Reading Time: < 1 minute

Artikel sebelumnya

Sedangkan pengalaman UIN Suka berbeda. Prof. Iswandi mengatakan Prodi Komunikasi UIN Yogya ini adalah prodi terpopuler se PTAI di Indonesia peminatnya. “Bisa ratusan yang mendaftar, tapi kami hanya bisa terima 150,” kata Iswandi.

Iswandi menjawab pertanyaan dari Holy Rafika, Dosen Komunikasi UII, spesialisasi Komunikasi Geografi soal bagaimana pembedaan prodi konunikasi di UIN pada fakultas fsihum dan fakultas dakwah.

“Di UIN Suka, ada pembedaan antara Komunikasi sebagai ilmu di Prodi Komunikasi dan komunikasi sebagai teknik di fakultas dakwah dan komunikasi,” kata Iswandi. Menurutnya, perbedaan lain adalah jika di Fishum komunikasi secara keilmuan mengikuti pedoman dari Kementrian Pendidikan, sedangkan Komunikasi Penyiaran Islam dalam Fakultas Dakwah mengikuti pedoman dari Kemenag.

Perbedaan lagi bila diceritakan oleh pengalaman UGM. UGM sejak awal telah meletakkan pondasi Prodi Komunikasinya sejak mulanya bernama Jurusan Publisistik pada 1949. Inilah generasi pertama jurusan komunikasi di Indonesia. Baru kemudian IISIP dan diikuti Universitas Indonesia. Barulah pada 1960 Komunikasi Unpad mendirikan jurusan serupa.

Bila Prodi Komunikasi di Unpad ada dalam Fikom, Komunikasi UIN ada di bawah Fishum, maka Komunikasi UGM berada bersama Fisipol.

Komunikasi UGM juga telah lama berubah nama menjadi Departemen Komunikasi UGM. Kini pengembangan ilmu di Komunikasi UGM sangat ditentukan oleh staf yang sanggup berkompetisi meraih hibah riset baik internal maupun eksternal. “Pengembangan keilmuan lebih ditentukan pula oleh kemampuan dan peminatan staff dosen dalam menentukan agenda riset. Fokus pada peminatan ini membuat branding komunikasi UGM semakin kuat,” kata Ngurah. Hal ini menjadi semakin kuat apalagi ketika dihubungkan dengan relasi dosennya yang banyak melanjutkan studi di luar negeri. Networking inilah yang akan menentukan arah dan peningkatan kualitas prodi.

 

Reading Time: 2 minutes

The development of studies on the history of tertiary institutions with the field of communication science in Indonesia has various features. Unpad, UIN, and even UGM have their own history and features. Not all of them come under a faculty called communication science.

Prof. Engkus Kuswarno, Professor of Communication Studies from Padjadjaran University said that the features are increasingly diverse if you look at Communication Science study programs at other campuses. “According to the Dikti’s data, as of April 1, 2021, there are now 344 communication science study programs in Indonesia. There are two communication management study programs. Then there are 21 Islamic Broadcasting Communication Study Programs under the Ministry of Religion (Ministry of Religion),” said Engkus in the Workshop on the Development of the Department Roadmap of Communication Study Program of UII on Friday (2/4/2021).

Engkus, who had been Vice Rector Unpad, adding that now is not known to the nomenclature of ‘majors’, “If you see in Law No. 12 of 2012, there were no term departments and faculties. The latest is a study program.”

He, referring to the policy, the education program is carried out by the study program, not the department. “Then the accreditation is the study program, not the department,” he added.

This workshop invited several figures who became role models of the Communication Study Program in Indonesia. They were Prof. Engkus Kuswarno from the Faculty of Communication Sciences / Faculty of Science. Unpad Communications Major, Prof. Iswandi Syahputra from UIN Communication Major Sunan Kalijaga Yogyakarta, and I Gusti Ngurah from UGM Communications Major.

This workshop is an effort of the UII Department of Communications to update a department roadmap. Puji Hariyanti, Chair of the Department of Communications of UII, said that this workshop was held to share each other lesson learned, renew the roadmap for this department, some of which have been surpassed, and some have not reachable will be a guide for the Department of Communications of UII to make it better.

Questions arose after the presentation of speakers from three well-known universities in Indonesia. For example Masduki, one of the UII Department of Communications Lecturers, Specialist in the Media Policy and Journalism Research Cluster. Masduki asked, from the many discussions and historical backgrounds of this Department of Communication, especially Unpad, “how was the history to have its own faculty? How did these three campuses build their schools of thought in their respective campuses?”

Prof. Engkus said that Unpad Communication major had never turned into a faculty of its own. “From the beginning it was a publicistic faculty. Then in 1987 there was a change in regulations from Higher Education. All departments of public relations, information, etc. in Unpad had to become a communication major,” he explained.

“It used to be called a department. Previously it was majoring in information, PR, publicist. Then asked to change to a study program. Then we fought for the majors to appear again with new study programs submitted in 2013,” he added. Engkus added that since changing its status to PTNBH (Legal Entity of Public University)  Unpad, there is no need for a Dikti (Ministry that govern university) permit. “Even though our PTNBH is only in 2014, after the permit to make a new study program was issued in 2013,” said Engkus.

Continue to the next article here

 

Reading Time: 2 minutes

Perkembangan kajian atas sejarah perguruan tinggi dengan bidang ilmu komunikasi di Indonesia memiliki corak yang beragam. Unpad, UIN, dan bahkan UGM memiliki sejarah dan coraknya masing-masing. Tak semuanya bernaung di bawah fakultas bernama ilmu komunikasi.

Prof. Engkus Kuswarno, Profesor Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjadjaran mengatakan corak itu semakin beragam jika menilik prodi Ilmu Komunikasi di kampus-kampus lain. “Menurut data forlap dikti, per 1 April 2021, kini ada 344 prodi ilmu komunikasi di Indonesia. Prodi manajemen komunikasi ada dua. Lalu ada 21 Prodi Komunikasi Penyiaran Islam di bawah Kemenag (Kementrian Agama),” papar Engkus dalam Workshop Pengembangan Roadmap Prodi oleh Prodi Komunikasi UII pada Jumat (2/4/2021).

Engkus, yang pernah menjadi Wakil Rektor I Unpad ini, menambahkan bahwa kini sudah tidak dikenal nomenklatur ‘jurusan’, “Jika anda lihat dalam UU No. 12 tahun 2012, itu tidak ada kata jurusan dan fakultas. Yang terbaru adalah program studi. Alhamdulillah

Menurutnya, merujuk kebijakan tersebut, program pendidikanya dilakukan oleh prodi, bukan jurusan. “Maka yang diakreditasi adalah prodi, bukan jurusan,” imbuhnya.

Workshop ini mengundang beberapa tokoh yang menjadi model Prodi Komunikasi di Indonesia. Mereka adalah Prof Engkus Kuswarno dari Fikom/ Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, Prof. Iswandi Syahputra dari Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan I Gusti Ngurah dari Komunikasi UGM.

Workshop ini adalah upaya Prodi Komunikasi UII memperbarui sebuah peta jalan program studi. Puji Hariyanti, Ketua Prodi Ilmu Komunikasi UII, mengatakan bahwa workshop ini diadakan untuk belajar bersama menikik roadmap prodi ini yang beberapa telah terlampaui, dan beberapa lagi belum. Peta jalan ini harapannya akan menjadi panduan untuk Prodi Komunikasi UII agar menjadi lebih baik.

Pertanyaan-pertanyaan muncul juga setelah pemaparan para pembicara dari tiga kampus ternama di Indonesia. Misalnya Masduki, salah satu Dosen Komunikasi UII Spesialis Klaster Riset Kebijakan Media dan Jurnalisme. Masduki bertanya, dari sekian banyak diskusi dan latar sejarah program studi ini, terutama Unpad, “bagaimana sejarahnya bisa punya fakultas sendiri? Bagaimana tiga kampus ini membangun madzhab/ aliran pemikirannya di masing-masing kampusnya?”

Prof. Engkus mengatakan bahwa justru Komunikasi Unpad tidak pernah berubah menjadi fakultas sendiri. “Dari awal memang fakultas publisistik. Lalu di tahun 1987 ikut perubahan regulasi dari dikti. Semua jurusan humas, penerangan, dll di Unpad harus menjadi prodi ilmu komunikasi,” jelasnya.

“Dulu bernama jurusan. Dulu jurusan penerangan, PR, publisistik. Lalu diminta berubah jd prodi. Lalu kami perjuangkan jurusan-jurusan tadi muncul lagi dengan pengajuan prodi baru pada 2013,” tambahnya. Engkus menambahkan kini sejak berubah status menjadi PTNBH Unpad tak perlu ijin dikti. “Padahal PTNBH kami baru 2014, setelah ijin bikin prodi baru tadi turun di 2013,” kata Engkus.

Bersambung ke Artikel berikut

Reading Time: 2 minutes

Vadhiya Rahma Naisya mulai mengumpulkan beberapa bahan untuk besok. Dia dan lima teman lainnya sesama mahasiswa Komunikasi UII bikin gelaran pemberdayaan masyarakat di Komunitas Difabelzone, Pandak, Bantul pada Desember lalu. Meski peluh mengucur, pantang ia mengeluh. Vadhiya berprinsip, jika berbagi dapat menjadi berkah untuk sesama, tentu itu akan mendulang bahagia.

Bahan-bahan itu adalah pewarna, kain, dan beberapa alat lain untuk praktik membuat tie dye. Bagi yang belum tahu soal tie dye pasti mengernyit. Namun ternyata tie dye sudah dikenal bahkan sejak lama, terutama di jawa dengan nama jumputan. Mengajak teman-teman komunitas difabelzone membuat baju tie dye adalah keseruan tersendiri menurut Vadhiya. Betapa tidak, antusiasme dan hasil akhir yang tak terduga coraknya bikin jerih payah persiapan sana sini selama kurang lebih tiga pekan terbayar.

Meski pandemi mendera, dengan protokol kesehatan ketat, mereka merancang pelatihan pembuatan tie dye jadi semarak. Mbak Ila contohnya. Menurut penuturan Vadhiya, Mbak Ila yang difabel bisu, sangat tertarik dan aktif mengikuti petunjuk dan praktik pembuatan tie dye dari Vadhiya dan kawan-kawan. Vadhiya juga jadi belajar beragam hal, katanya. “Misal kalau Mbak Ila mau bertanya tentang teknik dan cara yang belum jelas, Vadhiya akan bertanya pada bu Irene. Dari penjelasan bu Irene, saya belajar juga soal cara berkomunikasi dengan bahasa isyarat,” papar Vadhiya.

“Rasanya dua hari pelatihan pembuatan Tie Dye masih kurang kalau ingat kebersamaan dan kekeluargaannya, bahkan kami dada-dada waktu pulang itu lama sekali,” kenang Vadhiya. “Saya senang dengan semangat dan kemauan belajarnya yang tinggi dari teman-teman difabel zone.”

Ia bersama tim melaksanakan pemberdayaan masyarakat untuk memenuhi mata kuliah Manajemen Program Komunikasi Non Komersil yang diampu oleh Puji Hariyanti, Dosen Komunikasi UII, spesialis Komunikasi Pemberdayaan. Puji bahkan mengapresiasi ide tie dye dengan komunitas difabel yang berdiri sejak 2016 ini, dan berharap dapat dilanjutkan kembali.

Bagaimana membuat pemeberdayaan masyarakat di tengah pandemi?

“Ya, go with the flow saja,” katanya. “Kami jalani seperti bermain. Nggak ada beban. Jadi meski ada yang di luar kota, kami berbagi tugas yang bisa dilakukan dari luar kota,” jelas Vadhiya. Justru ketika dibawa santai dan menaati protokol, segalanya yang di awal rasanya sulit, menjadi mudah.
“Banyak orang bilang difabel itu kekurangan, justru saya bilang bukan, yang betul adalah teman-teman difabel itu punya banyak kelebihan,” tutur Irene Juliana, pendamping Komunitas Difabel Zone.

Vadhiya mengungkapkan bahwa sebelumnya teman-teman komunitas difabelzone ini telah lama bisa membatik. Dari situ terlihat bagaimana kerapian dan ketekunan dalam berkarya mewujud. “Kami pas pulang itu rasanya pengin bisa seminggu di sana, kami belajar banyak soal berkarya,” kata Vadhiya dalam kesempatan diskusi bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII pada 31 Maret 2021.

 

 

Lanjutan cerita klik di sini

 

Reading Time: 2 minutes

Sambungan dari Berdaya Bersama..

Sara fadila, salah satu anggota tim pemberdayaan ini juga berpendapat. “Respon mereka yang positif sekali membuat saya bahagia. Saya bahagia juga bisa mencoba hal baru. Mereka penuh semangat, dan itu yang bikin berkesan buat saya,” katanya.

Menurut Irene, anggota komunitas difabelzone mulanya ikut kegiatan membatik di Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM). Salah satu pengajarnya adalah bagian dari difabelzone.id. “Awalnya setelah pelatihan tiga bulan, habis itu selesai. Karya mereka mau diapain bingung. Lalu saya, Ada bu wuri, dan ibu yang lain, memfasilitasi teman-teman difabel zone yang punya kelebihan. Awalnya enam orang. Akhirnya nambah terus lagi,” cerita Irene.

Setelah berlatih terus, setelah dua tahun siap karya-karya komunitas ini dipasarkan. “Dan puji tuhan alhamdulillah kami dapat tempat gratis pameran di jakarta dan ada sebagian karya kami dibeli duta besar Srilanka. Dua bulan lalu karya mereka juga ada yang terbang ke amerika,” ungkap Irene.
“Pada intinya kami ingin membantu teman difabel bisa mandiri. Bisa menghasilkan uang dan mereka bisa membantu keluarga,” lanjut Irene.

Bagaimana kabar penjualan produk batik pada masa pandemi?

“Difabelzone sebelum pandemi itu kami titip jual di mirota malioboro, di baim wong, dan ada di beberapa tempat. Pada saat pandemi corona itu semua berhenti. Kami berpikir ini mau tidak mau teman-teman difabel harus bisa tetap menghasilkan uang,” kata Irene menceritakan dampak pandemi pada komunitas ini. Akhirnya penjualan berjalan dari teman ke teman. “So far masih berjalan,” imbuh Irene.

Belakangan, komunitas ini juga mendapat kepercayaan dari salah satu perusahaan besar. Karya mereka jadi merchandise perusahaan. Perlahan-lahan bisa akhirnya. “Terima kasih pada teman-teman UII sudah berkenan datang dan sudah berbagi berkah. Berkat buat yg diberi dan yang memberi.

Vadhiya mengharapkan semoga apa yang mereka lakukan dapat membuka mata orang yang selama ini menganggap difabel sebelah mata. “Oh tidak, kita selama ini yang tidak sadar, tidak mau, dan tidak mau tahu. Padahal ketika saya ke sana, saya yang harus belajar banyak dari mereka. Mereka itu membatik itu rapi, kalau dilihat itu sudah seperti kerajinan yang bagus sekali. Bagusnya tanpa tapi dan tanpa cuma,” kata Vadhiya mengapresiasi.

Ifa Zulkurnaini, pemandu diskusi Nadim Komunikasi UII ini menyimpulkan, stigma buruk pada difabel di sekitar kita itu muncul karena kita yang tidak mau tahu dan tidak berbaur. Proses perkenalan itu harus natural. Tidak dibuat-buat. Kalau itu dilakukan tulus, tentu pemberdayaan akan lebih mengena di hati kata dia menutup diskusi.

Reading Time: 3 minutes

Vadhiya Rahma Naisya started gathering some materials for tomorrow. She and five other fellow students of the Department of Communications UII held a community empowerment event in the Difabelzone Community, Pandak, Bantul last December, 2020. Even though she was sweating, he never complained. Vadhiya has the principle, if sharing can be a blessing for others, it will gain happiness indeed.

These materials are dyes, cloth, and several other tools for the practice of making tie dye. For those who don’t know about tie dye, they will definitely frown. But it turns out that tie dye has been known for a long time, especially in Java with the name jumputan. Vadhiya said that making tie dyes with these members of difabel zone community is very enjoyable. How could it not be, enthusiasm and the unexpected finish that made the painstaking preparations here and there for about three weeks paid off. 

Strict Health Protocols

Despite the pandemic, they designed the tie dye-making training to be lively. It also going with strict health protocols, Ila, for example. According to Vadhiya’s stories, Mbak Ila, who has a speech disability, was very interested. She also active in following the instructions and practices of making tie dye from Vadhiya and friends. Vadhiya also learned various things, she said. “For example, if Ms. Ila wants to ask about techniques and methods that are not yet clear, Vadhiya will ask Mrs. Irene. From Mrs. Irene’s explanation, I also learned about how to communicate in sign language,” said Vadhiya. 

 

“It feels like the two days of Tie Dye making training are still not enough if we remember the togetherness and kinship here, even when we came home,  it took a long time to say goodbye there,” recalled Vadhiya. “I am happy with the enthusiasm and high willingness to learn from friends in difabelzone community.”

She and the team carried out community empowerment to fulfill the course Non-Commercial Communication Program Management taught by Puji Hariyanti, the lecturer of the Department of Communication, which is an Empowerment Communication specialist. Puji even appreciated the idea of ​​tie dye with the disabled community and hopes that it can be continued again.

 

 

 

How to make community empowerment in the midst of a pandemic?

“Yes, just go with the flow,” she said. “We live like playing. There is no burden. So even though there are those outside the city, we share tasks that can be done from outside the city,” explained Vadhiya. Precisely when you are taken to relax and obey the UII health protocols, everything that feels difficult at first becomes easy. 

“Many people said that people with disabilities are deficient, in fact, I say it was untrue. No, that really is friends with disabilities. It has many advantages,” said Irene Juliana, a companion community of difabelZone.id. 

Vadhiya revealed that in the previous time, difabelzone community, that was founded in 2016, has long been able to make batik. You can see how neatness and their perseverance. “We feel like we can go home for a week, we learn a lot about work,” said Vadhiya during a monthly discussion organized by the Nadim, Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA) of the Department of Communications of UII on March 31, 2021. 

Sara Fadila, a member of the empowerment team also said, “Their positive response made me happy. I’m happy to be able to try new things too. They are full of enthusiasm, and that is what impressed me,” she said.

To be Continue at these article’s link

 

Reading Time: 2 minutes

Previous Article Click Here

According to Irene, members of the diffablezone community initially took part in batik activities at the Christian Foundation for Public Health (YAKKUM). One of the teachers was part of difabelzone.id. “In the beginning, they were trained to batik for 3 month, it’s finished. They have no next plan, they were confused. Then Ibu Wuri and I, and another mother, facilitated these members of difabelzone who had good skill. Initially six people.” Irene said. 

After practicing, after two years the community’s works were ready to be marketed. “And thank God, alhamdulillah, we got a free exhibition space in Jakarta and some of our works were bought by the Sri Lankan ambassador. Two months ago, their work also flew to America,” said Irene.

 “In essence, we want to help friends with disabilities to be independent. They can make money and they can help their families,” continued Irene.

How are the sales of batik products going on during the pandemic? 

“We put difabelzone before the pandemic and sold it in Mirota Malioboro, in Baim Wong Batik Store, and in several places. At the time of the corona pandemic, everything stopped. We thought that friends with disabilities had to be able to keep making money,” said Irene explained the impact of the pandemic on this community. 

Finally the sale goes from friend to friend. “So far it is still running,” added Irene.

Later, this community also won the trust of one of the big companies. Their work becomes company merchandise. Slowly it can be finally. “Thank you to UII friends for coming and sharing blessings. Blessings for those who are given and those who give. 

Vadhiya hopes that what they are doing can open the eyes of people who have always looked down upon people with disabilities. “Oh no, we have been so far have no consciousness, unwilling, and unwilling to know about them. Even though when I went there, I had to learn a lot from them. They make batik neat, if you see it is like a very good craft, impeccably” said Vadhiya, appreciating.

Ifa Zulkurnaini, the moderator for Nadim at UII, concluded that the bad stigma of diffable people around us arises because we do not want to know and do not mingle. The introductory process must be natural. “Do it. If it is done sincerely, of course the empowerment will touch our hearts more,” she said closing the discussion.

Reading Time: 2 minutes

Siyamuromadon is the month in which man strengthens the teachings of the Prophet Muhammad to be a person who fears Allah swt. The command to fast in the month of Ramadan is said by Allah and is obligatory for all his servants. The month of Ramadan is a very special month, the month in which the Qur’an was first revealed as well as the time when Muhammad was first appointed as a prophet after settling in the Cave of Hira. This Quran is a guide that separates between the true and the false.

Fatkhurrohman Kamal that the month of fasting should be prepared. He also says what we need to prepare when it comes to Ramadan. According to Kemal, the most basic preparation is mental preparation. “Mentally obedient,” said Kamal as a speaker in the monthly routine study of FPSB UII on Friday (26/3/2021). The study themed Celebrate Ramadan, Yuk Preparation was attended by the entire academic community of FPSB UII from lecturers to educators.

Fasting is very visible to human beings in the physical level. However, it can be felt that fasting does not only affect the physical entity. Rather, God further wants to remind man that man is also a spiritual entity. “God wants to remind us that this material is a spiritual entity,” Kamal explained.

What is a Spiritual Entity like? An entity that is far from human nature, and attains the term that is to rise in rank to a position very close to God.

“So rest assured that there is an extraordinary peace when we can give to others, can fast, and other commands of God. At that time we experience the term,” explained Kamal. This position of the term can be easily achieved if man spiritually already has a mentally obedient and obedient to God, considering that obedience and obedience is something that seems trivial but difficult to apply by man.

To reach this entity, Kamal explained that human beings need an extraordinary inner preparation. So at the end of the verse that commands to fast, Al-Baqarah verse 183 ends with  la’allakum tattaqun. The ultimate goal of this fast is for human beings to become completely pious to God. This piety will enable man to make a shield from what he fears from the punishment and wrath of Allah.

 

Reading Time: 2 minutes

Siyamuromadon adalah bulan dimana manusia meneguhkan ajaran baginda Rassulullah Muhammad untuk menjadi orang yang bertakwa kepada Allah swt. Perintah puasa dibulan ramadhan sampai difirmankan Allah dan diwajibkan bagi semua hambanya. Bulan Ramadhan adalah bulan yang begitu spesial adalah bulan dimana AlQuran pertama kali diwahyukan sekaligus waktu dimana Muhammad pertama kali diangkat jadi nabi setelah bertanahus di Gua Hira.  Quran ini menjadi petunjuk yang memisahkan antara yg haq dan yang bathil.

Fatkhurrohman Kamal bahawa bulan puasa haruslah dipersiapakan. Ia jugamengatakan hal apa yg perlu kita siapkan ketika menjelang ramadhon. Menurut kemal, persiapan yang paling mendasar adalah persiapan mental. “Mental yang patuh, yang taat,” kata Kamal  sebagai penceramah dalam pengajian rutin bulanan FPSB UII pada Jumat (26/3/2021) ini. Kajian bertema Sambut Ramadan, Yuk Persiapan ini dihadiri seluruh sivitas akademika FPSB UII dari kalangan dosen hingga tenaga kependidikan.

Siyam ini memang sangat terlihat nyata ada manusia dalam tataran fisik. Tetapi, bisa dirasakan bahwa puasa tak hanya berpengaruh pada entisas fisik saja. Justru, lebih jauh Allah ingin mengingatkan manusia bahwa manusia juga adalah entitas rohani. “Allah ingin mengingatkan kita yang materi ini pada entitas rohani,” jelas Kamal.

Entitas Rohani yang seperti apa? Entitas yang jauh dari sifat-sifat manusiawi, dan mencapai istikla yaitu naik derajat menjadi posisi yang sangat dekat dengan Allah. “Maka yakinlah ada satu kedamaian luar biasa ketika kita bisa memberi pada orang lain, bisa puasa, dan perintah Allah lainya.  Pada saat itulah kita mengalami istikla,” jelas Kamal. Posisi istikla ini daat mudah diraih jika manusia secara rohani sudah memiliki mental yang patuh dan taat pada Allah, mengingat kepatuhan dan ketaatan adalah hal yang terlihat sepele namun sulit diterapkan oleh manusia.

Untuk sampai pada entitas tersebut, Kamal menjelaskan bahwa manusia membutuhkan suatu persiapan batin yang luar biasa. Maka di akhir ayat yang memerintahkan untuk berpuasa, Al-Baqarah ayat 183 diakhiri dengan  la’allakum tattaqun. Puasa ini tujuan akhirnya adalah agar manusia menjadi bertaqwa seutuhkan kepada Tuhan.  Bertakwa  ini akan memampukan manusia membuat sebuah tameng dari apa yang dikhawatirkan dari siksa dan murka Allah.

Reading Time: 3 minutes

Setahun belakangan Covid-19 menjadi fokus. Ia mengubah banyak hal. Termasuk pemberdayaan sosial yang selama ini rutin digelar oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII. Mahasiswa dan akademisi, sebagai agen perubahan, adalah aktor utama dalam pemberdayaan dan perubahaan sosial di tengah-tengah masyarakat. Namun kala pandemi mendera, bagaimana pemberdayaan bisa tetap terlaksana?

Salammatul Putri dan empat kawannya dari Komunikasi UII angkatan 2018 hadir dengan solusi digital. Ia menggagas pemberdayaan digital. Sasarannya adalah menerobos beragam kendala dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ) kata Salam pada Selasa (23/03/2021). “

Awalnya ada dua ide, tapi akhirnya kami memilih melakukan edukasi literasi digital lewat instagram,” kata Salam, ketika hadir secara daring di Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII. Menurutnya, Ia melihat PJJ selama ini tidak efekti. Apalagi hanya menggunakan WhatsApp (WA), sebuah aplikasi perpesanan terpopuler di Indonesia saat ini versi Laporan Survei Internet Apjii 2019–2020. Selain lewat Instagram, Salam juga berbagi keterampilan menggunakan beragam aplikasi dari Google pada guru-guru dengan protokol kesehatan yang ketat.

Salam dan tim mensistematiskan gagasan pemberdayaannya dengan tajuk Digitalisasi & Pandemi: Kampanye Penggunaan Media Digital di MTSN 1 Pasir Talang, Solok Selatan. Gagasan yang akhirnya diwujudkan satu bulan ini mendapat respon yang tidak sedikit dari peserta diskusi. Misalnya Pambudi, salah satu peserta bertanya, bagaimana proses kemunculan ide ini. Apalagi jika dicermati, antaranggota timnya, bernama sfh_online, saling terpaut jarak karena kebijakan jaga jarak selama pandemi Covid-19. Bagaimana menyatukan ide dengan tim yang berbeda ide dan jarak.

Salam menjawab, ide pemberdayaannya mulanya ada dua. Pertama, kampanye literasi digital SFH. Kedua adalah penguatan UMKM di tengah keterpurukan ekonomi kala pandemi. Namun setelah dilihat dari beragam pertimbangan, Salam dan tim merasa lebih cocok mendapuk SFH sebagai rencana utama dalam pemberdayaan.

Tentunya tak mudah menggarap pemberdayaan sosial yang mulanya luring sekarang secara daring. Salam berbagi tips dan langkah-langkah agar bisa melakukan pemberdayaan digital.

Pertama, Anda harus peka dahulu pada lingkungan. Salam mengatakan peka terhadap lingkungan adalah kunci. “Kita kan makhluk sosial, dengan kepeduliaan kita bisa tahu masalah di sekeliling kita. Barulah kita bisa melakukan pemberdayaan dan menciptakan perubahan,” katanya.

Kedua, lakukan perubahan sekarang. Tidak ditunda. “Ya walaupun sedikit, yang penting bisa bermanfaat di masyarakat,” imbuhnya. Ketiga, “Kita butuh dan membutuhkan orang lain dalam tim. Kunci bekerja dalam tim adalah menghargai pendapat tiap anggota,” paparnya membeberkan pengalamannya berembuk dalam tim. Pandemi tidak bisa menjadi alasan. Banyak sarana yang bisa digunakan untuk berdiskusi menentukan program pemberdayaan. Salam menggunakan Zoom atau juga bertelepon.

Keempat, “ketahui dulu permasalahan dari lokasi atau tempat sasaran pemberdayaan,” kata Salam mewanti-wanti. Pada gilirannya, pemetaan masalah di sasaran pemberdayaan dapat membantu merancang program. Sebaliknya, keliru memetakan, bisa jadi salah pula dalam menentukan program. Salam menjelaskan bahwa pengabdian masyarakat yang ia lakukan di MTSn 1 Pasir Talang, Solok Selatan, ini mengajarkan penggunakan google classroom. Selama ini PJJ dilakukan lewat WA dirasa kurang efektif.

Meski begitu, tidak hanya menggunakan google classroom, melainkan juga pembelajaran fitur google classroom, kahoot, dll. Jadi ada pembelajaran yg tidak monoton atau tidak membosankan kata Salam.

Respon Peserta

Ada pelbagai testimoni dari guru setelah program pemberdayaan ini dilakukan oleh Salam dan tim. Beberapa dari mereka sangat berterima kasih dengan program ini. Tak hanya itu, Salam juga selalu memperbarui perkembangan penggunaan aplikasi para peserta pascapelatihan dan sosialisasi. Di tengah praktik pembelajaran, ada juga guru-guru yang masih bertukar pesan menghubungi dan berkonsultasi ketika ada kendala menggunakan aplikasi.

Misalnya, ada seorang guru yang lupa cara menggunakan aplikasi Kahoot. Ia berikan solusi lewat pesan WA, atau telepon. Salam juga menyarankan untuk mengikuti beragam pembaruan konten di akun instagram Sfh_online.

Salam berpesan pada seluruh mahasiswa Komunikasi UII, program sosial seperti ini harus terus dilakukan. Sebab sangat penting dan memberi solusi atas beragam permasalahan masyarakat. “Kalau ada pemberdayaan lain, lakukan semaksimal mungkin, karena ke depannya itu akan banyak berguna untuk kita semua, nantinya,” pesan Salam di akhir sesi diskusi.


Reporter/ Penulis: Indria Juwita (Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII angkatan 2017, Magang PSDMA Nadim Ilmu Komunikasi UII) dan A. Pambudi W