Reading Time: 2 minutes

Tema foto cerita tentang Islam kini lebih mudah diangkat. Selain tema tersebut cukup universal, subjek yang diambil untuk
subjek foto cerita cukup banyak ditemui karena mayoritas warga Indonesia adalah muslim dengan beragam latar belakang. Baik mahasiswa, laki perempuan, bisa tak punya kesulitan merangkai cerita lewat rana dan lensa menjadi sebuah foto cerita.

“Pertumbuhan Islam di Nusantara juga signifikan baik yang terjadi di kota-kota besar ataupun di desa-desa membuat kemudahan mengambil isu Islam dalam foto cerita semakin tinggi,” kata Boy T. Harjanto, fotografer dari EPA (European Press Agency) Photo, yang menjadi pembicara utama dalam Diskusi dan Pameran Foto Cerita Doc-Camp 2022 hasil kerjasama Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif Nadim Komunikasi UII dan Klik18. Boy melihat pameran foto dengan mengangkat tema islam saat ini sangat mudah diambil karena selain universal juga ragamnya berlimpah.

Pada kesempatan ini, pada 20 September 2022, Boy didapuk oleh panitia Doc-Camp 2022, menjadi pembedah 12 karya foto cerita para fotografer dari mahasiswa se-UII. Menurut Boy, dari aspek fotografi, 7 tema foto cerita dari peserta Doc-Camp awal ini, punya kesempatan menemukan momentum dan peristiwa foto lebih fleksibel dan lebih bisa mengeksplorasi foto. “Peserta Doc-Camp 2019 punya waktu agak panjang, sehingga sangat memungkinkan peserta untuk melakukan produksi pengulangan foto yang lebih baik ketimbang peserta Doc-Camp 2022,” kata Boy menilai dari aspek fotografis.

Sedangkan peserta Doc-Camp 2022 mengalami keterbatasan waktu dan padatnya jadwal kuliah dan kepanitiaan kampus
mengakibatkan mereka kesulitan mengambil foto ulang. Meskipun sebenarnya masa hunting juga memasuki masa libur ujian, tak sepenuhnya tiap tim punya kesempatan untuk mengambil foto ulang sehingga sulit mendapatkan foto lebih baik.

Menurut Boy, foto-foto cerita para peserta ini, dari segi pengambilan foto, secara teknik dasar pengambilan foto sudah cukup baik, “meski masih ada beberapa kesalahan teknis, seperti kurang fokus dan ada yang under dan over exposure,” tambah Boy.

Acara Diskusi ini dihadiri oleh puluhan peserta. Baik dari komunitas mahasiswa dan klub di UII, hingga beberapa komunitas foto dan penikmat foto dari luar UII. Selain diskusi, pameran foto juga telah diadakan dari 20-23 September 2022 dengan 12 tema foto dan lebih dari 150 pigura foto yang dipamerkan di Perpustakaan UII yang berlatar Candi Kimpulan. Pengunjung pameran foto tercatat lebih dari 300 peserta baik dari dalam dan luar UII, misalnya dari Unriyo Yogyakarta, Fotka, Lens Club Sanata Dharma, Komunitas foto mahasiswa Semarang, dan lain-lain.

Reading Time: < 1 minute

Halo, Kami mengundang seluruh mahasiswa Komunikasi UII, terutama di peminata Jurnalistik, Media Kreatif, dan Kajian Media, Silakan hadir pada kesempatan istimewa diskusi soal berbagi pengalaman liputan jurnalis di wilayah perang. Acara tersebut bisa dilihat pada detil seperti sebagai berikut:

Judul:

Berbagi Cerita bersama Wartawan Kompas di Komunikasi UII: Liputan Perang di Ukraina

Kamis, 15 September 2022

Pukul 09.00-11.00 WIB

Jadwal:

Mini Theatre (RAV/ Ruang Audio Visual)

Lantai 3, Gedung Unit 18, Komunikasi UII (Seberang Gedung Rektorat UII)

Pembicara:

Harry Susilo (Wartawan KOMPAS)

Moderator:

Dr. rer. soc. Masduki (Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII)

Reading Time: < 1 minute

Mari ikuti Remaja Berdaya dengan Media – Training of Trainer untuk Mahasiswa Komunikasi UII. Mahasiswa Komunikasi di UII silakan mendaftar untuk menjadi peserta pelatihan menjadi trainer. Mahasiswa akan menjadi berlatih menjadi fasilitator pemberdayaan komunitas.

Mahasiswa akan mendapatkan Beberapa manfaat mengikuti kegiatan ini. Pertama, misalnya adalah 30 peserta terpilih akan mengikuti pelatihan di Kampus, Prodi Ilmu Komunikasi UII, secara gratis. Jumlah hari pelatihan berlangsung 4 hari bersama pemateri yang disediakan oleh Prodi Komunikasi UII.

Kedua, 10 peserta akan diseleksi untuk mengikuti kegiatan selama 10 hari di Sekon, Timor Tengah, Utara NTT. Seluruh akomodasi, konsumsi, dan transportasi lokal (kecuali tiket pesawat PP) akan ditanggung oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Silakan mendaftar ke tautan berikut:

 

INfo lebih lanjut silakan lihat keterangan dalam gambar di tautan ini

 

 

 

Reading Time: < 1 minute

Pengumuman untuk seluruh mahasiswa Ilmu Komunikasi UII
Yukk ramaikan acara ini🥳

Jadwal

Hari, tanggal: Kamis, 1 Sept 2022
Pukul: 10:00 WIB – Selesai
Tempat: Mini Theatre Ilmu Komunikasi UII

Konfirmasi kehadiran:
https://bit.ly/RegistrasiKuliahPakarKerelawanan

Reading Time: 3 minutes

            Survei bertajuk Reuters Institute Digital News Report 2022 yang dirilis Juni tahun ini kembali menempatkan TVRI sebagai tiga besar media yang paling mendapat kepercayaan publik (brand trusted score) di Indonesia. Tahun 2021 hal serupa juga diraih televisi publik ini, dimana TVRI berada di bawah CNN dan Kompas. Survei ini menarik di tengah krisis informasi berkualitas di Indonesia pasca serbuan disinformasi, ujaran kebencian dan tingginya harapan publik akan berita yang baik menjelang kontestasi pemilihan Presiden tahun 2024. Pada klaster media penyiaran yang paling dicari publik untuk mengakses informasi, TVRI berada di posisi 9, di bawah puluhan televisi nasional seperti TVOne, Kompas, Metro, SCTV dan Indosiar. Bagaimana memahami dan memberi makna serta merawat posisi ini, di tengah serbuan konten jurnalisme berbasis platform digital?

Hasil survei di atas memberikan impresi positif bahwa TVRI menjadi media yang diharapkan publik mengambil peran strategis saluran informasi. Brand TVRI sudah cukup kuat sebagai saluran informasi pembangunan di masa Orde Baru, tetapi lemah pada informasi publik yang kritis di masa kini. Sebagai televisi yang legendaris, tertua di banding televisi dan media jurnalisme lain, popularitas TVRI kuat dalam kerangka brand historis, bukan brand aktual. Kepercayaan publik ini dapat menjadi modal membenahi tata kelola redaksi TVRI menuju media berita terdepan. Pilpres 2024 nanti akan menguji TVRI apakah bisa menjadi saluran berita yang mendalam, mencerdaskan, tidak partisan.

Merujuk hasil survei Reuters, suatu brand media yang kuat, tidak berkorelasi dengan loyalitas konsumsi atas produk dari media pemilik brand. Meski di posisi tiga besar, pilihan publik untuk mengakses informasi TVRI hanya di level 9. Artinya ada persoalan belum tersedianya informasi yang berkualitas, memadai dan sesuai kebutuhan publik. Dibanding Metro TV atau TVOne pada tahun 2019 dipersepsi partisan, posisi TVRI masih tertinggal. Sudah jamak diketahui, kekuatan LPP di Indonesia masih berbasis konten siaran budaya, olah raga atau informasi pembangunan. Ini bertolakbelakang dengan kekuatan LPP di berbagai negara seperti BBC dan ABC yang terpusat pada jurnalisme.

Dari sisi kelembagaan, memasuki tahun 2022, TVRI belum memiliki saluran khusus berita baik untuk layanan nasional apalagi internasional. Saluran TVRI nasional saat ini masih campur aduk, posisi produk berita cenderung masih marginal. Gagasan mendirikan insitusi TVRI World yang sempat mencuat tahun 2019 belum ada kabar lanjutan. Justru belakangan ini manajemen disibukkan oleh migrasi layanan teknologi siaran dari analog ke digital, yang sejatinya di berbagai negara lain diurus lembaga tersendiri.

Upaya merawat kepercayaan publik atas brand TVRI ini tidak hanya bisa dilakukan melalui siaran jurnalisme yang berkualitas. Merujuk norma dasar sebagai LPP, maka TVRI dapat menerapkan public engagement yang paripurna. Platform digital yang lebih terbuka dan atraktif seperti YouTube, Instagram, Tiktok, dll dapat menjadi ruang bagi diseminasi konten TVRI, agregasi layanan berita dari jalur konvensional, hingga menjalin kedekatan dengan publik secara digital. Konsep interactivity dan sociability harus menjadi pilihan melakukan perawatan kepercayaan, dengan cara membentuk direktorat khusus media digital. Jika tidak, TVRI bukan hanya akan tertinggal dalam konten berkualitas di media konvensional, tetapi kehilangan popularitas di media digital yang makin menggurita.

Beberapa tahun terakhir, TVRI mulai masuk ke platform digital dengan membuat aplikasi TVRIKlik, mengisi kanal YouTube, mengelola Instagram, mengembangkan layanan Vodcast, dll. Namun strategi yang dipilih masih satu arah, yaitu dari TVRI untuk publik, interaksi dalam kolom komentar, aktivasi diskusi digital terkait isu tertentu belum dibangun. Lebih jauh yang dibutuhkan TVRI sejatinya adalah gambaran empiris perilaku dan kebutuhan pemirsa dalam jangka panjang. Data ini hanya dapat diperoleh melalui penguatan kinerja riset dan pengembangan siaran di internal TVRI. Gambaran profil pemirsa yang memadai akan membantu TVRI menjaga kedekatan publik dan pilihan layanan informasi yang tepat, sebagai prakondisi dalam menjaga kepercayaan publik. Riset dan audit kebutuhan publik wajib secara rutin dilakukan, baik oleh TVRI sendiri  atau berkolaborasi.

 

Penulis: Masduki

Dosen Ilmu Komunikasi UII, Pendiri Rumah Perubahan LPP (Lembaga Penyiaran Publik)

===========================================

Artikel ini terbit pertama kali di Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta pada 24 Agustus 2022. Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

Reading Time: 5 minutes
Dr. Rer. Soc. Masduki, lecturer at the Department of Communications, Universitas Islam, Indonesia and former Programme Director of Radio Republik Indonesia (RRI).
12th April 2022
This year marks 20 years since public radio was established in Indonesia. To date, Radio Republik Indonesia (RRI) remains the only public radio broadcaster in the country. But ongoing governance and independence issues have presented themselves as key barriers to it being a truly independent, public media organisation. With a new director and supervisory board recently elected, this insight by Masduki provides an analysis of RRI’s ongoing issues, and explores the potential solutions that new leadership could consider to reform the organisation and protect the future of public radio in Indonesia.

For the fourth time since its establishment as a public service radio in 2002, RRI, as the sole public radio in Indonesia, has elected new directors. The election process was in November 2021, with the elected directors starting work since early January 2022. Veteran radio journalist, political survey practitioner and social activist, Ignatius Hendrasmo, was elected to lead RRI until 2026. This report discusses the points that can be noted from this new five-year management reform for the journey of RRI as a national broadcaster in the post-authoritarian Indonesian media system.

Two decades of public media in Indonesia

The public service broadcasting (PSB) system in Indonesia differs from most public broadcasting in Europe, which is the birthplace of this system. Indonesia only started adopting the PSB system in 2002, with three main operators: RRI for radio, TVRI for television and local provincial and/or sub-provisional PSBs (LPPLs). They are separate media institutions previously owned by national and local governments. Among all broadcasters, RRI is the oldest national broadcaster, established on 11 September 1945. The majority of its broadcasters were government employees. The main funding for this media, since its establishment, is the annual state budget (called APBN).

The supervisory board does not function as a barrier to political intervention, but becomes an extension of politicians’ interests instead.

The change in RRI’s legal status from a government owned radio organisation to a public radio organisation in 2002 did not directly alter its work culture and its overall governance. While political intervention no longer occurs in its content production, the budget plan and distribution as well as selection of its top structure members remain in the hands of political authorities. RRI has two high level structures: a supervisory board and a board of directors, which are elected every five years. The supervisory board is legally elected by parliament on behalf of the citizens, while the board of directors is elected by the supervisory. This two-room model is formally in line with many other public broadcasters throughout the world, such as the BBC and NHK. However, they experienced a different journey here in Indonesia. The supervisory board does not function as a barrier to political intervention, but becomes an extension of politicians’ interests instead.

New leadership: ongoing politicisation

The election of a new board of directors at the end of 2021 provides an ideal reference to indicate the ongoing politicisation of RRI. By observing various coverage of the election in the last six months, there are three relevant issues to unpick.

First, there was a continued external intervention of the supervisory board in July 2021, which led to the politicisation of the directors’ election in December 2021. The elected members of the supervisory board who are considered informally affiliated with certain political parties influenced their appointment of the RRI Director. This intervention is legally supported by the Broadcasting Law No. 32/2002, the regulation which established RRI as a public radio organisation, that gives full mandate to the parliament to elect the board through two stages, involving the government and the parliament. Initially, politicians assign the government – not an independent institution – to recruit applicants in an open and competitive manner, then 15 selected names are submitted to parliament. Such politicisation not only results in the weak autonomy that the supervisory and executive boards wield, but it also minimises RRI’s latitude to have public representatives in its management structure.

Second, there was an ‘elite model’ of selection mechanism. Instead of forming a large number and varied membership of selection team, the Minister of Communication and Informatics created a small team only consisting of its senior staff and academics. There was no representative from civil societies and/or larger public institutions.

Third, given the open and competitive nature of the election, culture-based representatives or representatives of various communities, professionals in broadcasting and the diversity of public interests do not apply. This is because, in contrast to the selection model for the top public radio board in Germany, the selection model for the supervisory board and board of directors of RRI in Indonesia, referring to Law no. 32/2002, adheres to the competitive representation model. This model attracts members to come from open selection without specific affirmation given by certain groups such as women or from the disabled community. The open competitive model may open up competition without discrimination on the one hand, but risks having figures who only have clientelist affiliations with government officials and/or politicians being selected. As a result, the board members work only to serve the interests of their political allies, instead of universal public aspirations.

The recent optimism for RRI as a public radio that excels in digital services to serve the interests of citizens remains high amidst the financial crisis.

Government decree no. 12 and 13 of 2005 legally allows three kinds of supervisory membership: the government, RRI and the public. Yet, in practice, the composition of the supervisory and executive boards of RRI in the past 15 years have been dominated by representatives of RRI – among 5 members of the board, the public based commissioner is a minority (typically one person from the public). The rest are from RRI and/or government official. The lack of public representation has resulted in a conflict among the elites between RRI, the government and politicians, without considerable public involvement.

Hope for independent public radio in the future?

The recent optimism for RRI as a public radio that excels in digital services to serve the interests of citizens remains high amidst the financial crisis facing commercial broadcasters and the politicisation of social media in Indonesia. For this reason, apart from focusing on internal consolidation, challenges for the new directors include advocating for changes to broadcasting policies and forming audience councils – and therefore increasing public participation – in all provinces throughout Indonesia. Given the lessons learned from the recent election of the RRI supervisory and executive boards in 2021, an assessment of the selection mechanism is also needed. The German model, wherein members of the boards are a mix of professionals, socio-religious figures, political parties, etc., could be considered. It is necessary to emphasise that RRI is a social rather a political institution, so that RRI can be free from politicisation. The new RRI boards should also intensively forge alliances with media advocates at national and international levels to push the Indonesian parliament’s plan to revise the Broadcast Law so that it is in line with the ideal interests described above.

===============================

This article was first published in Public Media Alliance. Read the source article. This article has been republished for educational purposes within the “Communication on Media” Rubric: Department of Communications mediated in Mass Media content.

Reading Time: < 1 minute

Undangan Sosialisasi

Bidang Minat Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi

Acara ini adalah sosialisasi mengenalkan bidang minat atau konsentrasi bidang minat studi untuk Mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2020. Bidang minat yang dimaksud adalah pilihan bidang minat atau konsentrasi studi Jurnalisme dan Penyiaran, Kajian Media, Media Kreatif, dan Public Relation. Bidang minat ini penting untuk dipilih baik untuk mahasiswa kelas International Program maupun Kelas Reguler. Acara akan diadakan pada:

Jumat, 19 Agustus 2022
08.30-Selesai
Zoom Meeting

Acara ini bersifat wajib

Reading Time: 3 minutes

Bulan Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional di Indonesia (diperingati setiap tanggal 9 Februari). Berkaitan dengan sepakbola, bagaimana dengan kiprah jurnalis di lapangan hijau? Ternyata, masih ada beberapa cerita kelam yang tentu saja perlu untuk dicari solusinya demi kebaikan sepakbola itu sendiri ke depannya.

Dalam kurun waktu dua tahun terakhir misalnya, terjadi sejumlah kekerasan terhadap jurnalis saat meliput sepakbola baik itu sebelum, saat, atau sesudah pertandingan. Dari upaya penelusuran yang penulis lakukan, berikut beberapa peristiwa kekerasan dalam kurun waktu tahun 2018-2019. (Tentu saja daftar yang ada di tabel ini sangat terbuka untuk diberi masukan).


Dalam menjalankan tugasnya, jurnalis Indonesia dilindungi oleh Undang-Undang (UU) Pers dan terdapat ancaman sanksi kepada mereka yang menghalangi para insan pers untuk memperoleh informasi. Selengkapnya baca di sini.

Sekarang kita coba menengok bagaimana aturan memperlakukan media yang berkaitan dengan sepakbola Indonesia. Misalnya Regulasi Liga 2 (2017) dan Liga 1 (2017), yang diunduh dari laman resmi PSSI, terdapat pasal yang mengatur tentang Keamanan dan Kenyamanan (termasuk kepada media), Akses Media, dan Akreditasi Media serta sanksi denda uang untuk setiap pelanggaran terhadap ayat-ayat yang ada di pasal-pasal tersebut.

Artinya dari segi aturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kompetisi, pengelola kompetisi sudah mewajibkan klub tuan rumah untuk memberikan akses dan kenyamanan kepada media. Namun sayang sekali hal tersebut masih sebatas aturan semata.

Semua Pihak Perlu Berbenah
Dalam laporan akhir tahun 2018 Aliansi Jurnalis Independen (AJI), kekerasan terhadap jurnalis yang sering terjadi adalah kekerasan fisik berupa pemukulan, penamparan, pengusiran, pelarangan liputan, ancaman, perusakan alat dan atau hasil liputan, serta pemidanaan.

Selain itu juga muncul jenis kekerasan baru yakni persekusi secara daring, yakni pihak-pihak yang tidak terima dengan sebuah pemberitaan kemudian melacak dan membongkar identitas jurnalis yang menulis berita tersebut dan menyebarkannya di media sosial untuk tujuan negatif. Kalian bisa membaca laporan terkait hal itu di sini.

Penulis berpandangan bahwa ada hambatan, ada kendala dari jurnalis atau media tempat dia bekerja untuk menuntaskan kasus sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam konteks sepakbola, tulisan Fajar Rahman dalam buku Sepakbola 2.0 (2018, hal.152-155) memaparkan fakta menarik yaitu, “Jurnalis media massa terkadang enggan dan segan untuk melakukan investigasi lanjutan terhadap satu kasus di sepakbola karena khawatir kehilangan akses liputan”.

Kata kunci di sini adalah “akses liputan”. Hal ini tentu berkaitan dengan segala kejadian yang ada di sebuah laga (terlebih yang memunculkan kerusuhan) maupun bidang sepakbola secara keseluruhan. Mungkinkah media khawatir kehilangan akses ke narasumber, informasi, jika mereka meneruskan liputan perihal kasus tersebut?

Sebagai penutup, penulis berpandangan kebebasan pers merupakan hal yang perlu diwujudkan dalam semua bidang, termasuk di sepakbola. Jurnalis perlu diberikan akses yang selayaknya dalam meliput karena apa yang mereka kerjakan adalah untuk kepentingan publik.

Ketika kamera mereka merekam sesuatu yang terjadi di lapangan, sekali pun itu kejadian minor, mereka melakukan untuk memenuhi hak publik atas informasi, bukan orang yang asal memviralkan sesuatu.
Untuk mewujudkan hal tersebut, tentu butuh kerja sama dari berbagai pihak.

Pengurus klub harus memahami bahwa dalam bertugas, jurnalis dilindungi undang-undang. Pun begitu dengan aparat keamanan yang selalu ada di sebuah pertandingan. Tentu saja, jurnalis bukan manusia suci yang bebas dari kesalahan dalam melakukan liputan.

Bagi narasumber yang merasa dikecewakan dengan hasil liputan, ada mekanisme hak jawab hingga mengadu ke Dewan Pers. Sebuah mekanisme yang lebih baik dibandingkan dengan membatasi akses liputan, melakukan kekerasan atau persekusi. Pengurus klub juga perlu menggandeng dan memberikan edukasi kepada organisasi-organisasi suporter tentang tugas dan fungsi jurnalis.

Kepada media massa, sebaiknya memfasilitasi para jurnalis untuk mengadukan, melaporkan kasus pelanggaran kebebasan pers yang mereka alami, ke ranah hukum sesuai dengan regulasi yang berlaku. Kemudian untuk Dewan Pers selaku regulator (yang menegakkan aturan) juga dapat membenahi sistem pengaduan masyarakat supaya kerja pers menjadi lebih cepat lagi.

Dalam buku Ironi Eksistensi Regulator Media di Era Demokrasi (2011, hal.44-47) proses penyelesaian di Dewan Pers dikritik karena memakan waktu yang lama, sehingga orang-orang yang merasa dirugikan cenderung menempuh jalan lain (menggunakan pasal pidana pencemaran nama baik atau melakukan kekerasan) guna menyelesaikan persoalan.

Narayana Mahendra Prastya

Pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia. Dapat dihubungi di email: [email protected].

=========================

Artikel ini terbit pertama kali di Fandom.id. Baca artikel sumber. Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

 

Reading Time: 2 minutes

It is still common for journals to be managed in a haphazard manner in Indonesia. This haphazard pattern often results in messy management and scheduling. These are things that hinder a journal from being indexed by Scopus.

The Webinar on International Journal Management towards Scopus Indexation held by the Faculty of Mathematics and Natural Sciences (FMIPA) UII explained and detailed how to achieve the Scopus Index for journals at UII. The webinar, held on August 13, 2022, was presented by Rozi, S. Pi., M. Biotech, a Manager Editor at the Journal of Fisheries and Marine, which Scopus and Sinta 1 have indexed.

Pambudi and Zarkoni, managers of the Journal of Communication and the Asian Journal of Media and Communication (AJMC) of Communication Sciences at the Islamic University of Indonesia (UII), participated in this webinar to increase the chances of AJMC and UII Communication Journals being indexed by Scopus. In this webinar, Rozi gave an overview of how he manages his journal and provided strategies for penetrating Scopus indexation.

To be indexed by Scopus, Indonesian journals are still facing a steep road. But, of course, it can be done if there is a strong commitment among the management team. Rozi gave three criteria and strategies to get journals indexed by Scopus. The three criteria are non-technical criteria, non-technical criteria, and fulfillment of the minimum requirements needed.

Non-technical criteria

Non-technical criteria are criteria that a journal must have but are non-technical. For example, the mindset of journal managers about Scopus-indexed journals. Second is the commitment of journal managers. After a strong commitment between managers, it must also be supported by a solid team, awareness, and the same target, namely Scopus. Having this mindset, commitment, and a solid team must also be supported by regular meetings to manage the target according to the timeline.

Technical criteria

In addition to non-technical criteria, journals that want to be indexed by Scopus must also fulfill various technical criteria, such as:

1) Having diverse editors, reviewers, and authors from various countries
2) Organizing international conferences.
3) Updating the journal through social media communities and seminars
4) Collaboration of authors in journal articles
5) Modifying journal policies on journals in the same field

Meeting the Minimum Requirements

The strategy criteria that Rozi conveyed was fulfilling the minimum requirements to be indexed by Scopus. The first minimum requirement is to fulfill the 16 Best Practice principles desired by the Directory of Open Access Journals (DOAJ) in scientific research. And the second is to meet the requirements above 90% Pre-evaluation of Scopus Submission. In the Webinar on International Journal Management towards Scopus Indexation held by the Faculty of Mathematics and Natural Sciences (FMIPA) UII, Rozi provided many other strategies related to Scopus indexation. She gave an overview of how he runs several journals that he manages. More complete videos of the webinar can be seen at the following link.

Reading Time: 2 minutes

Masih jamak pengelolaan jurnal yang dikelola secara serabutan di Indonesia. Pola serabutan ini sering kali berimbas pada pengeloaan dan penjadwalan berantakan. Hal ini tentu saja adalah hal-hal yang menghambat sebuah jurnal untuk terindeks scopus.

Pada Webinar Pengelolaan Jurnal Internasional menuju Indeksasi Scopus yang diadakan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII hal itu dijelaskan dan dirinci bagaimana meraih Indeks Scopus untuk jurnal di UII. Webinar yang dilaksanakan pada 13 Agustus 2022 tersebut mengadirkan Rozi, S. Pi., M. Biotech, seorang Manager Editor di Journal of Fisheries and Marine yang sudah terindeks Scopus dan Sinta 1.

Pambudi dan Zarkoni, pengelola Jurnal Komunikasi dan Asian Journal of Media and Communication (AJMC) Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) mengikuti webinar ini untuk meningkatkan peluang AJMC dan Jurnal Komunikasi UII terindeks Scopus. Dalam webinar ini, Rozi banyak memberikan gambaran bagaimana ia mengelola jurnalnya sekaligus memberikan strategi tentang bagaiamana menembus indeksasi scopus.

Untuk terindeks Scopus, jurnal Indonesia saat ini masih menemui jalan yang terjal sekali. Tapi, tentu saja bisa diupayakan ketika memiliki komitmen yang kuat di antara para tim pengelola. Rozi memberikan tiga kriteria dan strategi untuk menuju jurnal dengan indeksasi scopus. Tiga kriteria tersebut adalah Kriteria non Teknikal, non teknikal, dan pemenuhan syarat minimum yang dibutuhkan.

Kriteria non teknikal

Kriteria non teknikal adalah kriteria yang harus dimiliki sebuah jurnal tetapi bersifat non teknis. Contohnya  seperti mindset atau pola pikir antar pengelola tentang jurnal terindeks scopus. Kedua, adalah komitmen para pengelola jurnal. Setelah komitmen yang kuat antar pengelola, juga harus ditunjang dengan tim yang solid, memiliki awareness, serta memiliki target yang sama yakni scopus. Memiliki mindset, komitmen, dan tim yang solid ini juga harus ditopang dengan melakukan rapat rutin agar target terkelola sesuai timeline.

Kriteria teknikal

Selain kriteria non teknis, jurnal yang ingin terindeks scopus juga harus memenuhi beragam kriteria teknis seperti:

1) Memiliki Editor, reviewer, dan penulis yang beragam dari berbagai negara
2) Mengadakan konferensi International.
3) Melakukan update Jurnal memalui komunitas media sosial dan seminar
4) Adanya kolaborasi penulis dalam artikel jurnal
5) Memodifikasi kebijakan jurnal pada jurnal yang sebidang

Memenuhi Syarat Minimum

Kriteria Strategi yang sampaikan Rozi adalah keterpenuhan syarat minimun untuk terindeks scopus. Syarat minimun pertama adalah memenuhi 16 prinsip Best Practice yang dikehendaki DIrectory of Open Access Journal (DOAJ) pada penelitian ilmiah. Dan yang kedua adalah memenuhi syarat di atas 90% Pre-evaluation of Scopus Submission. Dalam Webinar Pengelolaan Jurnal Internasional menuju Indeksasi Scopus yang diadakan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII tersebut, Rozi banyak memberikan berbagai strategi lain terkait indeksasi scopus dan memberikan gambaran bagaimana ia menjalankan beberapa jurnal yang ia kelola. Lebih lengkapnya video webinar tersebut dapat di lihat di tautan berikut.