Reading Time: 4 minutes

 

Urban Light karya Chris Burden, Los Angeles County Museum of Art. Di Rabbit Town ada instalasi yang diduga meniru instalasi tersebut.
Terry Robinscon/Flickr, CC BY-SA

Holy Rafika Dhona, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Semenjak dibuka tanggal 23 Februari yang lalu, destinasi pariwisata di Bandung, Jawa Barat Rabbit Town memicu kontroversi. Destinasi wisata ini sejak awal mengaku sebagai objek wisata swafoto (selfie destination). Namun beberapa instalasi yang menjadi objek foto dalam Rabbit Town menjadi polemik.

Instalasi-instalasi tersebut diduga hasil plagiat karya seniman kondang luar negeri. Ada instalasi yang mirip Urban Light karya Chris Burden yang digelar di Los Angeles County Museum of Art di Amerika. Kemudian ada yang mirip instalasi seniman terkenal Jepang Yayoi Kusama yaitu Obliteration Room. Beberapa instalasi lainnya mirip instalasi di Museum of Ice Cream di Amerika.

Tuduhan plagiat itu diperbincangkan banyak orang dan menjadi viral di media sosial. Isu ini juga mendapat perhatian media, termasuk media luar negeri. Laporan media massa pada dasarnya menghujat keberadaan Rabbit Town yang dengan gampangnya meniru ide orang lain dan mengambil keuntungan dari sana.

Namun bagi saya, permasalahan utama dari Rabbit Town bukan masalah penjiplakan, tetapi bertemunya kebiasaan swafoto para wisatawan yang marak beberapa tahun belakangan dengan kepentingan pengelola wisata.

‘Plagiat’ dimana-mana

Perlu diketahui bahwa Rabbit Town bukan satu-satunya tempat wisata yang menjiplak ide orang lain. Jika anda mengetik “rumah hobbit” di situs pencarian Google, maka paling tidak ada tiga lokasi yang muncul selain aslinya yang di Selandia Baru. Di Indonesia, rumah hobbit juga muncul di Yogyakarta, di Tulungagung, Jawa Timur dan di Bandung, Jawa Barat.

Konsep destinasi pariwisata yang mengabaikan unsur otensitas juga marak. Contoh lain ada Floating Market di Lembang, Bandung yang menawarkan foto dengan pakaian Korea atau negara lainnya. Hal yang menarik adalah tempat-tempat ini tetap ramai dengan pengunjung. Mengapa demikian?

Mendefinisikan ulang ruang dan kegiatan berwisata.

Berpergian ke tempat wisata tidak lagi hanya masalah ruang. Dalam era digital, teknologi komunikasi memiliki peran penting dalam mendefinisikan ulang ruang dan kegiatan berwisata. Ahli sosiologi asal Perancis Henri Lefebvre mengatakan ruang didefinisikan juga oleh praktiknya. Andre Jansson, ahli komunikasi geografi dari Karlstad University, menyatakan bahwa logika media kemudian ikut mendefinisikan praktik atas ruang. Plesir bukan lagi masalah mencari pengalaman otentik di sebuah tempat tapi juga mengambil foto, mengunggahnya di sosial media untuk pencarian pengakuan.

Contohnya, jika dulu orang datang ke Kotagede, Yogyakarta untuk menyambangi makam pendiri Mataram atau membeli kerajinan perak. Praktik itu kini bertambah atau mungkin berubah. Banyak orang yang menyengaja datang ke Kotagede tidak lagi untuk mengunjungi makam Panembahan Senapati, tetapi hanya untuk mengambil foto pintu dan jendela lawas dari rumah-rumah kuno yang ada di sana. Setelah itu, mereka mendistribusikannya di Instagram.

Contoh praktik ruang lain misalnya adalah kebiasaan kita berkunjung ke rumah makan. Kini kita pergi ke restoran tidak hanya untuk makan tapi juga mengambil foto dan mendistribusikannya via media sosial.

Degradasi pariwisata oleh budaya selfie?

Banyak orang mengatakan bahwa kasus Rabbit Town adalah manifestasi betapa rusaknya pariwisata Indonesia oleh budaya swafoto. Mereka beranggapan bahwa budaya swafoto mendegradasi tujuan-tujuan wisata.

Namun apakah benar budaya berfoto merupakan akar dari segala permasalahan pariwisata di Indonesia?

Ahli sosiologi asal Inggris John Urry mengatakan bahwa dari awal kegiatan berwisata adalah urusan tatapan. Ia mendefinisikan aktivitas wisata sebagai “kegiatan melihat pemandangan yang berbeda, panorama dan pemukiman kota yang tidak biasa.”

Masalahnya kemudian, lanjut Urry, cara turis melihat dan menonton tempat wisata tidaklah tunggal. Cara pandang mereka beragam tergantung kondisi masyarakat, kelompok sosial dan periode sejarah. Ketika teknologi komunikasi menyediakan kecepatan cara merekam (fotografi) dan mendistribusikannya (sosial media), bentuk tatapan wisatawan pun berubah. Berfoto atau ber-selfie di tempat pariwisata pada akhirnya dapat dibaca sebagai keniscayaan. Berfoto menjadi cara mereka memperluas cara pandang mereka yang menjadi ruh dalam wisata.

Dengan kata lain, budaya swafoto sebenarnya bukan hal yang mendegradasi tempat wisata tapi sebenarnya perluasan tatapan wisatawan. Budaya berfoto lahir dan manunggal dengan aktivitas wisata itu sendiri.

Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui alasan mengapa tempat wisata yang tidak otentik tetap diminati. Praktik tempat wisata tidak lagi menimbang otensitas, melainkan pengunjung menikmati tempat wisata dengan logika media; merekam dan kemudian mendistribusikan rekaman tersebut.

Menyambut era post-tourism

Dean MacCannel, sosiolog Amerika penulis buku klasik The Tourist juga mengingatkan bahwa keaslian di tempat wisata selalu merupakan keaslian yang dipanggungkan (staged authencity). Hal ini berlaku juga bagi destinasi yang mengklaim dirinya paling ‘asli’ sekalipun.

Panggung ini yang kemudian dimanfaatkan pebisnis tempat wisata dalam memproduksi tempat wisata. Mereka berusaha mencipta tempat wisata yang menarik dalam artian untuk direproduksi secara visual. Entah dengan cara berkreasi atau meniru objek lain yang sudah populer—seperti cara Rabbittown.

Cara lain adalah dengan membawa suatu objek atraksi yang bersifat global (rumah Hobbit) atau sebaliknya menjual objek atraksi yang bersifat lokal dan mereplikasinya. Pariwisata sendiri akhirnya menjadi kehilangan batas-batas definisinya atau yang dikenal dengan istilah post-tourism.

Tak salah jika Andre Jansson kemudian mengajak kita untuk berpikir ulang tentang post-tourism di era media sosial. Jansson menulis bahwa kuatnya pengaruh teknologi komunikasi membuat orang tak lagi mendefinisikan berwisata dan tempat wisata sebagaimana cara lama. Apapun asal dapat direkam dan disebarkan via sosial media, ia dapat menjadi objek wisata. Hal itulah yang barangkali sedang terjadi dalam pariwisata Indonesia, barangkali.The Conversation

Holy Rafika Dhona, Assistant lecturer, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

===========

Konten ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

Reading Time: 2 minutes

How is it analyzed using Foucault’s analysis? Is there a specific method, and how should Foucault’s analysis be used? How is the development of communication studies that use Foucault as an analytical knife?

These are some of the questions raised and discussed in the Book Review Series 2 by Perspektif ID on Political Criticism of Power: discourse, text, and identity held on July 24, 2022. Holy Rafika Dhona, a lecturer in Communication at UII, who was the sole speaker of the book, answered some of these questions. “If we are looking for a prototype of methodical Foucauldian analysis, we can start referring to two parties who are currently developing it,” said Holy, who is also currently developing the Geography Communication research cluster at UII Communication.

Holy continued, First, there is Arman Mattelart, “He is a Belgian who uses Foucault’s archaeology and genealogy to talk about communication. For example, how communication is defined, starting from the French revolution, enlightenment etc.” The second one, and the one that is probably now using Foucault, is the Toronto School. “The Toronto School is what updated Mcluhan because there was a lot of criticism of him. For example, people at the Toronto School are talking about using Foucault to see how technology is used as an instrument of surveillance, domination, etc.,” Holy explained in front of the audience and the author of the book Spectrum of Criticism of Communication Reason (from epistemology, democracy, and digital market determination) via Online.

Then how is the analysis using Foucault’s analysis? “Usually, the steps I take to analyze in a Foucauldian way inevitably have to use archaeology and genealogy,” Holy said.

This includes understanding the three main points of Foucault: knowledge, power, and subject. “At the same time, you have to look at the context. For example, when using Foucault’s ‘discipline’, the context was born when Foucault was active in j.i.p, an organization that dealt with prison information there,” Holy explained. “So if people want to analyze taking ‘discipline’ without reading the context, they will look Marxian rather than Foucauldian,” he added.

Reading Time: 2 minutes

Bagaimana sejatinya analisis dengan menggunakan analisis Foucault? Apakah ada metode khusus, dan bagaimana sebaiknya menggunakan analisis foucault sebenarnya. Bagaimana pula perkembangan studi komunikasi yang menggunakan foucoult sebagai pisau analisis?

Kira-kira sedemikian itulah beberapa pertanyaan yang mengemuka dan menjadi pembahasan dalam acara Bedah Buku Series 2 oleh Perspektif ID dengan topik Kritik Politik Kekuasaan: wacana, teks dan identitas yang diselenggarakan pada 24 Juli 2022. Holy Rafika Dhona, dosen Komunikasi UII, pembicara yang menjadi pembedah tunggal buku tersebut, menjawab beberapa pertanyaan itu. “Jika mencari prototype analisis Foucauldian yang metodis maka kita bisa mulai merujuk pada dua pihak yang kini sedang mengembangkannya,” kata Holy, yang kini juga sedang mengembangkan klaster riset Komunikasi Geografi di Komunikasi UII.

Holy melanjutkan, Pertama, ada Arman Mattelart, “Dia ini orang Belgia yang menggunakan arkelogi dan geneologi dari Foucault, untuk membicarakan soal komunikasi. Misalnya bagaimana komunikasi didefinisikan, bagaimana dia dimulai dari revolusi prancis, enligthment dll.” Lalu yang kedua, dan yang mungkin sekarang sedang ‘getol’ menggunakan Foucault, adalah Toronto School. “Toronto School inilah yang meng-update Mcluhan karena banyak kritik juga atasnya. Misalnya orang-orang di Toronto School ini dia membicarakan menggunakan Foucault untuk melihat bagaimana teknologi digunakan sebagai instrumen surveillance, dominasi dsb,” papar Holy di depan para hadirin dan penulis Buku Spektrum Kritik Nalar Komunikasi (dari epistemologi, demokrasi dan deteminasi pasar digital) via Daring.

Lalu bagaimana analisis dengan menggunakan analisis Foucoult itu? “Biasanya langkah yang saya lakukan untuk menganalisis dengan cara foucoldian ya mau tidak mau harus pakai arkeologi dan geneologi,” kata Holy kemudian.

Termasuk harus mengerti tiga hal utama dari Founcault: knowledge, power, dan subject. “Sekaligus harus lihat konteks. Misalnya ketika menggunakan ‘disiplin’-nya Foucault, itu konteksnya lahir ketika Foucault aktif di j.i.p, sebuah organisasi yang berurusan dengan informasi penjara di sana,” jelas Holy. “Jadi kalau orang mau menganalisis ambil “disiplin” tanpa baca konteksnya, dia akan jadi tampak marxian, ketimbang Foucouldian,” tambahnya.

Reading Time: 3 minutes

Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D

Pertama, saya ingin memberikan selamat kepada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia yang terus menjaga dedikasikan dalam menyelenggarakan the 6th Conference on Communication, Culture, and Media Studies (CCCMS 2022) ini, mulai enam tahun lalu.

Konferensi sangat penting untuk mempresentasikan temuan-temuan penting riset dan menguatkan komunitas akademik. Bagi saya, konferensi merupakan ritual akademik yang akan menguatkan eksistensi sebuah disiplin.

Tema yang diangkat dalam CCMS 2022 ini, visualizing the crisis, bagi saya,  sangat penting dan menarik. Dua kata kuncinya, visualisasi dan krisis, sangat relevan untuk saat ini.

Kini, visualisasi data sudah menjadi bagian keseharaian kita dalam mengosumsi informasi. Kita mengosumsi informasi dari visualisasi yang muncul di beragam media, termasuk koran/majalah, televisi, dan Internet.

Sudah lama dipercaya bahwa kita akan mencerna informasi lebih cepat jika ditayangkan dalam bentuk visual dan kita akan cenderung mengingatkan lebih lama. Visualisasi seakan sudah menjadi mantra baru dalam presentasi data.

 Dalam sambutan pembuka ringkas ini, saya ingin mengundang untuk memberikan perhatian kepada sisi lain visualisasi. Seperti halnya teknologi yang lain, visualisasi juga hadir dengan sisi baik dan buruknya. Seringkali, sebagian besar perhatian kita berikan kepada sisi positifnya. Kali ini, saya ingin mengajak untuk menengok sisi negatifnya.

Tentu, ini bukan untuk menyebar pesimisme, tetapi justru saya ingin memberikan ajakan untuk menghindari jebakan berpikir naif, dan di saat yang sama, melengkapi cerita visualisasi menjadi lebih utuh.

 

Kecohan visualisasi

Ada beberapa kecohan (fallacies) dalam interpretasi terhadap visualisasi data. Mari kita ambil sebuah contoh.

Silakan amati peta dunia dua dimensi. Bandingkan ukuran benua Australia yang terletak di sisi kanan bawah peta, dan pulau Greenland, bagian negara Denmark, yang terletak di sisi kiri atas peta.

Berdasar amatan visual, tampaknya tidak sulit untuk bersepakat jika ukuran Greenland tiga kali lebih besar dibandingkan dengan Australia. Tetapi fakta di lapangan tidak demikian halnya. Faktanya justru sebaliknya. Ukuran Australia lebih besat tidak kali lipat dibandingkan dengan Greenland.

Mengapa demikian? Sebagian dari kita mungkin lupa jika proyeksi Mercator dalam menjadikan peta di atas globe menjadi dua dimensi telah menjadikan wilayah yang mendekati kutub menjadi tergambar lebih besar. Sementara itu, wilayah yang berada di sepanjang garis khatulistiwa berukuran proporsional. Negara-negara Eropa, misalnya menjadi terlihat lebih besar.

Tanpa pemahaman yang baik soal beragam proyeksi dalam membuat peta dua dimensi, maka kita sangat mungkin menjadi “salah” dalam membaca peta dunia.

Sebagai sebuah artefak visual, peta dapat menjadi senjata imperialisme, seperti halnya senjata dan kapal perang. Ketika peta digunakan untuk mendukung kolonialisme, dan wilayah jajahan diklaim di atas dahulu sebelum betul-betul ditaklukkan, maka peta telah mendahului imperium, wilayah kekuasaan. Peta, karenanya, mempunyai hubungan yang kuat dengan pengetahuan, yang akhirnya dengan kekuasaan. Inilah kekuatan visualisasi.

 

Manipulasi persepsi

Dalam visualisasi, persepsi kita dapat dimanipulasi dengan beragam cara, termasuk misalnya, mengabaikan nilai basis dan memanipulasi sumbu y dalam diagram kartesian,  menggunakan diagram yang salah, dan memilih data secara selektif dengan pertimbangan tertentu.

Sebagai contoh, perbedaan kedua seri data menjadi tidak berbeda ketika diagram batang hanya diambil puncaknya dan menjadikan sumbu y tidak mulai dari angka nol. Atau, kecenderungan data yang menurun bisa diubah menjadi menaik hanya dengan memilih beberapa titik data yang menguntungkan. Semuanya bisa mengarah kepada interpretasi yang salah.

Kita bisa jadi merasa kesulitan membayangkan visualisasi paragraf di atas. Ini sekaligus menjadi bukti kekuatan visualisasi yang tidak mudah digantikan dengan teks.

Karenanya, selain dapat membantu kita dalam memahami informasi dengan lebih baik, kita harus sadar bahwa visualisasi, di saat yang sama, juga bisa digunakan sebagai kakas atau alat bantu untuk kebohongan melalui manipulasi persepsi.

Jangan-jangan, tanpa sadar, kita juga sering membuat interpretasi yang salah dari visualisasi data, yang dibuat baik tanpa pengetahuan yang cukup, atau yang lebih menakutkan, karena didasari niat yang “jahat” untuk mengecoh.

Elaborasi ringan dari poin-poin dalam sambutan pembuka (yang diindonesiakan) pada The 6th Conference on Communication, Culture, and Media Studies (CCCMS 2022), yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia pada 14 Juni 2022.

 

===============

 

Sebelumnya, Tulisan ini pernah terbit lebih dahulu di Pojok Rektor dan dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

Reading Time: 2 minutes

Pengelolaan jurnal bukan perkara mudah. Ia adalah pekerjaan yang membutuhkan ketekunan dan strategi yang jitu. Apalagi kini jurnal juga masuk dalam pusaran ‘persaingan’ di tengah belantara data raya informasi era digital. Salah satu pembeda di antara ratusan jurnal di Indonesia, jurnal nasional bisa menggunakan indeksasi SINTA dari Kemendikbud Ristek.

Maka dari itu, pada 22 Juli 2022, DPPM UII mengundang seluruh pengelola jurnal di UII untuk menimba ilmu tentang pengelaan jurnal. Kesempatan kali ini digunakan sekaligus untuk berkonsultasi dengan pemateri dari tim arjuna kemendikbud ristekdikti terkait kendala dan kondisi jurnalnya dalam meraih indeksasi SINTA.

Prof Jaka Nugraha, Wakil Rektor 1 UII, mengatakan, pihaknya mengakui bahwa mengelola jurnal tidaklah mudah. Maka dari itu bidang I UII telah merancang strategi agar ada penghargaan dan mekanismenya untuk jurnal. “Kami sedang merancang pemberian insentif pada pengelola jurnal yg berhasil meningkatkan SINTA-nya,” kata Jaka dalam sambutannya.

“Nanti harapannya dengan ini khususnya bagi pengelola, agar meningkatkan kinerja. Kami harap semangat untuk meningkatkan kualitas pengelolaan jurnal, tidak hanya mendapatkan artikel yg berkualitas, termasuk dari sistem, bagaimana memahami algoritma mendapatkan indeksiasi sinta perlu kita pahami lebh jlas. Semoga persyaratan dan mekanismenya bisa kita penuhi dengan lengkap dan tidak lagi ada kendala dalam mengindeksasi ke Sinta,” harap Prof. Jaka menutup sambutannya.

Yoga Dwi Arianda, pembicara workshop ini juga hadir memberi beberapa pesan. Yoga adalah Koordinator Jurnal dan Publikasi Ilmiah, Direktorat riset, teknologi, dan pengabdian kepada masyarakat, Kemdikbudristek. Dirinya mengajak seluruh pengelola jurnal, untuk bisa meraih predikat SINTA 1. Sebab baru setengahnya dari total keseluruhan jurnal di UII yang sudah akreditasi. “Sedangkan di SINTA 1 se-indonesia itu baru di bawah sepuluh jurnal yang hasil akreditasinya Sinta 1. Karena yang lain itu SINTA 1 hasil dari SCOPUS, bukan murni dari hasil akreditasi seperti Jurnal EJEM di UII,” tambah Yoga.
Jurnal Komunikasi UII yang kini berpredikat SINTA 2 pun dianggap punya potensi mendapat SINTA 1 dari hasil akreditasi murni, bukan hasil konversi dari SCOPUS.

Reading Time: 2 minutes

Journal management is a challenging matter. It is a job that requires persistence and an accurate strategy. Especially now that journals are also included in the vortex of ‘competition’ in the middle of the information universe of the digital era. One of the differences among hundreds of journals in Indonesia, national journals can use the SINTA index from the Ministry of Education and Culture and Research and Technology.

Therefore, on July 22, 2022, DPPM UII (Research Directorate at UII) invited all journal managers at UII to learn about journal management. This opportunity was used simultaneously to consult with presenters from the arjuna team of the Ministry of Education and Culture regarding the constraints and conditions of their journal in achieving the SINTA indexation.

Prof. Jaka Nugraha, Deputy Chancellor 1 of UII, said that his party admits that managing journals is difficult. Therefore, UII division I have designed a strategy so that there is an award and mechanism for the journal. “We are currently planning to provide incentives to journal managers who have succeeded in increasing their SINTA,” Jaka said in his speech.

“Later, the hope is with this, especially for managers, to improve performance. We hope that the enthusiasm for improving the quality of journal management, not only getting quality articles, including from the system, how to understand the algorithm for obtaining sinta indexation, we need to understand more clearly. Hopefully the requirements and mechanisms can be we fulfill it completely and there will be no more problems in indexing Sinta,” hoped Prof. Jaka closed his remarks.

Yoga Dwi Arianda, the speaker of this workshop, was also present to give several messages. Yoga is the Coordinator of Scientific Journals and Publications, Directorate of research, technology and community service, Ministry of Education and Culture. He invited all journal managers to achieve the SINTA 1 predicate because only half of the total journals at UII have been accredited. “Meanwhile, in SINTA 1 in Indonesia, there are only under ten journals whose accreditation results are Sinta 1. Because the others are SINTA 1 results from SCOPUS, not purely from the results of accreditation like the EJEM Journal at UII,” added Yoga.

The UII Communication Journal, which is now SINTA 2 predicated, is also considered to have the potential to get SINTA 1 from the results of pure accreditation, not the result of conversion from SCOPUS.

Reading Time: 4 minutes

Iwan Awaluddin Yusuf, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

The Conversation Indonesia menerbitkan serangkaian artikel yang membahas kekerasan terhadap perempuan dalam rangka Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Sedunia pada 25 November.


Di Indonesia, perempuan ikut menggerakkan aksi solidaritas terhadap korban kekerasan atau yang dikenal dengan sebutan gerakan #MeToo. Salah satu penggerak aksi ini adalah para korban kekerasan seksual yang melaporkan pelaku pada polisi.

Baru-baru ini, dua kasus kekerasan seksual menarik perhatian publik. Kasus pertama adalah dugaan pemerkosaan terhadap mahasiswi Universitas Gadjah Mada oleh rekannya sendiri. Sedangkan kasus lainnya adalah dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah terhadap seorang guru di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Jika kesaksian perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Amerika Serikan telah berhasil menjatuhkan para pelaku yang merupakan pria yang berkuasa dan mendorong penegakan norma perusahaan yang menolak adanya pelecehan seksual, maka kesaksian para perempuan di Indonesia justru bisa membuat mereka terancam tindak pidana karena budaya yang menyalahkan korban (victim blaming) begitu meraja lela di Indonesia.

Media tidak hanya memainkan peran dalam melaporkan budaya victim blaming tersebut namun juga memperkuat keberadaannya.

Menyalahkan Korban

Kasus perkosaan di UGM menjadi perhatian publik setelah lembaga pers mahasiswa Balairung mengangkat laporan tentang kejadian yang menimpa Agni (bukan nama sebenarnya). Agni melaporkan telah dilecehkan secara seksual oleh teman satu programnya, HS, saat melakukan Kuliah kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku.

Balairung mewawancarai Agni dan menuliskan tanggapan pihak kampus atas laporan Agni. Menindaklanjuti laporan perkosaan yang disampaikan Agni, UGM langsung memberhentikan tersangka dari program KKN, sedangkan Agni tetap diperbolehkan melanjutkan programnya hingga selesai. Namun setelah KKN berakhir, Agni ternyata hanya memperoleh nilai C sementara teman-teman satu kelompoknya memperoleh nilai yang lebih tinggi.

Ketika mempertanyakan nilainya yang rendah, salah seorang pengelola KKN justru menyalahkan Agni karena bertindak ceroboh. Ia menilai peristiwa perkosaan itu telah membuat malu nama UGM di depan warga.

Dalam pertemuan lanjutan dengan universitas, seorang pejabat kampus justru membenarkan tindakan dosen pembimbing lapangan (DPL) yang memberi nilai C.

“Seandainya kamu tidak menginap di sana, peristiwa itu tidak akan terjadi”, tuturnya.

“Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi ikan asin pasti setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan,” seorang dosen lain memberikan pernyataan kontroversial.

Sementara itu di Lombok, seorang guru perempuan bernama Baiq Nuril yang merekam percakapan asusila yang dilakukan seorang kepala sekolah terhadap dirinya sebagai bukti untuk membela diri justru dihukum 6 bulan penjara dan didenda Rp500 juta. Ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena dianggap melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam menyebarkan dokumen elektronik dengan muatan asusila.

Kedua kasus tersebut hanyalah puncak gunung es dari budaya victim blaming yang cukup kuat terhadap korban tindak kekerasan seksual di Indonesia.

Budaya menyalahkan korban begitu lazim ditemui sehingga banyak penyintas akhirnya takut melaporkan kasus yang dialami. Para penyintas khawatir akan mendapat stigma buruk. Mereka juga dianggap merusak nama baik keluarga atau lembaga. Mereka bahkan dapat dikriminalisasi karena melaporkan pemerkosaan tersebut.

Peran media

Victim blaming adalah suatu bentuk sikap menyalahkan perempuan atas kekerasan seksual yang mereka alami. Gejala ini ditandai dengan kecenderungan memihak para pelaku. Masyarakat juga lebih banyak mendengarkan cerita versi pelaku.

Ketika menyalahkan korban, masyarakat terbiasa menuduh perempuan ikut bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Misalnya mereka bilang kasus itu bisa terjadi karena perempuannya mengenakan rok pendek, keluar malam sendirian, dan lain-lain. Mereka juga cenderung memberikan toleransi pada pelaku sehingga memungkinkan mereka untuk lepas dari hukuman.

Di Indonesia, kebiasaan menyalahkan korban sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki, ideologi yang mengakui hubungan tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Dalam budaya patriarki, posisi laki-laki lebih dominan, lebih berpengaruh, sementara perempuan diposisikan sebagai bawahan. Akibatnya, laki-laki menuntut rasa hormat dan kepatuhan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Media memainkan peran ganda dalam kasus kekerasan seksual. Di satu sisi, media adalah sumber informasi utama bagi masyarakat untuk mengetahui adanya kekerasan terhadap perempuan sekaligus menjadi salah satu sarana edukasi masyarakat dalam menyikapi kekerasan seksual. Media juga bisa memberi tempat agar suara penyintas didengar. Laporan Balairung tentang perkosaan Agni di UGM misalnya, telah menarik perhatian dan simpati publik atas kejadian tersebut.

Namun di sisi yang lain, liputan media juga dapat memperparah budaya menyalahkan korban. Hal ini mungkin terjadi karena media cenderung menampilkan perempuan sebagai sosok yang lemah, dan bukan penyintas yang bisa berjuang untuk mencari keadilan setelah diperkosa. Media juga cenderung menyalahkan perempuan dalam liputan tentang kekerasan seksual.

Sebuah penelitian tentang serangan seksual terhadap keturunan Tionghoa selama transisi politik Indonesia pada Mei 1998 oleh Susan Blackburn dari Monash University Australia menyoroti peran media dalam menyebarkan sikap menyalahkan korban. Temuan Susan menunjukkan bahwa pemberitaan media di Indonesia sering memojokkan perempuan dalam kasus kekerasan perempuan dengan mengatakan bahwa perkosaan bisa terjadi karena karena perempuan yang bersangkutan memancing hasrat seksual pemerkosa dengan pakaian “provokatif” dan “sensual”.

Sikap menyalahkan korban dalam masyarakat patriaki telah membuat para penyintas kekerasan seksual mengalami penderitaan ganda: diperkosa dan disalahkan. Ini akan menyebabkan para penyintas tidak merasa aman dalam membagikan cerita mereka kepada orang lain.

Sikap menyalahkan korban juga membawa dampak negatif lainnya.

Sosiolog Indonesia Ariel Heryanto melakukan penelitian lain tentang perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa dan dilecehkan secara seksual pada tahun 1998. Ia menemukan bahwa sebagian besar penyintas memilih untuk melarikan diri dari rumah dan berusaha menjalani hidup baru di tempat yang jauh karena trauma dan stigma buruk. Banyak yang mencoba mengatasi trauma tersebut dengan melupakan atau menyangkal bahwa kekerasan seksual telah terjadi. Akibatnya, kasus pemerkosaan tahun 1998 masih sulit untuk ditelusuri hingga saat ini.

Lingkungan masyarakat yang melanggengkan sistem patriarki juga memperkuat budaya memerkosa atau rape culture yang juga mendorong sikap menyalahkan korban. Budaya memerkosa didefinisikan sebagai lingkungan yang menoleransi perkosaan dan kekerasan seksual.

Budaya memerkosa ini dilestarikan melalui penggunaan bahasa yang merendahkan perempuan dengan mengomentari bentuk tubuh perempuan atau menggunakan lelucon seksual maupun kasus perkosaan sebagai bahan lelucon.

Bercanda tentang perkosaan mengabaikan fakta bahwa banyak penyintas pemerkosaan yang harus menghadapi luka fisik dan emosional sekaligus, karena setelah diperkosa (yang tidak pernah ia harapkan) ia juga disalahkan atau dijadikan bahan olok-olok oleh orang-orang di sekelilingnya.

Disadari atau tidak, kebiasaan ini membangun masyarakat yang mengabaikan hak dan keamanan perempuan.

Membela penyintas

Kasus perkosaan di UGM adalah momentum yang bisa mengingatkan bahwa kita harus mendukung para penyintas. Kita harus memprioritaskan untuk berdiri bersama penyintas. Dukungan publik untuk Baiq Nuril dari Lombok juga harus memicu reformasi penegakan hukum dan peradilan untuk melindungi korban kekerasan seksual di Indonesia.

Sikap menyalahkan korban dan budaya memerkosa adalah masalah yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Untuk melawannya, kita harus selalu mendukung penyintas, tidak hanya ketika kasus tersebut menimbulkan reaksi publik tapi setiap saat. Kita juga perlu mengubah cara pandang kita terhadap masalah pemerkosaan, dimulai dengan menghargai jenis pakaian apa pun yang mereka kenakan.The Conversation

Iwan Awaluddin Yusuf, Lecturer in Department of Communications, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber. Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

Reading Time: 2 minutes

The development of digital technology now makes it easier to learn video-based content production. If you had to spend a lot of money in the past to get a good quality camera, now with smartphones, some of the obstacles in video production can be overcome. It’s cheap, fast, and quality can be considered sufficient.

However, learning to produce videos cannot be arbitrary. It’s not just about the ease and sophistication of the tool. Some aspects of the message, content, or ideas determine whether a video work can become an idol for the audience. That is what M. Iskandar T. Gunawan, a seasoned Growth and Development Film filmmaker, wanted to convey at the Video Production Nobar event on July 16, 2022.

Gunawan, as Iskandar is known, was one of the judges in appreciating the video work of UII Communications Department students, along with two other judges, namely Iven Sumardiantoro (Editor and Videographer for Iconisia TV) and Jogi Syamanta, Videographer for UII TV. The three became responders and assessors of student work in video production courses.

According to Gunawan, in the 45 works from each group, efforts have been seen to process ideas in the form of creative digital fans. “This effort can also be seen in the execution of the images and the packaging of the message. There is a video where I saw a very serious and universal message, and it was conveyed in good ways,” said Gunawan, a laboratory assistant at the UII Communications Department.

Gunawan also appreciated several students’ works that had the courage to develop wild and critical ideas. “I noted that there are several, for example, animation that is also interesting, one of those who have dared to choose the type of animation,” he said. “Including earlier there was the issue of loans (online loans) too, even though there were lacking details. For example, the talent is still looking at the camera, there are also other videos where the talent looks less brief.”

Not only short film videos. Many students also choose to produce videos of public service advertisements, commercial advertisements, talk shows, and video clips. One of them that received positive appreciation was the advertising video.

“This advertising video for people with disabilities is interesting, not only for activities but also supported by showing marginalized issues. It can synergize the story with the message you want to convey,” said Gunawan. Gunawan can say this because eating enough acid and salt touches on the issue of disabilities and minority groups in his documentaries.

Gunawan’s advice for videos with lots of dialogue elements is to prioritize vigilance. “In short films, be careful with playing dialogue, I can’t really catch the information from the dialogue. There are also those who use the local language dialect,” suggested Gunawan. According to him, dialogue is important, but don’t let it obscure the message you want to convey to the audience.

The course taught by lecturers Ratna Permata Sari, Ida Nuraini DKN, and Anggi Arif Fudin is always celebrated with an appreciation for work and awards every year. Anggi, one of the lecturers in charge of this course, said this learning pattern aims to enable students to make presentations and create creative, innovative, and inspiring works. “Later on these works can be their initial foothold to be able to make their final work,” said Anggi.

 

Reading Time: 2 minutes

Perkembangan teknologi digital kini mempermudah pembelajaran produksi konten berbasis video. Jika dulu harus mengeluarkan kocek yang tak sedikit untuk mendapatkan kamera dengan kualitas bagus, kini dengan ponsel pintar sebagian kendala dalam produksi video bisa teratasi. Sudah murah, cepat, kualitas bisa dikata cukup.

Namun, belajar memproduksi video tidak bisa sembarangan. Ia tidak hanya melulu soal kemudahan dan kecanggihan alat. Ada aspek pesan, isi, atau ide yang menjadi penentu apakah suatu karya video bisa menjadi idola penontonnya. Begitulah yang ingin disampaikan M. Iskandar T. Gunawan, filmmaker kawakan dari Tumbuhkembang Film dalam acara Nobar Produksi Video, pada 16 Juli 2022.

Gunawan, sapaan Iskandar, adalah salah satu juri dalam apresiasi karya video mahasiswa Jurusan Komunikasi UII, bersama dua Juri lainnya yaitu Iven Sumardiantoro (Editor dan Videografer Ikonisia TV), dan Jogi Syamanta, Videografer UII TV. Ketiganya menjadi penanggap dan penilai karya mahasiswa di mata kuliah produksi video.

Menurut Gunawan, dalam 45 karya dari tiap kelompok, sudah terlihat upaya untuk mencoba mengolah ide, dalam bentuk digital fan kreatif. “Upaya ini juga terlihat dalam eksekusi gambar, dan pengemasan pesan. Ada video yang saya lihat pesannya sangat berat dan universal, dan telah disampaikan dengan cara-cara yang baik,” kata Gunawan, yang juga adalah Laboran di Jurusan Komunikasi UII.

Gunawan juga mengapresiasi beberapa karya mahasiswa sudah berani untuk mengeluarkan ide yang cukup liar dan kritis. “Saya mencatat ada beberapa, misalkan, animasi juga menarik, satu dari sekian yang telah berani memilih jenis animasi,” ujarnya. “Termasuk tadi ada isu pinjol (pinjaman online) juga, meskipun ada detil yang kurang. Misalnya talent-nya masih melihat kamera, ada juga video lain yang talentnya terlihat kurang brief.”

Tak hanya video film pendek. Mahasiswa juga banyak yang memilih produksi video Iklan Layanan masyarakat, Iklan Komersil, Talkshow, dan video clip. Salah satunya yang mendapat apresiasi positif adalah video iklan.

“Video iklan difabel ini menarik, tidak hanya aktivitas tapi juga didukung dengan menampilkan isu-isu yang terpinggirkan. Dia bisa mensinergiskan cerita dengan pesan yang ingin disampaikan,” papar Gunawan. Gunawan bisa berkata begini sebab cukup makan asam garam bersinggungan dengan isu difabel dan kelompom minoritas dalam film-film dokumenternya.

Saran Gunawan untuk video yang memasukkan banyak elemen dialog, adalah harus mengedepankan kewaspadaan. “Dalam film pendek, hati-hati dengan bermain dialog, saya tidak bisa begitu menangkap informasi dari dialognya. ada juga yang pakai dialek bahasa lokal,” saran Gunawan. Menurutnya, dialog itu penting, tetapi jangan sampai mengaburkan oesan yang ingin disampaikan pada khalayak.

Mata kuliah yang diampu dosen Ratna Permata Sari, Ida Nuraini DKN, dan Anggi Arif Fudin S, ini selalu dirayakan dengan apresiasi karya dan penghargaan tiap tahunnya. Anggi, salah satu dosen pengampu mata kuliah ini, mengatakan pola pembelajaran seperti ini bertujuan agar mahasiswa bisa presentasi dan membuat karya yang kreatif, inovatif dan inspiratif. “Nantinya karya-karya ini bisa jadi pijakan awal mereka untuk bisa membuat karya tugas akhir,” kata Anggi.

Reading Time: 2 minutes

A lot of posts are produced every month on the website, but the number of visitors is often not maximized. In addition, the readability rate is also small. This can be seen from the duration of visits and long posts, but the time of holidays is only a few seconds. This is very unfortunate. Then how to optimize visits and existing content?

This was answered in the website optimization training held by the Public Relations of Universitas Islam Indonesia (UII) on July 4, 2022. This training invited Didik Arwinsyah, an online businessman and internet marketer. This event was intended to improve the affordability of official website content at Universitas Islam Indonesia. In addition to optimizing the affordability of writing, this training also aims to increase the capacity of website managers in all units and directorates at UII.

The problem that often occurs and is experienced by internet marketers or website managers is how to make their website at the forefront of search engines. “It is not because the writing is bad or uninteresting. Often website managers do not understand how to make their content appear on the first page of Google search when visitors type keywords in the search engine,” Didik Arwinsyah explained. “Internet marketers must pay attention to SEO so that our website, name, brand, or campus, appears on search engines,” Didik added.

Key Tips and Tricks to Optimize Campus Web SEO

SEO stands for Search Engine Optimization or commonly abbreviated as SEO. This SEO contains several references so that an article or content can be at the top of a search in a search engine like Google. Here, internet marketers or website managers must pay attention to several things, such as originality, writing length, and structure. And the most important thing is the content itself. Does our article answer visitors’ problems? Some tips are explained as follows.

Originality

The writing or article should not be the same as other media writing. The article must be original and not copied from existing papers to create SEO for See More Visitors. If the essay is the same, the writer must rewrite it with their grammar and paraphrasing.

Article length

The length of the article should be at least 500 words. Pieces that are too long must be very tiring to read. Articles that are too short will also not make for comprehensive writing. A well-written essay that can be tracked by Google search is usually around 500 words.

Problem-solver

Visitors or website visitors conduct searches to find information about certain things. Visitors are searching for answers to problems, and the article writing is an answer to the problem they are looking for. That means making sure the title of the article contains the keyword problem. And make sure the report includes the answer to the problem.

Articles that are different from other content creators

Articles on certain websites are often the same as on other websites. Usually, it only changes the language, but the essence is the same. Meanwhile, visitors are looking for many articles to find as much information as possible. Also, to find a different perspective from other articles. If one article with another only presents the same thing, of course, it will only be skipped by visitors. It is important to have content that has a different view and substance from other websites.