the need for international experience for student self-development and scholarship. The theme raised in this second Teatime is “Seeking the international experiences”. The moderator on Friday 3 July 2020 was Ida Nuraini Dewi KN, Secretary of the UII International Communication Program, who is also a Lecturer in the Cluster of Journalism and Media.

That afternoon, Iwan Awaluddin from Melbourne, and Ida Nuraini, from Jogja talked for an hour. Through the Instagram Live Application, Iwan told me that what he had achieved so that he could get a scholarship from LPDP to study at Monash University did not come from holding hands. There is a business, prayer, and track record that was built before reaching it. “For some people, the chance to get international experience might be easy, but this is not an easy thing for me, let alone achieve an IELTS score of 7,” he said of the process of winning a scholarship.

What is the importance of International Experiences?

The Instagram conversations that have been watched by more than 100 viewers also give new insight about how to view the international experience. For Iwan, international experience is not just a matter of studying abroad. There are two things: formal and informal. Formal international experience, for example, studying abroad. Or for example informal ones are invited to be speakers at international scientific activities, joint research, or short courses. Iwan told Ida, the moderator today, that he first experienced a ‘sense’ of international experience precisely because of his track record of actively writing a blog.

“I’m actively writing a blog about the media and the press. At that time my writing about freedom of the press was seen well and made me invited by the campus in Myanmar to talk about press freedom in Indonesia,” Iwan recalled.

Talking about foreign experience, it was precisely the ability to write and the many publications in Iwan’s work that made Monash University melted and accepted him to continue his studies there. His network with professors at Monash also greatly helped him lobby and penetrate Monash University. “The quality of the publication of my works is one of the things that has convinced the supervisor,” said Iwan.

What International Experiences Can Be Shared?

Iwan shared many of his international experiences. Iwan said he, there, was not only learning about Australia, but also learning Indonesia. Iwan’s explanation revealed that there were many studies in Australia in Indonesia. “I just learned the Dieng bundengan musical instrument of Wonosobo. I learned from the ethno-musicology department at Monash. While we do not know Indonesia itself. Indeed, we need to keep a little distance, instead we know,” he said.

“I saw a very natural, clean and amazing view,” Iwan said with astonishment. “I see Australian aloha flowers, I remember the rice fields. For people here, the rice fields are so beautiful, because there are none here. Maybe they are also amazed by the Randu Trees, the same as we see sakura in Japan. Indeed we have to give distance,” he continued.

Indeed, said Iwan, it is important that we immediately feel the ‘smell’ of other countries as part of experiencing international experience. For example, said Iwan, “there was a stereotype about Islam in Australia when I was in Indonesia. When I went there it was not like that stereotype either. I learned that Islam had come to Australia and was brought by Makassar people first from James Cook who discovered Australia.”

So, said Iwan, we need not only to hang out with communities that only want to justify us. We need to understand and study people and other thoughts in order to understand. “If we are still confined to thinking and comfortable with these and only things, we will not develop thinking,” he explained.

This is what came to be called Iwan and Ida the meaning of experiencing International Experience: discover new things about new culture.

.

Reading Time: < 1 minute

Second Teatime the afternoon sharing with IPC

Second Edition

THEME:

“Seeking global Experiences”

Special guest

Iwan Awaluddin Yusuf , Lecturer of Communication Science Department UII and PHD Candidate of Monash University Australia

INSTAGRAM LIVE:

Friday, July, 3rd, 2020

Start at 4 PM (Jakarta time)
@ip.communication.uii

Reading Time: 4 minutes

Belajar dari Pengalaman Luthfi Adam Meriset 68 Ribu Halaman Arsip 

Kali ini Luthfi Adam menjelaskan tentang Meriset Komunikasi dengan Metode Penelitian Sejarah. Luthfi, dalam kajian Seri Bincang Sejarah Komunikasi yang pertama, ini selain bicara tentang metode sejarah, ia juga mengurai urgensi pengajaran Sejarah Jurnalistik dalam kurikulum jurusan komunikasi.  Serial bincang sejarah yang dipandu Holy Rafika Dhona, akademisi Komunikasi UII dengan fokus kajian Komunikasi Geografi, ini berusaha mendedah cakrawala pemikiran sejarah komunikasi di Indonesia. Hal ini jarang, atau bahkan luput dari perhatian akademisi Komunikasi, Jurnalistik, di Indonesia. “Bagaimana scholar komunikasi meminjam teknik meneliti sejarah untuk riset komunikasi mereka?” Luthfi memulai dengan pantikan ketika memulai diskusi tentang metode sejarah dalam Forum Amir Effendi Siregar (Forum AES) ini.

“Sebenarnya, metode penelitian sejarah tidak jauh berbeda dengan cara kerja jurnalis,” papar Luthfi. “Kita semua tahu, sejarah adalah narasi analisis yang terjadi di masa lalu. Singkatnya, metode penelitian sejarah adalah teknik-teknik yang dibangun oleh penelitinya, sejarahwan, untuk mengakses sumber-sumber utama, untuk mengetahui apa yang terjadi di masa lalu,” jelasnya kemudian.

Menurut Luthfi, kata kunci dalam metode penelitian sejarah adalah primary resources (sumber primer).  Sejarawan biasa menyebutnya arsip, kata luthfi. Jika jurnalis melakukan investigasi untuk memberitakan suatu masalah lewat wawancara, lewat memotret, dan penelusuran data, “pada prinsipnya pada penelitian sejarah, sama. mencari sumber primer. jurnalis mencari sumber primer juga.” katanya.

Bagaimana caranya

Sejarawan harus menelusuri arsip dari data sejarah atau arsip yang dibutuhkan untuk menceritakan kejadian atau persitiwa di periode tertentu. Arsip jenisnya beragam kata akademisi yang juga pernah mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi UII pada medio 2006-2007, ini. Bentuk arsip bisa surat kabar, korespondensi, artefak, oral history melalui interview dll. “Jadi yang harus ditekankan dari prinsip dasar dari metode sejarah adalah penggunaa sumber primer untuk menceritakan masa lalau atau menganalisis apa yang terjadi di masa lalu.” jelasnya.

Meski terlihat sederhana, sesungguhnya tetap menantang, kalau tidak mau dibilang sulit, kata Luthfi. Apa hal-hal yang menantang maksud Luthfi itu? Pertama, mengumpukan sumber primer atau yang sering sejarawan sebut arsip. Mengumpulkan sumber primer membutuhkan beberapa keterampilan. Ia membutuhkan waktu, ketekunan dan kesabaran.

Belum lagi, penulisan sejarahnya. Ia sangat bergantung terhadap topik yang akan diteliti. “Mempelajari tentang kolonialisme, misalnya, tidak saja mempelajari temanya, tapi juga sejarah sains, sejarah agrikultur, dan lainnya. Insting sejarawan adalah, arsip yang digunakan sejarawan terdahhulu itu ada dimana, apa yang mereka pakai,” jelasnya.

“Karena modal utama sejarawan adalah sumber primer, membaca karya sejarah, maka kita akan sangat sibuk mencatat bukan cuma argumen atau ceritanya, tapi arsip apa yang digunakan. Arsip apa yang digunakan sejarawan lain. Makanya saya lebih banyak menongkrongi footnote-nya,” kata Luthfi Adam.

Pemahaman mengenai arsip adalah vital. Luthfi meneliti sejarah Kebun Raya Bogor di abad 19. Pada awal proposal, ia sudah harus menunjukkan topiknya penting, pada komite penilai. Pertanyaan riset yang ia ajukan juga harus bagus. “Tapi kemudian saya harus menunjukkanpada Komite Disertasi saya. Dimana letak arsip yang saya ambil dan ternyata setelah saya telusuri, letak arsipnya ada di tiga negara: Indonesia, Belanda, dan Inggris,” ceritanya. Kemudian akhirnya ia harus melakukan riset lapangan selama satu tahun mengunjungi berbagai perpustakaan pusat arsip di tiga negara tersebut. “itu kesulitan pertama,” katanya.

Kesulitan Kedua

Menurut tuturan Luthfi pada diskusi Forum AES , mengumpulkan data sejarah yang kita butuhkan cukup kompleks. Luthfi bilang ini susah-susah gampang, “Susah karena untuk mendapatkan satu set arsip yang kita butuhkan, kita harus membaca belasan bundel dulu. Kita dikasih nih sama petugas arsip ini. Oh, ternyata nggak  relevan ini. Ternyata yang relevan itu di bundel yang ketiga. Di tengah-tengah.”

Luthfi juga bercerita tentang pustaka majalah kebun raya bogor di tengah abad 19. Dia meneliti 100 tahun Kebun Raya Bogor. Ia memotret dan mempelajari 68 ribu halaman. Konsekuensinya, data file harus cepat ditandai, file-ing, nama koleksi apa, tetap pengorganisasian data yang rapi.

“Intinya metode riset sejarah, seperti metode riset yang lain sebetulnya. Metode riset sejarah, sesederhana kita harus menemukan sumber primer. Hanya saja, untuk menemukan, mengambil, dan mengorganisir datanya sangat menantang, bukan sulit. He-he-he. Apalagi kurun waktunya panjang,” jelasnya.

Salah satu tantangan Luthfi adalah penguasaan bahasa. Kemampuan menemukan arsip, juga kemampuan memahami bahasa aslinya. Bahasa arsip.

Seakan Penelitian Sejarah Sangat Teknikal, Dimana konsep?

Kata Luthfi, upaya utama para sejarawan memang ingin membangun sebuah narasi. “Hasrat utama kami itu menceritakan sesuatu,” katanya.

“Tapi bukan ketika menceritakan sesuatu kami hanya bercetrtia. Kami tentu saja terpengaruh oleh teori ilmu sosial. Biasanya sejarawan itu menyimpan teori itu di latar belakang. jadi fokusnya membangun narasi cerita. Saya pribadi sangat terpengaruh oleh konsep dan teori dalam kajian orientalisme misalnya, kajian poskolonial, teknik discourse analysis juga saya coba terapkan,” kata Luthfi

Ia mengatakan, ia terpengaruh oleh kajian budaya material di antropologi. Luthfi juga terpengaruh oleh latar belakang komunikasi dan studi media dalam penelitiannya. Luthfi menyontohkan, misalnya, ia sangat tertarik untuk mengumpulkan data dari media cetak. Biasanya sejarawan punya ketertarikan tertentu.

“Saya contohnya tertarik media-media apa yang dipublikasikan Kebun Raya Bogor atau medai saintifik dan agrikultur. Mulai abad tengah 19 itu jurnal ilmiah dan populer itu banyak terbit. Justru bahan bakar utama riset saya itu dari situ, dari media cetak,” katanya.

“Namun akhirnya teori konsep yang kami pakai, kami aplikasikan tapi kami buat meresap ke dalam cerita,” paparnya.

Lalu dimana Letak Argumen dalam Penulisan Cerita Sejarawan?

Biasanya, sambung Luthfi, sejarawan populer mungkin tidak punya beban untuk berargumen dengan sejarawan lain. Namun, selain menyajikan cerita yang enak dibaca oleh awam, sejarawan harus terikat dengan perkembangan literatur di disiplin sejarah sendiri, katanya.

“Saya dilatih menjadi ahli sejarah asia tenggara, khususnya indonesia. Saya menulis sejarah kolonialisme, sejarah lingkungan, sejarah sains, maka saya harus juga ikut serta dengan  literatur mutakhir di kajian tadi. Ada buku sejarah yang saya coba revisi,” jelasnya.

Luthfi coba menawarkan pendekatan baru dalam memahami kolonialisme dan lain-lain. Namun, itu semua sejarawan lakukan sembari  upaya mereka menulis sejarah dan menulis cerita agar karyanya bisa sebanyak-banyaknya dibaca oleh pembaca, “bukan saja oleh spesialis.”

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours0Minutes


Forum Amir Effendi Siregar menggelar Bincang Sejarah Komunikasi Seri 2

Topik : Gegar Epistemik Komunikasi Orde Baru dan Pasca Pembangunan

Pembicara: Justito Adiprasetio
Justito menyelesaikan studi magisternya di Kajian Budaya dan Media, UGM dan Ilmu Komunikasi UGM. Saat ini mengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi, UNPAD, dan sedang menyelesaikan buku yang membahas Sejarah Kekuasaan/ Pengetahuan Ilmu Komunikasi Indonesia.

Jadwal

Sabtu, 4 Juli 2020 (09:30)
Via Zoom

Registrasi (Tidak dipungut biaya):

 

Reading Time: 5 minutes

Ini adalah edisi pertama Teatime IP Komunikasi UII bersama Shadira Firdausi dengan tema: Muda Kreatif dan berbakat. Acara diadakan oleh Program Internasional Jurusan Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Tea Time  adalah forum untuk mendorong dan menginspirasi siswa dan kaum muda untuk memperkaya kapasitas, pengetahuan, dan pengalaman mereka di tengah pandemi saat ini. Bintang tamu pertama dari Program Teatime adalah Shadira Firdausi yang merupakan mahasiswa sarjana Jurusan Ilmu Komunikasi. Ia memiliki kemampuan berbicara banyak bahasa.

Setidaknya Shadira menguasai tiga bahasa yang berbeda. Shadira dapat berbicara bahasa Italia, bahasa Inggris, dan Indonesia. “Karena jika Anda tahu bahasa, baik bahasa Spanyol, Italia, maupun Perancis, Anda dapat dengan mudah berbicara dan memahami bahasa asing lain karena tata bahasanya serupa,” kata Shadira di Program Internasional (IP) Komunikasi UII Instagram. Tapi bagaimana dia bisa mendapatkan kemampuan itu?

Shadira mengikuti program pertukaran pelajar ketika dia masih di sekolah menengah. Dia belajar di sekolah di luar negeri selama setahun. Dia juga melakukan kursus bahasa Italia, kursus bahasa Prancis, dan bahasa Spanyol,” katanya. “Anda juga dapat mengunduh aplikasi bernama duolingo, pada saat pandemi ini, Anda tidak dapat berbuat apa-apa selama pandemi. Ini Gratis. Anda juga dapat belajar bahasa Arab di sana.”

Shadira mengatakan Anda dapat berbicara bahasa Italia dan Indonesia sedikit sama dan agak mudah dipelajari karena jenisnya yang mirip.

“Aku bisa mengajarimu bu Ida, jika kamu mau. Haha, kamu dulu sudah mengajariku di kelas dan sekarang giliranku  akan mengajarimu bahasa itu,” kata Shadira tertawa. Ida Nuraini Dewi, pembawa acara Live Instagram itu juga tertawa setelah tawaran itu. “Agak gugup jika saya mencoba belajar bahasa lain, tetapi saya akan mencobanya nanti, ha-ha-ha,” kata Ida.

Shadira pernah bernyanyi dalam sebuah kompetisi di italia, “Saya adalah satu-satunya orang Indonesia di sana, tapi saya harus menghadapinya,” Shadira berbagi cerita ketika dia memulai karir menyanyinya.

Menjawab Pertanyaan dari Audiens

Di tengah percakapan Instagram itu, seseorang bertanya di Instagram Live Chat,

“Mana yang lebih sulit? Bahasa Spanyol atau Italia?”

“Bagi saya bahasa Spanyol. Ini agak sulit untuk mengucapkan bahasa Spanyol. Dalam bahasa Italia, sama seperti Anda menulis, bagaimana Anda mengatakannya di Indonesia,” kata Shadira.

Ida dan Shadira juga berbagi tentang pengalaman mereka #stayathome #dirumahaja selama pandemi. Mereka memberi tahu kami bahwa, sepertinya semua orang melakukannya, virus korona sangat mengganggu. “Aku tidak pernah begitu merindukan aktivitas akademik di universitas,” kata Shadira. “Itu membuatmu frustasi. Kita tidak bisa bertemu dan kita bisa mengungkapkan sesuatu ketika bertemu seseorang. Aku berharap ini akan segera berakhir. Dan kemudian pergi ke kantin lagi seperti yang kita lakukan sebelum pandemi.”

Ida, sebagai pembawa acara, kemudian mengajukan pertanyaan kunci kepada Shadira. “Apa yang Anda pikirkan dalam situasi seperti ini, sebagai generasi muda, bagaimana memaksimalkan untuk mencapai talenta? Mungkin Anda berencana mengambil studi master di luar negeri? karena kita sepertinya tidak dapat melakukan apa-apa selama pandemi,” kata Ida bertanya.

“Yah sebenarnya untuk saya, 4 bulan sekarang ya, ini seperti waktu yang sangat lama bagi saya, dan saya mendapatkan banyak kesempatan untuk mengenal diri sendiri sekarang. Saya mencoba untuk belajar memahami diri secara mendalam, belajar untuk memeriksa kembali rencana saya. Sekarang saya tahu apa yang harus dilakukan, meng-cover lagu lagi, melakukan apa saja, mempelajari bahasa baru, jika Anda di rumah sekarang  membuat Anda lebih kreatif, ” jawab Shadira.

Pengalaman saat Pandemi

Apa yang Anda sadari saat ini ketika pandemi mendera, tanya Ida.

Shadira mengatakan bahwa sekarang dia dapat menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarganya. “Karena ibuku adalah ibu pekerja keras, wanita karier, sekarang kami terjebak dalam satu rumah, kami meraih ikatan emosional kami kembali, ini adalah semacam anugrah, itu efek positif dari virus korona.”

Pertanyaan lain dari peserta live chat Instagram muncul lagi: “apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi kemalasan?”

Shadira menjawab, “Tergantung pada hal apa yang Anda sukai. Jika Anda suka memasak, Anda bisa menjual masakan Anda. Jika Anda ingin mengedit video, Anda dapat mengunggah vlog atau sesuatu di Youtube. Saya pikir Anda dapat menemukan apa pun di Youtube sekarang. Yang harus Anda lakukan adalah, Anda hanya perlu berpikir apa yang cocok dengan hobi dan keahlian anda. Unggah di tiktok atau Instagram. Lakukan pemotretan virtual untuk Anda yang suka memotret, atau lainnya. ”

Pengalaman karir bernyanyi

Ida juga bertanya tentang pengalaman bernyanyi Shadira. Shadira sekarang sedang menapaki pengalaman baru. Dia menandatangani kontrak dengan rumah produksi populer bernama Warner Music. Bagaimana bisa awalnya?

“Awalnya, dulu, Saya memenangkan kompetisi di sekolah menengah tanpa memberi tahu keluarga saya di awal aktivitas menyanyi saya,” kata Shadira. Dan itu menjadi begitu lama setelah orang tuanya tahu tentang hal itu. Orang tuanya tidak mengetahuinya sampai Ia memberi tahu mereka. “Sekarang mereka benar-benar mendukung saya untuk kompetisi apa pun, atau bahkan sampai Warner memberi kontrak saya dan saya menandatangani kontrak itu.”

“Aku sedang mengerjakan single saya. Ini sedang dalam proses. Aku perlu memikirkan apa saja, instrumen, liriknya pas, dan segalanya untuk memastikan lagunya cukup bagus untuk didengar.”

Pertanyaan lain untuk  Shadira lagi di live chat. “Apa hal pertama yang kamu lakukan jika pandemi hilang?”

“Aku sangat menginginkan salim (bersalaman), memeluk keluargaku, Kau tahu, kami melambaikan tangan ke yang lain sampai sekarang. Karena kami bahkan tidak bisa menyentuh salaman, tradisi kita. Bahkan kita tidak bisa memeluk seseorang. Ini hal pertama yang akan saya lakukan. Dan, juga mengambil gelar master mungkin ya? “

Kunci untuk mendapatkan Prestasi yang luar biasa.

“Tapi apa kunci untuk memiliki banyak prestasi sepertimu, kalau begitu?”

“Kuncinya adalah, saya tidak terburu-buru. Saya tidak perlu terburu-buru meraih sesuatu, jika Anda ingin sesuatu yang benar-benar bagus, Anda tidak perlu terburu-buru. Lakukan saja dan hal yang benar akan datang. Mungkin itu tidak akan benar-benar datang tahun ini. Tapi itu akan terjadi,” kata Shadira.

Shadira juga menceritakan kisah bagaimana semuanya dimulai. Dia mengatakan bahwa pada hari itu, ketika dia bangun suatu hari, dia merasa, “Mengapa saya tidak memiliki prestasi besar sampai hari ini?”

Kemudian Dia membuka “fitur explore instagram” dan dia mencari seseorang yang muncul di Instagram. Dia menemukan jika dia bisa melakukannya, mengapa saya tidak bisa melakukannya juga. Itu terjadi saat ia di sekolah menengahnya, katanya.

Dia berkata bahwa dia ingin menjadi salah satu dari mereka yang memiliki prestasi yang baik. “Aku bisa melakukan apa yang mereka lakukan. Jadi, bagaimana memulai, begitu sulit untuk pertama kalinya,” Shadira berbagi.

Sikap dalam meraih prestasi

Di akhir pembicaraan, Shadira memberikan nasihat yang bijak dan baik kepada setiap anak muda di luar sana.

“Jika kamu memiliki bakat yang kurang atau prestasi yang kurang, sesuatu yang harus kamu lakukan adalah lakukan saja. Kita harus menghancurkan dan menghadapinya. Jika mereka selalu mengatakan kamu tidak cukup baik, patahkan saja! Karena kamu adalah orang yang tahu siapa Anda. Kamu harus mencoba untuk membuktikannya. Kita hanya berusaha sebaik mungkin agar orang tidak meremehkan kita.”

Yang terakhir, namun tidak kalah pentingnya, Ibu Ida ingin menutup percakapan Teatime ini  dengan sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Shadira. “Bisakah kita mendengar sedikit lagu? Untuk mengobati kerinduan kita selama pandemi ini? Shadira mengatakan ya untuk itu. Pembicaraan ditutup dengan Shadira menyanyikan lagu Before You Go yang dipopulerkan Lewis Capaldi.

Anda Dapat Menontonnya Lagi dengan mengklik IP Communication Instagram Di Bawah Ini

 

View this post on Instagram

 

A post shared by IP COMMUNICATION UII (@ip.communication.uii) on

Reading Time: 5 minutes

This is the first edition of Teatime IP Communication UII With Shadira Firdausi under the theme: Young Creative and talented by International Program of Communication Department Universitas Islam Indonesia. This Tea Time is a forum to encourage and inspire student and young people to enrich their capacity, knowledge, and experience in the middle of pandemic nowadays. The first guest star of the Tea Time Program is Shadira Firdausi who were a undergraduate student of Communication Science Department which is have a capability to speak at least mastering three different language. Shadira able to speak italian, english, bahasa. “Because if you know language either spanish, italian, of french you can easy speak and understand another foreign language cause of the similiar grammar among it,” said Shadira on International Program (IP) Communication UII Instagram. But how come she could get the ability?

Shadira were get the student exchange program when she were at high school. She were studying at school abroad for a year. She also do the italian language course, french course, and spanish, “or you can download an app named duolingo, in this time of pandemic, you can no doing nothing. its free. you can also learn arabic there.” Shadira said that how do you speak italian and indonesian is little bit same and is kind of easy to learn because of that similar type.

“I can teach you mom, if you want. haha, you were teach me and now I will teach you then those language,” said Shadira laughing. Mrs Ida Nuraini Dewi, the Host of Live Instagram also laughing after that offer. “it’s kind a nervous if I am trying to learn another language, but I will try it then, ha-ha-ha,” Ida said then.

Shadira sang in a competition in italia, “I was the only indonesian there, I need  to deal with it then,” Shadira share the stories when she begun the career on singing.

Answering Questions from Audiences

In the middle of live Instagram conversation, someone is asking a question on Instagram Live Chat,

“Which is more difficult? Spanish or italian language?”

“For me it is Spanish. It is a kind a hard to pronounce Spanish. In Italian language, its same how you write, how you say in indonesia,” said Shadira.

Miss Ida and Shadira also share about their experience #stayathome #dirumahaja during pandemic. They tell us that, it seems everybody did, corona virus is very annoying. “I never like miss academic university activity so much,” said Shadira. “its frustating you know. we can not meet and we can express the response. I wish its gonna end very soon. and then going to the canteen again like we do before pandemic.”

Mrs Ida, as the host, then asking a key question to Shadira. “What do you think in this kind situation, as a young generation, how to maximize to achieve something, maybe you have go to the master abroad, we seems like cannot do anything during pandemic,” Mrs Ida asking.

“Well actually for me, 4 month right now yeah, this is like really long time to me, and I get a lot of chance to know my self right now. I’m trying to learn myself deeply, learning to recheck my plan. Now i know what to do, do a cover again, doing anything, learning new language, its if you at home is make you more creative,” Shadira answer.

Experience from Pandemic

What do you realize in this time of pandemic, Mrs Ida said.

Shadira said that now She can spending more time with her family. “Because my mom is mother of hard-worker, now we are trapped in one house, we experience the bonding, is kind of privilege, it is plus effect of corona viruses.”

Another question from audience of Instagram live chat appears again: “what we have to do to overcome the laziness?”

Shadira answer, “Its depend  on what thing do you really like. If you like to cook, you can sell your cooking. If you  in to video editing you can upload a vlog or something in Youtube. I think you can figure anything on Youtube right now. What you have to do is, You just think what am I in to. Upload it in tiktok or Instagram. Do a virtual photo shoot for you that in to photography, or etc.”

Mrs Ida also asking about Shadira’s singing experience. Shadira now have a new step of experience. She was signing a contract with popular production house named Warner Music. How come it can happen then?

“I was winning the competition in high school without telling my family in the beginning of my singing activity,” said Shadira. And it become so long after her parens know about it. Her parent did not know it until She tell them. “Now she really support me for any competition, or even until Warner they contract me and I sign the contract then.”

“I’m working for my single. Its on progress. I need to figure anything, the instrument, the lyrics is on, and everything to make sure the song is quite good to heard.”

Other question is going to Shadira again on live chat. “What is the first thing you do if the pandemic gone?”

“I want salim so much, hug my family, You know, we are waving to another since now. Because we cannot touch even salim, our tradition.  Even we can not Hug somebody. Its the first thing I’m going to do. And, also take a master degree maybe ya?”

The Key to get great Achievement

“But what is the key to have a lot of achievement like yours, then?”

“The key is, I’m not rushing my self. I do not need to rush something, if you want to something really out, you can not rush it. Just do it and the right thing will come. Maybe it will not really this year. But it will,” said Shadira.

Shadira also tell us the story how everything begun. She said that in that day, when she woke up someday, she felt, “Why I have no great achievement since today?”

Then She opened “instagram explore” and she look for someone stories that appears on instagram. She found if he can do, why I can’t do it too. Its happen on her senior high school, she said.

She said that she want be one of them who have a good achievement. “I can do what they do. so that how its started. its so hard for the first time always,” shared Shadira.

In the end of conversation, Shadira give a wise and good advice to every young people out there.

“If you have a lack talent or lack achievement, something you have to do is just do it. We should break and face it. If they always said you are not good enough, just break it! Because you are the one who know who you are. You have to try to proof it. We just try keep our best so people not underestimate us.”

The last, but not least, Mrs Ida want to close the Teatime Conversation with a song sang by Shadira. “Can we hear a little song a bit? for treat our longing during this pandemic? Shadira said yes for that. The conversation then closed by shadira’s singing cover on “Before You Go” by Lewis Capaldi.

You Can Watch it Again by clicking IP Communication Instagram Below

 

View this post on Instagram

 

A post shared by IP COMMUNICATION UII (@ip.communication.uii) on

Reading Time: 4 minutes

At a glance, the summary of the AES # 1 Forum is: Journalistic History Important To Taught in the Department of Journalism and Communication Studies. Lutfi Adam, scholar graduate from Northwestern University, speaker of the Amir Effendi Siregar Forum (Forum AES) said that. This First Session held on June 28, 2020 in a Zoom video conference by the Center for Study and Alternative Media Documentation NADIM of Communication Science Department at Univeersitas Islam Indonesia. He was the first speaker at the first AES Forum this year with the theme: History of Communication.

Holy Rafika Dhona is the Head of PSDMA Nadim Communication Department at UII. He, as well as the moderator, said he and the team chose Lutfi Adam, Ph.D as the guest speaker with many reason. First, because he had a history and communication background as well. “And his knowledge is still new because he just graduated in May 2020. He is also the winner of a dissertation prize at the Department of History at Northwestern University. It was the campus where he earned his doctorate,” said Holy Rafika, Lecturer in Communication Science Department. Holy also have a specialty in the field of Geographic Communication studies.

Rafika also explained why this forum was called the AES Forum. This forum was formed by Communication Science Department of UII to talk about ideas or spirit about communication in particular. “This name is a reminder of the founder of our department. And he is also owned by all members of the press in Indonesia.”

Historical Method for Communication Research

Lutfi Adam said in his presentation at the beginning, this event was also planned to be made into a book. “So maybe in the future, I will write a method for communication research. It should be in more detail in the form of an essay. So that the picture can be clearer.”

On this occasion, first, Lutfi Adam explained what he would explain in this session. “I will discuss the historical method as communication research,” he said. “Before begining this session, there is any disclaimer: I was no longer a scholar of communication science. My last education was history. So, I represent the discipline of history, not communication,” he continued. Lutfi said, he would share a historical method. However, he can provide an overview of how to adopt historical research methods for communication research. It is because he has a background in communication and media studies.

Then, we neet to answer many question when discussing the history of communication. First, why is it important to research the history of communication. Then, how about researching history. Then, how does communication adopt the historical method for research?

Mas Marco and Journalistic History

Hence, Lutfi Adam also explained the urgency of the history of communication by recounting flash back a few years ago when in the 2005 and 2006 he composed a undergraduated thesis. The theme of the undergraduated thesis he raised was a matter of his strong urge to write journalistic history. He read many sources, especially, about the experiences and stories of journalism journey of Tirto Adi Soerjo. And at least, He finally passed on Mas Marco Kartodikromo as an early journalist.

Pramoedya Ananta Toer’s Tetralogy Book very inspiring Luthfi. That the book titled is This Earth of Mankind. “In the past, when I was composing my research, I was concerning to compose journalistic history. Tetralogy of This Earth of Mankind was inspiring me. And in my opinion was the history of the press,” Luthfi explained.

According to Lutfi, in this Tetralogy Book of This Earth of Mankind, the role of journalists is embedded in an era known as the era of nationalism.

“I am curious about this character, Mas Marco. Then I wrote a thesis on the history of Mas Marco Kartodikromo.” Then he raised the question, “how do I write history in the communication department  Faculty?”

Why is Journalistic History Important To Taught in the Department of Journalism and Communication Studies ?

At that time, said Lutfi, he used solely the instincts used in the work of journalism. “Use the journalist’s instincts,” he said. How the journalists worked, mapped out topics, searched for data, written sources, interviewed sources, “and I plotted to do that and retrieve data. I went to the National Library. Read many, including the writings of Mas Marco from other newspapers I managed to collect,” he recalled.

“Until I brought the writing and I always got insights and research topics from there. That also made me succeed in getting a historical scholarship. If I could get a doctoral research history scholarship, wasn’t that what I used yesterday as the journalist’s instincts is a meaningful historical method? actually, it is no different,” he thought later.

“What I want to say is, why I say it is important to examine the history of Mas Marco? The difficulty when I first studied journalistic theory was to contextualize the values ​​taught by my lecturers,” he explained. “But more or less what I got in the classroom, the illustrations are not detailed and not down to earth. That makes me feel journalistic history is an important course. So it should taught in the journalism department,” concluded Luthfi.

“Because in my opinion, even though history is a very practical science, but when explored, journalistic history is very rich. It also can help journalistic scholars to develop journalism. We can not develop journalism, journalistic values, and journalistic techniques, if we do not understand the history of journalistic development,” said Lutfi to complete the story.

Also read Research on Communication with Historical Research Methods