Stagnasi Kajian Semiotika di Indonesia: Dianggap Alat Analisis Teks, Ketimbang Paradigma

Reading Time: < 1 minute

Dalam forum Amir Effendi Siregar pada 26 September 2020, Muzayin Nazaruddin, Dosen Komunikasi UII, menyampaikan beberapa kebosanan dan kekeliruan para peneliti di indonesia terkait penggunaan analisis semiotika dalam membedah teks dalam sistem tanda.

Muzayin, yang sedang melanjutkan studi Ph.D di Tartu University di bidang semiotika, melihat kesalahan cara pandang semiotika oleh banyak peneliti di Indonesia. “DI Indonesia semiotika baru dipandang sebagai sebuah metode saja, belum sebagai sebuah paradigma,” ungkap Muzayin.

Selama ini kalau ingin menganalisis sebuah teks gambar, video, karya sastra, puisi pasti akan memakai semiotika. “Itu keliru sacara paradigmatis. Dalam komunikasi ada tradisi semiotika, cara mamandang fenomena dengan kacamata semiotika,” ungkap Muzayin.

Muzayin mencontohkan sebuah penelitian yang lazim dilakukan mahasiswa dan, sayangnya, juga dilakukan peneliti. Misal penelitian melihat simbol apa yang muncul dalam film atau media tertentu. Apa makna yang terkandung. Misalnya ada mahasiswa meneliti patriotisme dalam film. Tapi kalau kita kemudian renungkan, ternyata dia tidak memberikan sumbangsih apapun bagi pengembangan konsep patriotisme.

Kembali pada kecenderungan semiotika menjadi sebuah alat analisis teks ketimbang paradigma. Ketika Semiotika dipandang sebagai paradigma, maka ia tidak menyempit hanya sebagai metode analisis. Paradigma semiotik memungkinkan peneliti melihat setiap peristiwa, fenomena, media, dan gejala alam dengan cara pandang semiotik.

Misal, di Tartu University, tempat Muzayin mengambil program doktor Semiotika, hadir beragam kajian berdasar semiotika. Seperti Semiotika Budaya (culture semiotic), zoo semiotic, bahkan ada yang belum lazim di Indonesia yang di Tartu disebut bio-semiotic.

Lalu ia melanjutkan penjelasaannya dengan memberikan contoh bahwa jika semua fenomena komunikasi, peristiwa dilihat sebagai sebuah sign, yang bisa kita lihat di level penerima, atau level produksi, atau di level konteks jika semua dilihat secara semiosis yang saling berkaitan, maka semua peristiwa bisa dianalisa menggunakan semiotika.