Mayoritas festival film di kota menjadi agensi kultural karena kemampuannya untuk menawarkan hal-hal alternatif. Agensi kultural yang demikian juga meneguhkan branding tempat tertentu hingga identitas kota itu sendiri.

Oleh
ZAKI HABIBI
Tulisan pernah dimuat Harian KOMPAS pada 18 Desember 2022. Artikel dimuat ulang untuk tujuan pendidikan dan penguatan isu kajian Film, Kota, dan Visual di Ranah Kajian Media, dan Urban Research.

Menjelang penghujung akhir tahun 2022, sejumlah kota kembali riuh dengan beragam pesta sinema. Dari Denpasar ke Jakarta hingga Yogyakarta, publik penonton film disuguhi serangkaian festival film yang menyapa khalayak secara langsung setelah dua tahun sebelumnya dilakukan secara daring. Kota-kota lain di berbagai wilayah pun menyusul untuk menggiatkan kembali perjumpaan fisik lewat ajang festival film.

Awal hingga tengah Oktober lalu, misalnya, Madani Film Festival dan Jakarta Film Week (JFW) digelar berdampingan waktu. Sebagian programnya diadakan dalam format kolaborasi kedua festival di lokasi yang sama, baik pemutaran film tertentu maupun sejumlah diskusi publik. Tidak lama kemudian, Jakarta Independent Film Festival (JIFF) juga hadir di awal November. Kali ini penyelenggara JIFF membuat festival dalam format bauran, mempertahankan program pemutaran daring dan mulai mengadakan program-program secara luring di Jakarta.

Pada tengah November, giliran Festival Film Dokumenter (FFD) di Yogyakarta yang kembali menyapa penikmat publik film untuk kali keduapuluh satu perhelatannya (Kompas, 27/11). Di penghujung akhir bulan November hingga 3 Desember 2022, Yogyakarta melanjutkan kemeriahan pesta sinema dengan berlangsungnya Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF).

Seperti akar namanya, festival adalah sebuah perayaan. Bila ditilik dari nalar kebahasaan, maka secara literal, festival adalah perayaan kolektif yang membangkitkan perasaan kegembiraan dan keriangan bagi siapapun yang terlibat di dalamnya. Festival film pada dasarnya adalah ruang sosial yang memberikan kesempatan rasa gembira dan nuansa riang secara bersama. Meski begitu, ada makna kontekstual yang khas karena–seperti film itu sendiri–festival film adalah hasil kerja kolektif nan kompleks, sejak konseptualisasi, kuratorial dan pemrograman, pendanaan, manajemen pengelolaan, pemublikasian program dan keterlibatan partisipan serta penonton, hingga konteks produksi ruang (space) sosial dan kultural serta pembentukan makna tempat (place) atas keberadaan suatu festival film tertentu.

Dengan begitu, kemeriahan yang terbentuk karena hadirnya festival film di sebuah tempat–dalam hal ini ruang urban–pada dasarnya telah melampaui makna literal sebagai ruang instrumental atas perayaan kegembiraan dan keriangan bagi sekelompok orang terbatas. Di luar fungsi utamanya dalam ekosistem perfilman secara spesifik, yakni sebagai bagian tidak terpisahkan dari relasi produksi, distribusi dan eksibisi film, festival juga dapat dipahami secara lebih luas. Sebuah festival film esensinya adalah produksi ruang perjumpaan budaya (cultural encounter) yang tidak bisa dilepaskan dari keterikatannya dengan tempat (place) ia bermula dan berbasis. Antara festival film dan kota telah berkelindan sedemikian rupa, saling andil dalam interaksi kultural yang terus saling berkaitan.

Festival Film dan Kota

Terlepas dari adanya perbedaan karakteristik utama dari setiap festival film di berbagai kota, terdapat satu pertanyaan tunggal yang sebenarnya selalu serupa. Yaitu, mengapa festival film menjadi penting bagi kota tempat ia hadir dan bergeliat?

Di luar fungsi instrumental dan konteks ekonomi-politik bagi ekosistem perfilman, setidaknya ada tiga arti penting kehadiran festival film secara kontinyu di kota masing-masing. Pertama, festival film adalah salah satu agensi budaya. Fungsi festival film melampaui arti literalnya sebagai ruang gembira dan riang bersama. Kedua, festival film–disadari atau tidak oleh warga kotanya maupun perumus kebijakan di kota–kerap menjadi sarana penyokong branding tempat (place branding), termasuk branding kota dan identitas kota. Ketiga, festival film berpotensi besar untuk memunculkan keberagaman suara (multiple voices) serta produksi ruang inklusif di kota.

Sebagai sebuah cultural agency, festival film semestinya tidak melulu dipandang sebagai peristiwa temporer belaka. Toh bagi para pekerja dan pegiat festival, kiprah festival film adalah kerja sepanjang tahun. Dalam penelitian yang ditulis Sri Ratna Setiawati (atau yang lebih akrab disapa Lulu Ratna), ia mengkaji terbentuknya konsepsi ruang urban Yogyakarta ditilik dari studi spesifik terhadap kurasi program pada dua festival di kota tersebut, yaitu FFD dan JAFF. Menurutnya, kehadiran kedua festival non-pemerintah yang lahir pasca-1998 ini berkontribusi dalam ”membangun konstruksi Yogyakarta ideal, namun pada saat yang sama juga melakukan perlawanan terhadap dominasi media arus utamadan distribusi-eksibisi film komersial, sehingga berhasil membangun kekuatan untuk menjadi hegemoni baru perfilman Indonesia” (Setiawati, 2020).

Lebih jauh dari itu, mayoritas festival film di kota pada muaranya menjadi agensi kultural karena kemampuannya untuk menawarkan hal-hal alternatif, dari cara pandang dan cara praktik atas berbagai aspek kehidupan di masyarakat tempat ia hadir. Selanjutnya, agensi kultural yang demikian juga mendukung upaya-upaya peneguhan branding tempat tertentu (festival venues) hingga identitas kota itu sendiri. Proses branding kota semacam ini biasanya mengomunikasikan kota sebagai ”imaji-imaji yang memantik selera orang” (Löfgren, 2005: 64).

Orvar Löfgren, seorang etnolog yang mendalami budaya kontemporer dalam keseharian hidup, mengingatkan bahwa city branding yang dijalankan dengan menempatkan prinsip ”catwalk economy” ada bahayanya. Segala sesuatu yang semata ditampilkan memukau di lapis imaji belaka, termasuk memoles kota seperti tengah berjalan di sebuah catwalk, hanya akan menempatkan kota sebagai produk. Kota sebagai produk adalah sebuah pandangan yang berbahaya (Löfgren, 2014: 202), karena akhirnya kota dapat didesain secantik mungkin, tapi justru menyajikan ruang urban yang tidak berdaya hidup (”a beautifully designed, but lifeless cityscape”) (Löfgren, 2007: 91).

Untuk mengembalikan daya hidup kota, diingatkan Löfgren dan juga Jensen (2007: 102), segala upaya branding kota harus kembali ke esensinya dalam meneguhkan identitas kultural dan segala nilai pokok dari kota tersebut melalui kelindan beragam pengalaman orang-orangnya.

Dengan begitu, dalam konteks festival film, berbagai hal yang terjadi dan terbincangkan di luar ruang pemutaran film merupakan pengalaman signifikan yang sama pentingnya dengan representasi apapun yang tersaji di layar pemutaran di dalam studio bioskop atau berbagai venues lainnya. Meski tidak selalu dapat terukur secara kuantitatif, hal-hal semacam ini pada dasarnya juga menyokong proses branding kota yang berbasis identitas kultural dan nilai-nilai esensial.

Keberadaan festival film yang demikian akhirnya bermuara pada cara memandang dan menafsirkan kota. Mengapa demikian? Meminjam dan memodifikasi penjelasan Henri Lefebvre, kota sebagai ruang sosial semestinya dipahami secara menyeluruh sebagai perwujudan aspek triadik tak terpisahkan. Yaitu, kota dalam wujud material (the perceived or material city), kota yang terimajinasikan (the conceived or imagined city), serta kota yang dialami atau dihidupi warga dan beragam orang yang melintasinya (the lived city).

Lewat festival film, siapapun yang terlibat, hadir, atau sekadar selintas melihat publikasi acaranya di jalanan sebenarnya telah menjadi bagian dari ketiga model triadik kota di atas. Festival film, terutama melalui program-programnya, kerap berfokus pada upaya-upaya untuk merawat ingatan. Dari ragam genre dan tema film, topik diskusi, hingga lontaran-lontaran dalam obrolan informal di sela-sela acara utama adalah wujud nyata dari beragam upaya merawat ingatan atau kerap disebut pula sebagai recalling and re-articulation of social and cultural memories. Tujuannya, agar isu yang penting, kegelisahan yang dirasakan, serta fakta dan emosi yang tidak tersaji di permukaan dapat menjadi rekaman bersama dan, syukur-syukur, direspons pula lewat berbagai karya-karya lanjutan di masa mendatang.

Tatkala festival film menjadi ruang yang memungkinkan upaya merawat ingatan agar terus terkelola, ini adalah aktualisasi dari gagasan the imagined city dan the material city. Di saat yang bersamaan, berfestival film pada asalinya adalah serangkaian pengalaman individual dan kolektif sekaligus. Pada aras ini, festival film telah mewujudkan pula gagasan the lived city yang selalu menyajikan pengalaman majemuk warga, tidak pernah tunggal, yang harus terus diberi ruang seluas-luasnya. Bahwa kota yang terhidupi, the lived experiences in the city, ini tidak selalu sejalan dengan idealisasi dan materialisasi yang diharapkan di awal, hal itu tetap harus mendapatkan perhatian yang sama pentingnya.

Suara Majemuk dan Ruang Inklusif

Dengan memahami festival film dalam cara pandang yang demikian, arti penting ketiga dari festival film di sebuah kota dapat terwujud. Yaitu, potensi untuk ’mendengarkan’ suara majemuk atau multiple voices melalui berbagai program yang juga mempertemukan ragam entitas. Kata voice di sini tidak semata-mata terjemahan suara dalam pengertian pengalaman akustik. Melainkan, ‘suara’ di sini berkaitan pula dengan artikulasi kuasa (power) yang selalu menjadi medan kontestasi dalam keseharian pengalaman hidup masyarakat urban.

Di perhelatan festival film, artikulasi suara majemuk yang semestinya diberikan ruang luas tersebut tak ubahnya menjadi ruang nafas atau the breathing spaces dalam hiruk-pikuk dan sesak pengalaman hidup perkotaan. Ruang nafas demikian dapat bermakna ganda: festival film sebagai oase di belantara ragam peristiwa dan kepenatan di kota, sekaligus festival film sebagai ruang menekan tombol ”pause” dalam keseharian hidup warga kotanya. Jeda sejenak ternyata penting demi mendengar ”suara-suara” yang berbeda sembari membincangkan imajinasi atas harapan-harapan yang beragam.

Dalam berbagai perjumpaan formal sebagai bagian dari program festival maupun perbincangan informal di kedai dan selasar lokasi festival, terdapat banyak catatan penting yang kemudian menjadi fondasi kerja-kerja kolektif selanjutnya setelah festival berakhir. Dialog dalam forum diskusi, tanya jawab dengan sineas dan kru film pasca-pemutaran, hingga peluncuran buku terkait sinema adalah beberapa ruang sosial yang kerap mewadahi kemunculan ragam suara sekaligus kompilasi harapan.

Bersama itu pula, festival film juga melanjutkan ruang-ruang sosial demikian sebagai kemungkinan memupuk hadirnya ruang yang lebih inklusif di perkotaan. Kita lihat, misalnya, sejumlah program juga menyediakan ”bioskop bisik” untuk akses bagi penonton disabilitas. Harapannya, festival film menjadi kian meneguhkan rasa kepemilikan yang luas di luar komunitas pembuat, pendistribusi dan eksibitor film semata.

Inklusivitas juga hadir lewat cara lain. Seperti, kombinasi antara praktik-praktik lokal yang ditawarkan sebagai ciri khas setiap festival di masing-masing kota dengan dialog lintas entitas yang muaranya kerap menuju cita rasa kosmopolitanisme.

Menutup tulisan ini, saya teringat salah satu adegan di film Autobiography (2022) – ditulis dan disutradarai oleh Makbul Mubarak– yang secara simbolik tidak hanya kuat bagi narasi dan unsur sinematik film ini, tetapi juga secara metaforis menggambarkan kelindan gagasan yang saya ulas di atas. Sebagai wujud artikulasi ”investigasi emosional sejak masa kecil bagi sineasnya” (Kotzathanasis, 2022), film ini sarat akan ekspresi implisit emosi yang tidak selalu sejalan dengan hal-hal yang manifes di layar.

Tatkala tokoh pelik Purna berujar di bagian permulaan film kepada Rakib, sang protagonis, ”Siapa bilang saya minum kopi?” pertanyaan retoris ini tidak pernah terjawab verbal karena memang esensinya bukan itu. Melainkan, sisi-sisi yang tidak terkatakanlah yang memberikan petunjuk bagi penonton atas bangunan karakter tokoh tersebut dan premis utama filmnya. Begitu pula dengan pentingnya festival film bagi kotanya. Hal-hal yang tersampaikan secara subtil, bahkan terkadang tak tampak, dalam perhelatan festival film tidak boleh luput dari perhatian banyak orang. Karena dari situlah andil dan kontribusi festival film sedang terbentuk secara kultural bagi kota dan warganya.

ZAKI HABIBI

Peneliti kajian media dan budaya visual,
Prodi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta
dan Lund University, Swedia

Rejeki bertambah, rejeki berkurang. Tapi tak pernah ada yang tahu, apakah rejeki itu berkah atau tidak. Atau justru rejeki yang kita dapat itu seringkali tidak kita syukuri? Sebenarnya, apa rejeki yang berkah itu?

Barokah atau berkah itu adalah sesuatu yang tetap, yang langgeng, dan sesuatu yang bertambah-tambah kebaikannya. “Makanya itu NgajiKomunikasi kali ini saya beri judulnya itu lapis-lapis keberkahan, meminjam judul buku teman saya,” Ungkap Subhan Afifi, pembicara dalam Ngaji Komunikasi yang diadakan di Yogyakarta pada 10 Desember 2022. Berdasar penuturan Subhan, keberkahan itu bisa bertambah dalam.berbagai lapisannya dan dalam berbagai konteks.

Ia biasa disebut ziyadatul khoir. Tetapnya kebaikan, kemudian kebaikan itu semakin bertambah, kata Subhan, yang juga dosen Komunikasi UII klaster riset Public Relation.

Subhan Afifi mengatakan, rejeki berkah itu bukan persoalan jumlah, tapi apa kemanfaatannya. “Bisa buat ini itu bisa untuk apa saja. tapi kalau tidak ada keberkahan, ya ada aja masalahnya. Kurang terus. Ada yang sakitlah, ada yang hilanglah, dan lain-lain,” jelas Subhan Afifi.

Bertambahnya kebaikan itu, kata Subhan, ada pada semua lini kehidupan kita. Bertambah amal solehnya, bertambah kebaikannya untuk masyarakat. “Pemberdayaan yang riil itu ketika dia bermanfaat untuk semua. Lalu bagaimana meraih rejeki yang barokah itu? apa upaya yang dapat dilakukan untuk mencapainya?

Ustadz Subhan Afifi mengatakan bahwa upaya itu bisa dicapai dengan melakukan empat  hal berikut ini dengan maksimal dan ikhlas. “Jika kita lakukan, maka keberkahan akan mengalir,” tambahnya. Empat hal itu adalah berupaya dengan Ilmu dan mencarinya, lalu yang kedua adalah dengan cara melakukan Amal yang terbaik. Lalu yang ketiga, adalah melakuakn dakwah. “Mungkin dalam pandangan kritis ini ya, maksdunya amal maruf nahi munkar itu kan termasuk dakwah ini ya,” jelas Subhan pada poin ketiga ini. Sudah tiga hal dilakukan, maka tinggal melakukan yang keempat, yaitu sabar. “Ini merangkum semua kebaikan yang kita ikhtiarkan. Nah saya ini Inspirasinya dari surat al ashr, Rejeki yang berkah adalah rejeki yang membuat kita bertambah melakukan kebaikan,” papar Subhan menutup NgajiKomunikasi di akhir tahun ini.

Fortune increases, and fortune decreases. But no one ever knows, whether fortune is a blessing or not. Or is it precisely the fortune that we get that we are often not grateful for? Actually, what is the blessing of fortune?

Barokah or blessing is something that is permanent, lasting, and something that increases in goodness. “That’s why I titled the Koran Communication this time with layers of blessings, borrowing the title of my friend’s book,” said Subhan Afifi, speaker at the Communication Koran which was held in Yogyakarta on December 10, 2022. Based on Subhan’s narrative, the blessings can go deeper. layers and in various contexts.

He is usually called ziyadatul khoir. Keep being good, then the kindness will increase, said Subhan, who is also a UII Communications lecturer in the Public Relations research cluster.

Subhan Afifi said, the fortune of blessings is not a matter of quantity, but what are the benefits? “You can make this, it can be used for anything. But if there is no blessing, then there is a problem. It’s lacking. Some are sick, some are missing, and so on,” explained Subhan Afifi.

The increase in goodness, said Subhan, is in all lines of our life. The more his good deeds, the more good he is for society. “Real empowerment is when it is useful for all. Then how to achieve that blessed fortune? what efforts can be made to achieve it?

Ustadz Subhan Afifi said that this effort can be achieved by doing the following four things maximally and sincerely. “If we do, the blessings will flow,” he added. The four things are trying with knowledge and seeking it, then the second is by doing the best deed. Then the third is doing da’wah. “Maybe in this critical view, yes, meaning ma’ruf nahi munkar includes this da’wah,” explained Subhan on this third point. Three things have been done, so all that remains is to do the fourth, which is patience. “This summarizes all the good that we strive for. So, I am inspired by Surat al-Ashr, a blessed fortune is a fortune that makes us do more good,” said Subhan closing the Koran Communication at the end of this year.

Banyak sekali tulisan yang diproduksii tiap bulannya di website, tapi sering kali jumlah pengunjungnya tidak maksimal. Selain itu, tingkat keterbacaannya juga kecil. Ini terlihat dari durasi kunjungan, tulisan panjang tetapi durasi kunjungannya hanya beberapa detik saja. Hal ini sangat disayangkan. Lalu bagaimana mengoptimalisasinya kunjungan dan konten yang ada?

Hal ini dijawab dalam Pelatihan optimalisi website yang diadakan oleh Humas Universitas Islam Indonesia (UII) pada 4 juli 2022. Pelatihan ini mengundang Didik Arwinsyah, seorang pebisnis online yang juga seorang internet marketer. Acara ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan keterjangkauan konten websiste resmi yang ada di Universitas Islam Indonesia. Selain mengoptimalisasi keterjangkauan tulisan, pelatihan ini juga ingin untuk meningkatkan kapasitas pengelola website di seluruh unit dan direktorat yang ada di UII.

Masalah yang sering terjadi dan sering dialami oleh internet marketer atau pengelola website adalah bagaimana membuat websitenya berada di bagian terdepan di mesin pencari. “Bukan karena tulisannya jelek, atau tidak menarik. Sering kali para pengelola website tidak mengerti bagaimana membuat kontennya muncul di halaman awal pencarian Google ketika pengunjung mengetik kata kunci (keyword) di mesin pencari,” kata Didik Arwinsyah menjelaskan. “Internet marketer harus memperhatikan SEO agar website, nama, brand kita, atau kampus kita, muncul di mesin pencari,” tambah Didik.

Tip dan Trik Kunci Mengoptimalkan SEO Web Kampus

SEO adalah singkatan dari Search Engine Optimization atau biasa disingkat SEO. SEO ini berisi beberapa acuan agar sebuah artikel atau konten dapat berada di urutas teratas dalam sebuah pencarian di mesin pencari seperti Google. Di sini internet marketer atau pengelola website harus memperhatikan beberapa hal seperti originalitas, panjang tulisan, dan struktur tulisan. Dan yang paling penting adalah konten itu sendiri. Apakah artikel kita menjawab permasalahan pengunjung? Beberapa tip dijelaskan sebagaimana berikut.

Originalitas

Tulisan atau artikel tidak boleh sama persis dengan tulisan media lain. Jelas bahwa artikel yang ditulis haruslah orisinil dan tidak boleh menyalin ulang dari tulisan yang sudah ada. Jika tulisannya sama, penulis harus menulis ulang dengan tata bahasa sendiri, alias parafrase.

Panjang artikel

Panjang artikel minimal 500 kata. Artikel yang terlalu panjang pasti sangat melelahkan untuk dibaca. Artikel yang terlalu pendek juga tidak akan mengurai sebuah tulisan yang komprehensif. Artikel yang ditulis dan bisa dilacak oleh pencarian Google biasanya berjumlah sekitar 500 kata.

Pembuat penyelesaian dari pemasalahan

Visitor atau pengunjung website melakukan pencarian dengan maksud untuk mencari informasi tentang hal-hal tertentu. Pengunjung sebenarnya melakukan pencarian untuk mencari jawab dari masalah, dan artikel yang ditulis merupakan sebuah jawaban pemasalahan yang dicari. Itu artinya, pastikan judul artikel memuat kata kunci masalah. Dan pastikan, artikel memuat jawaban permasalahan tersebut.

Artikel yang berbeda dari konten kreator lain

Artikel yang ada di website tertentu sering kali sama persis dengan di website lainnya. Biasanya hanya berubah bahasa saja, tetapi esensinya sama. Sedangkan visitor mencari banyak artikel untuk bisa mencari informasi sebanyak-banyaknya. Juga mencapi perspektif yang berbeda dengan artikel lain. Jika artikel satu dengan yang lain hanya menyuguhkan hal yang sama, tentu hanya akan dilewati begitu saja oleh pengunjung. Di sinilah pentingnya perlu ada konten yang memiliki pandangan dan substansi berbeda dengan website lainnya.

Pertanyaan yang mengemuka dalam judul di atas adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kunjungan mahassiswa Komunikasi UII ke beberapa perusahaan di Jakarta. Pertanyaan itu sering muncul ketika mahasiswa lulus dari kampus dan masuk dalam belantara dunia kerja dan profesi. Institusi yang akan menerima lulusan UII pasti akan bertanya dan mencari tahu: apa ‘value’ personal yang dapat berkontribusi membangun instansi yang kita tuju untuk bekerja?

Pertanyaan itu dijawab oleh beberapa narasumber yang hadir dalam Communication Field Trip (CFT) yang diadakan pada 6 hingga 8 Desember 2022. Pada kesempatan kali itu, kunjungan pada hari kedua ke Kompas Gramedia (KG) Media, para mahasiswa Komunikasi UII dari beragam angkatan seperti dari angkatan 2019 hingga 2022 menimba pengalaman dan pembelajaran baru dari beragam alumni UII yang juga telah bekerja di KG Media. Alumni-alumni itu Misalnya Arrozi Effendi, angkatan 2010 (Manajer PR dari KG Media), Ridho Ilham, angkatan 2017 (Marketing Communication KG Media), Atha Rahmaputra, angkatan 2017 (Video Content Specialist), Muhammad Diast Reyhan Rafif, angkatan 2017 (Community Specialist Harian Kompas), dan F Rizaldi Revandi, angkatan 2017 (Digital Social Media Kompass TV).

Kunjungan berbalut CFT di Kantor KG Media itu mahasiswa diajak tour pada kantor media besar di Indonesia ini. KG Media adalah perusahaan holding yang bergerak di beragam lini seperti penerbit buku Kompas, KG Properti, Dyandra Promosindo, dan juga mengelola jalan tol Cinere-Jagorawi. Selain itu, KG Media juga memiliki unit bisnis seperti Hotel Santika Group, “Ada juga Rekata Studio di KG Media, yang kemarin produksi film penyalin cahaya, kalau temen-temen tahu,” kata MC pada perwakilan KG Media. Grup KG juga memiliki Kampus di UMN dan Politeknik untuk Vokasi-nya.

 

Selain itu, KG Media juga membangun ekosistem digital dengan membangun perusahaan fintech. Di sisi seni dan budaya, KG Media memiliki bentara budaya di beberapa kota, “Ini adalah aset intelektual yang dibangun pendiri kita Pak Ojong dan Jakob Oetama. Di sini seniman-seniman yang punya relasi dengan bentara budaya menjual karyanya untuk Gempa Cianjur kemarin,” tambah MC tersebut.

Pada sesi selanjutnya, Arrozi, manajer PR KG Media, mengatakan bahwa di era disrupsi itu ternyata kemampuan bertahan sebuah perusahaan itu tidak cukup. “Kami tak hanya harus bertahan, tapi juga harus leading di semua sektor. Kami The one leading di media sektor,” kata Arrozi. “Ini sengaja aku hadirkan mereka jadi teman-teman alumni, jangan berkecil hati kalau temen-teman dari jogja. Tidak sekeras itu di jakarta,” kata Arrozi menambahkan. Beberapa alumni yang telah disebut di awal kemudian menjelaskan apa saja value dan kontribusi mereka pada perkembangan perusahaannya.

Berlanjut di tulisan berikutnya klik di sini.

Foto-foto: Yudi Winarto

Tulisan ini lanjutan dari sini.

Dunia kerja bukan tentang main-main. Maka perlu portofolio dan value yang dibangun serius sejak masa kuliah di kampus. Simak pengalaman alumni-alumni Komunikasi UII berikut yang semuanya bekerja di KOMPAS. Dari sini Anda dapat mempelajari apa dan bagaimana mengelola potensi dan value diri untuk menjadi nilai tambah ketika masuk dunia kerja.

Misalnya Ridho Ilham, sebagai alumni Komunikasi UII 2017 yang kini adalah Marketing Communication di Kompas Gramedia (KG) Media, mengatakan tugasnya dalam Marcomm adalah menciptakan awareness untuk brand, “Cara nyiptain awarenessnya, pake IMC integrated Marketing communication yang sudah kita pelajari di kampus,” kata Ridho pada mahassiwa peserta Communication Field Trip (CFT), sebuah acara rangkaian kunjungan ke beberapa instansi dunia profesi. CFT diikuti puluhan mahasiswa Komunikasi UII pada 6 hingga 8 Desember 2022. Pada kesempatan kali itu, kunjungan pada hari kedua mereka menimba ilmu dari alumni-alumni Komunikasi UII yang bekerja di Kompas Gramedia (KG) Media.

Alumni lain, Rizal Rizaldi, yang dulu aktif dan menjadi PR-nya KOMPOR (komunitas film komunikasi UII), kini adalah tim Digital Socmed KOMPAS TV, “kerjaku adalah ngedit video-video vertikal KOMPAS TV, TIKTOK dan Facebook Reels.” Selain mereka, ada juga alumni komunikasi yang lain namun tak hadir pada hari itu. Mereka adalah Fara dan Hafidz yang mereka adalah jurnalis di Kompas.

Menurut Ridho, sebagai mahasiswa dahulu, ia sudah harus membangun value diri. Value adalah nilai yang menjadi pegangan seseorang menjalani karir dan hidup. “Kita start dari magang dulu itu. Kalau kita pengin serius di magang, itu bisa jadi Value,” katanya. Sebelumnya Ridho adalah PR di Tinder dan Master Card. Lulusan 2021 ini mengatakan semuanya tidak akan terjadi jika ia tak mau ambil risiko magang ke jakarta dan mungkin ia tidak akan sampai di KG Media. “Aku banyak banget belajar, mungkin aku nggak bakal di KG media kalau aku nggak magang di tempat sebelumnya. Aku ke jakarta, tapi aku ga dapat finansial apa-apa, tapi dari situ aku jadi dapat banyak belajar banyak dan membentuk value aku,” ungkap Ridho menceritakan pengalamannya awal-awal mengadu nasib di Jakarta.

Berani Pindah Zona Demi Value

“Kalau Lu, apa value yang lu bawa dari kampus ke kompas?” tanya Arrozi Effendi, alumni Komunikasi 2010 yang kini adalah Head of PR KG Media, melanjutkan pertanyaan pada Diast Reyhan Rafif, Alumni angkatan 2017 yang kini adalah Community Specialist di Harian KOMPAS. Menurut Diast, pengalaman dan value yang ia bangun sejak kuliah adalah dengan aktif di komunitas dan kegiatan kemahasiswaan di Komunitas Redaksi dan Himakom dulu. “Yang intinya sih, harus ada keberanian keluar dari zona kita. Dari Jogja ke Jakarta. Kalau dibilang kampus berkontribusi sih itu pasti, dulu ngurusin komunitas Redaksi, KLIK, KOMPOR dll, andilnya banyak banget lah kontribusi Komunikasi UII untuk aku bisa kerja di KG Media,” kenang Diast.

Arrozi berpesan bahwa sikap dan perilaku selama di dunia kuliah dan kerja itu sangat menentukan pekerjaan kita di masa depan. “Watch your attitude, di manapun kamu berada. Jaga baik attitude di tempat kuliah dan kerja kamu ini ya. Karena mau bagaimana pun, kami di KG Media bertanggungjawab atas performa kalian ketika magang di sini, termasuk nantinya ketika diminta rekomendasi dari tempat kerja berikutnya,” kata Arrozi berpesan.

This writing continued from here.

The world of work is not about playing. So you need a portfolio and values ​​that have been seriously built since college. Check out the experiences of the following UII Communication alumni working at KOMPAS. From here, you can learn what and how to manage your potential and self-worth to become added value when you enter the world of work.

For example, Ridho Ilham, an alumnus of UII Communication 2017 who is now a Marketing Communication at Kompas Gramedia (KG) Media, said his job at Marcomm was to create awareness for brands, “The way to create awareness is to use IMC integrated Marketing Communication that we have learned on campus,” said Ridho to the students participating in the Communication Field Trip (CFT), an event series of visits to several professional world institutions. CFT was attended by dozens of UII Communication students from 6 to 8 December 2022. On that occasion, on the second day of the visit, they learned from UII Communication alumni who work at Kompas Gramedia (KG) Media.

Another alumnus, Rizal Rizaldi, who used to be active and was PR for KOMPOR (UII communication film community), is now the KOMPAS TV Digital Socmed team, “My work is editing vertical videos for KOMPAS TV, TIKTOK and Facebook Reels.” Apart from them, other communication alumni were not present that day. They are Fara and Hafidz, who are journalists at Kompas.

According to Ridho, as a student a few years ago, first, he had to build self-value. Value is a value that becomes a person’s guide through a career and life. “We start from the first internship. If we want to be serious about the internship, it can become a value,” he said. Previously Ridho was PR at Tinder and Master Card. This 2021 graduate said none of this would have happened if he didn’t want to take the risk of doing an internship in Jakarta, and maybe he wouldn’t have made it to KG Media. “I learned a lot, maybe I wouldn’t be at KG media if I didn’t do an internship at the previous place. I went to Jakarta, but I didn’t get anything financially, but from there I learned a lot and formed my values,” said Ridho sharing his early experience of trying his luck in Jakarta.

Dare to Change Zones for the sake of Value

“For you, what values ​​do you bring from campus to compass?” asked Arrozi Effendi, a 2010 Communication alumni who is now Head of PR KG Media, continuing the question on Diast Reyhan Rafif, Alumni class of 2017 who is now a Community Specialist at KOMPAS Daily. According to Diast, the experiences and values ​​he has built since college were by being active in the community and student activities in the Editorial Community and Himakom in the past. “The point is, we have to have the courage to get out of our zone. From Jogja to Jakarta. If you say the campus has contributed, that’s for sure, used to take care of the Editorial community, KLIK, KOMPOR etc., it contributed a lot, UII Communication contributed so much to me being able to work at KG Media ,” Diast recalled.

Arrozi advised that attitudes and behavior while in the world of study and work will greatly determine our future work. “Watch your attitude, wherever you are. Keep a good attitude at your place of study and work. Because no matter what, we at KG Media are responsible for your performance during your internship here, including later when asked for recommendations from your next workplace, ” said Arrozi ordered.

 

The questions raised in the title above arose during a visit by UII Communication students to several companies in Jakarta. This question often arises when students graduate from campus and enter the wilderness of the world of work and professions. Institutions accepting UII graduates will ask questions and find out: what personal ‘values’ can contribute to building the institution we aim to work for?

This question was answered by several sources who attended the Communication Field Trip (CFT) held from 6 to 8 December 2022. On that occasion, the visit on the second day to Kompas Gramedia (KG) Media, UII Communication students from various generations, such as from the 2019 to 2022 batch, gained new experiences and lessons from various UII alumni who have also worked at KG Media. The alumni include Arrozi Effendi, class of 2010 (PR Manager from KG Media), Ridho Ilham, class of 2017 (Marketing Communication of KG Media), Atha Rahmaputra, class of 2017 (Video Content Specialist), Muhammad Diast Reyhan Rafif, class of 2017 (Community Kompas Daily Specialist), and F Rizaldi Revandi, class of 2017 (Digital Social Media Kompass TV).

The visit was wrapped in CFT at the KG Media Office. The students were invited to tour the major media offices in Indonesia. KG Media is a holding company engaged in various lines, such as Kompas book publisher, KG Properti, and Dyandra Promosindo, and also manages the Cinere-Jagorawi toll road. Apart from that, KG Media also has business units such as the Hotel Santika Group. “There is also a Rekata Studio at KG Media, which produced a penyalin cahaya film yesterday if my friends know,” said the MC to a KG Media representative. The KG Group also has a Campus at UMN and its Vocational Polytechnic.

 

Apart from that, KG Media is also building a digital ecosystem by building a fintech company. On the arts and culture side, KG Media has cultural heralds in several cities. “This is an intellectual asset built by our founders Pak Ojong and Jakob Oetama. Here, artists who have relations with cultural heralds sold their works for yesterday’s Cianjur Earthquake,” added the MCs.

In the next session, Arrozi, PR manager of KG Media, said that a company’s ability to survive is not enough in this era of disruption. “We not only have to survive, but also have to be leading in all sectors. We are the one leading in the media sector,” said Arrozi. “I deliberately present them as alumni friends, don’t be discouraged if friends from Jogja. It’s not that hard in Jakarta,” Arrozi added. Some of the alumni mentioned earlier then explained what their values ​​and contributions were to the development of their company.

To continue in the next article click here.

Photos: Yudi Winarto

Disclaimer: tulisan ini adalah berita ringkas, bukanlah panduan kesehatan dan pertolongan pertama. Harap rujuk sumber kesehatan yang ahli untuk panduan lebih profesional.

Bagaimana dan apa yang harus dilakukan jika mendadak ada kawan, mahasiswa, dosen, atau sivitas akademi lainnya tiba-tiba sakit di kampus? Apalagi jika ada yang tiba-tiba pingsan dan hilang kesadaran. Tahapan apa yang harus dijalani? Mengapa tindakan pertolongan dan penanganan pertama itu penting?

Sekilas hal-hal tersebutlah yang dipelajari Empat Staf dari Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam pelatihan berjudul Pelatihan Penanganan Pertama Terhadap Orang Sakit pada 30 November 2022 di Auditorium FPSB UII. Empat Staf itu adalah Zarkoni, Gunawan Iskandar, Yudi Winarto, dan Putri Asriyani. Pada kesempatan itu bertindak sebagai pembicara adalah Dr. Gesit Purnama Giana Deta., Sp. THT.KL dari Fakultas Kedokteran UII. Tim Bantuan Kesehatan Mahasiswa juga hadir membantu jalannya materi pelatihan kali itu.

Dr. Gesit mengatakan, pertama-tama jika ada menemukan orang yang pingsan, maka harus dikenali dulu apakah ia nadinya masih berdetak normal atau tidak. Hal ini seperti dituturkan Gunawan Iskandar, salah satu Staf Prodi Komunikasi UII, yang jadi salah satu peserta pelatihan itu. Detak nadi yang normal punya ketentuan tertentu. Jika nadi atau nafas tidak ditemukan, barulah penolong bisa melakukan tindakan resusitasi jantung atau biasa dikenal dengan istilah CPR di bagian dada. Fungsinya untuk mengejutkan atau resusitasi kejut jantung sebagai pertolongan gawat darurat sembari menunggu tim medis datang. Itu dilakukan hingga nafas muncul kembali.

Di lain pihak, jika penolong menemukan orang yang jatuh dan ada dugaan patah tulang, pastikan jangan mengangkat atau menggendongnyaa hingga tim medis datang. Keadaan tersebut dilakukan bukan tanpa perhitungan, melainkan karena menghindari trauma atau luka lanjutan pada titik yang diduga patah tulang karena salah angkat. Jikapun harus diangkat karena mendesak, ia harus diangkat oleh enam orang di posisi-posisi bagian tubuh tertentu sehingga seimbang dan bagian tubuh yang diduga patah tetap aman.

dr. Gesit juga menjelaskan juga mempraktikkan CPR dan juga melatih penanganan jika ada orang tersedak makanan sehingga jalur nafas tersumbat. Si penolong bisa melonggarkan jalan napas tenggorok atau dada dengan menggendong terntentu seperti menggendong atau angkat dari belakang. Namun penggambaran tulisan ini tidak bisa akurat memberi penjelasan itu karena bukan sebagai panduan kesehatan.

Di akhir penjelasan, Gunawan berharap, pelatihan serupa bisa dilakukan rutin dan bisa diakukan juga untuk staf-staf lain yang belum ikut. Menurutnya ini penting karena tak jarang staf dan sivitas akademika lain di UII mengalami atau menghadapi hal darurat dalam hal kesehatan seperti ini.

Indonesia’s many natural potentials, both natural and artificial tourism, are an attraction for anyone to see and visit. Not only tourists but also photographers who record and show it to the world. Many of these extraordinary natural beauties are untouched and have yet to be enjoyed by many people.

Some of the points above are Fathur Hidayanto’s reasons for making a photographic work to fulfill his Final Project at the end of his study period at the Department of Communication at the Universitas Islam Indonesia (UII). The results of his work and creative process were appreciated by the Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA) Nadim Communication Department at UII. Fathur Hidayanto was invited to share his innovative approach to finally complete the “Portrait of the Enchantment of Indonesia’s Hidden Gems in landscape photography in Yogyakarta”. The discussion was held online on Thursday, November 17, 2022.

Apart from being personally amazed at photographing nature’s beauty, Fathur, a 2019 batch of UII Communications students, was also encouraged by his enthusiasm to advance Small and Micro Entrepreneuship/ SME (UMKM) and Yogyakarta’s tourism industry. “The choice of the landscape is also appropriate to contribute to advancing Jogjakarta’s  tourism and SMEs in the surrounding community,” said Fathur when presenting his journey to work on his final project.

Three Important Stages of Final Assignment

Fathur said three important stages need to be carried out in working on this type of Final Assignment/Thesis. First, Fathur had to make a plan called pre-production. Then carry out the planning in the production period. Next, Fathur didn’t just stop there. After the photo shoot during the production period, he also carried out several post-production processes.

In the pre-production period, said Fathur, photographers can make preliminary observations of which areas, spots, or points they want to take the pictures. After that, based on the observational data, students can immediately create concepts, routes, route planning, financing, and choosing and determining the right cameras and tools for the production process.

Whereas in the next stage, during the production period, the photographer can already carry out the previous plan. Photographers can immediately execute by taking photos of landscape documentation at location that have been previously observed. This shooting also considers the angle/point of view and time (morning, afternoon, or evening), including estimating the right and supportive natural light.

After the photographer has finished executing the planned photos on location, the next stage is post-production. At this stage, according to Fathur, students who will be doing their final project can determine what final result or output they will choose. For Fathur, he decided the result of his work to be an offline photo exhibition and book publication. Fathur said this process costs up to one million rupiahs.