Forum AES  #11: Sejarah Semiotika dalam Kajian Komunikasi di Indonesia

Reading Time: 2 minutes

Semiotika sebagi sebuah metode analisis teks visual sudah sering kita dengar. Nama seperti Roland Barthes, Pierce, atau Saussure pasti juga tak asing bagi teman-temen komunikasi. Semiotika sebagai pisau bedah analisis bahkan pernah menjadi trend analisis di sekitar tahun 2000an terlihat dari adanya beberapa mata kuliah wajib di beberapa kampus di Indonesia.

Tetapi, Muzayin Nazaruddin, salah sorang pengajar di Ilmu Komunikasi Universitas Islam yang juga secara serius mempelajari semiotika dengan master dan menempuh Ph. D di University of Tartu, ingin melihat dalam gambaran lebih besar kecenderungan penggunaan metode yang jamak di lakukan di Indonesia. Semiotika harus dijadikan sebagai paradigma, alih-alih sebuah alat analisis teks.

Dalam acara Forum Amir Effendi Siregar (AES) pada 26 September 2020, Muzayin menunjukkan kecenderungan penggunakan tradisi semiotik yang itu-itu saja. Seolah sudah menjadi contoh bagaimana mengoperasikan metode semiotika dalam mengalisas film atau gambar. “Itu tidak salah, tapi membosankan.”

Dalam kelaziman penelitan menggunakan semiotika, misal, ada juga kelaziman yang sia-sia. “Misal kita menganalisis sebuah foto perempuan berjilbab, analisis detil, kita analisis jilbabnya, latarnya, apa yang ia pakai, analisisnya rumit. Denotasi dan konotasinya seperti ini. Lalu di ujungnya, kesimpulan ini menyimpulkan bahwa perempuan ini muslim,” Muzayin menjelaskan contoh penelitian semiotika yang umum di indonesia.

“Kelihatannya seperti ini keren, tebal skripsinya, tetapi Ini menyedihkan, karena untuk mengatakan perempuan berjilbab ini muslim tidak usah menggunakan semiotik. Anak SMA pun tahu bahwa jilbab adalah penanda seorang muslim. Di sinilah saya sering melihat penelitian semiotika gagal,” papar Muzayin mencontohkan lebih detil. Ini kan akhirnya membuat kajian semiotika menjadi membosankan, stagnan, dan tidak mengatakan apa-apa dan tidak berkontribusi,” kata Muzayin lebih jauh.

Bagaimana sebenarnya sejarah studi semiotika di Indonesia?

Perkembangan studi Semiotika di Indonesia bisa dilihat misal di tahun 1990an. “Di awal dekade 1990an kelompok studi mahasiswa belajar semiotika bukan dari teks-teks kuliah justru. Kemudian menurut Emmanuel Subangun mengatakan bahwa pada 1992 telah berdiri Lingkaran Peminat Semiotik  di Jakarta,” kata Muzayin. Ini cukup menggembirakan, menurutnya.

Bagi semiotika, komunikasi adalah titik sentral untuk memahami kebudayaan (culture), kata Muzayin. “Ini khususnya bagi cultural semiotics,” jelas Muzayin.  Sedangkan bagi Biosemiotics, komunikasi adalah konsep mendasar untuk memahani nature. Muzayin melanjutkan, bahkan bagi ecosemiotics, komunikasi adalah sentral untuk memahami dinamika relasi culture-nature.

“Di level hewan dan tumbuhan, bahkan semiotik dipahami sebagai komunikasi antara keduanya untuk melihat proses semiosis,” kata Muzayin menambahkan. Ini adalah perspektif yang perlu kita pahami bersama.

Analisis semiotika dengan model mikro analisis yaitu melihat unit analisis dengan detail dalam film: memecah, lalu melihat tanda-tanda dalam scene tersebut, lalu menerjemahkan dalam konotasi denotasi, indeks, simbol, dll.

Sebenarnya ada cara lain, misalnya analsis secara makro dengan melihat film tersebut, dengan mengaitkan berbagai fenomena atau konteks film itu dibuat lalu dianalisis. “Bagaimana kita melihat film sebagai sebuah sign yang hadir dalam sebuah sign system tertentu lalu dimaknai sebagai suatu petanda,” jelas Muzayin.