Produksi film dokumenter membutuhkan tak hanya kualitas teknis, melainkan juga kepekaan mengambil sudut pandang dan berfikir kritis. Perspektif dalam melihat sebuah isu juga penting bagi seorang filmmaker. Terutama perspektif perempuan atau gender dalam memandang isu dan produksi film.
Perspektif perempuan penting dipahami bagi seorang filmmaker sehingga pada akhirnya tercipta film yang peka terhadap kepentingan kelompok rentan seperti perempuan.
“Caranya bisa ditarik pada pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi. Bagaimana kalau peristiwa ini menimpa saudara perempuan saya, ibu saya, atau anggota keluarga saya yang perempuan, misalnya,” kata Kisno Ardi, pembicara dalam acara Pemutaran dan Diskusi Film ‘Cambuk di Serambi Mekkah’ pada Jumat, 23 April 2021.
Pemutaran film dan diskusi ini mendapuk karya tugas akhir dari sutradara Nurhamid Budi Sutrisno, Mahasiswa Komunikasi UII angkatan 2017. Film ini mengangkat topik tentang fenomena dan sisi lain hukuman cambuk yang diterapkan di Nanggroe Aceh Darussalaam. Acara ini adalah Diskusi rutin yang dilaksanakan oleh PSDMA Nadim Komunikasi UII.
Budi, panggilan akrab Nurhamid, mengatakan bahwa ia sengaja mencoba mengambil sudut pandang tekanan sosial yang dialami orang yang divonis hukuman cambuk. Tekanan sosial itu mulai dari malu berada di depan umum sampai pengucilan dan diasingkan oleh masyarakat. “Seharusnya jika kita menggunakan perspektif perempuan, kita tidak akan berpihak pada pengasingan ini. Bayangkan jika keluarga perempuan kita yang berada pada posisi tersebut,” papar Kisno, yang juga adalah pegiat komunitas cum dokumentaris.
Maka sebagai filmmaker dokumenter, Kisno mangatakan, filmmaker harus menyajikan cara pandang baru apa yang kita tawarkan dalam masyarakat. Maka adalah hal yang wajar bila film dokumenter menggunakan satu sudut pandang.
“Tidak seperti produk jurnalistik, dokumenter tidak diwajibkan memenuhi kaidah jurnalistik, cover both side, misalnya. Namun antara jurnalistik dan dokumenter punya kesamaan: faktual,” papar Kisno.
Menurut Kisno, ia menyarankan pada Budi, bahwa sudut pandang dan keberpihakan filmmaker dalam film harus terlihat. Bahkan jika perlu, peristiwa harus direfleksikan pada diri sendiri sehingga kehadiran filmmaker semakin nyata dalam memahami subyek film.
Perspektif perempuan karenanya, penting dipahami dan dipelajari sebagai bentuk keberpihakan pada kelompok-kelompok atau entitas masyarakat yang seringkali dirugikan. Keberpihakan filmmaker pada perempuan dan kelompok rentan sangat berguna agar diskriminasi tidak terjadi dan berulang. Kisno mengharapkan perspektif ini diinternalisasi karena setiap kita memiliki anggota keluarga perempuan dan kelompok rentan lain. Di sinilah kecerdasan filmmaker mahasiswa dalam penggarapan tugas akhir diuji.