Generasi Ambyar memiliki keterkaitan erat dengan penyanyi dangdut keroncong kenamaan bernama Didi Kempot. Popularitas Didi Kempot yang terjadi di beberapa tahun akhir ini telah mengubah citra musik dangdut yang dianggap “kampungan” menjadi genre yang populer lintas-generasi dan lintas segmentasi. Ini menjadi popularitas kedua Didi Kempot setelah popularitas era pertamanya pada era 80-90an.

Didi Kempot yang dijuluki Godfather of Broken Heart memiliki lagu-lagu yang umumnya bertemakan patah-hati. Meski begitu, perasaan patah hati tersebut justru dapat dinikmati dan dapat dirayakan dengan berjoget. Didi Kempot pun ikut andil dalam mempopulerkan kata “ambyar” untuk mewakili perasaan patah hati.

“Didi Kempot ini yang pertama kali menautkan bagaimana ‘ambyar’ itu untuk mewakili kita.: serpihan-serpihan, hati yang pecah, hati yang tersakiti untuk menceritakan,” ujar Michael HB Raditya, pembicara dalam diskusi “Membaca Generasi Ambyar: Dangdut Baru dan Problem Komunikasi” pada Kamis, 27 mei 2021. Diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII, ini dilaksanakan secara daring dan disiarkan langsung oleh Uniicoms TV (TV Daring pertama di UII).

Dangdut Baru dan Masalahnya

Kepopuleran kembali lagu-lagu Didi Kempot yang bertemakan patah hati membuat banyak penyanyi-penyanyi muda dangdut mengikuti gaya tersebut dan melahirkan apa yang Michael sebut sebagai “Dangdut Baru.”

Ciri-ciri khas dangdut baru menurut Michael di antaranya adalah lirik patah hati yang mendominasi. Belum lagi mereka pdangdut baru juga memiliki kesadaran untuk membuat musik sendiri. Selain itu, ciri lain adalah pesona anak muda yang terus dibangun, serta pembuatan video klip yang sederhana namun berdaya.

“Namun terdapat dua masalah di dangdut baru. Pertama, ini adalah musik pop, lawannya musik pop adalah kebosanan. Bagaimana keberlanjutan dangdut baru ini,” Papar Michael. “Apakah era dangdut akan terus berlanjut atau akan hanya sementara, dan kedua, belum adanya inovasi baru di dangdut baru itu sendiri,” ujar Michael yang merupakan pendiri Dangdut Studies Center dan juga pemain musik di Orkes Melayu Jarang Pulang.

Dangdut baru telah banyak mengubah beberapa budaya musik dangdut. Contohnya, penyanyi laki-laki menjadi lebih umum, penonton yang bebas menangis sambil mendengarkan lagu-lagu patah hati, serta distribusi musik secara digital. Citra dangdut pun telah berubah dari musik yang dianggap “kampungan” menjadi musik kekinian yang dapat dinikmati siapa saja. Seketika menggeser popularitas dangdut lawas ala Rhoma, Meggy Z, dan menjadi gelombang baru dangdut ‘ambyar’ yang kekinian dan khas Didi Kempot.

 

Sekolah Inklusi, sekolah dengan guru, murid, kurikulum, fasilitas, kegiatan juga visi misi yang ramah bagi murid yang beragam kencenderungan dan bakat. Sekolah semacam ini sudah banyak ditinggalkan, bahkan cenderung dilupakan dengan memisah murid dengan kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB), dan non kebutuhan khusus (non ABK) di sekolah umum. Ada berbagai macam kesiapan sekolah untuk mewujudkan sekolah inklusi; sekolah yang ramah pada setiap keragaman dan keunikan anak.

Diskusi tentang mengkoneksikan kebali ruang komunasi inklusi ini adalah sebuah rangkaian kegiatan pengabdian masyarakat yang inisiasi oleh Holy Rafika Dhona, MA dosen Ilmu Komunikasi FPSB Universitas Islam Indonesia di kluster Riset Geography and Enviromental Communication . Diskusi ini mengundang Ana Rukma Dewi dari ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center) sebuah pusan informasi da layanan anak usia dini, Sabtu 5 Juni 2021 secara daring.

Diskusi dengan tajuk ‘Rekoneksi 2021: pengenalan sekolah inklusi dan praktiknya di Indonesia’ ini kembali kemngkonsikan ruang belajar yang inklusi bagi semua orang yang selama ini sempat terputus dengan ada pemisahan ruang belajar bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus (difabel) dan tanpa kebutuhan khusus (non ABK).  “Ruang adalah kontrsuksi bersama termasuk juga ruang belajar untuk ABK. Sekolah inklusi selama ini sebatas slogan belaka, ”kata Dhona.

Untuk melihat betapa selama sistem sekolah tidak inklusi untuk memudahkan peserta memahami praktik persekolahan di Indonesia, peserta diajak untuk bermaian. Simulasi permainan ini adalah dengan menetapkan persyaratan khus bagi peserta yang boleh mengikuti permainan di ruang breakroom zoom. Permainan dimulai dengan menyeleksi peserta yag memakai pakai wifi, pakai bukan hape, ber KTP di luar jogja.

Mereka yang tidak masuk kriteria tersebut akan tereliminasi. Banyak peserta yang tidak bisa masuk karena menggunakan kuota paket internet, menggunakan ponsel, dan ber-KTP Jogja. Peserta yang tidak dapat masuk ruang breakroom sangat sedih dan penasaran dengan apa yang terjadi di sana. Begitulah simulasi persekolahan yang terjadi.

Praktik persekolahan yang selama ini dikatakan inklusi juga masih jauh ideal. Banyak ketentuan yang harus disiapkan secara serius oleh semua pihak, baik pemerintah, visi-misi sekolah, guru, kegiatan, juga fasilitas dan sarana prasarana sekolah. Selain itu juga penting untuk diperhitungkan kesiapannya juga adalah orang tua dan murid. “Apakah orang tua dan murid lain siap dengan konsekuesi yang mungkin muncul berdampingan di sekolah inklusi?” ungkap Ana.

Setiap ibadah tidak semata ritual. Ibadah yang sifatnya ritualpun punya misi penting yaitu pembentukan akhlak mulia, akhlakul karimah. Ibarat pohon, ritual adalah batang yang akan bercabang dan berbuah manis berupa akhlak yang mengejawantah salah satunya pada solidaritas sosial.

Tema solidaritas sosial ini mengemuka saat Syawalan Daring yang diadakan oleh Keluaga Besar Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) pada Sabtu, 5 Juni 2021. Syawalan daring ini menghadirkan K.H. Dr. Tulus Musthofa, Lc., MA dihadiri oleh seluruh staf pengajaran tenaga kependidikan FPSB UII, juga oleh wakilorangtua mahasiswa FPSB UII.

Mustafa menegaskan tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad di dunia adalah untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak mulia adalah hal pokok sebagaimana Pohon ada akar, ada dahan, daun, akhirnya buah. Sedangkan akan dan batang utamanya adalah ritual seperti sholat, puasa, zakat, dan haji. Sadangkan buahnya adalah akhak mulia. “Di balik ritual ada sholat, ada nilai kepemimpian, sensititas soal, disiplin, keimanan, dan lain-lain. Di balik puasan ada ikhlas, pengendalian diri, mawas diri, dan sebagainya,” ungkap Mustafa.

Untuk mengukur diri apakah kita sudah memiliki akhlak mulia atau belum adalah dengan mencek diri apakah kita sudah mampu bersikap dan berbuat baik secara reflek atau belum. Orang yang sudah mampu bersikap dan bertindak baik secara reflek atinya dalam dirinya sudah tertanam akhlak yang baik. Mustafa merujuk Imam Ghozali unruk mendefiniskan apa itu akhlak. Berasal dari kata khuluk yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong lahirnya peruabahan dengan mudah, ringan, tanpa pertimbangan dan pikiran mendalam.

Akhlak Mulia dapat terbentuk dengan proses yang tidak sebentar. Menurut Mustafa, ada tiga proses yang harus dilakui. Proses pertama adalah membersihkan diri dari nafsu. Hal ini tidaklah mudah karena setiap manusia diberi nafsu oleh Allah swt, tetapi manusia harus mampu mengendalikannya untuk menghilangkan nafsunya meskipun keinginannya masih ada dalam dirinya.

Proses kedua adalah mendidik diri (self education). Dalam proses ini pastilah tidak mudah karena mendidik diri butuh konsistensi yang tinggi. Bukan hanya sekali dua kali saja, tapi terus menerus. Ketiga adalah atmofer atau lingkungan positif. Lingkungan hidup positif akan mempermudah seseorang untuk berrsikap dan membiasakan hidup dengan cara tertentu.

“Bukan termasuk golonganku orang yang tidak perhatian pada pada persoalan-persoalan umat,” kata Mustafa mengikuti sunah Rasululah.

Solidaritas sosial dapat ditumbuhkan dengan tiga proset tersebut. Solidaritas sosial tak hanya dilakukan saat bulan suci saja. Tapi bulan suci harusnya menjadi pemicu untuk menumbuhkan solidaritas sosial. “nabi muhammad SAW itu orang yang paling dermawan. Dan ketika Ramadhan, kedermawanan beliau seperi angin kencang,” kata Mustafa.

“Kedermawanan bisa dengan harta benda. Tapi bagaimana jika saya tidak punya harta? Bisa dengan membantu pekerjaan orng lain dengan tenaga. Bagaimana jika masih tak bisa menggunakan tenaga? Bisa dengan mengajak kebaikan. Tapi bagaimana tak berilmu? Jika sudah begitu, jangan berbuat buruk. Itu sudah sodakoh,” kata Mustafa menjelaskan jenis-jenis sodakoh.

Bersodakoh tak hanya dengan memberikan bantuan dan kepedulian tehadap menyantuni yatim, jompo, janda, kebutuhan khusus.  Kepedulian pada tiga kategori ini adalah utama. Tapi solidaritas dalam bentuk memerdekakan hamba, memberi makan yang lapar, membela yang terhimpit, menyantuni orang berkebutuhan khusus juga pokok. “Bukan termasuk golonganku orang yang tidak perhatian pada pada persoalan-persoalan umat,” kata Mustafa mengikuti sunah Rasululah.

Di sebuah sekolah inklusi ada desain universal yang harus matang disiapkan. Desain ini harus juga diimani oleh semua pihak yang terlibat dalam proses belajar mengajar. Tak hanya guru melainkan juga orang dewasa lain. Desain itu biasa disebut Universal Design for Learning (UDL).

UDL adalah sebuah kerangka berpikir yang memungkinkan orang dewasa menyediakan beragam pilihan kepada anak. “Anak bisa terlibat memilih cara menyerap informasi dan mengekspesikan hasil belajarnya,” kata Ana Rukma Dewi dari ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center), sebuah pusat informasi dan layanan anak usia dini, yang berbicara pada Sabtu, 5 Juni 2021 secara daring. Menurut Ana, cara pandang UDL ini harus memungkinkan tiga aspek pembelajaran yaitu Minat & Atensi, Penyerapan Informasi, dan Ekspresi.

Dalam aspek ‘minat dan atensi’, orang dewa dipercaya mampu merangsang motivasi dan mempertahankan antuasme siswa dalam beajar. Selain itu,dalam perpekttif UDL ini orang dewasa harus bisa mengenali minat dan kekuatan (potensi) anak.

Dalam aspek penyerapan informasi, orang dewasa dituntut untuk memeberikan informasi dan materi dengan berbagai cara agar siswa mampu memahaminya dengan mudah. Orang dewasa juga wajib untuk menyediakan bergam media belajar yang disesuaikan dengan gaya belajar anak.

Sedangkan dalam aspek ekspresi, orang dewasa harus mampu menawarkan berbagai pilihan dan dukungan agar setiap siswa dapat menciptakan, mempelajari, dan berbagi informasi sesuai dengan gaya dan ekpresi siswa. Orang dewasa juga harus menyediagam beragam metode penialain yang juga disesuaikan dengan ekspresi siswa.

Informasi dan materi dibuat dengan berbagai cara agar siswa mampu memahaminya dengan mudah. Orang dewasa juga wajib untuk menyediakan beragam media belajar yang disesuaikan dengan gaya belajar anak.

Holy Rafika Dhona, MA, Dosen Komunikasi UII, dan beberapa mahasiswa klaster riset ini menggelar diskusi ini sebagai rangkaian event pemberdayaan masyarakat dalam empat tema diskusi. Diskusi kali ini adalah diskusi yang pertama. Momen diskusi bersama Ana dari ECCDRC ini merupakan bagian dari implementasi kluster Riset Komunikasi UII yaitu klaster Geography and Environmental Communication.

Diskusi dengan tajuk ‘Rekoneksi 2021: pengenalan sekolah inklusi dan praktiknya di Indonesia’ ini berusaha mendiskusikan kembali ruang-ruang belajar bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Apakah ia sudah ideal, apakah masih sebatas jargon. “Ruang adalah konstruksi bersama termasuk juga ruang belajar untuk ABK. Sekolah inklusi selama ini sebatas slogan belaka, ”kata Dhona.

 

 

In an inclusive school, there is a universal design that must be carefully prepared. This design must also be believed by all parties involved in the teaching and learning process. Not only teachers but also other adults. This design is known as Universal Design for Learning (UDL).

UDL is a framework that allows adults to provide a variety of choices to children. “Children can be involved in choosing how to absorb information and express their learning outcomes,” said Ana Rukma Dewi from ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center), an early childhood information and service center, who spoke on Saturday, June 5, 2021 online. According to Ana, this UDL perspective must allow three aspects of learning, namely Interest & Attention, Information Absorption, and Expression.

In the aspect of ‘interest and attention’, the gods are believed to be able to stimulate motivation and maintain student enthusiasm in learning. In addition, in this UDL perspective, adults must be able to recognize the interests and strengths (potential) of children.

In the aspect of information absorption, adults are required to provide information and material in various ways so that students are able to understand it easily. Adults are also required to provide a variety of learning media that are adapted to children’s learning styles.

Whereas in the aspect of expression, adults must be able to offer various choices and support so that each student can create, learn, and share information according to the student’s style and expression. Adults must also provide a variety of assessment methods that are also adapted to students’ expressions.

Information and materials are made in various ways so that students can understand them easily. Adults are also required to provide a variety of learning media that are adapted to children’s learning styles.

Holy Rafika Dhona, MA, UII Communication Lecturer, and several students of this research cluster held this discussion as a series of community empowerment events in four discussion themes. This discussion is the first one. The moment of discussion with Ana from ECCDRC is part of the implementation of the UII Communication Research cluster, namely the Geography and Environmental Communication Research cluster.

The discussion entitled ‘Reconnection 2021: introduction of inclusive schools and their practice in Indonesia’ seeks to re-discuss learning spaces for Children with Special Needs (ABK). Is he already ideal, is it still just jargon? “The space is a joint construction including a study room for ABK. So far, inclusive schools have been mere slogans,” said Dhona.

 

 

 

 

 

The objectification of women in the media takes place in various forms and mediums. Starting from objectification in songs, films, advertisements, games, to journalistic content products. Women have always been objects and victims of media violence.

Iwan Awaluddin Yusuf said that something can be described as objectifying women if the content makes women objects, tools, and sexual commodities. “In addition, also check, are there any expressions, depictions, or dialogues that sound like harassment against women (body shaming, sexist jokes, etc.),” ​​said Iwan who is also a Communications Lecturer at UII, on May 30, 2021, at the Women in Media Perspectives a public discussion: Is it true that women are objectified by the media?

This discussion by the Student Press Institute/ LPM Meets Pasundan University, besides presenting Iwan as an academic, also presented from the perspective of women activists Poppy Dihardjo, and journalist Nani Afrida. Poppy is the initiator of Women Without Stigma at @pentasindonesia and Nani is a journalist at Anadolu Agency.

Iwan added that the full depiction of the Male Gaze (male perspective) must also be checked whether he is dominantly present in the visual or audio depiction produced by the media.

According to a doctoral student at Monash University, Australia, this media objectification is often also present by putting women as a form of the perpetuation of patriarchal values.

In front of more than a hundred participants, Iwan said, in the world of film, the practice of media objectification often occurs as well. “Many films with the title women (widows) create symbolic violence against women and widows,” said Iwan. Not only in movies, this also appears in song lyrics that use widow’s diction. There is symbolic violence that appears in the choices of song diction.

Seeing Gender and Media Issues through a Media Ecosystem Approach

Women’s representation in the media from the past until now is not far from placing women as commodity objects and not serious subjects. “In the past, women have never been shown (represented) in serious content. For example, news, why are women presenters and how are they arranged?” Iwan asked. “Say no to objectification. Towards women, towards men, towards you, towards us,” added Iwan.

Iwan provides a way to overcome gender issues in our media. “This has been an issue for a long time. This is actually a good way to build an egalitarian media. For example, women become media leaders, become directors, and enter the internal media ecosystem,” explained Iwan.

In the past, the public was the audience. Now it has changed. When the public is able to produce their own media which is eventually called prosumer, the public should also be able to remind and report the media to avoid objectification of women by the media.

Why is it important to avoid objectification? If the media objectifies women, then what Iwan calls double victimisation. “So women are not tried to be victims twice. Victims of sexual violence perpetrators, even victims by the media because the stories are published by the media that make women victims and media selling commodities,” explained Iwan.

Objektifikasi perempuan dalam media berlaku dalam beragam bentuk dan medium. Mulai dari objektifikasi dalam lagu, film, iklan, game, hingga produk konten jurnalistik. Perempuan selalu menjadi objek dan korban kekerasan media.

Iwan Awaluddin Yusuf mengatakan sesuatu dapat digambarkan mengobjektifikasi perempuan jika konten menjadikan perempuan sebagai benda, alat, dan komoditas seksual. “Selain itu, cek juga, adakah ungkapan, penggambaran, atau dialog bernada pelecehan pada perempuan (body shaming, candaan seksis, dll),” kata Iwan yang juga adalah Dosen Komunikasi UII, pada 30 Mei 2021 di acara diskusi publik Perempuan dalam Kacamata Media: Benarkah Perempuan diobjektifikasi oleh Media.

Diskusi oleh Lembaga Pers Mahasiswa/ LPM Jumpa Universitas Pasundan ini selain menghadirkan Iwan sebagai akademisi, juga menghadirkan dari kacamata aktivis perempuan Poppy Dihardjo, dan Jurnalis, Nani Afrida. Poppy adalah penggagas Perempuan Tanpa Stigma di @pentasindonesia dan Nani jurnalis di Anadolu Agency.

Iwan menambahkan bahwa penggambaran penuh Male Gaze (perspektif laki-laki) juga harus dicek apakah ia dominan hadir dalam penggambaran visual atau audio yang diproduksi media. Menurut mahasiswa doktoral Monash University, Australia, ini objektifikasi media seringkali juga hadir dengan menomorduakan perempuan sebagai bentuk pelanggengan nilai-nilai patriarki.

Di depan lebih dari seratus partisipan, Iwan mengatakan, dalam dunia film, praktik objektifikasi media sering terjadi juga. “Banyak judul film dengan judul perempuan (janda) yang membuat kekerasan simbolik pada perempuan dan janda,” kata Iwan. Tak hanya film, hal ini juga muncul dalam lirik-lirik lagu yang menggunakan diksi janda. Ada kekerasan simbolik muncul dalam pilihan-pilihan diksi lagu.

Melihat Persoalan Gender dan Media melalui Pendekatan Ekosistem Media

Representasi perempuan di media dari dahulu hingga sekarang tidak jauh dari menampilkan perempuan sebagai objek komoditas dan bukan subyek yang serius. “Sejak dulu perempuan tidak pernah ditampilkan (representasi) dalam konten yang serius. Misal berita, kenapa perempuan presenter dan diatur sedemikian rupa?” Kata Iwan mempertanyakan. “Say no to objectification. Towards women, towards men, towards you, towards us,” imbuh Iwan.

Iwan memberi cara mengatasi persoalan gender di media kita. “Ini yang menjadi isu dari dulu. Ini sebenarnya cara yang baik untuk membangun media yang egaliter. Misalnya perempuan menjadi pemimpin media, menjadi sutradara, dan masuk ekosistem internal media,” kata Iwan menjelaskan.

Dahulu, publik sebagai audiens. Kini telah berubah. Saat ketika publik sudah bisa memproduksi media sendiri yang akhirnya disebut prosumen, maka publik juga seharusnya bisa mengingatkan dan melaporkan media untuk menghindari objektifikasi perempuan oleh media.

Mengapa penting menghindari objektifikasi? Jika media mengobjektifikasi perempuan, maka akan terjadi apa yang disebut Iwan sebagai double victimisation. “Jadi perempuan diupayakan tidak menjadi korban dua kali. Korban dari pelaku kekerasan seksual, bahkan juga korban oleh media karena ceritanya dipublish oleh media yang menjadikan perempuan korban dan komoditas jualan media,” jelas Iwan.

Penulis itu sebaiknya punya tirakat. Seorang penulis harus menjadi pembaca yang “rakus” menekuni dan menguasai bidang keilmuan secara kaffah. Seorang penulis harus mempunyai slogan hidup, “tiada hari tanpa membaca dan menulis.”

“Menjadi penulis mudah. Namun menjadi penulis yang transformatif dan inspiratif membutuhkan modal pengetahuan yang luas,” tutur Zuhairi Misrawi, kolomnis kawakan dan pemikir muda muslim ternama di Indonesia pada Senin (31/5/2021). Ia hadir di Komunikasi UII membagikan pengalamannya 30 tahun menulis kolom dalam Kuliah Pakar Penulisan Esai daring.

Meski begitu, ia menuturkan, menulis itu cuma butuh dua modal: kemauan. Kemauan dan mengerti jam biologis pribadi kapan nyaman menulis. Jika kita telah menemukan ritme menulis, segera melanjutkan dan menyelesaikan tulisan tersebut. Modal kedua adalah keberanian. Keberanian menyampaikan sudut pandang. Sementara itu, sudut pandang yang bagus dipengaruhi oleh bacaan. “Seorang penulis akan kelihatan apakah ia rakus membaca atau tidak,” katanya. “Tulisan harus komunikatif, berkomunikasi dengan pembaca seakan mereka terlibat dan berdialog dengan pembaca.”

Menurut pria lulusan Universitas Al Azhar, Mesir, ini penulis harus punya academic mindset: Cara berfikir akademis. Cara berfikir akademis itu harus bisa berfikir metodologis. Artinya ia harus berdasar teori (theory driven). “Apa yang kita pikirkan berbasis teori dan metodologi yang kuat. Berpikir rasional itu tidak bisa seenaknya berfikir, dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, masuk akal,” jelasnya kemudian.

Selain ilmiah, mahasiswa yang ingin menjadi penulis tidak boleh lupa untuk berfikir argumentatif. “Maksudnya berfikir itu ada argumennya. Argumen sejarah, antropologis, politisnya seperti apa,” imbuhnya. Tak hanya itu, mahasiswa juga sebaiknya menulis dengan cara berpikir kritis reflektif. Gunakan bahasa yang baik, benar, dan mengalir dan kaya gagasan khas mahasiswa.

Zuhairi menekankan, “Mahasiswa harus menulis bukan deskriptif, harus mempertanyakan. Berpikir kreatif itu bisa melakukan apa saja seperti yang kita hendaki. Out of the box.”

Diskusi yang dipandu oleh Risky Wahyudi dan Sumekar Tanjung, Dosen pengampu Mata Kuliah Penulisan Akademik, ini menjadi pengayaan berharga bagi mahasiswa Komunikasi UII dari begawan penulisan esai dan kolom kaliber nasional.

Tipologi Tulisan ala Hegel

Berdasar perspektif hegel, kata Zuhairi, tulisan yang paling mudah adalah tulisan dengan tipologi tesa. Tipologi ini hanya mendeskripsikan gagasan yang sudah ada. “Saya menantang mahasiswa menulis dengan tipologi anti-tesa yaitu tulisan yang mengkritik ide yang sudah mapan. Harusnya juga tulisan mahasiswa itu yang transformatif inspiratif yaitu tipologi sintesa: Memberi solusi dan melahirkan ide baru,” kata Zuhairi mengutip dialektika Hegel.

Menulis adalah tindakan peradaban karena ia mewarisi pikiran kepada generasi yang akan datang. Kalau kita menulis, kita masuk dalam bagian peradaban dunia. “Misalnya, buku-buku saya sudah masuk di satu rak khusus di Perpustakaan dunia, di Harvard, di Cambridge. Dari situ tulisan kita akan menjadi bagian peradaban dunia, menjadi referensi orang,” ungkapnya.

“Karena kita mewarisi peradaban, maka menulis adalah pekerjaan mulia. Sejatinya menulis adalah kita sedang sedekah ilmu,” kata Zuhairi memotivasi. Seorang penulis harus punya karakter yang mencerminkan identitas, visi, ideologi, sehingga pembaca tertarik dengan tulisan kita. “Bahkan untuk beberapa penulis, bukunya selalu diperbincangkan. Itu yang baik. Lalu kalau ditanya, banyak viewer-nya, banyak pembelinya, tapi apakah gagasan buku itu menjadi perbincangan?” jawab Zuhairi menanggapi pertanyaan salah satu peserta, Khalif Muhammad Madani.

The writer should be humble. A writer must be a “greedy” reader to pursue and master the scientific field thoroughly. A writer must have a living slogan, “there is no day without reading and writing.”

“Being a writer is easy. But being a transformative and inspiring writer requires a broad knowledge base,” said Zuhairi Misrawi, a seasoned columnist and well-known young Muslim thinker in Indonesia, speak on Monday (31/5/2021). He was present at the Department of Communications UII, sharing his experience of 30 years of writing columns, in the online Essay Writing Expert Course.

Even so, he said, writing only requires two capitals: willpower and courage. Willingness and understanding personal biological clock when comfortable writing. If we have found the rhythm of writing, immediately proceed and finish the writing. The second capital is courage. Courage to present a point of view. Meanwhile, a good point of view is influenced by reading. “A writer will be seen whether he is a voracious reader or not,” he said. “Writing must be communicative, communicating with readers as if they were involved and in dialogue with readers.”

According to the man who graduated from Al Azhar University, Egypt, the writer must have an academic mindset: an academic way of thinking. The academic way of thinking must be able to think methodologically. This means that it must be based on theory (theory-driven). “What we think is based on a strong theory and methodology. Rational thinking cannot think arbitrarily, it can be scientifically justified, it makes sense,” he explained later.

Besides being scientific, students who want to become writers should not forget to think argumentatively. “It means to think that there is an argument. What are the historical, anthropological, political arguments like,” he added. Not only that, students should also write with reflective critical thinking. Use language that is good, correct, flowing and rich in typical university student ideas.

Zuhairi emphasized, “High Education students have to write not descriptively, they have to ask questions. Creative thinking can do whatever we want. Out of the box.”

The discussion, which was guided by Risky Wahyudi and Sumekar Tanjung, Lecturers in the Academic Writing Course, became a valuable enrichment for Department of Communication students from essay writing experts and national-calibre columns.

Hegel’s Typology of WritingHegel’s

Based on Hegel’s perspective, said Zuhairi, the easiest writing is writing with the thesa typology. This typology only describes an existing idea. “I challenge students to write with an antithesis typology, which is writing that criticizes an established idea. The student’s writing should also be transformative and inspiring, namely a synthesis typology: Providing solutions and generating new ideas,” said Zuhairi quoting Hegel’s dialectic.

Writing is an act of civilization because it inherits thoughts to future generations. If we write, we enter the civilization of the world. “For example, my books have been placed on a special shelf in the world library, at Harvard, in Cambridge. From there, our writings will become part of world civilization, become people’s references,” he said.

“Because we inherit civilization, writing is a noble job. In fact, writing is that we are giving alms to knowledge,” said Zuhairi. A writer must have a character that reflects his identity, vision, ideology so that readers are interested in our writing. “Even for some writers, their books are always discussed. That’s a good thing. Then if you ask, there is a book with many viewers, many buyers, but has the idea of ​​the book become a conversation in public dialogue?” replied Zuhairi in response to a question from one of the participants, Khalif Muhammad Madani.

 

Bulan ramadhan adalah bulan yg sangat agung. Bulan yang penuh barokah, panen pahala, karena di bulan ramadan semua pahala dilipatkan dibanding bulan yang lain. Bahkan di bulan ramadhan ada satu malam yang malamnya lebih baik dari seribu bulan. Termasuk pahala untuk yang memberi makan pada orang yang sedang berbuka.

“Diam saja bernilai ibadah, apalagi bertasbih,” kata Ust KH. Supriyanto, S.Ag. dalam Pengajian Akbar dengan Tema ramadhan berlalu, Takwa Siap Selalu pada 29 Mei 2021. Acara ini dilaksanakan bersamaan dengan rangkaian Milad ke-26 FPSB UII dan dilakukan dengan model hybrid (daring dan luring) dengan dukungan Uniicoms TV, TV daring pertama di UII.

“Ketika selesai panen, kita memasuki lebaran. Lebar nopo, lebar panen kacang, lebar panen pari. Sedangkan panennya orang yang puasa bulan ramadhan seperti disebut dalam al baqoroh ayat 183, lebar panen, lebaran, meningkat ketakwaannya,” jelas Supriyanto.

Supriyanto mengatakan dalam ceramahnya, barangsiapa dosanya sampai memenuhi bumi, sebesar apapun dosa orang itu, tetap masih lebih besar ampunan dari Allah. Syaratnya asal di lisan orang itu masih ada kalimat laa ila ha illallah. “Karena kalimat lailaahaillah itu penghapus dosa. Maka biasakan lisan ini membaca kalimat Allah SWT,” imbuhnya.

Sedangkan jika ditanya, apakah tanda taat pada Allah? Tanda taat pada Allah SWT adalah salat lima waktu kata Supriyanto. Orang yang akan melaksanakan salat lima waktu ibarat di depan rumahnya ada sumber mata air yang dalam. Dalamnya sumber ini terkesan sangat dalam hingga ibarat ia bisa untuk mandi lima kali sehari. “Sebersih apa coba mandi lima kali sehari, maka wudhu itulah pembersih dosa,” kata Supriyanto, ulama dari puntuk, umbulmartani, ngemplak, sleman, ini.

Jika seorang muslim telah memenuhi tiga pilar Islam, maka terpenuhilah ketaatannya. Ketiganya yaitu syahadat, salat, dan puasa. “Ya pengikat agama islam adalah tiga ini. Dan dari tiga pilar itulah islam ditegakkan. Dimana zakat? Tidak semua bisa membayar zakat,” papar Supriyanto. Bagaimana dengan haji? Haji juga hanya bisa dijalankan jika ia sudah mampu. “Monggo untuk taat pada Allah mari tiga ini kita laksanakan,” katanya kemudian.

Termasuk amalan orang yang bertakwa adalah orang yang mau menginfakkan hartanya. “Sodakoh ora kudu nunggu sugih (sedekah tidak harus menunggu jadi kaya dulu), bahkan ketika tidak longgar pun tetap diminta sedekah,” kata Supriyanto memotivasi. “Jadi sedekah miskin dan kaya itu sebenarnya disesuaikan oleh kemampuannya masing-masing.”