Reading Time: 2 minutes

Produksi film dokumenter membutuhkan tak hanya kualitas teknis, melainkan juga kepekaan mengambil sudut pandang dan berfikir kritis. Perspektif dalam melihat sebuah isu juga penting bagi seorang filmmaker. Terutama perspektif perempuan atau gender dalam memandang isu dan produksi film.

Perspektif perempuan penting dipahami bagi seorang filmmaker sehingga pada akhirnya tercipta film yang peka terhadap kepentingan kelompok rentan seperti perempuan.

“Caranya bisa ditarik pada pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi. Bagaimana kalau peristiwa ini menimpa saudara perempuan saya, ibu saya, atau anggota keluarga saya yang perempuan, misalnya,” kata Kisno Ardi, pembicara dalam acara Pemutaran dan Diskusi Film ‘Cambuk di Serambi Mekkah’ pada Jumat, 23 April 2021.

Pemutaran film dan diskusi ini mendapuk karya tugas akhir dari sutradara Nurhamid Budi Sutrisno, Mahasiswa Komunikasi UII angkatan 2017. Film ini mengangkat topik tentang fenomena dan sisi lain hukuman cambuk yang diterapkan di Nanggroe Aceh Darussalaam. Acara ini adalah Diskusi rutin yang dilaksanakan oleh PSDMA Nadim Komunikasi UII.

Budi, panggilan akrab Nurhamid, mengatakan bahwa ia sengaja mencoba mengambil sudut pandang tekanan sosial yang dialami orang yang divonis hukuman cambuk. Tekanan sosial itu mulai dari malu berada di depan umum sampai pengucilan dan diasingkan oleh masyarakat. “Seharusnya jika kita menggunakan perspektif perempuan, kita tidak akan berpihak pada pengasingan ini. Bayangkan jika keluarga perempuan kita yang berada pada posisi tersebut,” papar Kisno, yang juga adalah pegiat komunitas cum dokumentaris.

Maka sebagai filmmaker dokumenter, Kisno mangatakan, filmmaker harus menyajikan cara pandang baru apa yang kita tawarkan dalam masyarakat. Maka adalah hal yang wajar bila film dokumenter menggunakan satu sudut pandang.

“Tidak seperti produk jurnalistik, dokumenter tidak diwajibkan memenuhi kaidah jurnalistik, cover both side, misalnya. Namun antara jurnalistik dan dokumenter punya kesamaan: faktual,” papar Kisno.

Menurut Kisno, ia menyarankan pada Budi, bahwa sudut pandang dan keberpihakan filmmaker dalam film harus terlihat. Bahkan jika perlu, peristiwa harus direfleksikan pada diri sendiri sehingga kehadiran filmmaker semakin nyata dalam memahami subyek film.

Perspektif perempuan karenanya, penting dipahami dan dipelajari sebagai bentuk keberpihakan pada kelompok-kelompok atau entitas masyarakat yang seringkali dirugikan. Keberpihakan filmmaker pada perempuan dan kelompok rentan sangat berguna agar diskriminasi tidak terjadi dan berulang. Kisno mengharapkan perspektif ini diinternalisasi karena setiap kita memiliki anggota keluarga perempuan dan kelompok rentan lain. Di sinilah kecerdasan filmmaker mahasiswa dalam penggarapan tugas akhir diuji.

Reading Time: 3 minutes

We need to go home, return to standard. If the term mobile phone, we have to restore or restart. We, as Muslims, restart five times a day. Every year we also restart with fasting. All Islamic ritual activities go towards Eid. Back to nature. Aware of his human existence.

That’s what Didik Purwodarsono, a spiritual speech at the UII FPSB Religious Ta’lim said on Friday, April 23, 2021, through the online conference application, Zoom Meeting. The speech which is routinely held by the dean of the Faculty of Psychology and Socio-Cultural Sciences, Universitas Islam Indonesia is carried out in the context of strengthening Islam and internalizing Islamic nuances. The speech was also held to enliven the month of Ramadan and the 26th Anniversary of FPSB this year.

According to Didik, fasting is also an educational momentum. “Education is teaching humans to be able to guide their every demand. As a lecturer, there are two tests, religious science and professional science, guiding students to have the ability to be smart and wise,” said Didik. Didik explains what he means by instructions and demands.

“We have to set from the epigastrium to top (guidance) and from the epigastrium to bottom (demand),” he said explaining the meaning of fasting like a cell phone, actually returning (restarting) the concept of the human future. The first restart, when referring to the Quran Surah Maryam (33), humans should not forget the three major events, namely the events of birth, death, and events of life after death. Didik said, in the Quran Surah Yasin (verse 12), Allah revives humans to appreciate their achievements and inscriptions (alms, useful knowledge, and pious children).

“Why do we have to wait for death, because life is to make achievements, not waiting for appreciation,” explained Didik, who is also the caretaker of a boarding school in Sleman. “If we have achievements just to wait to die is a loss, then the Quran in Surah Yasin (12) states that we need to live again to receive a fair award for our achievements and inscriptions.”

So for fasting to reach Eid al-Fitr, to achieve the sanctity of human life, humans must be perfect in looking at the future, namely worldly goodness and hereafter. “Therefore, it is not surprising that we are encouraged to pray in full to get good not only in this world but also in the hereafter. The trick is to read Rabbana Atina Fiddunya hasana Wa fil Akhirati Hasanah,” he said.

It is possible, said Didik, that we only conceptualize in educational teaching about future achievements before death, not after death. “In Javanese terms, wong iman iku bayarane katah, ganjarane turah. People of faith are paid a lot, and the rewards are excessive. So we are looking for rewards and payments,” said Didik. “Have we used our budget allocation to build the house we live in to wait to die and at the same time for the house we will live in in the afterlife?” Said Didik throws a reflective question sentence.

Didik gives the example of the people of Kuwait, Yemen, and the surrounding areas educating children not only to build a decent house that is sufficient (worldly) but also to prepare for a future home by saving mosque waqf.

“The world is the grass, the hereafter is the rice, the Javanese say. If we plant rice, we will reap the grass. On the other hand, if we plant grass, we will never get rice,” explained Didik with an analogy from Javanese local wisdom. That is, if we pursue the afterlife then there is the potential to get the world. On the other hand, if you pursue the world, it is impossible to get the afterlife.

The next human restart, said Didik, is as stated in the Quran Surah Ali Imron verse 112, is to become a valuable human being.

Humans who are valuable and useful are humans who are not greedy for plants, animals, and damage for the sake of humans. “Fasting brings humans back to take care of the earth,” said Didik. There is a servitude through what in Islam is called hablu minallah and hablu minannas. Connect with God and fellow creatures.

So if humans have restarted themselves, the hope of piety is the fruit. Taqwa is a necessity. Towards holiness or human nature as a leader with Islamic guidance is a mercy for the universe.

 

Reading Time: 3 minutes

Kita perlu mudik, kembali ke standar. kalau istilah ponsel, itu kita harus restore atau restart. Kita juga sebagai seorang muslim itu restart sehari lima kali. setiap tahun kita juga restart dengan puasa. semua aktivitas ritual islam itu menuju idul fitri. kembali ke fitrah. menyadari eksistensi manusianya yang manusiawi.

Begitulah kata Didik Purwodarsono, penceramah dalam Kajian FPSB UII pada Jumat, 23 April 2021 lewat aplikasi konferensi daring, Zoom Meeting. Kajian yang rutin diselenggarakan oleh dekanat Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia ini dilaksanakan dalam rangka penguatan keislaman dan internalisasi nuansa keislaman. Kajian juga dihelat demi menyemarakkan bulan ramadhan dan Milad FPSB ke 26 tahun ini.

Menurut Didik, puasa juga menjaid momentum pendidikan. “Pendidikan adalah mengajar manusia supaya bisa menuntun setiap tuntutannya. Sebagai dosen tesnya dua, ilmu syar’i dan ilmu profesi, membimbing mahasiswa agar memiliki
kemampuan untuk cerdas dan bijaksana,” kata Didik. Didik menjabarkan apa yang ia maksud dengan tuntunan dan tuntutan. “Kita harus mengatur ulu hati ke atas (tuntunan) dan ulu hati ke bawah (tuntutan),” katanya menjelaskan

Makna puasa layaknya ponsel, sesungguhnya mengembalikan (restart) konsep masa depan manusia. Restart yang pertama, bila merujuk Quran surat Maryam (33), manusia tidak boleh lupa tiga peristiwa besar yaitu peristiwa kelahiran, kematian, dan peristiwa hidup sesudah mati. Didik bilang, dalam Quran Surat Yasin (ayat 12), Allah menghidupkan manusia untuk
menghargai prestasi dan prasastinya (sodakoh jarinyah, ilmu yang bermanfaat, anak soleh).

“Kenapa kita harus menunggu kematian, karena hidup untuk mencetak prestasi bukan menungu apresiasi,” jelas Didik yang juga adalah Pengasuh Pondok Pesantren di Sleman ini. “Kalau kita punya prestasi hanya untuk menunggu mati itu rugi, maka Quran surat yasin (12) menyebutkan maka kita butuh hidup lagi untuk menerima penghargaan yang adil atas prestasi dan prasasti kita.”

Maka agar puasa mencapai idul fitri, mencapai kesucian kehidupan manusia, maka manusia harus sempurna menatap masa depan, yaitu kebaikan duniawi dan ukhrowi. “Oleh karenanya tak heran bila kita dianjurkan berdoa secara lengkap agar mendapatkan kebaikan tak hanya di dunia melainkan akhirat juga. Caranya dengan membaca Rabbana Atina Fiddunya hasana Wa fil Akhiroti Hasanah,” katanya.

Jangan-jangan, kata Didik menegaskan, kita hanya mengonsep dalam pengajaran pendidikan soal prestasi masa depan sebelum mati, bukan sesudah mati. “Dalam istilah jawa, wong iman iku bayarane katah, ganjarane turah. Orang iman itu bayarane banyak, dan ganjarannya berlebih. Jadi kita cari ganjaran dan bayaran,” ungkap Didik. “Apakah kita sudah menggunakan alokasi anggaran kita untuk membangun rumah tinggal yang kita tinggali untuk menunggu mati dan sekaligus untuk rumah yang akan kita tinggali di akhirat?” Kata Didik melontarkan kalimat pertanyaan yang sifatnya reflektif.

Didik memberi contoh orang Kuwait, Yaman, dan sekitarnya mendidik pada anak untuk tak hanya bangun rumah layak yang cukup (duniawi) melainkan juga mempersiapkan untuk rumah masa depan dengan menabung wakaf masjid.

“Dunia itu rumputnya, akhiratnya itu padinya, kata orang jawa. Kalau kita menanam padi, kita akan menuai rumput. Sebaliknya, kalau kita menanam rumput, tidak akan pernah mendapat padi,” jelas Didik dengan suatu ibarat dari kearifan lokal jawa. Maksudnya, kalau kita mengejar akhirat maka ada potensi mendapatkan Dunia. Sedangkan sebaliknya, jika mengejar dunia, mustahil mendapat akhirat.

Restart manusia yang berikutnya, kata Didik, adalah seperti yang tertuang dalam Quran Surat Ali Imron ayat 112, adalah menjadi manusia yang bernilai.

Manusia yang bernilai dan bermanfaat adalah manusia yang bukan rakus dan serakah dengan tanaman, hewan, dan merusak demi kepentingan manusia. “Puasa mengembalikan manusia agar ikut menjaga bumi,” kata Didik. Ada sebuah pelayanan-penghambaan melalui apa yang dalam islam disebut hablu minallah dan hablu minannas. Berkoneksi dengan Allah dan sesama makhluk.

Maka jika manusia telah me-restart diri, harapannya takwa adalah buahnya. Takwa adalah keniscayaan. Menuju kesucian atau fitrah manusia sebagai pemimpin dengan panduan islam yang menjadi rahmat untuk semesta.

Reading Time: 2 minutes

Menjalani puasa Ramadan selayaknya berorientasi perbaikan dan peningkatan kesalehan. Baik saleh secara individu maupun sosial. Berkah untuk diri, maupun untuk lingkungan. Ketika sudah begitu, maka puasa akan berbuah takwa. Namun, tak semua muslim mengetahui, apakah model puasanya akan berbuah takwa atau justru prahara. Apakah puasa menghasilkan keberuntungan, impas, atau jangan-jangan kerugian?

“Kalau puasa kita masih puasa model ular, bukannya meningkatkan kualitas diri, melainkan kuantitas. Bukan untung didapat, melainkan buntung,” kata Didik Porwodarsono, pengisi kajian bulanan FPSB UII, pada Jumat (23/4/2021) lalu. Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Modern Miftahunnajah, Yogyakarta, ini, puasa model ular, tak ubahnya ular yang memasuki masa puasa. Ia akan puasa makan dan minum, untuk nantinya akan menerkam mangsa yang lebih besar bahkan dari dirinya. Jika puasa muslim masih model seperti ini, artinya pascapuasa orang justru pesta pora, makan beragam makanan seperti ular, dan seringkali serakah pada alam.

Ia juga mengatakan setiap muslim setidaknya dalam puasa bisa menentukan akan memilih puasa dengan model ular, bayi, atau tingkatan paling tinggi puasa model ulat.

Bagaimana puasa model bayi dan ulat?

Puasa bayi adalah puasa ketika bayi masuk pada fase tidak mau makan minum, dan butuh perhatian kasih sayang khusus. “Kalau istiah jawa, bayi seperti itu tanda mau nambah pinternya. mundak akale. Gigi mau tumbuh. Mau bisa jalan. Atau mau bisa bicara,” jelas Didik. “Minimal puasa kita itu mundak (meningkat) solehnya, mundak dermawannya.”

Sedangkan nilai ramadan yang hasilnya paling tinggi adalah ketika puasa layaknya ulat. Menurt Didik, seperti kepercayaan jawa, puasanya ulat adalah puasa yang penuh kesabaran, dan penuh semangat hijrah. Filosofi ulat menunjukkan, ketiak masih jadi ulat, dan jika ulat belum berpuasa itu tidak ada kebaikan sama sekali di mata orang. Orang menganggap ulat bikin gatal, menjijikkan, apapun dilahap. Ulat dianggap ancaman,

“Sebaliknya tapi kalau ulat sudah berkepompong, itu berpuasa. Ia revolusi jadi kupu-kupu. revolusi dari jahiliyah ke islam. Hijrah dari ulat ke kupu-kupu,” imbuh Didik. “Puasa ulat maknanya berubah dari tambun menjadi langsing. Dari terikat oleh daun dan dahan, menjadi terbuka terbang membantu penyerbukan,” katanya. Didik bilang, ketika muslim berpuasa, ia menjadi harapan, bukan ancaman lagi. Seharusnya puasa berbuah takwa itu membuat manusia ancaman menjadi harapan karena bertambahnya kebaikan.

“Puasa sebaiknya bejo (beruntung) karena mendapat cumlaude layaknya puasa ulat. Tak hanya jadi gelo (kecewa) karena hanya meraih lulus biasa saja ibarat puasa bayi. Apalagi hanya dapat getun (penyesalan) karena merugi ketika Ramadan seperti puasanya ular,” kata Didik meramu kata-kata dakwahnya dengan apik di akhir-akhir kajian.

Reading Time: < 1 minute

Masih banyak stigma dari masyarakat yang berasal dari luar Aceh, menganggap bahwa hukuman cambuk adalah hukuman yang kejam, hukuman yang melanggar HAM, dan bahkan pelaku akan dikucilkan.

Melalui film dokumenter berjudul Cambuk di Serambi Mekkah, mari kita ketahui bersama bagaimana realitas berbicara tentang hukuman yang ada di sana.

Pemutaran dan diskusi film ini akan dilakukan esok hari, Jumat, 23 April 2021.

PSDMA Nadim Komunikasi UII.

Reading Time: 2 minutes

“Mustada’afun atau orang terpinggirkan dalam Islam dimanifestasikan apa?” lontaran pertanyaan moderator ini mendapat jawaban yang menarik dan tak pendek. Lalu Holy memberikan satu gambaran konteks sosial masyarakat modern yang saat ini dengan banyaknya gedung dan mobil mewah berseliweran. “Cara paling gampang” kata Holy, “ kita bisa ngecek apakah ada tetangga yang masih kelaparan atau tidak, kekurangan atau tidak”.

Komunikasi profetik bukan cuma dakwah. “Dakwah juga komukasi profetik, cuma itu berada di dimensi prakmatis-normatif; tatacara ibadah. Kamu boleh gini, nggak boleh gitu.”

Tetapi dalam komunikasi profetik tidak mengeliminasi tata-cara ibadah yang frontal dalam penjelasan Holy tentang mewujudkan masyarakat yang adil. “Dalam praktek komunikasi profetik, kalau tidak bisa dengan cara halus dan disampaikan melalui tata cara normatif, kalau kiranya harus demo, ya demo.”

Mustada’afun pada jaman nabi MUhammad dulu biasanya dapat dilihat dari status sosial dan ekonomi, misalnya miskin dan budak. Jaman sekarang harus diteliti dulu. Misalnya, apakah pengemis itu masuk dalam kategori orang tertindas. “jaman sekarang ini memang ada yang pengemis sebagai ‘profesi’ dan bahkan lebih kaya dari dosen UII,” contoh Holy sambil bergurau.

Dalam keseharian mahasiswa misalnya, ada juga yang tertindas. Misalnya ditengah mahasiswa yang setelah kuliah ini punya akses untuk mendapatkan pekerjaan dari kampus dengan akreitasi A dan predikat unggul, tetapi ada juga yang kehilangan kesempatan karena kampusnya akreditasi C, padahal bisa jadi ketrampilannya lebih baik. Nah, ketika ada banyak yang berpeuang, ada sedikit tidak. Ini kan tertindas, tidak adil sistem penerimaan pekerjaannya.

Contoh kasus lain, Holy memberikan gambaran tentang seorang waria tua. “Waria itu untuk mendapatkan pekerjaan saja sulit. Di tengah masyarakat terkucilkan, apalagi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Waria saja yang muda tertindas, apalagi yang sudah tua yang secara fisik sudah lemah.” Holy tidak mengesampingkan soal kontroversi waria, “ini soal manusia yang tertindas. Mereka perlu dirangkul, bukan dikucilkan dan malah jadi rentan.”

 

“Waria itu untuk mendapatkan pekerjaan saja sulit. Di tengah masyarakat terkucilkan, apalagi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Waria saja yang muda tertindas, apalagi yang sudah tua yang secara fisik sudah lemah.”

-Holy Rafika Dhona-

Untuk menigkatkan sense dan mengenali apakah masih ada yang terntidas disekitar kita, perlu banyak membaca; membaca kondisi, membaca keadaan selain juga penting membaca buku. ”Harus dikembangkan sense bahwa ada masalah di sekitar kita, sesuatu itu tidak terjadi dengan sendirinya, everthing is constructed,” saran Holy pada mahasiswa yang ingin lebih peka terhadap situasi sosial di sekitar mereka.

Reading Time: 2 minutes

“What are the manifestations of Mustadha’afun or marginalized people in Islam?” This question got interesting and not short answers. Then Holy gives a picture of the social context of modern society today with many buildings and luxury cars milling about. “The easiest way,” said Holy, “we can check whether there are neighbors who are still hungry or not, lacking or not.”

Prophetic communication is not just da’wah. “Dakwah is also prophetic communication, only it is in the pragmatic-normative dimension; worship procedures. You can do this, you can’t do that.”

But prophetic communication does not eliminate the frontal ways of worship in Holy’s explanation of realizing a just society. “In the practice of prophetic communication, if it can’t be done in a subtle way and conveyed through normative procedures, if you have to do a demo, then a demo.”

Mustada’afun at the time of the prophet Muhammad used to be usually seen from the social and economic status, for example, poor and slaves. Today’s era must be researched first. For instance, whether the beggar is in the category of the oppressed. “Today there are indeed beggars as a ‘profession’ and even richer than UII lecturers,” Holy example joked.

In the daily life of students, for example, some are oppressed. For example, among students who after college have access to work from campus with A accreditation and superior predicate, some lose opportunities because the campus is accredited C, even though their skills could be better. Well, while many are struggling, few are not. This is an oppressed, unfair job acceptance system.

In another case, Holy gives a picture of an old transvestite. “Transvestites find it difficult to get a job. In the midst of society isolated, let alone to get a decent job. Only the young transvestites are oppressed, let alone the old ones who are physically weak.” Holy does not rule out the transvestite controversy, “it’s about people who are oppressed. They need to be embraced, not isolated and even vulnerable.”

“Transvestites find it difficult to get a job. In the midst of society isolated, let alone to get a decent job. Only the young transvestites are oppressed, let alone the old ones who are physically weak.”

-Holy Rafika Dhona-

To increase our sense and recognize whether there are still oppressed people around us, we need to read a lot; reading conditions, reading conditions, it is also essential to read books. “We must develop a sense that there are problems around us, that something doesn’t happen by itself, everything is constructed,” Holy suggested to students who want to be more sensitive to the social situations around them.

Reading Time: 2 minutes

Kajian Komunikasi profetik bukanlah hal baru, hanya saja selama ini masih dipahami secara normatif sebagai dakwah keagamaan atau dakwah yang sifatnya agamis seperti tatacara nabi. Kajian Komunikasi Profetik dalam dalam perspektif kenabian yakni membela yang terpinggirkan, lemah, dan terindas belum banyak dibahas dalam kajian komunikasi profetik selama ini.

Obrolan komunikasi profetik sambil ngeteh sore ini dilangsugkan secara online via live Instragram oleh International Program of Communication Department Universitas ISlam Indonesia IP comunication UII) atau biasa mereka sebut dengan teatime. Acara yang dilaksanakan di senin sore, 19 April 2021 tersebut mengadirkan Holy Rafika Dhona sebagai pembicara. Holy adalah dosen pengajar Ilmu Komunikasi UII, sekaligus penulis buku ajar Komunikasi Profetik yang ia susun tiga tahun terakhir sejak 2018.

Islam sebagai kajian ilmu sudah sejak lama dikaji oleh Kuntowijoyo, keilmuan islam yang disilaturahmikan dengan kajian komunikasi belumlah memuaskan. “Buku ini pun juga masih jauh, apalagi saya.” Kelakar Holy menegaskan dirinya masih jauh dari sifat kenabian, saat diajak ngobrol santai dalam acara Teatime yang dipandu oleh Nadira dan Lani.

Obrolan dibuka dengan mengajak berpikir dengan merefleksikan satu rutinitas harian tentang aktifitas posting status facebook. “Kamu posting FB itu bukan ibadah, tapi kalau taklim itu ibadah. Perpektifnya selalu begitu selama ini. Padahal bisa jadi itu sangat profetik isinya”

“Kamu posting FB itu bukan ibadah, tapi kalau taklim itu ibadah. Perpektifnya selalu begitu selama ini. Padahal bisa jadi itu sangat profetik isinya”

-Holy Rafika Dhona-

Dalam kajian komunikasi profetik, bisa jadi posting di facebook adalah abgian dari upaya profetik. Holy menjelaskan bahwa komunikasi profetik itu tidak sekadar dakwah agamis yang mengenalkan tatacara wudhu, sholat, puasa atau tatacara menyampaikan pesan. “Kalau komunikasi profetik pinginnya ilmu didekati dengan tujuan kenabian. Hero banget. Bukan untuk ngajain sholat ritual belaka. Sebenarnya dalam pandangan komunikasi profetik itu klise kok. Komunikasi yang membimbing dari jalan kegelapan menuju jalan terang. Terang itu ya, sejahtera, aman, nyaman. nggak cuma ritual belaka,” jelas Holy.

Holy menceritakan tentang hijrah nabi Muhammad dari mekah ke Yatsrib (Madinah) juga disertai oleh orang yang belum memeluk Islam tapi teraniaya di Mekah. Dalam cerita Holy itu Holy ingin menunjukan bahwa Nabi selalu datang dengan konsep orang tertindas: mustadhaafun. Komunikasi yang ditujukan untuk membela orang tertindas.

bersambung ke part 2

Reading Time: 2 minutes

The study of prophetic communication is not new things, it’s just that so far it is still understood normatively as religious da’wah or da’wah that is religious in nature such as the procedures of the prophet. The study of prophetic communication in a prophetic perspective, namely defending the marginalized, weak, and oppressed has not been widely discussed in the study of prophetic communication so far.

This prophetic communication chat while having tea this afternoon was held online via Live Instragram by the International Program of Communication Department, Universitas ISlam Indonesia (IP comunication UII) or what they call teatime. The event, which was held on Monday afternoon, April 19, 2021, presented Holy Rafika Dhona as a speaker. Holy is a lecturer in Communication Studies at UII, as well as the author of a textbook on prophetic communication which he has compiled for the last three years since 2018.

Islam as a study of science has long been studied by Kuntowijoyo, Islamic scholarship which is in touch with the study of communication has not been satisfactory. “This book is still far away, let alone me.” Holy jokes asserted that he was still far from prophetic, when he was invited to casually chat in a Teatime program hosted by Nadira and Lani.

The chat was opened by inviting people to think by reflecting on a daily routine about posting Facebook status activities. “You post on FB it’s not worship, but ta’lim is worship. That perspective has always been that way. Even though it could be very prophetic in its content.”

 

“You post on FB it’s not worship, but taklim is worship. That perspective has always been that way. Even though it could be very prophetic in its content”

-Holy Rafika Dhona-

In the study of prophetic communication, it could be that posting on Facebook is part of a prophetic effort. Holy explained that prophetic communication is not just a religious da’wah that introduces procedures for ablution, prayer, fasting or procedures for conveying messages. “In prophetic communication, science wants to be approached with prophetic goals. So heroic. Not for mere ritual prayers. Actually, in the view of prophetic communication it’s a cliché. Communication that leads from the path of darkness to the path of light. The light is yes, prosperous, safe, comfortable. It’s not just a ritual,” explained Holy.

Holy tells about the migration of the prophet Muhammad from Mecca to Yatsrib (Medina) also accompanied by people who have not embraced Islam but were persecuted in Mecca. In the Holy story, Holy wants to show that the Prophet always came with the concept of the oppressed: mustadha’afun. Communication aimed at defending the oppressed.

to be continue on part 2

 

Reading Time: 2 minutes

Siapa yang menentukan berada di kelas sosial apa kita di masyarakat? Jawabannya bisa bermacam-macam. Salah satunya yang menentukan adalah majalah musik. Majalah musik mendefinisikan bahwa selera musik kita menunjukkan dimana level kelas kta dalam masyarakat. Masyarakat penyuka musik dangdut dan pop melayu adalah selera kelas bawah sedangkan rock, pop, dan jazz adalah selera kelas menengah.

 

Hal-hal tersebut diungkapkan oleh Kavca Diosaputra dari hasil risetnya dalam majalah musik Rolingstone Indonesia (RSI). Mahasisswa tingkat akhir Ilmu Komunikasi UII itu mempresentasikannya dalam rangkaian acara Webinar series episode 16 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi dan dokumentasi media Alternatif (PSDMA) NADIM Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia pada Jumat, 16 April 2021.

 

Diosaputra yang kerap disapa Dio mengumpulkan arsip dalam rentang 12 tahun sejak 2005 hingga 2017. Dalam arsip majalah yang ia temukan wacana yang paing sering sering muncul adalah konser. Baik berita, review konser, persiapan, cerita dibaik panggung, kerusahan, dan lain sebagainya.

 

Dari artikel-artikel tentang konser di majalah RSI tersebut, Dio menarik beberapa ide pokok tentang apa itu konser. Konser dan musik adalah alat politik kelas menengah atas. Disini, konser adalah tempat melarikan diri dari rutininas keseharian (leisure). Rutinitas harian yang maksud adalah rutinitas antara rumah, keluarga, dan pekerjaan dalam ruang kantor. Yang artinya dalah pekerjaan yang bersifat formal, bukan pekerjaan di luar ruang seperti pedangan, supir, atau pekerjaan ain luar ruangan yang sering disebut pekerjaaan informal.

“Konsep-konsep dominan yang dibicarakan dalam majalah Rolling Stone Indonesia cenderung membicarakan kepentingan kelas atas”

-Kavca Diosaputra-

 

Dalam mendefinikan kelas menengah selain melalui konser dan jenis musik tertentu, juga ditunjukkan melalui berita. Misalnya, artikel yang menggangkat musik dangdut dan pentas panggungnya. Konser dangdut selalu diidentikkan dengan kerusuhan dan mabuk. Selain itu, diksi yang digunakan selalu menggunakan kata ‘rakyat’ dan ‘selera rakyat’. Kata ‘rakyat’ selalu diidentikan dengan masyarakat kecil atau wong cilik.

 

Selain dari sisi pemilihan kata, mitos kelas menengah dalam majalah RSI juga terihat dari porsi tuisan dan mengedepankan subjek otoritas (misalnya: pemerintah) sebagai narasumber utama berita, bukan penonton ataupun pedangang, petugas kebersihan, dll.

 

Bukti selanjutnya adalah berkaitan dengan topik-topik artikel yang dibawa dalam majaah RSI. “Konsep-konsep dominan yang dibicarakan dalam RSI cenderung membicarakan kepentingan kelas atas,” tulis Dio dalam salah satu slide presentasinya.

 

“Misalnya pembicaraan tentang pariwisata musik. Ini terlihat lebih mengedepankan bisnis besar daripada membicarakan ekonomi kelas bawah.” Dari apa yang dibicarakan dapat terlihat dimana RSI memposisikan keberpihakan dan mewacanakan kelas tertentu.