Reading Time: 2 minutes

Masih jamak pengelolaan jurnal yang dikelola secara serabutan di Indonesia. Pola serabutan ini sering kali berimbas pada pengeloaan dan penjadwalan berantakan. Hal ini tentu saja adalah hal-hal yang menghambat sebuah jurnal untuk terindeks scopus.

Pada Webinar Pengelolaan Jurnal Internasional menuju Indeksasi Scopus yang diadakan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII hal itu dijelaskan dan dirinci bagaimana meraih Indeks Scopus untuk jurnal di UII. Webinar yang dilaksanakan pada 13 Agustus 2022 tersebut mengadirkan Rozi, S. Pi., M. Biotech, seorang Manager Editor di Journal of Fisheries and Marine yang sudah terindeks Scopus dan Sinta 1.

Pambudi dan Zarkoni, pengelola Jurnal Komunikasi dan Asian Journal of Media and Communication (AJMC) Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) mengikuti webinar ini untuk meningkatkan peluang AJMC dan Jurnal Komunikasi UII terindeks Scopus. Dalam webinar ini, Rozi banyak memberikan gambaran bagaimana ia mengelola jurnalnya sekaligus memberikan strategi tentang bagaiamana menembus indeksasi scopus.

Untuk terindeks Scopus, jurnal Indonesia saat ini masih menemui jalan yang terjal sekali. Tapi, tentu saja bisa diupayakan ketika memiliki komitmen yang kuat di antara para tim pengelola. Rozi memberikan tiga kriteria dan strategi untuk menuju jurnal dengan indeksasi scopus. Tiga kriteria tersebut adalah Kriteria non Teknikal, non teknikal, dan pemenuhan syarat minimum yang dibutuhkan.

Kriteria non teknikal

Kriteria non teknikal adalah kriteria yang harus dimiliki sebuah jurnal tetapi bersifat non teknis. Contohnya  seperti mindset atau pola pikir antar pengelola tentang jurnal terindeks scopus. Kedua, adalah komitmen para pengelola jurnal. Setelah komitmen yang kuat antar pengelola, juga harus ditunjang dengan tim yang solid, memiliki awareness, serta memiliki target yang sama yakni scopus. Memiliki mindset, komitmen, dan tim yang solid ini juga harus ditopang dengan melakukan rapat rutin agar target terkelola sesuai timeline.

Kriteria teknikal

Selain kriteria non teknis, jurnal yang ingin terindeks scopus juga harus memenuhi beragam kriteria teknis seperti:

1) Memiliki Editor, reviewer, dan penulis yang beragam dari berbagai negara
2) Mengadakan konferensi International.
3) Melakukan update Jurnal memalui komunitas media sosial dan seminar
4) Adanya kolaborasi penulis dalam artikel jurnal
5) Memodifikasi kebijakan jurnal pada jurnal yang sebidang

Memenuhi Syarat Minimum

Kriteria Strategi yang sampaikan Rozi adalah keterpenuhan syarat minimun untuk terindeks scopus. Syarat minimun pertama adalah memenuhi 16 prinsip Best Practice yang dikehendaki DIrectory of Open Access Journal (DOAJ) pada penelitian ilmiah. Dan yang kedua adalah memenuhi syarat di atas 90% Pre-evaluation of Scopus Submission. Dalam Webinar Pengelolaan Jurnal Internasional menuju Indeksasi Scopus yang diadakan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII tersebut, Rozi banyak memberikan berbagai strategi lain terkait indeksasi scopus dan memberikan gambaran bagaimana ia menjalankan beberapa jurnal yang ia kelola. Lebih lengkapnya video webinar tersebut dapat di lihat di tautan berikut.

Reading Time: 5 minutes

Aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menggambar mural saat menggelar aksi solidaritas di depan Kejaksaan Agung, Jakarta untuk jurnalis Tempo Nurhadi yang menjadi korban kekerasan, 1 Desember 2021. Jurnalis perempuan juga kerap jadi korban kekerasan.
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc

Masduki, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta; Engelbertus Wendratama, PR2Media; Monika Pretty Aprilia, Universitas AMIKOM Yogyakarta, dan Rahayu, Universitas Gadjah Mada

Mayoritas jurnalis perempuan Indonesia (86%) pernah mengalami kekerasan sepanjang karier jurnalistik mereka.

Riset terbaru kami pada akhir 2021 menunjukkan kekerasan itu terjadi di ranah fisik dan digital, bersifat seksual dan non-seksual, dengan bentuk sangat beragam. Selain tindakan langsung, kekerasan juga terjadi dalam bentuk diskriminasi gender di kantor.

Masalah ini sangat serius karena Indonesia belum memiliki regulasi yang memadai untuk melindungi jurnalis perempuan dari beragam kekerasan yang berpotensi besar menimpa mereka.

Jurnalis sebagai profesi yang mendorong tegaknya demokrasi dan hak asasi manusia harus dilindungi agar mereka bisa bekerja dengan nyaman dan aman untuk publik.

Kekerasan, kekerasan, dan kekerasan

Dibanding studi yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), SAFENet dan berbagai lembaga nirlaba lainnya sebelum ini di Indonesia, riset kami merupakan survei berskala nasional pertama yang mengonfirmasi dugaan dan cerita individual yang beredar luas bahwa banyak jurnalis perempuan Indonesia mengalami kekerasan, baik di ranah digital maupun fisik.

Riset ini berlangsung selama Agustus-Oktober 2021. Ada sekitar 1.256 jurnalis perempuan di 191 kota dan kabupaten yang mewakili Indonesia bagian barat, tengah, dan timur yang menjadi responden.

Kami menemukan sebanyak 1.077 jurnalis (85,7%) pernah mengalami kekerasan. Hanya 179 responden (14,3%) yang tidak pernah mengalami kekerasan sama sekali.

Sementara, jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh responden adalah komentar negatif terkait tubuh atau body shaming secara lisan atau tatap muka (59%).

Temuan buruk ini sangat berpotensi merugikan jurnalisme dan kebebasan pers di Indonesia. Pasalnya, kontribusi jurnalis perempuan bagi kehidupan pers baik di tanah air maupun secara global sangat vital bagi upaya pengarusutamaan suara, potensi, dan tantangan para perempuan.

Survei ini juga menunjukkan kekerasan di ranah digital lebih banyak dialami jurnalis perempuan dibandingkan kekerasan di ranah fisik, meskipun perbedaannya sangat tipis. Hal tersebut tetap terjadi meski ada tren penurunan kegiatan di ruang fisik akibat digitalisasi dan pandemi COVID-19.

Menurut pernyataan para responden dan informan riset, kekerasan bisa terjadi karena alasan profesional (terkait liputan) (28%), alasan seks dan gender (semata karena mereka perempuan) (29%), dan gabungan keduanya (31%). Alasan profesional ini biasanya terkait dengan topik liputan yang “sensitif” dan melibatkan penguasa, lingkungan, polemik keagamaan, dan gender atau seksualitas (LGBTIQ).

Cara responden menanggapi kekerasan

Cara yang paling banyak dilakukan responden (52%) saat mengalami kekerasan adalah melaporkan ke atasan atau rekan kerja, organisasi terkait (29%), dan mengajukan tuntutan hukum (10%).

Respons lainnya adalah penyelesaian masalah secara pribadi seperti menghadapi sendiri, menegur, melakukan diskusi, melancarkan serangan balik, bercerita ke kerabat, dan menuangkannya ke dalam tulisan atau artikel.

Berdasarkan kasus yang mereka alami, para responden mengajukan beberapa usulan yang perlu diupayakan untuk mencegah dan mengatasi kasus kekerasan. Pelatihan untuk para penyintas dan pihak terkait lainnya menjadi usulan paling banyak (40%), diikuti panduan atau modul mencegah dan mengatasi kekerasan terhadap jurnalis perempuan (29%), pendampingan hukum (23%), dan pendampingan psikologis (7%).

Agar beragam ide dan usulan ini terealisasi, kolaborasi antara para pihak menjadi kunci.

Saatnya mengakhiri kekerasan

Riset UNESCO menunjukkan 73% dari 900 orang jurnalis perempuan di 125 negara pernah mengalami kekerasan digital. Ini menunjukkan bahwa peristiwa kekerasan di ranah digital lebih banyak terjadi dibanding kekerasan di ranah fisik.

Dalam konteks Indonesia, perlu upaya khusus yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti jurnalis, asosiasi jurnalis, organisasi media, dan asosiasi perusahaan media, dalam menghadapi peningkatan kekerasan terhadap jurnalis perempuan Indonesia di ranah digital.

Institusi lainnya yang perlu diajak bekerja sama untuk mengakhiri kekerasan terhadap jurnalis perempuan adalah Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

Di sisi lain, masyarakat sebagai bagian dari ekosistem media juga berkontribusi mencegah kekerasan dengan menumbuhkan budaya nirkekerasan dengan tidak menoleransi, menormalisasi, dan melakukan tindakan kekerasan terhadap jurnalis.

Sedangkan sebagai audiens dan konsumen media, masyarakat harus mengutamakan solusi nirkekerasan jika ada sengketa dengan jurnalis atau media.

Lembaga swadaya masyarakat, komunitas, akademisi, dan beragam elemen gerakan masyarakat dapat berkontribusi aktif mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap jurnalis perempuan.

Rekomendasi

Ada sejumlah langkah mendesak yang harus dilakukan untuk melindungi jurnalis perempuan dari ancaman kekerasan baik di kantor maupun di lapangan.

Secara nasional, kita perlu mendorong pemerintah segera membuat protokol tertulis tentang perlindungan jurnalis perempuan sebagai bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Sampai saat ini belum ada regulasi khusus untuk melindungi jurnalis perempuan.

Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, dan pihak lain terkait pers (organisasi jurnalis dan organisasi perusahaan pers) perlu segera menyusun panduan tertulis terkait langkah-langkah jika terjadi kekerasan terhadap jurnalis perempuan.

Selain itu, panduan atau protokol ini idealnya juga menyasar kebijakan struktural dan organisasi sehingga menjadi payung hukum dan menerapkan sanksi yang tegas.

Dewan Pers secara simbolik perlu menjaga perwakilan anggota yang berlatar belakang perempuan. Harapannya, keterwakilan yang proporsional dapat melahirkan kebijakan yang lebih menaruh perhatian pada penciptaan ruang aman dan perlindungan untuk jurnalis perempuan.

Konstituen Dewan Pers seperti AJI, PWI dan IJTI harus mengusulkan perwakilan perempuan pada setiap pemilihan anggota Dewan Pers.

Di luar organisasi media dan Dewan Pers, organisasi profesi seperti AJI berperan sangat strategis. AJI Indonesia sebenarnya telah menyusun Panduan Pelaporan dan Advokasi Kasus Kekerasan Jurnalis, namun masih bersifat umum. Perlu ada panduan yang lebih spesifik untuk melindungi jurnalis perempuan agar pengarusutamaan kebijakan anti kekerasan tidak hanya bersifat individual.

Selain itu, panduan juga dapat berisi ajakan bagi jurnalis laki-laki untuk turut mencegah kekerasan terhadap jurnalis perempuan, yang berbasis kultur misoginis dan menormalkan pelecehan.

Di level penanganan kasus, pendampingan jurnalis perempuan yang menjadi korban kekerasan bisa dilakukan di berbagai tingkatan dan oleh beragam pihak terkait. Pada tingkat terendah adalah di lingkup organisasi media tempat mereka bekerja.

Jika tidak bisa diupayakan, pendampingan harus dilakukan oleh para pihak di luar organisasi media, yaitu asosiasi pekerja media atau asosiasi jurnalis, dan lembaga masyarakat sipil yang fokus ke isu ini. Bentuk pendampingan dapat berupa dimensi psikologis, perburuhan hingga jalur hukum.

Yang tidak kalah penting, kesadaran warga umum, baik narasumber maupun bukan, untuk menghargai jurnalis perempuan perlu terus ditingkatkan.

Arti penting pekerjaan jurnalis perempuan di tengah masyarakat demokratis dan bahwa kegiatan jurnalistik dilindungi oleh Undang-Undang Pers juga harus selalu kita kampanyekan.The Conversation

Masduki, Pengajar dan Peneliti Kebijakan Media di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta; Engelbertus Wendratama, Peneliti di PR2Media, PR2Media; Monika Pretty Aprilia, Pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas AMIKOM Yogyakarta, dan Rahayu, Lecturer in the Department of Communication Science, Universitas Gadjah Mada

==========================================

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber. Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

Reading Time: 5 minutes

Abdul Somad (kanan) hadir dalam sebuah kuliah subuh di Malaysia awal April 2018.
MazranDay/flickr, CC BY-NC-ND

Puji Rianto, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Sebuah video lama yang berisi ceramah Ustaz Abdul Somad membuat geger warganet belum lama ini. Dalam videonya, dia secara implisit mengatakan orang yang membeli kopi dari Starbucks akan masuk neraka. Video ini sebenarnya sudah muncul sejak 2017, tapi kembali ramai karena banyak sekali orang yang mendiskusikannya di media sosial.

Abdul Somad Batubara atau yang lebih dikenal sebagai Ustaz Abdul Somad adalah salah satu pendakwah paling populer di Indonesia saat ini. Kepopuleran dai kelahiran Sumatra Utara 40 tahun silam ini dianggap sudah melebihi dai-dai senior seperti Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dan Zainuddin MZ kala masih berdakwah.

Ceramahnya dinanti-nanti umat Islam Indonesia dari berbagai kalangan baik di dalam maupun di luar negeri. Namanya sempat mencuat di media massa beberapa waktu lalu karena ditolak di Hong Kong ketika akan berceramah di depan warga Indonesia di sana.

Ukuran kepopuleran seorang ustaz bisa dilihat dari besarnya tarif yang dia pasang untuk sekali ceramah. Sampai sekarang, belum ada angka resmi berapa tarif Somad ketika masyarakat hendak mengundangnya ceramah. Menurut Somad, dia tidak mematok tarif. Namun, dalam banyak kasus, ustaz-ustaz kondang sering kali mematok harga mahal.

Somad sangat populer di media sosial. Jumlah pengikutnya di Facebook mencapai lebih dari 1 juta orang, sementara di Instagram mencapai lebih dari 2 juta orang.

Lewat tampilannya di media sosial, Somad mendapat julukan “Dai Sejuta View”. Akun YouTubenya, Tafaqquh Video, dilihat lebih dari 50 juta kali.

Tidak dapat dibantah bahwa peran media sosial sangat kuat dalam mendongkrak popularitasnya. Namun, saya melihat ada faktor-faktor lain yang membuat nama Somad melejit seperti sekarang ini. Lewat tulisan ini, saya akan mencoba membedah lebih dalam lagi faktor-faktor yang membuat namanya menjadi begitu populer.

Cerdik menggunakan media sosial

Mengikuti jejak pendahulunya, Somad adalah pendakwah yang berhasil memanfaatkan perkembangan teknologi untuk mendongkrak popularitasnya.

Popularitas pendakwah seperti dia sebenarnya bukanlah hal baru. Pada era 1990-an, ada Zainuddin MZ yang dikenal sebagai “ustaz sejuta umat.” Ceramah-ceramahnya selalu dipadati oleh umat Islam dan rekaman-rekaman ceramahnya dalam bentuk kaset diperdengarkan di radio-radio dan masjid-masjid hampir setiap hari. Pada waktu itu, belum ada ustad yang sepopuler Zainuddin MZ.

Ketika industri televisi mulai berkembang, muncul ustad-ustad populer lainnya seperti Aa Gym, Yusuf Mansur, almarhum Jefri AL Buchori, Arifin Ilham, dan tidak ketinggalan Mamah Dedeh.

Memasuki era digital, Somad mewakili kelompok penceramah yang menggunakan media sosial dalam menyampaikan ceramahnya. Ia tampaknya memahami dengan baik kecenderungan orang dalam mengonsumsi media saat ini yang lebih banyak menggunakan internet.

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada 2017 memperlihatkan bahwa 43,89% rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu untuk mengakses internet minimal 1 jam per hari, sisanya mengakses internet di atas 4 jam per hari. Sementara itu, persentasi pengguna internet di atas 7 jam per hari mencapai 26,48%. Dari keseluruhan pengakses internet, media sosial menjadi yang paling banyak digunakan, yakni 87,13%, dan 69,64% pengakses menggunakannya untuk menonton video.

Dengan data ini, tidak mengherankan jika Somad kemudian menggunakan media sosial seperti YouTube untuk membangun popularitasnya sebelum kemudian menjadi terkenal di media massa konvensional dan kehidupan sosial.

Dengan menggunakan media baru, dia yang semula menunjukkan diri sebagai “ustaz pinggiran” mampu menembus batas-batas dan hadir di setiap layar gawai para penggemarnya di mana saja. Fenomena ini hanya mungkin berlangsung dalam media baru karena keberadaannya yang tak lagi mensyaratkan ‘gatekeeper,’ yang menyaring siapa yang layak dan tak layak dipopulerkan. Seandainya tidak ada YouTube, Somad mungkin hanyalah penceramah lokal yang jangkauan siarnya terbatas.

Abdul Somad sedang berceramah di Riau.
Al Malik Faisal/flickr, CC BY-NC-ND

Konteks Sosial

Banyak analis berpendapat bahwa popularitas para pendakwah muda di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial yang lebih luas. Konteks yang dimaksud adalah pandangan masyarakat kelas menengah terhadap nilai-nilai Islam. Ahli sosiologi Ariel Heryanto, dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar di Indonesia, melihat adanya ketertarikan masyarakat kelas menengah terhadap apa pun yang berhubungan dengan Islam. Oleh karena itu simbol-simbol yang memperkuat identitas Islam mereka dianggap penting. Kecenderungan ini bisa dilihat dari tren hijab yang marak akhir-akhir ini.

Kenyataan di atas juga menjelaskan mengapa film Ayat-Ayat Cinta mampu menyedot lebih dari 3 juta penonton pada 2008 dan menjadi bagian dari 10 film terlaris sepanjang 2008-2018. Hal ini karena film tersebut mampu memenuhi rasa dahaga kelas menengah baru yang sedang menaruh minat besar terhadap Islam. Begitu pula dengan sinetron-sinetron religi yang merajai rating televisi di Indonesia seperti Para Pencari Tuhan dan Rahasia Ilahi.

Ketertarikan masyarakat terhadap semua hal yang berbau Islam bersifat lintas media, baik media konvensional maupun media sosial. Praktik-praktik keseharian pun tak luput dari incaran. Hampir secara rutin, kita mendapati undangan melalui baliho untuk menghadiri ceramah-ceramah keagamaan yang mendatangkan ustad populer. Dengan kecenderungan masyarakat yang seperti ini, Somad menemukan target pasar yang tepat.

Gaya komunikasi khas

Abdul Somad adalah pembicara yang ulung. Salah satu yang khasnya adalah mengundang tawa. Sisipan humornya membuat ceramah-ceramahnya yang diberi judul “lucu”, “kocak”, dan “ngakak terus” ditonton ratusan ribu penonton. Ini menunjukkan bahwa khalayak tidak semata menginginkan ceramah agama, tapi juga hiburan. Dalam hal ini, dia tidak hanya mempunyai penguasaan yang baik mengenai dalil-dalil agama sebagai hasil belajarnya sejak sekolah dasar, tapi ia juga ahli komunikasi yang andal menggunakan humor untuk menyampaikan pesannya kepada jemaahnya.

Humornya sering kali tidak baru bahkan terkadang terkesan klise. Namun, orang-orang sering kali lebih senang mendengar apa yang ingin mereka dengarkan dibandingkan dengan apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Dalam konteks ini, tampak bahwa Abdul Somad menaati betul ajaran retorika Aristotelian. Menurut Aristoteles, hubungan pembicara dengan khalayak sangat penting, dan karena itu khalayak haruslah menjadi pertimbangan utama jika pembicaraan ingin berhasil. Oleh karena itu, humor Somad selalu berhasil karena selalu dekat dengan khalayak.

Tidak hanya itu, dalam ceramah-ceramahnya, penceramah ini juga sering kali interaktif. Dengan cara demikian, ia mampu membangun kedekatan yang lebih kuat dengan khalayak. Model komunikasi dua arah ini juga mampu meningkatkan kepuasan khalayak.

Sebagai pembicara, Somad tidak hanya menempatkan khalayak pada posisi penting dalam pembicaraan, tapi juga memenuhi tiga teori penting dalam public speaking, yakni ethos, pathos, dan logos.

Ketika ditanya tentang masalah berpacaran, Somad membagi pengalamannya sewaktu menjadi mahasiswa di Mesir. Di sini, dia sedang membangun kredibilitasnya (ethos) sebagai orang yang layak berbicara mengenai “hukum” pacaran, tapi sekaligus membangun kedekatan dan simpati melalui topik yang diangkat (pathos).

Sementara logos, dibangun melalui suatu argumen bahwa pendidikan jauh lebih penting sehingga inilah yang mestinya diurus karena hal itu akan membuka rezeki. Dengan menggunakan pendekatan seperti ini, ceramah Somad bisa diterima dan disukai oleh jemaahnya.The Conversation

Puji Rianto, Lecturer, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

=======================

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber. Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

Reading Time: 6 minutes

The Southeast Asian Frontier Workshop is looking to hold cutting-edge conversations about the process of frontierization that has occurred or is currently occurring in Southeast Asian regions. The workshop intends to establish a network of Southeast Asianists with an academic interest in the region’s borders while stimulating fruitful academic conversation and output around Southeast Asian frontiers. Joining is open to participants from all humanities, social science, and environmental studies disciplines. This workshop will be divided into several parts, with each part covering a different geographic region. We’ll begin the first series in the highlands of Southeast Asia.

Keynote Speaker:

Tania Murray Li
(University of Toronto)

Two Capitalisms, Two Commodity Frontiers: A View from Indonesia

There are two different kinds of commodity frontiers and two different capitalist relationship configurations in Indonesia. One is the corporately occupied commodities border, which is home to extensive concessions like mines and plantations. Although it is not characterized by “free” markets or competition, this arrangement is frequently referred to as capitalist. Instead, it relies on state-provided subsidies, coerced labor, and forced land seizures. Monopoly agreements shield inefficiency, serving objectives like national prestige and getting access to illegal rent streams that are only tangentially related to production or profit. Small-scale farmers make up the majority of the second configuration, and when capitalist relations do arise, they typically follow the standard textbook pattern: producers pay market prices for land, labor, and credit; and they are governed by the imperative of market competition. Ineffective producers fail, and there are no bailouts or subsidies. For 300 years, Indonesia’s small-scale farmers have been extremely effective exporters of coffee, cocoa, and rubber. If a corporate-friendly dictatorship did not repress them, they would currently also control the supply of palm oil. In addition to normalizing the marginalization of the highly productive, small-scale capitalists who receive no support or recognition despite being by far the most dynamic actors on commodity frontiers, calling the corporate variant of capitalism capitalist obscures its dependence on state support and subsidies.

 

 

 


Michael Eilenberg
(Aarhus University)

Smoke, Fire and Crisis on the Indonesian Forest Frontier

Since the 1970s, Indonesia has experienced widespread forest and land fires, but in the past 20 years, the intensity of these fires, particularly on the outer islands, and their effects on neighboring nations due to cross-border haze have drawn significant media attention and led to new political engagements on a national and international level. The Indonesian government has implemented strict measures as a direct result, forbidding farmers from utilizing land and forests for agricultural purposes. Large-scale forest and land fires have complicated causes that involve a variety of people and organizations, from small-scale swidden farmers to massive plantation corporations. However, small-scale subsistence farmers and their traditional practices of swidden agriculture are targeted as among the principal offenders of forest and land fires. Subsistence agriculture is directly linked to deforestation once more. I will talk about the “business of fire” and how burning land and forests is a part of a wider scheme to seize land and turn it into an investment for massive plantation expansion.


 

 

Timo Maran
(Tartu University)

Towards A Semiotics of Ecocultures: Semiotic Ground and Ecosemiosphere

 

From a semiotic perspective, the Anthropocene is characterized by a massive increase in abstract symbols that lack any connection to biological or material processes. This growth of symbols is anti-ecological, because the production and maintenance of the various media and artifacts that embody the symbols requires large amounts of matter and energy.Since symbols are based on human customs, they also cannot respond directly to changes in environmental and ecological processes (described by David Low as dissent in 2009). Eduardo Kohn and Andrew Whitehouse proposed the concept of semiotic ground to denote the semiotic basis of the ecosystem. It may be argued that iconic and indexical signs are a common semiotic ground for both human and non-human species, and that this ground is also connected to the patterns of the material world. In the biological world, organisms need things around them in order to survive. In icons and indexes, there is a connection between objects and interpretations.This relationship between the material and semiotic realms is important. Highlands are particularly rich environments with a variety of constraints, patterns, and resources. In ecocultures we should find ways to ground the culture, that is, to restore the connection between the human symbolic sphere and ecosystems that are predominantly iconic and indexical.Semiosphere could be reinterpreted here as ecosemiosphere – a semiotic system encompassing all species and their environments, alongside the multiple semiotic relationships (including humans with their culture) they have in the given ecosystem and also matter


Themes
SEAF Workshop Series #1: Highlands have excitedly accepted 36 panelists who will be presenting in 9 panels. Our panel themes are:

  • Highlands and development
  • Highlands and religious change
  • Natural hazards and social resilience in highlands
  • Conservation and environmentalism in highlands
  • Scientific practices in highlands
  • Political economic change in highlands
  • Governing Southeast Asian highlands
  • Representation of highlands and highlanders

The workshop is funded by:

Logo of The Regional Science Association International
Logo of Universitas Islam Indonesia

Supported by:

Workshop Convenors:

  • Muzayin Nazaruddin (Department of Communication Universitas Islam Indonesia – Department of Semiotics Tartu University),
  • Luthfi Adam (Research Fellow at Monash Indonesia & Dumbarton Oaks, Harvard University),
  • Sindhunata Hargyono (Dept. of Anthropology, Northwestern University)Sari Damar Ratri (Dept. of Anthropology, Northwestern University),
  • Sari Damar Ratri (Dept. of Anthropology, Northwestern University),
  • M. Fathi Rayyani (Center for Ecology and Ethnobotany, BRIN)

 

CLICK HERE for SEAF Workshop Website

 

Reading Time: 4 minutes

Kampanye pelajar di Jakarta untuk menolak menjadi target pemasaran industri rokok.
Lentera Anak

Masduki, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Di tengah pandemi COVID-19 yang memukul semua sektor dan menurunkan pendapatan sebagian besar masyarakat, konsumsi rokok di Indonesia justru meningkat. Murahnya harga rokok merupakan salah satu pemicu naiknya konsumsi rokok di negeri ini.

Konsumsi yang tinggi ini merupakan “hasil” dari kuatnya pengaruh industri rokok di satu sisi, dan di sisi lain karena lemahnya kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO.

Riset terbaru bertajuk Indeks Gangguan Industri Tembakau 2020 menunjukkan industri tembakau di Indonesia selalu berupaya terus menghambat upaya pengendalian tembakau lebih ketat. Hal itu terus berlangsung tahunan.

Dalam indeks serupa di Asian Tenggara, Indonesia menempati posisi teratas (82 poin, dari indeks 0-100) mengalami gangguan dari perusahaan rokok. Sedangkan indeks Malaysia 63 dan Thailand 43. Posisi negeri kita tidak membaik dibanding tahun lalu, bahkan dibanding era sebelum pandemi.

Kedigdayaan industri tembakau

Riset ini menemukan beberapa fakta penting bahwa pemerintah lebih berpihak kepada industri tembakau. Rakyat yang terbelenggu nikotin menghadapi ancaman penurunan kualitas kesehatan berlipat ganda, pascapandemi COVID-19.

Keberpihakan pemerintah, antara lain, ditunjukkan dengan berbagai insentif kepada pelaku industri besar dan kecil dan berbagai kemudahan bagi Industri Hasil Tembakau (IHT) pada masa pandemi.

Sikap ini kontradiktif dengan Pasal 2(1a) Undang-Undang Cukai yang menyatakan hasil tembakau harus dikendalikan konsumsinya karena pemakaiannya berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat.

Kenyataannya, pemerintah memberikan berbagai kemudahan bagi industri hasil tembakau pada masa pandemi untuk meningkatkan produksi. Peningkatan produksi rokok berarti mendorong peningkatan konsumsinya oleh masyarakat.

Pada awal 2021, Kantor Bea dan Cukai Kabupaten Kudus, Jawa Tengah misalnya, mencatat penambahan jumlah pabrik rokok dari semula 80 menjadi 114 unit. Alih alih mengendalikan, industri hasil tembakau besar dan kecil justru mendapat perhatian yang sama seperti industri produk konsumsi lainnya.

Selain mendorong peningkatan produksi, pemerintah memberikan insentif relaksasi pembayaran pita cukai dan tidak menaikkan tarif cukai jenis sigaret kretek tangan (SKT) tahun 2021. Relaksasi ini dinikmati industri tembakau berskala kecil dan besar. Pemerintah juga memfasilitasi produk nikotin baru untuk mendapat Standar Nasional Indonesia.

Selain itu, perwakilan industri tembakau tercatat aktif melobi dan menegosiasi kebijakan. Ini terjadi karena tidak adanya instrumen hukum yang melarang partisipasi mereka dalam pembuatan kebijakan.

Pemerintah harus menerapkan kode etik yang mengatur interaksi dengan pihak industri tembakau dan kelompok pendukungnya seperti Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), dan Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo). Perlakuan istimewa kepada industri tembakau selama pandemi perlu ditinjau ulang agar tidak menimbulkan kerugian kesehatan dalam jangka panjang.

Pemerintah seharusnya menunjukkan sikap yang berpihak kepada kepentingan kesehatan dalam jangka panjang, bukan semata kepentingan ekonomi. Caranya dengan menempatkan diri secara independen dan kuat, menghadapi gangguan industri tembakau.

Sepanjang 2020, kalangan industri tembakau sangat aktif membangun pencitraan positif di media massa, termasuk dengan cara menonjolkan data-data tertentu dengan melibatkan berbagai media utama dan tokoh atau akademisi berskala nasional.

Ada dua strategi komunikasi pemasaran yang dilakukan industri tembakau: melalui teknik kehumasan (public relations) dan manipulasi media. Ini mereka lakukan sebagai upaya menjaga citra rokok sebagai produk yang normal untuk diperdagangkan dan dikonsumsi masyarakat.

Misalnya, selama 2020, industri tembakau secara massif menggalang liputan media untuk menolak kenaikan cukai. Strategi PR ditempuh terutama melalui program tanggung jawab sosial perusahaan selama masa pandemi.

Mereka berhasil memanfaatkan pandemi untuk mendapatkan citra baik melalui berbagai bantuan kepada pemerintah untuk penanganan COVID-19. Bentuk sumbangan sangat beragam, mulai dari bantuan sembako, alat pelindung, mesin tes PCR dan ambulans.

Puncaknya, pemerintah selalu mengapresiasi program tanggung jawab sosial perusahaan tembakau, seperti beasiswa bulu tangkis Djarum.

Pemantauan masyarakat sipil

Sejak 2015, sembilan asosiasi masyarakat sipil di Asia Tenggara memantau dan mengukur Indeks Gangguan Industri Tembakau (Tobacco Industry Interference Index) di masing-masing negara.

Mereka tergabung dalam Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), aliansi multi-sektor non-pemerintah yang mempromosikan kesehatan melalui upaya pengendalian industri tembakau, dengan merujuk pada Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau WHO.

Ada tujuh parameter yang digunakan untuk survei ini: (1) tingkat partisipasi industri rokok dalam penyusunan kebijakan, (2) kegiatan perusahaan rokok yang diklaim sebagai tanggung jawab sosial perusahaan, (3) manfaat bagi industri tembakau, (4) interaksi yang tidak perlu, (5) transparansi, (6) konflik kepentingan dan (7) tindakan pencegahan.

Dari tujuh indikator tersebut, dalam kasus Indonesia, regulasi yang lemah menjadi persoalan mendasar yang terus berlangsung. Ini termasuk regulasi komunikasi publik pemerintah dan regulasi yang mengendalikan iklan, sponsorship dan promosi rokok di media.

Nilai indeks gangguan industri tembakau setiap tahun cenderung fluktuatif. Namun yang sudah pasti, dari sembilan negara ASEAN selama 2015-2020, Indonesia secara konsisten berada pada peringkat tertinggi setiap tahun.

Semakin tinggi nilai indeks semakin rendah keberpihakan pemerintah kepada masyarakat dibandingkan kepada industri tembakau. Tabel di bawah ini menunjukkan tren indeks gangguan industri tembakau di Indonesia relatif kuat dan stabil dalam lima tahun terakhir.

Perbaikan posisi indeks Indonesia secara tentatif pernah terjadi pada 2017 dan 2018 setelah Menteri Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri No. 50 Tahun 2016 tentang mitigasi konflik kepentingan dengan industri tembakau dan implementasinya mulai 2017.

Mandegnya rencana revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang pengendalian produk tembakau membuktikan adanya tekanan penolakan industri tembakau, parlemen dan beberapa kementerian bidang ekonomi. Alasan mereka: revisi tersebut tidak urgen di tengah pandemi.

Argumen yang mengemuka adalah revisi PP No. 109 Tahun 2012 kontra produktif terhadap upaya pemulihan ekonomi, berisiko mematikan petani tembakau dan memicu pemutusan hubungan kerja buruh rokok.

Alasan seperti ini berulang kali disampaikan oleh kelompok pro industri tembakau tatkala ada desakan untuk memperketat regulasi pengendalian tembakau.

Kelompok miskin terus merokok

Survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada keluarga miskin di lima kota menyebutkan 73,2% perokok miskin mempertahankan pengeluarannya untuk membeli rokok dengan mengurangi kebutuhan lainnya. Sebagian beralih ke rokok dengan harga lebih murah karena tak berdaya melawan kecanduannya.

Dari riset itu cukup jelas bahwa tubuh para perokok sudah berada di bawah kendali industri dan ketergantungan mereka menjadi komoditas ekonomi. Dari sudut pengetahuan dan kebijakan, Indeks 2020 mengkonfirmasi adanya pembentukan opini dan sekaligus manipulasi informasi di seputar konsumsi rokok sebagai suatu kegiatan yang normal.

Sebenarnya, jalan bagi pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok di masyarakat dan intervensi industri rokok cukup jelas: segera ratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO yang menyediakan poin-poin kebijakan yang lengkap dan detail. Tanpa ratifikasi itu, celah-celah pengendalian tembakau parsial seperti saat ini mudah dimanfaatkan oleh industri tembakau.The Conversation

Masduki, Pengajar dan Peneliti Kebijakan Media di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

=====================================================

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

 

Reading Time: < 1 minute

Hello everyone😊 we will have a webinar agenda that a series of P2A Passage to Asean 2022, with:

 

Luthfi Adam, PhD

(Historian of Modern Southeast Asia, Environment, Science)

Topic: A Discussion on Pandemic and Social Cultural Changes

Time: Aug 3, 2022 09:30 AM Jakarta by Zoom Meeting

Reading Time: < 1 minute

Universitas Islam Indonesia partnerships with Universiti Utara Malaysia, and Suan Dusit University Thailand, and Passage to ASEAN (P2A)

proudly presents:
P2A ICE CREAM AND INTERNATIONAL STUDENT SEMINAR 2022.

“Pandemics and Socio-Cultural Changes”

ISS 2022
VENUE:
UNIVERSITY UTARA MALAYSIA, KEDAH
DATE: 7-9 AUGUST 2022 (ISS) (Hybrid)

P2A ICE CREAM WORKSHOP
4-13 AUGUST 2022

VENUE:
PENANG & KEDAH (MALAYSIA)
HATYAI & TRANG (THAILAND) (Hybrid)

P2A ICE CREAM ONLINE CLASSES:
1 AUG-7 SEP 2022 (online)

REGISTER AT:
https://bit.ly/P2AICECREAM2022

REGISTER ABSTRACT of INTERNATIONAL STUDENT SEMINAR 2022:
BIT.LY/P2AICECREAM2022

Reading Time: 4 minutes

Dalam hal politik, kita sering mengkritisi surat kabar A, stasiun televisi B, media online C, terlalu berpihak pada kubu tertentu. Ini memunculkan anggapan bahwa perusaahaan pers atau media telah “terpenjara” dengan kepentingan lain.

Apakah hal tersebut juga bakal muncul, di mana kali ini “penjara” tersebut muncul akibat sepakbola?

Jawa Pos telah resmi menjadi pengelola Persebaya Surabaya, usai perusahaan tersebut mengakuisisi 70 persen saham klub. Proses ini juga diiringi dengan perubahan struktur di tubuh klub, di mana Azrul Ananda menjadi direktur utama.

Bagi pembaca setia Fandom ID, masuknya Jawa Pos mungkin bukan hal yang mengejutkan, karena sudah “diprediksi” oleh Sirajudin Hasbi dalam tulisan berjudul Menanti Kiprah Persebaya bersama Azrul Ananda, sebulan sebelumnya.

Tulisan tersebut berisi optimisme bahwa dengan rekam jejak prestasinya dalam manajemen, Azrul dapat menjadikan klub berjuluk Bajul Ijo tersebut menjadi lebih baik lagi.

Secara historis, Jawa Pos (dan anak perusahaannya) memang dikenal punya komitmen mendukung olahraga. Jawa Pos merupakan koran yang ikut meletakkan identitas bagi Persebaya dan suporternya.

Radar Jogja, sempat menjadi sponsor klub PSS Sleman di awal tahun 2000an. Di olahraga lain, PT Deteksi Basket Lintas (PT DBL) sukses menjadi operator kompetisi basket profesional NBL tahun 2010-2015. Selain itu PT DBL juga sukses mengemas kompetisi basket usia dini yakni DBL selayaknya kompetisi professional.

Di satu sisi, masuknya Jawa Pos sebagai salah satu pelaku olahraga di Indonesia adalah kabar baik mengingat mereka telah menunjukkan kualitas dalam pengelolaan olahraga. Bahkan, ini bisa menjadi benchmark bagi pengelola olahraga profesional lainnya.

Potensi benturan kepentingan

Tetapi dari sisi Jawa Pos sebagai perusahaan pers, tentu ada kekhawatiran. Sebagai perusahaan pers, tentu terikat dengan kode etik, aturan-aturan, undang-undang, yang berlaku dalam pers.

Tetapi di sisi lain, bakal ada pertanyaan, apakah serangkaian regulasi tersebut dapat berjalan 100 persen, di tengah potensi benturan kepentingan?

Sebuah tulisan menarik dari Awang Dharmawan (2013) yang mengkritisi pemberitaan Jawa Pos berkaitan dengan kompetisi basket DBL. Dharmawan berpendapat bahwa berita-berita DBL kemungkinan kurang memperhatikan prinsip independensi, akurasi, dan berimbang.

Analisis tersebut dibuat dengan berdasarkan tafsir isi dan pasal dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 1, di yang berbunyi : “wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”

Dari pengamatan empiris saya selaku penulis artikel ini, ketika DBL tidak lagi menjadi operator kompetisi bola basket professional, seketika porsi berita tentang event tersebut hanya memperoleh porsi yang sangat sedikit di surat kabar Jawa Pos. Memang, sempat diberitakan dengan porsi yang cukup besar ketika CLS Knights Surabaya juara kompetisi IBL 2015-2016.

Di satu sisi, kita perlu berbaik sangka pada Jawa Pos, karena itu final, maka maklum jika porsi berita-nya besar. Tetapi di sisi lain, kita boleh berandai-andai: jika CLS Knights kalah di final, atau jika tidak ada tim dari Surabaya yang menjadi finalis IBL, apakah akan diberitakan dengan porsi besar oleh Jawa Pos yang, meminjam istilah dalam tulisan Max Wangkar (2013), merupakan “koran nasional yang terbit dari Surabaya?”

Berkaitan dengan kehadiran Jawa Pos sebagai pemilik saham mayoritas di Persebaya, menarik ditunggu bagaimana pemberitaan Jawa Pos, jika “Bajul Ijo” tengah mengalami rentetan kekalahan; andaikata dilanda konflik internal; bila di suatu kesempatan diputuskan bersalah oleh Komisi Disiplin PSSI karena melanggar aturan, dan upaya banding ditolak oleh Komisi Banding; seandainya ada permasalahan berkaitan dengan kontrak yang tidak jelas atau gaji yang tersendat?

Masihkah asas kemerdekaan pers (seperti terdapat pada Pasal 2 UU Pers No.40/1999) dipatuhi secara murni?

Tekanan tinggi dalam bisnis media

Jawa Pos di paruh awal tulisan ini saya gunakan sebagai gambaran contoh kasus ikatan kerjasama antara olahraga dan media (baca : perusahaan pers). Jawa Pos saya pilih karena kejadiannya masih hangat, masih aktual dan terkini. Jadi tulisan ini tidak bermaksud membahas Jawa Pos secara khusus.

Secara normatif perusahaan pers memang harus bersikap netral, independen, cover both side dalam liputan, dan tidak berpihak. Tetapi dalam prakteknya di lapangan, hal tersebut hampir mustahil dapat berlangsung murni 100 persen.

Pasalnya, perusahaan pers merupakan jenis usaha yang harus berhadapan dengan tekanan dari berbagai kalangan di lingkungan sosial. Ini merupakan keniscayaan, karena perusahaan pers selain berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, kontrol sosial, hiburan, juga sebagai lembaga ekonomi alias lembaga bisnis (UU Pers No 40/1999 Pasal 3).

Denis McQuail (2010: 281) menyebut bahwa dalam struktur organisasi media terdapat tiga unit utama yakni : (1) pekerja media/wartawan, (2) manajemen, dan (3) teknis pendukung. Masing-masing unit memiliki kode etik, aturan, target, tujuan, tugas, dan fungsi sendiri-sendiri.

Pekerja media dalam bertugas terikat dengan kode etik wartawan. Manajemen yang berfungsi untuk mengelola sumber daya media (misalkan finansial, teknologi, dll) memiliki target sendiri, pun begitu dengan teknis pendukung.

Masing-masing unit, menghadapi tekanan tersendiri. Pekerja media menghadapi tekanan untuk memenuhi keinginan pembaca, kepentingan dan tuntutan dari profesi tersebut, dan juga saluran untuk menyampaikan informasi.

Bagian manajemen menghadapi tekanan ekonomi yang hadir dari pesaing, pengiklan, dan pemilik media. Bagian teknis menghadapi tekanan yang bersifat politis, legal formal, dan institusi sosial lainnya.

Itu membuat bukan tidak mungkin masing-masing unit berbenturan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Misalkan ketika unit pekerja media ingin menjaga independensi, termasuk ketika memberitakan kejadian negatif tentang perusahaan yang rajin pasang iklan; hal tersebut dihalang-halangi oleh bagian manajemen.

Manajemen khawatir, jika berita negatif itu muncul, maka perusahaan tersebut tidak mau lagi beriklan. Artinya, satu pintu rezeki telah tertutup.

Tak hanya terjadi pada Jawa Pos

Tulisan ini merupakan amatan awal yang saya susun dari sudut pandang ilmu komunikasi, dan dibangun dari serangkaian literatur. Di luar negeri pun, ikatan antara perusahaan pers juga sudah terjadi (baik itu secara resmi mau pun tidak).

Bahkan ada beberapa perusahaan pers yang cenderung pro dengan klub tertentu, misalkan di Italia Tuttosport identik pro dengan Juventus, atau Marca (Spanyol) yang cenderung memihak Real Madrid.

Memilih berpihak, atau bertahan menjaga idealisme dengan bersikap netral dan independen, itu bukanlah semata keputusan dari para pekerja media, pekerja pers. Bisnis pers merupakan bisnis yang sarat tekanan baik dari luar mau pun dalam. Artinya, apa pun pilihannya, pilihan tersebut hadir melalui sebuah proses yang cukup panjang.

Andai nantinya, setelah menjadi pengelola Persebaya, Jawa Pos menjadi sangat pro dengan Green Force, maka kita perlu memaklumi sebagai keniscayaan. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, tetap independen dan tetap netral, maka itu adalah hal yang luar biasa dan patut mendapat apresiasi.

Apakah sepakbola akan menjadikan media (baca perusahaan pers) terpenjara? Sekali lagi, itu adalah opsi, adalah pilihan.

 

Rujukan:

  • Dharmawan, A (2013) “Komodifikasi Ruang Publik Pemuda: Tenggelamnya Generasi Muda dalam Bingkai DBL di Koran Jawa Pos”, dalam Ekonomi Politik Media: Sebuah Kajian Kritis (Editor : Filosa Gita Sukmono). Yogyakarta: Lingkar Media
  • McQuail, D (2010) McQuail’s Mass Communication Theory. Los Angeles : SAGE
  • Wangkar, M (2013) “Jawa Pos Adalah Dahlan Iskan” dalam Dapur Media: Antologi Liputan Media di Indonesia (Editor : Basil Triharyanto dan Fahri Salam). Jakarta: Pantau

========================

Artikel ini terbit pertama kali di Fandom.id. Baca artikel sumber. Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

Reading Time: 2 minutes

Memilih jurusan kuliah tak bisa sembarangan. Semua harus disesuaikan dengan minat dan bakat yang dimiliki oleh calon mahasiswa. Tak hanya itu saja, calon mahasiswa juga harus melihat ke depan jika mengambil suatu jurusan kuliah maka apa prospek kerjanya nanti. Namun sebelumnya, calon mahasiswa harus menentukan jurusan kuliah apa yang akan diambil. Baru nanti memilih kampusnya.

Bagi yang tertarik kuliah Jurusan Ilmu Komunikasi, maka harus memahami apa itu ilmu komunikasi. Serta paham pekerjaan apa yang cocok dengan jurusan tersebut di masa depan. Saat dihubungi Kompas.com, Selasa (29/6/2021), Dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) Dr. Subhan Afifi mengatakan, ada banyak pilihan karier bagi lulusan Ilmu Komunikasi.

“Sebenarnya, kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi ini cakupannya sangat luas. Jadi semua tergantung peminatan dan konsentrasi apa yang didalami ketika kuliah,” katanya. Dijelaskan, setiap kampus yang memiliki Program Studi Ilmu Komunikasi menawarkan konsentrasi atau peminatan yang berbeda-beda. Menurut Afifi yang juga sebagai Pemimpin Redaksi UII News, di Program Studi Ilmu Komunikasi UII, konsentrasi atau peminatan yang ditawarkan adalah: Public Relations, Media Kreatif, Kajian Media, dan Jurnalistik.

Di Prodi Ilmu Komunikasi biasanya masih terbagi menjadi beberapa konsentrasi lain. Berikut ini prospek kerja Ilmu Komunikasi:

1. Media dan Jurnalisme

Jika kamu lulus kuliah dari konsentrasi ini, banyak yang kerja sebagai: Jurnalis atau wartawan Reporter atau penyiar TV/radio. Selain itu Anda bisa juga berpeluang menjadi Jurnalis online, Analis media, Peneliti media, Fotografer, Wartawan media online.

2. Public Relations (PR)

Nantinya, jika kamu lulus kuliah, biasanya mahasiswa yang ambil konsentrasi PR akan berkarier sebagai: Hubungan masyarakat (humas) atau Public Relation Officer, Marketing, public relations, Humas pemerintahan

3. Broadcasting

Untuk konsentrasi broadcasting sendiri adalah dunia yang selalu menarik perhatian masyarakat. Adapun pilihan kariernya antara lain: Produser program TV/Radio, Content creator media online, Videografer, Youtuber, Filmmaker, Sutradara, Penulis skenario

4. Media kreatif

Ketika lulus kuliah dari konsentrasi ini, maka prospek kerja Ilmu Komunikasi dari media kreatif bisa menjadi: Content creator media digital, Entrepreneur media digital, Produser program TV, Film maker

5. Periklanan/advertising

Lulusan dari konsentrasi ini biasanya memiliki kemampuan kreatif di bidang periklanan/advertising. Adapun prospek kerja di industri periklanan sebagai: Copy writer, Designer grafis, Media planner, Account executive.

“Selain itu, lulusan Ilmu Komunikasi juga bisa menjadi PNS. Sebab, banyak instansi pemerintah pusat atau daerah yang membuka lowongannya untuk sarjana Ilmu Komunikasi,” ungkap Afifi. Dikatakan, para lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi juga bisa jadi entrepreneur. Sebab, bidang komunikasi memang sangat banyak ragamnya. Terutama karena industri kreatif dan dunia kreatif saat ini berkembang sangat pesat di era disrupsi seperti sekarang ini.

Terlebih dengan masa pandemi ini, lulusan yang sudah terbiasa dengan teknologi, maka akan bisa membuka peluang usaha secara digital. Terlebih menjalankan bisnis online yang bisa dilakukan hanya dengan bantuan ponsel saja.

==========

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Yuk Intip Prospek Kerja Ilmu Komunikasi”, Klik untuk baca: https://edukasi.kompas.com/read/2021/06/29/125424771/yuk-intip-prospek-kerja-ilmu-komunikasi?page=all.
Penulis : Albertus Adit
Editor : Albertus Adit

Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

Reading Time: 4 minutes

Oleh Narayana Mahendra Prastya, Dosen Komunikasi UII, Spesialis Riset Komunikasi Olahraga, Jurnalisme dan Komunikasi Krisis.

Dunia pendidikan di Indonesia banyak terlibat dalam kegiatan olahraga profesional, baik secara formal maupun informal.

Secara formal, sejumlah perguruan tinggi terjun ke dalam dunia olahraga profesional, mulai dari menjadi sponsor hingga mengelola tim profesional. Secara informal, dalam beberapa tahun terakhir, mulai bermunculan komunitas-komunitas suporter berbasis lembaga pendidikan. Lalu, apa manfaat yang bisa diperoleh dari kedua pihak tersebut?

Bentuk kerja sama formal

Tahun 2017, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta menjadi sponsor dari PSIM Yogyakarta. Rektor UAD, Kasiyarno, menuturkan bahwa PSIM dapat menjadi “laboratorium” bagi civitas akademika UAD untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, semisal psikologi pemain, ilmu kesehatan, dan sebagainya.

UAD menawarkan juga kesempatan kuliah bagi pemain muda Laskar Mataram. Sebaliknya, manajemen PSIM siap memberikan klinik kepelatihan bagi tim sepakbola milik UAD.

Beberapa tahun sebelumnya, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga mengelola tim Satya Wacana yang terjun di kancah bola basket profesional Indonesia. Tidak jarang, hal-hal teknis yang berkaitan dengan tim Satya Wacana (misal hasil pertandingan, transfer pemain), juga diunggah ke situsweb resmi UKSW.

Kerja sama tidak hanya sebatas dengan klub, tetapi juga dengan federasi olahraga. Pada tahun 2012 misalkan, PSSI bekerjasama dengan Universitas Gunadarma Jakarta dalam pengembangan situsweb resmi PSSI.

Pihak Universitas Gunadarma akan menangani konten berita di website PSSI. Sementara dari PSSI menyiapkan beasiswa gratis kepada semua pemain timnas sepakbola Indonesia yang ingin melanjutkan kuliah di Gunadarma.

Bentuk kerja sama juga diwujudkan lembaga pendidikan dengan menjadi sponsor utama kompetisi. Misalkan yang dilakukan Bina Sarana Informatika (BSI) yang menjadi sponsor utama voli Proliga.

Peningkatan kualitas kompetisi membuat BSI yakin untuk mensponsori Proliga selama beberapa musim. Dalam kerja sama itu, BSI memberikan pendidikan secara gratis bagi atlet-atlet nasional yang ingin kuliah di BSI.

Hubungan saling menguntungkan

Lantas, manfaat apa yang akan diperoleh kedua belah pihak dari kerja sama tersebut? Pertama, saya akan membahas dari segi perguruan tinggi.

Seperti dikutip dari kelembagaan.ristekdikti.go.id, salah satu tujuan dari perguruan tinggi adalah terwujudnya pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi merupakan pusat pembelajaran mahasiswa dan masyarakat.

BACA JUGA:  Mau Pergi Ke Mana, Egy?

Dengan kata lain, ilmu yang dipelajari, penelitian-penelitian yang dihasilkan, oleh perguruan tinggi tidak hanya menjadi monopoli dari pihak internal kampus saja, dan (yang lebih ironis lagi) hanya sebatas tersimpan di perpustakaan kampus saja.

Perguruan tinggi juga punya kewajiban untuk mendidik masyarakat dari ilmu yang dipelajari, dari penelitian yang dihasilkan. Kerja sama dengan dunia olahraga merupakan salah satu bentuk pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi.

Pihak perguruan tinggi dapat memperoleh isu, fenomena, kejadian, masalah, dan hal-hal lain dari dunia olahraga untuk kemudian diteliti. Sementara itu, pihak dunia olahraga memperoleh rekomendasi akademik dari hasil penelitian tersebut.

Sebagai contoh, sebuah klub olahraga membutuhkan bantuan untuk mengelola media  (seperti situsweb resmi dan akun media sosial). Oleh sebab itu, pihak perguruan tinggi bisa “menugaskan” Fakultas Ilmu Komunikasi untuk menangani hal tersebut.

Penanganan dalam hal ini tentunya berbasis dengan riset. Pihak dari Fakultas Ilmu Komunikasi, terlebih dahulu, akan menganalisis keunggulan klub, kekurangan, dan lain-lain. Dari analisis situasi dapat diperoleh rekomendasi ilmiah yang bisa dijalankan oleh klub.

Contoh serupa misalkan ketika sebuah lembaga olahraga tengah menghadapi persoalan hukum (kontrak pemain, kontrak kerja sama, dll.) maka ini menjadi tugas civitas akademika dari disiplin Ilmu Hukum. Disiplin Ilmu Ekonomi Manajemen dapat membantu menyusun, atau setidaknya meninjau business plan dari klub olahraga.

Dari aspek teknis lapangan, misalkan dari disiplin Ilmu Gizi dapat memberikan rekomendasi makanan untuk para pemain/atlet menjelang pertandingan. Dari displin Ilmu Kedokteran dapat membantu pemulihan cedera. Dari disiplin Ilmu Teknologi Informasi dapat membantu membuatkan perangkat untuk menganalisis pertandingan.

Lembaga olahraga ibarat “laboratorium” bagi perguruan tinggi. Imbal baliknya, perguruan tinggi tersebut dapat menggunakan data-data yang diperoleh sebagai publikasi ilmiah (seperti jurnal) atau karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi, atau model).

Keuntungan lebih dapat diperoleh dari lembaga perguruan tinggi, yakni dalam hal promosi. Kerja sama dengan lembaga olahraga dapat menjadi portofolio bagi perguruan tinggi tersebut.

Harapannya, dengan semakin dikenal luas, maka calon mahasiswa yang mendaftar akan semakin banyak. Tetapi harapan itu tak semudah seperti hukum sebab-akibat, karena itu juga akan bergantung dengan citra dari lembaga olahraga yang menjadi mitra kerjasama.

BACA JUGA:  Sepakbola Indonesia Mau Dibawa Ke Mana?

Manfaat apa yang dapat diperoleh lembaga olahraga? Apakah hanya rekomendasi penyelesaian masalah? Ada manfaat lain misalkan, apabila dalam kerja sama itu juga memungkinkan adanya beasiswa bagi atlet/pemain, maka itu bisa dimanfaatkan.

Dengan adanya pendidikan, sang pemain pun dapat lebih tenang untuk mempersiapkan masa depan ketika pensiun. Siapa tahu, ketika pension, klub akan menunjuknya untuk mengisi jajaran manajemen. Selain itu, lewat pendidikan pula, diharapkan bisa lebih mengontrol emosi di lapangan.

“Kerja sama” tak resmi

Jika di bagian sebelumnya membahas kerjasama formal, maka di bagian ini membahas kerja sama tak resmi. Meski tak resmi, tetapi bentuk “kerja sama” ini juga tak kalah pentingnya.

“Kerja sama” di sini menggunakan tanda kutip, karena memang tidak ada ikatan formal antara dua entitas. “Kerja sama” itu hadir secara begitu saja.

“Kerja sama” ini mewujud dalam hadirnya komunitas suporter yang dibangun oleh (umumnya) mahasiswa/i yang mengidolakan klub tertentu.

Biasanya, nama komunitas ini menggunakan kata-kata kampus seperti Pasoepati Campus (pendukung Persis Solo), Campus Boys 1976 (pendukung PSS Sleman), Bonek Campus (pendukung Persebaya Surabaya), dan lain-lain. Selain hadir di tribun memberi dukungan, komunitas ini juga eksis di dunia maya.

Jika kerja sama formal tadi bisa untuk memperkuat di tataran pengelola olahraga, maka “kerja sama” tak resmi ini bisa untuk mengedukasi tingkat akar rumput.  Sebagai mahasiswa yang identik sebagai “agen perubahan”, maka mereka juga punya kewajiban untuk “mengubah” perilaku negatif yang masih ditunjukkan oleh sebagain suporter.

Apa yang bisa dilakukan? Misalkan dengan “mendinginkan” dunia media sosial ketika terjadi konflik antarsuporter dengan memberikan pesan-pesan yang sifatnya damai, tidak turut memprovokasi.

Ketika tidak ada konflik, lakukan barang sekali dua kali “kultwit” tentang hal-hal yang sifatnya perlu ditanamkan seperti bijak menggunakan media sosial, cara menanggapi akun-akun provokatif, dan cara yang elegan ketika memprotes pemberitaan media, dan hal-hal yang sesuai dengan bidang masing-masing.

 

Artikel ini terbit pertama kali di Fandom.id. Baca artikel sumber.

===========

Konten ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.