Tradisi Halal Bihalal Awalnya Politis ‘Gagasan Asal Indonesia’

Halal bihalal
Reading Time: 3 minutes

Tradisi halal bihalal dalam perayaan hari raya Idul Fitri ternyata gagasan yang lahir di Indonesia. Menariknya gagasan ini bertujuan politis demi kerukunan bangsa pada kondisi lampau yang terjadi di Indonesia.

Artinya halal bihalal pertama kali hanya dilakukan di Indonesia, namun lambat laun gagasan politis ini mulai populer di beberapa negara tetangga seperti Brunei Darussalam, Malaysia, hingga negara-negara di Eropa lainnya. Halal bihalal dipopulerkan oleh kedutaan-kedutaan Indonesia  yang ada di negara tersebut dan dipraktikkan bersama masyarakat Indonesia yang tengah tinggal di sana.

Melanggengkan tradisi halal bihalal bisa menjadi keharusan pada setiap keluarga. Bahkan di Indonesia para perantau rela pulang ke kampung halaman atau mudik pada momen Idul Fitri untuk melakukan halal bihalal dengan keluarga besar.

Halal bihalal bisa menjadi semacam rekonsiliasi atau memulihkan hubungan pada keadaan semula, dari adanya perselisihan kecil ataupun besar bisa legowo saling memaafkan dan sadar akan kesalahan lewat berjabat tangan dengan mengucap “mohon maaf lahir dan batin” atau dengan bahasa daerah “luputku sepuro yo” yang selalu terdengar di Jawa.

Nyatanya pada kondisi ini kita sangat mudah meminta maaf maupun memaafkan seseorang. Apa yang membuat semua itu tampak mudah sementara pada hari biasa terasa berat mengucap maaf?

Setidaknya ada tiga faktor yang mengubah perasaan dan hati seseorang menjadi sangat lunak pada momen halal bihalal, pertama terkait identitas sosial, pengaruh suasana hati, dan spiritualitas relasional.

Seseorang dengan identitas sosial tertentu akan bersikap sesuai dengan identitas dari kelompok sosialnya. Hal ini juga bisa berkaitan dengan profesi, misalnya jika seseorang berprofesi sebagai guru maka Ia akan bersikap sesuai standarnya.

Kemudian pengaruh suasana hati, pada momen Idul Fitri yang ditunggu-tunggu dan disambut dengan perasaan bahagia akan membuat seseorang  lebih mudah untuk meminta dan memberi maaf. Berbeda dengan hari biasa yang masih memikirkan gengsi dan harga diri. Bisa dikatakan momen Idul Fitri adalah waktu yang tepat untuk menujukan identitas sosial yang harus dibangun.

Terakhir, spiritualitas relasional berkaitan dengan standar ajaran agama yang harus ditunjukkan oleh pemeluknya. Seorang muslim dalam agama Islam dianjurkan saling memaafkan dan meminta maaf. Sehingga hal ini menjadi perilaku ideal dalam agama yang mesti dilaksanakan.

Gagasan halal bihalal di Indonesia

Lantas bagaimana halal bihalal ini muncul dan mampu membuat rekonsiliasi yang masif di Indonesia? Bahkan hampir sebagian lembaga dan instansi juga turut mengagendakan halal bihalal pasca libur dan cuti bersama.

Kisah di balik gagasan halal bihalal ternyata ada setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1948 Indonesia dalam kondisi tidak baik-baik saja ada gejala disintegrasi bangsa serta elit politik saling jegal enggan duduk berdampingan.

Ditambah dengan pemberontakan di mana-mana mulai dari gerakan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII), Partai Komunis Indonesia atau PKI Madiun. Kondisi semakin tak kondusif membuat Presiden Soekarno meminta bantuan kepada KH Abdul Wahab Chasbullah atau akrab disapa Mbah Wahab salah satu tokoh pendiri NU.

Menurut penjelasan yang disampaikan KH Masdar Farid Mas’udi, Mbah Wahab didatangkan ke Istana untuk dimintai saran dan pendapat untuk mengatasi situasi politik di Indonesia saat itu. Solusi yang ditawarkan oleh Mbah Wahab kepada Presiden Soekarno yakni untuk menyelenggarakan silaturahim mengingat momen yang tepat mendekati Idul Fitri.

Namun gagasan itu sempat menuai kritik dari Presiden Soekarno “Silaturahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain.”

“Itu gampang,”  kata Mbah Wahab.

“Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah ‘halal bihalal’, jelas Mbah Wahab.

Solusi yang ditawarkan Mbah Wahab akhirnya terealisasi, Presiden Soekarno mengundang seluruh tokoh politik datang ke Istana Negara untuk silaturahim yang bertajuk halal bihalal. Inilah titik balik mereka satu meja dan menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.

Istilah halal bihalal yang dicetuskan KH Abd Wahab Chasbullah dengan analisa pertama yakni thalabu halâl bi tharîqin halâl  yakni mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis kedua yaitu halâl “yujza’u” bi halâl adalah pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.

Memaknai halal bihalal

Dari penjelasan yang diungkapkan oleh Prof Quraish Shihab seorang Pakar Tafsir Al-Qur’an, lewat karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999). Konsep halal bihalal yang digagas oleh Mbah Wahab dapat dimaknai dari tiga aspek. Yakni hukum Fiqih, bahasa atau linguistik, dan Tinjauan Qur’ani.

Dari segi hukum fiqih, halal selalu dipertentangkan dengan haram. Pada konteks halal bihalal akan memberikan prasangka baik atau terhindar dosa dari umat muslim yang melakukannya.  Artinya dalam tinjauan fiqih, halal bihalal membuat sikap kita yang semula haram atau berdosa menjadi halal dan terbebas dari dosa. Namun perlu diketahui, kondisi ini bisa tercapai jika kedua pihak menerima dengan lapang dada saling memaafkan.

Kedua, berdasarkan tinjauan bahasa atau linguistik halal berasal dari kata halla atau halala. Kata-kata tersebut memiliki berbagai bentuk dan makna tergantung pada rangkaian kalimatnya. Secara umum maknanya menyelesaikan masalah atau kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan yang membeku, bahkan melepaskan ikatan yang membelenggu. Sehingga halal bihalal dapat dipahami dengan tujuan menyambung yang tadinya putus tersambung kembali melalui maaf-memaafkan pada momen Idul Fitri.

Terakhir, berdasarkan tinjauan Qur’ani halal yang dituntut adalah halal yang thayyib atau yang baik lagi menyenangkan. Sehingga Al Qur’an menuntut aktivitas yang dilakukan oleh umat muslim adalah sesuatu yang menyenangkan semua pihak. Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.

 

Penulis: Meigitaria Sanita