Makanan favorit
Reading Time: 4 minutes

Daftar makanan dan minuman yang paling disukai masyarakat Indonesia sebagai pilihan menu buka puasa akan dipaparkan dalam artikel berikut ini. Setidaknya ada 8 hidangan teratas pilihan masyarakat Indonesia. Deretan makanan ini disukai karena cita rasa yang nikmat dengan rasa manis dan gurih.  

Setelah berpuasa selama hampir 13 jam tentu tubuh kita membutuhkan asupan makanan dan minuman untuk mengembalikan energi. Salah satu sumber utama yang mudah dan cepat didapatkan dari makanan yang memiliki kandungan gula. Namun yakin jika pilihan makanan ini baik untuk tubuh? 

Wajar jika 8 daftar hidangan yang paling disukai masyarakat Indonesia ini dominan ditempati oleh makanan-makanan manis dan bersantan. Beragamnya menu khas daerah serta tradisi di Indonesia bisa jadi pemicu utama mengapa masyarakat kita gemar konsumsi gula dan santan. 

Berdasarkan data survei dari 818 responden di Indonesia dengan range usia 18-55 tahun oleh TGM Research, menyebutkan kolak menjadi menu primadona saat buka puasa. 

Hidangan paling disukai adalah kolak dengan nilai 17,2 persen, selanjutnya ada rendang 11,2 persen, Opor ayam persen, kolak pisang 5,3 persen, disusul kurma 4,8 persen, ketupat 4,8 persen, opor 3,9 persen, dan terakhir es buah 2,4 persen. 

Dalam survei tersebut juga didapatkan hasil jika 90 persen masyarakat Indonesia memilih memasak di rumah untuk teman dan keluarga, serta 99 persen buka bersama anggota keluarga di rumah. 

Sama halnya dengan kebiasaan yang terjadi di lingkungan kita, seperti yang dilakukan melalui survei cepat di Grup WhatsApp Prodi Ilmu Komunikasi UII yang berisi dosen, staf, serta mahasiswa magang ditemukan hasil bahwa seluruhnya memilih minuman pembuka manis saat membatalkan puasa. 

Sebanyak 22 suara yang dikumpulkan sebanyak 3 orang memilih kolak, 2 orang es buah, 8 orang es degan, 5 orang memilih es campur, dan 4 orang lainnya. Menurut pengakuan 4 orang yang memilih lainnya cenderung mengaku berbuka dengan teh hangat manis maupun es teh manis. 

Artinya kebiasaan minum dan makan makanan yang memiliki kandungan gula menjadi primadona untuk membatalkan puasa. 

Risiko terlalu banyak konsumsi gula 

Berdasarkan daftar hidangan yang disebutkan di atas, semua makanan yang disukai oleh masyarakat Indonesia mengandung gula, garam, dan lemak (GGL) yang cukup tinggi. Sementara konsumsi zat gula, garam, dan lemak berlebih akan memicu penyakit diabetes, tekanan darah tinggi, jantung, stroke, ginjal, hingga gangguan saraf. 

Sebenarnya terkait batasan konsumsi GGL telah diatur dalam Permenkes Nomor 30 Tahun 2013. Dalam aturan tersebut juga mengatur pencantuman informasi kandungan GGL pada pangan siap saji dan pangan olahan.  

Kebutuhan dan anjuran konsumsi gula setiap orang per hari sebesar 10 persen dari total energi (200kkal) setara 4 sendok makan atau 50 gram. Sedangkan untuk garam per hari 2000 mg natrium, setara 1 sendok teh atau 5 gram. Terakhir konsumsi lemak per hari adalah 20-25 persen dari total energi (702 kkal) setara dengan 5 sendok atau 67 gram. 

Lantas bagaimana dengan kandungan kolak, apakah baik untuk kesehatan? Ternyata kandungan nutrisi pada kolak sangat baik untuk tubuh dengan catatan dengan tidak berlebihan dalam konsumsi per harinya. 

Bahan utama pada kolak adalah santan dengan berbagai isian seperti pisang, ubi, kolang-kaling, dan gula (gula merah ataupun gula pasir). Dilansir dari laman halodoc sekitar 100 gram kolak terkandung 163 kalori. 

Artinya satu mangkuk kolak pisang terdapat 47 persen lemak, 48 persen karbohidrat, 6 persen protein. Lemak dalam kolak pisang terdiri dari lemak jenuh dan lemak tak jenuh. Sementara kadar gula di dalamnya sekitar 11,95 gram dan 2,8 gram serat. 

Sedangkan untuk opor ayam yang memiliki bahan dasar santan dan ayam memiliki nilai 163 kalori per 100 gram, 8,67 gram lemak, 5,6 gram karbohidrat, dan 16,53 gram protein. 

Namun menyantap opor ayam akan lebih nikmat dengan nasi atau lontong, nilai kalori nasi sebesar 129 kalori per 100 gram, sedangkan lontong 144 kalori per 100 gram.  

Artinya konsumsi satu mangkok kolak masih aman untuk tubuh kita, namun perlu diketahui yang kita konsumsi tidak hanya itu. Masih ada nasi, opor ayam dan beberapa makanan lain. Maka kita perlu menciptakan gaya hidup sehat dan memperhatikan anjuran konsumsi GGL. 

Konsumsi GGL yang tinggi memicu berbagai penyakit terutama terkait kasus diabetes di Indonesia yang tinggi sebagai dampak pola hidup yang tidak sehat. Tahun 2021 jumlah penderita diabetes di Indonesia sekitar 19,47 juta, hal ini diprediksi akan terus meningkat.  

International Diabetes Federation (IDF) memprediksi jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 28,57 juta di tahun 2045. Artinya jumlah ini lebih besar 47 persen dari tahun 2021. 

Dalam jangka 10 tahun jumlah penderita diabetes di Indonesia meroket hingga 167 persen, sebelumnya tahun 2011 jumlah penderita diabetes 7,29 juta. Sementara jumlah kematian pada 2021 sebesar 236.711 jiwa atau meningkat 58 persen dari tahun 2011 yakni 149.872 jiwa. 

Solusi jalani puasa Ramadan tetap sehat 

Lantas bagaimana cara kita memperbaiki dan mengatur pola hidup yang sehat dan tetap fit selama menjalani ibadah puasa. Setidaknya ada tiga opsi yang bisa kita lakukan yakni memilih nutrisi yang baik, olahraga, dan membuat rencana makanan yang akan kita konsumsi. 

Langkah awal yang perlu kita lakukan adalah memastikan nutrisi baik yang masuk ke tubuh kita serta membatasi beberapa bahan yang buruk. Pastikan konsumsi makanan berkualitas tinggi dengan memperbanyak minum air putih dan menyeimbangkan dengan karbohidrat dari pati, sayur-sayuran, protein, dan produk susu lemak alami agar tetap terhidrasi selama puasa. Sementara beberapa hal yang perlu dihindari adalah makanan dengan kandungan garam, kafein, gula yang tinggi serta makanan olahan. 

Selanjutnya pastikan untuk meluangkan waktu untuk olahraga, meski puasa kita tetap harus aktif secara fisik demi kesehatan. Yang perlu diperhatikan adalah hindari latihan intensitas tinggi seperti lari cepat atau angkat beban di siang hari. Gantinya olahraga ringan 15-30 menit seperti jalan kaki, senam pilates, ataupun yoga. 

Terakhir yakni membuat rencana menu ke depan, pastikan tidak meninggalkan sahur demi memenuhi asupan untuk energi aktivitas siang hari terutama bagi pelajar dan pekerja. Agar lebih efektif rencanakan menu sahur dan buka puasa dengan fokus makan makanan berkualitas tinggi. 

Selain tiga hal tersebut pastikan agar tubuh kita memperoleh waktu istirahat dan tidur yang cukup agar metabolisme dalam tubuh tidak terganggu. 

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Viral kata Cuaks atau Chuaks
Reading Time: 2 minutes

Viral di berbagai platform media sosial terutama TikTok dan Instagram Bahasa gaul ‘Cuaks’ atau ‘Chuaks’. Lantas apa artinya? Bagaimana penggunaannya?

Secara umum penggunaan kata ‘Cuaks’ selalu diucapkan pada akhir sebuah kalimat dengan nada sindiran. Ramai-ramai remaja mengekspresikan protesnya dengan akhiran ucapan ‘Cuaks’.

Bisa dikatakan jika ‘Cuaks’ adalah Bahasa gaul memiliki arti yang buruk atau negatif terhadap suatu gagasan. Seperti yang viral di akun TikTok milik @sastra.silalahii yang menyampaikan sindiran atas kasus Dandy Mario anak mantan pejabat Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo, menganiaya D pada 20 Februari 2023.

“Ke Rumah si Rojak lewat Jaksel, capek-capek bayar pajak anaknya bikin kesel, cuaks,”

“Nongkrong di balkon pakai xiaomi, anaknya pamer Rubicon, eh rakyat cuma bisa makan Indomie, cuaks,”

Hingga kini postingan tersebut telah ditonton 8,3 juta kali pengguna TikTok dan disukai oleh lebih dari 900 ribu pengguna.

Arti dan awal mula Bahasa gaul ‘Cuaks’

Sebelumnya Tretan Muslim dan Coki Pardede yang memperkenalkan kata-kata “Cuaks”. Stand Up Comedy tersebut menggunakan kata tersebut dalam konten yang mereka bagikan. Selanjutnya rama-ramai para pengguna mengikutinya.

Sementara menilik dalam KBBI, kata ‘Cuak’ tanpa ‘S’ berarti binatang (seperti kerbau, gajah) untuk memikat (gajah, kerbau liar) supaya dapat ditangkap.

Saat ini “Cuaks” diucapkan layaknya Bahasa gaul kalangan anak muda. Berdasarkan riset yang diterbitkan oleh Kemendikbud Bahasa gaul adalah salah satu cabang dari bahasa Indonesia yang diucapkan dalam Bahasa pergaulan sehari-hari.

Bahasa gaul mulai popular pada tahun 1980an sebagai sarana komunikasi di antara remaja sekelompoknya selama kurun tertentu. Hal ini dikarenakan, remaja memiliki bahasa tersendiri dalam mengungkapkan ekspresi diri.

Alasan muncul kata ‘Cuaks’

Lantas mengapa orang-orang di Indonesia senang menciptakan Bahasa gaul? Berdasarkan hasil riset databoks Kata Data Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan jumlah Bahasa terbanyak.

Negara Indonesia menempati urutan kedua dengan jumlah 720 bahasa, sementara posisi teratas ditempati Papua Nugini yakni 840 bahasa. Dlanjutkan posisi ketiga Nigeria 537 bahasa, India 458 bahasa, Amerika Serikat 355 bahasa, Australia 318 bahasa, Tiongkok 307 bahasa, Meksiko 304 bahasa, Kamerun 279 bahasa, dan Brasil 240 bahasa.

Bisa jadi munculnya kosakata khas, fonem, dan diftong dalam Bahasa gaul lantaran beragamnya Bahasa yang digunakan di Indonesia.

Selain itu banyaknya kasus yang dilakukan oleh pejabat publik turut menyumbang masyarakat menyuarakan kekecewaan melalui ekspresi di media sosial. Lantas kamu sudah pakai kata “Cuaks” belum Comms?

 

Artikel ini ditulis oleh: Meigitaria Sanita

Reading Time: 3 minutes

            Survei bertajuk Reuters Institute Digital News Report 2022 yang dirilis Juni tahun ini kembali menempatkan TVRI sebagai tiga besar media yang paling mendapat kepercayaan publik (brand trusted score) di Indonesia. Tahun 2021 hal serupa juga diraih televisi publik ini, dimana TVRI berada di bawah CNN dan Kompas. Survei ini menarik di tengah krisis informasi berkualitas di Indonesia pasca serbuan disinformasi, ujaran kebencian dan tingginya harapan publik akan berita yang baik menjelang kontestasi pemilihan Presiden tahun 2024. Pada klaster media penyiaran yang paling dicari publik untuk mengakses informasi, TVRI berada di posisi 9, di bawah puluhan televisi nasional seperti TVOne, Kompas, Metro, SCTV dan Indosiar. Bagaimana memahami dan memberi makna serta merawat posisi ini, di tengah serbuan konten jurnalisme berbasis platform digital?

Hasil survei di atas memberikan impresi positif bahwa TVRI menjadi media yang diharapkan publik mengambil peran strategis saluran informasi. Brand TVRI sudah cukup kuat sebagai saluran informasi pembangunan di masa Orde Baru, tetapi lemah pada informasi publik yang kritis di masa kini. Sebagai televisi yang legendaris, tertua di banding televisi dan media jurnalisme lain, popularitas TVRI kuat dalam kerangka brand historis, bukan brand aktual. Kepercayaan publik ini dapat menjadi modal membenahi tata kelola redaksi TVRI menuju media berita terdepan. Pilpres 2024 nanti akan menguji TVRI apakah bisa menjadi saluran berita yang mendalam, mencerdaskan, tidak partisan.

Merujuk hasil survei Reuters, suatu brand media yang kuat, tidak berkorelasi dengan loyalitas konsumsi atas produk dari media pemilik brand. Meski di posisi tiga besar, pilihan publik untuk mengakses informasi TVRI hanya di level 9. Artinya ada persoalan belum tersedianya informasi yang berkualitas, memadai dan sesuai kebutuhan publik. Dibanding Metro TV atau TVOne pada tahun 2019 dipersepsi partisan, posisi TVRI masih tertinggal. Sudah jamak diketahui, kekuatan LPP di Indonesia masih berbasis konten siaran budaya, olah raga atau informasi pembangunan. Ini bertolakbelakang dengan kekuatan LPP di berbagai negara seperti BBC dan ABC yang terpusat pada jurnalisme.

Dari sisi kelembagaan, memasuki tahun 2022, TVRI belum memiliki saluran khusus berita baik untuk layanan nasional apalagi internasional. Saluran TVRI nasional saat ini masih campur aduk, posisi produk berita cenderung masih marginal. Gagasan mendirikan insitusi TVRI World yang sempat mencuat tahun 2019 belum ada kabar lanjutan. Justru belakangan ini manajemen disibukkan oleh migrasi layanan teknologi siaran dari analog ke digital, yang sejatinya di berbagai negara lain diurus lembaga tersendiri.

Upaya merawat kepercayaan publik atas brand TVRI ini tidak hanya bisa dilakukan melalui siaran jurnalisme yang berkualitas. Merujuk norma dasar sebagai LPP, maka TVRI dapat menerapkan public engagement yang paripurna. Platform digital yang lebih terbuka dan atraktif seperti YouTube, Instagram, Tiktok, dll dapat menjadi ruang bagi diseminasi konten TVRI, agregasi layanan berita dari jalur konvensional, hingga menjalin kedekatan dengan publik secara digital. Konsep interactivity dan sociability harus menjadi pilihan melakukan perawatan kepercayaan, dengan cara membentuk direktorat khusus media digital. Jika tidak, TVRI bukan hanya akan tertinggal dalam konten berkualitas di media konvensional, tetapi kehilangan popularitas di media digital yang makin menggurita.

Beberapa tahun terakhir, TVRI mulai masuk ke platform digital dengan membuat aplikasi TVRIKlik, mengisi kanal YouTube, mengelola Instagram, mengembangkan layanan Vodcast, dll. Namun strategi yang dipilih masih satu arah, yaitu dari TVRI untuk publik, interaksi dalam kolom komentar, aktivasi diskusi digital terkait isu tertentu belum dibangun. Lebih jauh yang dibutuhkan TVRI sejatinya adalah gambaran empiris perilaku dan kebutuhan pemirsa dalam jangka panjang. Data ini hanya dapat diperoleh melalui penguatan kinerja riset dan pengembangan siaran di internal TVRI. Gambaran profil pemirsa yang memadai akan membantu TVRI menjaga kedekatan publik dan pilihan layanan informasi yang tepat, sebagai prakondisi dalam menjaga kepercayaan publik. Riset dan audit kebutuhan publik wajib secara rutin dilakukan, baik oleh TVRI sendiri  atau berkolaborasi.

 

Penulis: Masduki

Dosen Ilmu Komunikasi UII, Pendiri Rumah Perubahan LPP (Lembaga Penyiaran Publik)

===========================================

Artikel ini terbit pertama kali di Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta pada 24 Agustus 2022. Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

Reading Time: 5 minutes
Dr. Rer. Soc. Masduki, lecturer at the Department of Communications, Universitas Islam, Indonesia and former Programme Director of Radio Republik Indonesia (RRI).
12th April 2022
This year marks 20 years since public radio was established in Indonesia. To date, Radio Republik Indonesia (RRI) remains the only public radio broadcaster in the country. But ongoing governance and independence issues have presented themselves as key barriers to it being a truly independent, public media organisation. With a new director and supervisory board recently elected, this insight by Masduki provides an analysis of RRI’s ongoing issues, and explores the potential solutions that new leadership could consider to reform the organisation and protect the future of public radio in Indonesia.

For the fourth time since its establishment as a public service radio in 2002, RRI, as the sole public radio in Indonesia, has elected new directors. The election process was in November 2021, with the elected directors starting work since early January 2022. Veteran radio journalist, political survey practitioner and social activist, Ignatius Hendrasmo, was elected to lead RRI until 2026. This report discusses the points that can be noted from this new five-year management reform for the journey of RRI as a national broadcaster in the post-authoritarian Indonesian media system.

Two decades of public media in Indonesia

The public service broadcasting (PSB) system in Indonesia differs from most public broadcasting in Europe, which is the birthplace of this system. Indonesia only started adopting the PSB system in 2002, with three main operators: RRI for radio, TVRI for television and local provincial and/or sub-provisional PSBs (LPPLs). They are separate media institutions previously owned by national and local governments. Among all broadcasters, RRI is the oldest national broadcaster, established on 11 September 1945. The majority of its broadcasters were government employees. The main funding for this media, since its establishment, is the annual state budget (called APBN).

The supervisory board does not function as a barrier to political intervention, but becomes an extension of politicians’ interests instead.

The change in RRI’s legal status from a government owned radio organisation to a public radio organisation in 2002 did not directly alter its work culture and its overall governance. While political intervention no longer occurs in its content production, the budget plan and distribution as well as selection of its top structure members remain in the hands of political authorities. RRI has two high level structures: a supervisory board and a board of directors, which are elected every five years. The supervisory board is legally elected by parliament on behalf of the citizens, while the board of directors is elected by the supervisory. This two-room model is formally in line with many other public broadcasters throughout the world, such as the BBC and NHK. However, they experienced a different journey here in Indonesia. The supervisory board does not function as a barrier to political intervention, but becomes an extension of politicians’ interests instead.

New leadership: ongoing politicisation

The election of a new board of directors at the end of 2021 provides an ideal reference to indicate the ongoing politicisation of RRI. By observing various coverage of the election in the last six months, there are three relevant issues to unpick.

First, there was a continued external intervention of the supervisory board in July 2021, which led to the politicisation of the directors’ election in December 2021. The elected members of the supervisory board who are considered informally affiliated with certain political parties influenced their appointment of the RRI Director. This intervention is legally supported by the Broadcasting Law No. 32/2002, the regulation which established RRI as a public radio organisation, that gives full mandate to the parliament to elect the board through two stages, involving the government and the parliament. Initially, politicians assign the government – not an independent institution – to recruit applicants in an open and competitive manner, then 15 selected names are submitted to parliament. Such politicisation not only results in the weak autonomy that the supervisory and executive boards wield, but it also minimises RRI’s latitude to have public representatives in its management structure.

Second, there was an ‘elite model’ of selection mechanism. Instead of forming a large number and varied membership of selection team, the Minister of Communication and Informatics created a small team only consisting of its senior staff and academics. There was no representative from civil societies and/or larger public institutions.

Third, given the open and competitive nature of the election, culture-based representatives or representatives of various communities, professionals in broadcasting and the diversity of public interests do not apply. This is because, in contrast to the selection model for the top public radio board in Germany, the selection model for the supervisory board and board of directors of RRI in Indonesia, referring to Law no. 32/2002, adheres to the competitive representation model. This model attracts members to come from open selection without specific affirmation given by certain groups such as women or from the disabled community. The open competitive model may open up competition without discrimination on the one hand, but risks having figures who only have clientelist affiliations with government officials and/or politicians being selected. As a result, the board members work only to serve the interests of their political allies, instead of universal public aspirations.

The recent optimism for RRI as a public radio that excels in digital services to serve the interests of citizens remains high amidst the financial crisis.

Government decree no. 12 and 13 of 2005 legally allows three kinds of supervisory membership: the government, RRI and the public. Yet, in practice, the composition of the supervisory and executive boards of RRI in the past 15 years have been dominated by representatives of RRI – among 5 members of the board, the public based commissioner is a minority (typically one person from the public). The rest are from RRI and/or government official. The lack of public representation has resulted in a conflict among the elites between RRI, the government and politicians, without considerable public involvement.

Hope for independent public radio in the future?

The recent optimism for RRI as a public radio that excels in digital services to serve the interests of citizens remains high amidst the financial crisis facing commercial broadcasters and the politicisation of social media in Indonesia. For this reason, apart from focusing on internal consolidation, challenges for the new directors include advocating for changes to broadcasting policies and forming audience councils – and therefore increasing public participation – in all provinces throughout Indonesia. Given the lessons learned from the recent election of the RRI supervisory and executive boards in 2021, an assessment of the selection mechanism is also needed. The German model, wherein members of the boards are a mix of professionals, socio-religious figures, political parties, etc., could be considered. It is necessary to emphasise that RRI is a social rather a political institution, so that RRI can be free from politicisation. The new RRI boards should also intensively forge alliances with media advocates at national and international levels to push the Indonesian parliament’s plan to revise the Broadcast Law so that it is in line with the ideal interests described above.

===============================

This article was first published in Public Media Alliance. Read the source article. This article has been republished for educational purposes within the “Communication on Media” Rubric: Department of Communications mediated in Mass Media content.

Reading Time: 4 minutes

Kampanye pelajar di Jakarta untuk menolak menjadi target pemasaran industri rokok.
Lentera Anak

Masduki, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Di tengah pandemi COVID-19 yang memukul semua sektor dan menurunkan pendapatan sebagian besar masyarakat, konsumsi rokok di Indonesia justru meningkat. Murahnya harga rokok merupakan salah satu pemicu naiknya konsumsi rokok di negeri ini.

Konsumsi yang tinggi ini merupakan “hasil” dari kuatnya pengaruh industri rokok di satu sisi, dan di sisi lain karena lemahnya kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO.

Riset terbaru bertajuk Indeks Gangguan Industri Tembakau 2020 menunjukkan industri tembakau di Indonesia selalu berupaya terus menghambat upaya pengendalian tembakau lebih ketat. Hal itu terus berlangsung tahunan.

Dalam indeks serupa di Asian Tenggara, Indonesia menempati posisi teratas (82 poin, dari indeks 0-100) mengalami gangguan dari perusahaan rokok. Sedangkan indeks Malaysia 63 dan Thailand 43. Posisi negeri kita tidak membaik dibanding tahun lalu, bahkan dibanding era sebelum pandemi.

Kedigdayaan industri tembakau

Riset ini menemukan beberapa fakta penting bahwa pemerintah lebih berpihak kepada industri tembakau. Rakyat yang terbelenggu nikotin menghadapi ancaman penurunan kualitas kesehatan berlipat ganda, pascapandemi COVID-19.

Keberpihakan pemerintah, antara lain, ditunjukkan dengan berbagai insentif kepada pelaku industri besar dan kecil dan berbagai kemudahan bagi Industri Hasil Tembakau (IHT) pada masa pandemi.

Sikap ini kontradiktif dengan Pasal 2(1a) Undang-Undang Cukai yang menyatakan hasil tembakau harus dikendalikan konsumsinya karena pemakaiannya berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat.

Kenyataannya, pemerintah memberikan berbagai kemudahan bagi industri hasil tembakau pada masa pandemi untuk meningkatkan produksi. Peningkatan produksi rokok berarti mendorong peningkatan konsumsinya oleh masyarakat.

Pada awal 2021, Kantor Bea dan Cukai Kabupaten Kudus, Jawa Tengah misalnya, mencatat penambahan jumlah pabrik rokok dari semula 80 menjadi 114 unit. Alih alih mengendalikan, industri hasil tembakau besar dan kecil justru mendapat perhatian yang sama seperti industri produk konsumsi lainnya.

Selain mendorong peningkatan produksi, pemerintah memberikan insentif relaksasi pembayaran pita cukai dan tidak menaikkan tarif cukai jenis sigaret kretek tangan (SKT) tahun 2021. Relaksasi ini dinikmati industri tembakau berskala kecil dan besar. Pemerintah juga memfasilitasi produk nikotin baru untuk mendapat Standar Nasional Indonesia.

Selain itu, perwakilan industri tembakau tercatat aktif melobi dan menegosiasi kebijakan. Ini terjadi karena tidak adanya instrumen hukum yang melarang partisipasi mereka dalam pembuatan kebijakan.

Pemerintah harus menerapkan kode etik yang mengatur interaksi dengan pihak industri tembakau dan kelompok pendukungnya seperti Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), dan Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo). Perlakuan istimewa kepada industri tembakau selama pandemi perlu ditinjau ulang agar tidak menimbulkan kerugian kesehatan dalam jangka panjang.

Pemerintah seharusnya menunjukkan sikap yang berpihak kepada kepentingan kesehatan dalam jangka panjang, bukan semata kepentingan ekonomi. Caranya dengan menempatkan diri secara independen dan kuat, menghadapi gangguan industri tembakau.

Sepanjang 2020, kalangan industri tembakau sangat aktif membangun pencitraan positif di media massa, termasuk dengan cara menonjolkan data-data tertentu dengan melibatkan berbagai media utama dan tokoh atau akademisi berskala nasional.

Ada dua strategi komunikasi pemasaran yang dilakukan industri tembakau: melalui teknik kehumasan (public relations) dan manipulasi media. Ini mereka lakukan sebagai upaya menjaga citra rokok sebagai produk yang normal untuk diperdagangkan dan dikonsumsi masyarakat.

Misalnya, selama 2020, industri tembakau secara massif menggalang liputan media untuk menolak kenaikan cukai. Strategi PR ditempuh terutama melalui program tanggung jawab sosial perusahaan selama masa pandemi.

Mereka berhasil memanfaatkan pandemi untuk mendapatkan citra baik melalui berbagai bantuan kepada pemerintah untuk penanganan COVID-19. Bentuk sumbangan sangat beragam, mulai dari bantuan sembako, alat pelindung, mesin tes PCR dan ambulans.

Puncaknya, pemerintah selalu mengapresiasi program tanggung jawab sosial perusahaan tembakau, seperti beasiswa bulu tangkis Djarum.

Pemantauan masyarakat sipil

Sejak 2015, sembilan asosiasi masyarakat sipil di Asia Tenggara memantau dan mengukur Indeks Gangguan Industri Tembakau (Tobacco Industry Interference Index) di masing-masing negara.

Mereka tergabung dalam Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), aliansi multi-sektor non-pemerintah yang mempromosikan kesehatan melalui upaya pengendalian industri tembakau, dengan merujuk pada Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau WHO.

Ada tujuh parameter yang digunakan untuk survei ini: (1) tingkat partisipasi industri rokok dalam penyusunan kebijakan, (2) kegiatan perusahaan rokok yang diklaim sebagai tanggung jawab sosial perusahaan, (3) manfaat bagi industri tembakau, (4) interaksi yang tidak perlu, (5) transparansi, (6) konflik kepentingan dan (7) tindakan pencegahan.

Dari tujuh indikator tersebut, dalam kasus Indonesia, regulasi yang lemah menjadi persoalan mendasar yang terus berlangsung. Ini termasuk regulasi komunikasi publik pemerintah dan regulasi yang mengendalikan iklan, sponsorship dan promosi rokok di media.

Nilai indeks gangguan industri tembakau setiap tahun cenderung fluktuatif. Namun yang sudah pasti, dari sembilan negara ASEAN selama 2015-2020, Indonesia secara konsisten berada pada peringkat tertinggi setiap tahun.

Semakin tinggi nilai indeks semakin rendah keberpihakan pemerintah kepada masyarakat dibandingkan kepada industri tembakau. Tabel di bawah ini menunjukkan tren indeks gangguan industri tembakau di Indonesia relatif kuat dan stabil dalam lima tahun terakhir.

Perbaikan posisi indeks Indonesia secara tentatif pernah terjadi pada 2017 dan 2018 setelah Menteri Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri No. 50 Tahun 2016 tentang mitigasi konflik kepentingan dengan industri tembakau dan implementasinya mulai 2017.

Mandegnya rencana revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang pengendalian produk tembakau membuktikan adanya tekanan penolakan industri tembakau, parlemen dan beberapa kementerian bidang ekonomi. Alasan mereka: revisi tersebut tidak urgen di tengah pandemi.

Argumen yang mengemuka adalah revisi PP No. 109 Tahun 2012 kontra produktif terhadap upaya pemulihan ekonomi, berisiko mematikan petani tembakau dan memicu pemutusan hubungan kerja buruh rokok.

Alasan seperti ini berulang kali disampaikan oleh kelompok pro industri tembakau tatkala ada desakan untuk memperketat regulasi pengendalian tembakau.

Kelompok miskin terus merokok

Survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada keluarga miskin di lima kota menyebutkan 73,2% perokok miskin mempertahankan pengeluarannya untuk membeli rokok dengan mengurangi kebutuhan lainnya. Sebagian beralih ke rokok dengan harga lebih murah karena tak berdaya melawan kecanduannya.

Dari riset itu cukup jelas bahwa tubuh para perokok sudah berada di bawah kendali industri dan ketergantungan mereka menjadi komoditas ekonomi. Dari sudut pengetahuan dan kebijakan, Indeks 2020 mengkonfirmasi adanya pembentukan opini dan sekaligus manipulasi informasi di seputar konsumsi rokok sebagai suatu kegiatan yang normal.

Sebenarnya, jalan bagi pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok di masyarakat dan intervensi industri rokok cukup jelas: segera ratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO yang menyediakan poin-poin kebijakan yang lengkap dan detail. Tanpa ratifikasi itu, celah-celah pengendalian tembakau parsial seperti saat ini mudah dimanfaatkan oleh industri tembakau.The Conversation

Masduki, Pengajar dan Peneliti Kebijakan Media di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

=====================================================

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

 

Reading Time: 3 minutes

Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D

Pertama, saya ingin memberikan selamat kepada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia yang terus menjaga dedikasikan dalam menyelenggarakan the 6th Conference on Communication, Culture, and Media Studies (CCCMS 2022) ini, mulai enam tahun lalu.

Konferensi sangat penting untuk mempresentasikan temuan-temuan penting riset dan menguatkan komunitas akademik. Bagi saya, konferensi merupakan ritual akademik yang akan menguatkan eksistensi sebuah disiplin.

Tema yang diangkat dalam CCMS 2022 ini, visualizing the crisis, bagi saya,  sangat penting dan menarik. Dua kata kuncinya, visualisasi dan krisis, sangat relevan untuk saat ini.

Kini, visualisasi data sudah menjadi bagian keseharaian kita dalam mengosumsi informasi. Kita mengosumsi informasi dari visualisasi yang muncul di beragam media, termasuk koran/majalah, televisi, dan Internet.

Sudah lama dipercaya bahwa kita akan mencerna informasi lebih cepat jika ditayangkan dalam bentuk visual dan kita akan cenderung mengingatkan lebih lama. Visualisasi seakan sudah menjadi mantra baru dalam presentasi data.

 Dalam sambutan pembuka ringkas ini, saya ingin mengundang untuk memberikan perhatian kepada sisi lain visualisasi. Seperti halnya teknologi yang lain, visualisasi juga hadir dengan sisi baik dan buruknya. Seringkali, sebagian besar perhatian kita berikan kepada sisi positifnya. Kali ini, saya ingin mengajak untuk menengok sisi negatifnya.

Tentu, ini bukan untuk menyebar pesimisme, tetapi justru saya ingin memberikan ajakan untuk menghindari jebakan berpikir naif, dan di saat yang sama, melengkapi cerita visualisasi menjadi lebih utuh.

 

Kecohan visualisasi

Ada beberapa kecohan (fallacies) dalam interpretasi terhadap visualisasi data. Mari kita ambil sebuah contoh.

Silakan amati peta dunia dua dimensi. Bandingkan ukuran benua Australia yang terletak di sisi kanan bawah peta, dan pulau Greenland, bagian negara Denmark, yang terletak di sisi kiri atas peta.

Berdasar amatan visual, tampaknya tidak sulit untuk bersepakat jika ukuran Greenland tiga kali lebih besar dibandingkan dengan Australia. Tetapi fakta di lapangan tidak demikian halnya. Faktanya justru sebaliknya. Ukuran Australia lebih besat tidak kali lipat dibandingkan dengan Greenland.

Mengapa demikian? Sebagian dari kita mungkin lupa jika proyeksi Mercator dalam menjadikan peta di atas globe menjadi dua dimensi telah menjadikan wilayah yang mendekati kutub menjadi tergambar lebih besar. Sementara itu, wilayah yang berada di sepanjang garis khatulistiwa berukuran proporsional. Negara-negara Eropa, misalnya menjadi terlihat lebih besar.

Tanpa pemahaman yang baik soal beragam proyeksi dalam membuat peta dua dimensi, maka kita sangat mungkin menjadi “salah” dalam membaca peta dunia.

Sebagai sebuah artefak visual, peta dapat menjadi senjata imperialisme, seperti halnya senjata dan kapal perang. Ketika peta digunakan untuk mendukung kolonialisme, dan wilayah jajahan diklaim di atas dahulu sebelum betul-betul ditaklukkan, maka peta telah mendahului imperium, wilayah kekuasaan. Peta, karenanya, mempunyai hubungan yang kuat dengan pengetahuan, yang akhirnya dengan kekuasaan. Inilah kekuatan visualisasi.

 

Manipulasi persepsi

Dalam visualisasi, persepsi kita dapat dimanipulasi dengan beragam cara, termasuk misalnya, mengabaikan nilai basis dan memanipulasi sumbu y dalam diagram kartesian,  menggunakan diagram yang salah, dan memilih data secara selektif dengan pertimbangan tertentu.

Sebagai contoh, perbedaan kedua seri data menjadi tidak berbeda ketika diagram batang hanya diambil puncaknya dan menjadikan sumbu y tidak mulai dari angka nol. Atau, kecenderungan data yang menurun bisa diubah menjadi menaik hanya dengan memilih beberapa titik data yang menguntungkan. Semuanya bisa mengarah kepada interpretasi yang salah.

Kita bisa jadi merasa kesulitan membayangkan visualisasi paragraf di atas. Ini sekaligus menjadi bukti kekuatan visualisasi yang tidak mudah digantikan dengan teks.

Karenanya, selain dapat membantu kita dalam memahami informasi dengan lebih baik, kita harus sadar bahwa visualisasi, di saat yang sama, juga bisa digunakan sebagai kakas atau alat bantu untuk kebohongan melalui manipulasi persepsi.

Jangan-jangan, tanpa sadar, kita juga sering membuat interpretasi yang salah dari visualisasi data, yang dibuat baik tanpa pengetahuan yang cukup, atau yang lebih menakutkan, karena didasari niat yang “jahat” untuk mengecoh.

Elaborasi ringan dari poin-poin dalam sambutan pembuka (yang diindonesiakan) pada The 6th Conference on Communication, Culture, and Media Studies (CCCMS 2022), yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia pada 14 Juni 2022.

 

===============

 

Sebelumnya, Tulisan ini pernah terbit lebih dahulu di Pojok Rektor dan dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

Reading Time: 4 minutes

Iwan Awaluddin Yusuf, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

The Conversation Indonesia menerbitkan serangkaian artikel yang membahas kekerasan terhadap perempuan dalam rangka Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Sedunia pada 25 November.


Di Indonesia, perempuan ikut menggerakkan aksi solidaritas terhadap korban kekerasan atau yang dikenal dengan sebutan gerakan #MeToo. Salah satu penggerak aksi ini adalah para korban kekerasan seksual yang melaporkan pelaku pada polisi.

Baru-baru ini, dua kasus kekerasan seksual menarik perhatian publik. Kasus pertama adalah dugaan pemerkosaan terhadap mahasiswi Universitas Gadjah Mada oleh rekannya sendiri. Sedangkan kasus lainnya adalah dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah terhadap seorang guru di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Jika kesaksian perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Amerika Serikan telah berhasil menjatuhkan para pelaku yang merupakan pria yang berkuasa dan mendorong penegakan norma perusahaan yang menolak adanya pelecehan seksual, maka kesaksian para perempuan di Indonesia justru bisa membuat mereka terancam tindak pidana karena budaya yang menyalahkan korban (victim blaming) begitu meraja lela di Indonesia.

Media tidak hanya memainkan peran dalam melaporkan budaya victim blaming tersebut namun juga memperkuat keberadaannya.

Menyalahkan Korban

Kasus perkosaan di UGM menjadi perhatian publik setelah lembaga pers mahasiswa Balairung mengangkat laporan tentang kejadian yang menimpa Agni (bukan nama sebenarnya). Agni melaporkan telah dilecehkan secara seksual oleh teman satu programnya, HS, saat melakukan Kuliah kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku.

Balairung mewawancarai Agni dan menuliskan tanggapan pihak kampus atas laporan Agni. Menindaklanjuti laporan perkosaan yang disampaikan Agni, UGM langsung memberhentikan tersangka dari program KKN, sedangkan Agni tetap diperbolehkan melanjutkan programnya hingga selesai. Namun setelah KKN berakhir, Agni ternyata hanya memperoleh nilai C sementara teman-teman satu kelompoknya memperoleh nilai yang lebih tinggi.

Ketika mempertanyakan nilainya yang rendah, salah seorang pengelola KKN justru menyalahkan Agni karena bertindak ceroboh. Ia menilai peristiwa perkosaan itu telah membuat malu nama UGM di depan warga.

Dalam pertemuan lanjutan dengan universitas, seorang pejabat kampus justru membenarkan tindakan dosen pembimbing lapangan (DPL) yang memberi nilai C.

“Seandainya kamu tidak menginap di sana, peristiwa itu tidak akan terjadi”, tuturnya.

“Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi ikan asin pasti setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan,” seorang dosen lain memberikan pernyataan kontroversial.

Sementara itu di Lombok, seorang guru perempuan bernama Baiq Nuril yang merekam percakapan asusila yang dilakukan seorang kepala sekolah terhadap dirinya sebagai bukti untuk membela diri justru dihukum 6 bulan penjara dan didenda Rp500 juta. Ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena dianggap melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam menyebarkan dokumen elektronik dengan muatan asusila.

Kedua kasus tersebut hanyalah puncak gunung es dari budaya victim blaming yang cukup kuat terhadap korban tindak kekerasan seksual di Indonesia.

Budaya menyalahkan korban begitu lazim ditemui sehingga banyak penyintas akhirnya takut melaporkan kasus yang dialami. Para penyintas khawatir akan mendapat stigma buruk. Mereka juga dianggap merusak nama baik keluarga atau lembaga. Mereka bahkan dapat dikriminalisasi karena melaporkan pemerkosaan tersebut.

Peran media

Victim blaming adalah suatu bentuk sikap menyalahkan perempuan atas kekerasan seksual yang mereka alami. Gejala ini ditandai dengan kecenderungan memihak para pelaku. Masyarakat juga lebih banyak mendengarkan cerita versi pelaku.

Ketika menyalahkan korban, masyarakat terbiasa menuduh perempuan ikut bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Misalnya mereka bilang kasus itu bisa terjadi karena perempuannya mengenakan rok pendek, keluar malam sendirian, dan lain-lain. Mereka juga cenderung memberikan toleransi pada pelaku sehingga memungkinkan mereka untuk lepas dari hukuman.

Di Indonesia, kebiasaan menyalahkan korban sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki, ideologi yang mengakui hubungan tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Dalam budaya patriarki, posisi laki-laki lebih dominan, lebih berpengaruh, sementara perempuan diposisikan sebagai bawahan. Akibatnya, laki-laki menuntut rasa hormat dan kepatuhan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Media memainkan peran ganda dalam kasus kekerasan seksual. Di satu sisi, media adalah sumber informasi utama bagi masyarakat untuk mengetahui adanya kekerasan terhadap perempuan sekaligus menjadi salah satu sarana edukasi masyarakat dalam menyikapi kekerasan seksual. Media juga bisa memberi tempat agar suara penyintas didengar. Laporan Balairung tentang perkosaan Agni di UGM misalnya, telah menarik perhatian dan simpati publik atas kejadian tersebut.

Namun di sisi yang lain, liputan media juga dapat memperparah budaya menyalahkan korban. Hal ini mungkin terjadi karena media cenderung menampilkan perempuan sebagai sosok yang lemah, dan bukan penyintas yang bisa berjuang untuk mencari keadilan setelah diperkosa. Media juga cenderung menyalahkan perempuan dalam liputan tentang kekerasan seksual.

Sebuah penelitian tentang serangan seksual terhadap keturunan Tionghoa selama transisi politik Indonesia pada Mei 1998 oleh Susan Blackburn dari Monash University Australia menyoroti peran media dalam menyebarkan sikap menyalahkan korban. Temuan Susan menunjukkan bahwa pemberitaan media di Indonesia sering memojokkan perempuan dalam kasus kekerasan perempuan dengan mengatakan bahwa perkosaan bisa terjadi karena karena perempuan yang bersangkutan memancing hasrat seksual pemerkosa dengan pakaian “provokatif” dan “sensual”.

Sikap menyalahkan korban dalam masyarakat patriaki telah membuat para penyintas kekerasan seksual mengalami penderitaan ganda: diperkosa dan disalahkan. Ini akan menyebabkan para penyintas tidak merasa aman dalam membagikan cerita mereka kepada orang lain.

Sikap menyalahkan korban juga membawa dampak negatif lainnya.

Sosiolog Indonesia Ariel Heryanto melakukan penelitian lain tentang perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa dan dilecehkan secara seksual pada tahun 1998. Ia menemukan bahwa sebagian besar penyintas memilih untuk melarikan diri dari rumah dan berusaha menjalani hidup baru di tempat yang jauh karena trauma dan stigma buruk. Banyak yang mencoba mengatasi trauma tersebut dengan melupakan atau menyangkal bahwa kekerasan seksual telah terjadi. Akibatnya, kasus pemerkosaan tahun 1998 masih sulit untuk ditelusuri hingga saat ini.

Lingkungan masyarakat yang melanggengkan sistem patriarki juga memperkuat budaya memerkosa atau rape culture yang juga mendorong sikap menyalahkan korban. Budaya memerkosa didefinisikan sebagai lingkungan yang menoleransi perkosaan dan kekerasan seksual.

Budaya memerkosa ini dilestarikan melalui penggunaan bahasa yang merendahkan perempuan dengan mengomentari bentuk tubuh perempuan atau menggunakan lelucon seksual maupun kasus perkosaan sebagai bahan lelucon.

Bercanda tentang perkosaan mengabaikan fakta bahwa banyak penyintas pemerkosaan yang harus menghadapi luka fisik dan emosional sekaligus, karena setelah diperkosa (yang tidak pernah ia harapkan) ia juga disalahkan atau dijadikan bahan olok-olok oleh orang-orang di sekelilingnya.

Disadari atau tidak, kebiasaan ini membangun masyarakat yang mengabaikan hak dan keamanan perempuan.

Membela penyintas

Kasus perkosaan di UGM adalah momentum yang bisa mengingatkan bahwa kita harus mendukung para penyintas. Kita harus memprioritaskan untuk berdiri bersama penyintas. Dukungan publik untuk Baiq Nuril dari Lombok juga harus memicu reformasi penegakan hukum dan peradilan untuk melindungi korban kekerasan seksual di Indonesia.

Sikap menyalahkan korban dan budaya memerkosa adalah masalah yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Untuk melawannya, kita harus selalu mendukung penyintas, tidak hanya ketika kasus tersebut menimbulkan reaksi publik tapi setiap saat. Kita juga perlu mengubah cara pandang kita terhadap masalah pemerkosaan, dimulai dengan menghargai jenis pakaian apa pun yang mereka kenakan.The Conversation

Iwan Awaluddin Yusuf, Lecturer in Department of Communications, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber. Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

Reading Time: 3 minutes

Oleh Masduki, Dr.rer.soc.

Pengesahan UU Cipta Kerja No. 11/2020 hingga kini masih meninggalkan kontroversi di berbagai sektor publik termasuk sektor penyiaran. Dimasukkannya sejumlah pasal yang mengatur tata kelola lembaga penyiaran ke dalam UU ini memicu protes karena mereduksi prinsip universal penyiaran sebagai entitas yang tidak hanya bersifat benda/kerja komersial dan karenanya menjadi pengguna tenaga kerja seperti spirit UU Cipta Kerja. Penyiaran adalah  entitas media massa, terkait pengelolaan konten yang sehat dan infrastruktur yang otonom, independen serta sebaran lembaganya harus merata, tidak Jakarta sentris. Tulisan pendek ini mengulas dua persoalan pokok yang memicu kontroversi tersebut.

Pemerintah Regulator Tunggal

Warisan penting demokratisasi penyiaran pasca 1998 di Indonesia adalah penguatan hak publik atas tata kelola media yang tercermin pada tiga aspek: Pertama, kehadiran lembaga regulator independen beranama Komisi Penyiaran Indonesia. Kedua, sistem penyiaran yang berformat lokal dan jaringan, bukan siaran berskala nasional. Ketiga, keberadaan lembaga penyiaran publik dan komunitas yang kuat dan profesional.

Terdapat perubahan signifikan penjaminan ketiga aspek diatas antara UU Penyiaran No. 32/2002 dengan UU Cipta Kerja. Dalam UU No. 32, terdapat dua regulator penyiaran yang posisinya relatif seimbang: Pemerintah dan KPI. Ini suatu kondisi yang relatif baik, meskipun belum paripurna karena seharusnya pemerintah tidak lagi menjadi regulator.

Dalam UU Cipta Kerja, pemerintah kembali menjadi regulator tunggal dan posisi Komisi Penyiaran adalah ‘regulator penggembira’ saja, karena tidak ada lagi hak review atas perizinan siaran. Setiap pelaku penyiaran yang mengajukan izin berdiri atau perpanjangan, cukup memberikan pernyataan sanggup mengikuti ketentuan P3SPS. Terminologi izin ini juga berubah, dari izin penyelenggaraan, menjadi hanya izin usaha. Artinya ada reduksi makna yang memposisikan penyiaran sebagai entitas bisnis semata, melihat publik sebagai konsumen, bukan entitas sosial yang berperan strategis untuk pemberdayaan publik.

Ancaman Baru Sentralisasi

Peta umum kepemilikan lembaga penyiaran analog (radio televisi) sejak 2002 hingga sekarang adalah Jakarta sentris atau Jawa sentris. Kepemilikan dan isi siaran televisi berpusat di Jakarta, sedangkan radio swasta adalah fenomena Jawa Barat dan Timur. Sebaran pemilik televisi yang hanya 12 kelompok disebut oligarki karena mereka menguasai, dan kemudian memakai media untuk tujuan politik praktis. Sentralisasi dan monopoli kepemilikan menjadi penyebab penyiaran tidak menjadi ruang publik yang egaliter, tetapi justru memicu destruksi harmoni sosial. Upaya mengatasi problem ini lewat UU Penyiaran No. 32/2002 tidak berhasil karena ada perlawanan yang kuat dari pemilik modal kuat.

UU Cipta Kerja berpeluang besar memperkuat peta sentralisasi dan monopoli bisnis penyiaran karena dua hal. Pertama, UU ini mengatur izin operasi penyiaran dapat berskala nasional, tidak lagi berskala lokal dan jaringan seperti amanat UU sebelumnya. Pemilik modal tentu lebih memilih mengembangkan model siaran nasional seperti saat ini karena menghemat modal dan kerja manajemen. Tanpa mekanisme perlindungan yang kuat, inisiatif pendirian televisi lokal sebagai upaya redistribusi hak publik akan makin terhambat.

UU Cipta Kerja khususnya pasal 60A juga memberi ‘cek kosong’ pengaturan teknis tata kelola siaran ddigital dan migrasi teknologi analog ke digital kepada Kementerian Kominfo bukan KPI. Artinya pemerintah menjadi penentu tunggal penyiaran digital dan berdasarkan pengalaman 10 tahun terakhir, pemerintah berpihak kepada pemodal bukan publik.

Memperhatikan kedua problem krusial diatas, maka para aktifis dan pemerhati media penyiaran perlu merapatkan barisan dan mendukung upaya judicial review yang kini diajukan komunitas masyarakat sipil ke Mahkamah Konstitusi. Harapan akan terjadinya koreksi UU ini juga masih ada pada rencana revisi UU Penyiaran No. 32/2002 tahun depan. Namun, melihat potret legislator yang dikuasai partai politik besar dengan kepentingan pragmatis yang kuat, harapan itu tampaknya sangat kecil untuk dapat terwujud.

 

Masduki, Dr.rer.soc.

Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi UII

Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media)


Tulisan ini telah dimuat sebelumnya di harian Kedaulatan Rakyat edisi 16 November 2020. Kami muat kembali di laman ini untuk kepentingan edukasi, dokumentasi dan pembelajaran dalam dunia akademik. Pemuatan ini juga bagian dari komitmen situs Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam upaya pengelolaan pengetahuan (Knowledge Management).

Reading Time: 3 minutes

Sebuah slogan yang sarat spirit heroisme: Sekali Di Udara Tetap di Udara, menggema di media sosial dan saluran terestrial dalam bulan ini, menjelang perayaan tiga perempat abad kelahiran RRI (radio republik Indonesia), radio nasional tertua. Slogan ini lahir dalam masa revolusi kemerdekaan tahun 1948, ketika studio RRI Solo dibawah pimpinan R. Maladi, harus pindah ke Karanganyar menghindari aksi militer Belanda.

Slogan ini terus di rawat dalam benak dan disuarakan hingga 75 tahun kemudian, sebagai isyarat verbal bahwa RRI bertekad menjadi bagian dari proses ’revolusi udara’ pasca kemerdekaan. Meski lanskap sosial politik dan sistem media telah berubah. Merujuk buku Sedjarah Radio (1963), teks lengkap slogan itu sebetulnya didahului kalimat: Sekali Merdeka Tetap Merdeka, namun kalimat ini kerapkali tidak disertakan. Terinspirasi dari daya tahan slogan ini melewati berbagai periode politik dan sistem media, tulisan pendek ini menggali sejarah RRI dalam kerangka kebijakan penyiaran di Indonesia.

Dua Periode Kritis

Memasuki usia 75 tahun bagi RRI berarti juga memasuki periode ketiga kebijakan penyiaran Indonesia. Kebijakan pertama berlaku sejak radio ini lahir tahun 1945 hingga tahun 1970. Corak dasarnya monopolistik, di mana otoritas politik Indonesia hanya memiliki satu jenis media, yaitu radio pemerintah, radio siaran di luar pemerintah dianggap illegal. Model monopolistik ini jamak terjadi di negara lain termasuk di Inggris di mana sejak berdiri tahun 1927 hingga 1970-an, BBC menjadi pemain tunggal. Perbedaannya, BBC sejak awal menjadi media publik berbasis kebudayaan publik, sedang RRI lahir dengan semangat menjadi radio politik, mendukung pemerintah pasca kemerdekaan, bukan kebudayaan.

Orientasi penyiaran yang bersifat politis ini dikoreksi pada periode antara tahun 1970-1995-an. Keluarnya PP No. 55/1970 yang mengakui radio swasta mengakhiri era dominasi tunggal RRI. Regulasi ini mempromosikan radio sebagai institusi budaya, berbasis kreatifitas masyarakat dengan tujuan sosial-komersial. Kompetisi menjadi kata kunci yang sejatinya bisa memperkuat posisi RRI sebagai media publik. Sayang, hasrat pemerintah mengkooptasi RRI masih kuat sehingga periode 1970-1985 bisa dianggap sebagai sejarah paling buruk bagi RRI sebagai institusi radio yang seharusnya melayani warga negara.

Masa Lalu atau Masa Depan?

Periode ketiga (1995-2020) adalah periode paling dinamis sistem penyiaran Indonesia termasuk RRI. UU Penyiaran No. 32/2002 mengkoreksi kebijakan dualisme: radio pemerintah dan radio swasta menjadi kebijakan pluralistik terbatas. Ditandai munculnya radio publik dan radio komunitas sebagai pemain baru. Pilihan RRI pada tahun 2000 untuk menjadi radio publik sudah benar, selaras semangat demokratisasi media. Namun, dalam perjalanan hingga tahun 2020, rupanya tampak sikap galau, dan semangat untuk menjaga aliansi mesra dengan otoritas politik, bukan beraliansi dengan publik. Para insan di radio terbesar di Indonesia ini masih bimbang: merawat masa lalu atau meraih masa depan.

Karakteristik budaya jurnalisme di Indonesia pada 15 tahun terakhir, ketika RRI sudah mengemban status sebagai lembaga penyiaran publik mirip dengan apa yang digambarkan Robert McChesney (1999) sebagai: rich media poor democracy (jumlah media yang banyak, informasi yang berhamburan, tetapi minim kualitas yang merawat demokrasi). Setelah berusia 15 tahun sebagai LPP, pengelola RRI tampak tenggelam kepada kejayaan masa lalu sebagai media pembangunan dan saluran budaya serta olah raga, dan melewatkan kesempatan untuk menjadi saluran informasi yang tajam dan berkualitas. Slogan “sekali di udara tetap di udara“ kian mengalami kemandegan makna dan spirit perubahan. Nah, jika ingin meraih masa depan yang cerah menuju satu abad (25 tahun ke depan), RRI harus segera berbenah memenuhi aspirasi publik, sebab hanya publik yang loyalitasnya tulus.

 

Penulis: Masduki, Dr.rer.soc.

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UII

—–

Tulisan ini telah terbit sebelumnya di Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta pada edisi 11 September 2020 halaman 11. Gagasan dalam tulisan ini kembali kami terbitkan dalam laman ini demi menyemarakkan Bulan Penyiaran Publik. Kami meyakini, Semangat pembaruan Lembaga Penyiaran Publik yang tersirat dalam tulisan Dosen Program Studi kami ini layak digaungkan dan dikemasulang di laman-laman studi komunikasi sebagai bagian dari proses laku Pengelolaan Pengetahuan (Knowledge Management). Penulis adalah doktor dengan spesialisasi kajian Penyiaran Publik, Media Layanan Publik dalam klaster riset Regulasi dan Kebijakan Komunikasi.  Tulisan ini juga menjadi bagian komitmen kami pada rangkaian diskusi Sejarah Komunikasi dalam kajian Forum Amir Effendi Siregar.

Reading Time: 3 minutes

A slogan full of the spirit of heroism: Sekali di Udara, Tetap di Udara (Once in the Air Stay in the Air), echoing on social media and terrestrial channels this month, ahead of the three-quarter century anniversary of the birth of RRI (radio republic of Indonesia), the oldest national radio. This slogan was born during the independence revolution in 1948, when RRI Solo studio under the leadership of R. Maladi, had to move to Karanganyar to avoid Dutch military action.

This slogan was kept in mind and voiced up to 75 years later, as a verbal signal that RRI was determined to be part of the post-independence ‘air revolution’ process. Although the socio-political landscape and media system have changed. Referring to the book Sedjarah Radio (1963), the full text of the slogan is actually preceded by the sentence: Once Free, Stay Free, but this sentence is often not included. Inspired by the persistence of this slogan through various periods of politics and media systems, this short article explores the history of RRI within the framework of broadcasting policy in Indonesia.

Two Critical Periods

Entering the age of 75 for RRI means entering the third period of Indonesia’s broadcasting policy. The first policy was in effect since radio was born in 1945 to 1970. The basic pattern is monopolistic, in which the Indonesian political authority only has one type of media, namely state radio, broadcast radio outside the government is considered illegal. This monopolistic model is common in other countries, including Britain, where since its founding in 1927 to the 1970s, the BBC has been the sole player. The difference is that the BBC has been a public media based on public culture from the start, while RRI was born with the spirit to become a political radio, supporting the post-independence government, not culture.

This political orientation of broadcasting was corrected in the period between 1970-1995s. The issuance of PP No. 55/1970 which acknowledged that private radio ended the era of RRI’s single domination. This regulation promotes radio as a cultural institution, based on community creativity with socio-commercial objectives. Competition is a keyword that can actually strengthen RRI’s position as a public media. Unfortunately, the government’s desire to co-opt RRI is still strong so that the period 1970-1985 can be considered as the worst history for RRI as a radio institution that should serve citizens.

Past or Future?

The third period (1995-2020) was the most dynamic period for the Indonesian broadcasting system, including RRI. Broadcasting Law No. 32/2002 corrects the policy of dualism: state radio and private radio to a limited pluralistic policy. Marked by the emergence of public radio and community radio as a new player. RRI’s choice in 2000 to become a public radio station was correct, in line with the spirit of media democratization. However, on the way up to 2020, there seems to be a troubled attitude and enthusiasm to maintain an intimate alliance with political authorities, not alliance with the public. The people on the biggest radio in Indonesia are still uncertain: caring for the past or reaching for the future.

The characteristics of journalism culture in Indonesia in the last 15 years, when RRI has assumed its status as a public broadcasting institution is similar to what Robert McChesney (1999) described as: rich media, poor democracy (large amount of media, scattered information, but minimal quality of care. democracy). After turning 15 as an LPP, the RRI manager seems to be immersed in its past glory as a medium for development and a channel for culture and sports, and has missed the opportunity to become a channel for sharp and quality information. The slogan “once in the air, remains in the air” increasingly stagnates the meaning and spirit of change. So, if you want to achieve a bright future towards a century (the next 25 years), RRI must immediately clean up to meet the aspirations of the public, because only the public has genuine loyalty.

 

Author: Masduki, Dr.rer.soc.

Lecturer of the UII Communication Science Departmen of Universitas Islam Indonesia

—–

This article was previously published in the Kedaulatan Rakyat Daily in Yogyakarta on the 11 September 2020 edition page 11. We republish the ideas in this paper on this page to enliven the Month of Public Broadcasting. We believe the spirit of renewing the Public Broadcasting Institution, which is implied in the writings of our Communication Science Lecturer, deserves to be echoed and republished on communication study pages as part of the Knowledge Management process. The author is a doctorate specializing in Public Broadcasting, Public Service Media in the Communication Policy and Regulation research cluster. This paper is also part of our commitment to a series of discussions on the history of communication in the study of the Amir Effendi Siregar Forum.