Reading Time: < 1 minute

Majalah yang berafiliasi dengan militer pada era 1939-1966 rupanya banyak membahas soal strategi militer, konsep politik, bagaimana mengorganisir masyarakat, hinga bagaimana pamong praja harus bersikap dan memimpin masyarakat.

“Tapi dari kontennya sebenarnya dapat ditarik garis tentang ‘bagaimana militer itu mempergunakan dalih Undang-Undang’ untuk take power legally,” ungkap Norman Joshua, mahasiswa doktoral Nortwestern University, pembicara dalam Forum Amir Effendi Siregar (AES) seru ke-12 pada Sabtu (3/10). Diskusi yang diadakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII ini ditayangkan langsung oleh TV online Uniicoms TV milik Komunikasi UII.

Media milik militer juga melakukan konter koran Harian rakyat yang notabene adalah milik golongan kiri. “Memang waktu itu tiap departemen punya terbitan. Chakra Vijaya milik korps Kehakiman Angkatan Darat. Tahun 60an, militer tidak hanya membicarakan tentang ancaman saja, atau soal dunia militer,” Kata Norman, “tapi juga soal hukum dan implementasinya di indoensia. Ada artikel juga yang membahas tentang siapa yang berhak mengadili dan menangkap tersangka di daerah yang termasuk dalam daerah masuk daerah keadaan perang.”

Selain membahas strategi militer, media militer juga membicarakan politik. “dan ini saat itu terlihat wajar dalam konsepsi Dwi Fungsi militer di Indonesia pada periode 1966,” kata Norman mengomentari mengapa konten media militer tak melulu bicara soal dunia militer.

Media milik militer terlihat sangat kentara menajamkan fokus kontennya untuk memiliterisasi kondisi sosial. Banyak hal di luar kewenangan militer mencoba diisukan dan dibahas dalam akademi hukum militer yang tercermin dalam majalah Chakra Vijaya milik Angkatan Darat.

Contoh lain adalah majalah Yudhagama dari Kementrian Pertahanan. Dan yang paling populer hingga beratahan lama itu adalah majalah Angkasa dari Angkatan Udara. “Mereka seakan sedang lomba dalam ‘battle field of discource’ dengan Harian Rakyat, seperti kita tau ada perdebatan wacana antara Militer dengan PKI di tahun 60an itu,” ungkap Norman.

Reading Time: 2 minutes

The film ecosystem in Kalimantan is underdeveloped and arguably non-existent. In fact, Kalimantan has abundant storytelling despite the lack of insight into the ecosystem and film traditions. That was before Ade started pioneering the film culture there. Ade Hidayat, UII Communications Alumni, class of 2005, shared his experience with live viewers of UII’s IP Communications Instagram (@ ip.communication.uii).

His presentation was delivered in the 12th episode of the routine talk show “Teatime” on September 18, 2020. The event hosted by M. Iskandar T. Gunawan, UII Communication Laboratory Assistant, also explored Ade Hidayat’s inspirational experience. For example, how he assembled his skills in film since he was in college in the first semester.

The story shows Ade is not a new player in the world of film. He is also a pioneer since his activities in the film community at UII Communication Department several years ago by building Kompor.kom (student community in film). His story soared to the story of his persistence in building a film culture in his hometown.

Lack of community and people who care about the film ecosystem is the most important issue why Ade wants to revive the film ecosystem in Kalimantan. Turning on the film ecosystem that Ade did not produce results so quickly. It took him seven years.

For 2 years observing the film ecosystem in Kalimantan, Ade finally got friends who matched his passion. Initially he made film screenings and a large map of film activity plans. This took five years. The first year, he created a program called Ngofi. (film talks) The second year, the film education year. The third year, he made a simple film production. Then in the fourth year, film production was carried out again and at the same time intensified its distribution. Unfortunately, the plans for the fifth year have stalled due to the Covid-19 pandemic.

The Consistency of Film Production

Ade’s spirit did not just appear. Many filmmakers in other areas also influenced it. For example, the Makassar film entitled Uang Panai, which cost about 450 million rupiah to produce. The target audience for this local film production can reach 550 thousand viewers.

Not only that, Uang Panai received a special award for Regional Film Production from the Indonesian Box Office Movie Award (IBOMA) in 2017. Ade Hidayat felt motivated and finally pioneered the film ecosystem in Kalimantan with Uang Panai’s success. The hope is that someday all the filmmakers in Kalimantan have films that deserve to be known throughout Indonesia and even the world.

In simple ways, Ade can now experience the strong film culture in the area. Absolutely, it doesn’t come out of a vacuum. The key to Ade’s success in the world of film lies in how during college he created social networks, collaborations, and has goals to stay consistent. “Communication is the key to everything, ”said Ade.

Gunawan, the Host in this discussion, shared a similar view. Lecture is a field to cultivate relationships, practice collaboration, and not forgetting consistency. “Get as much experience as possible while in the world of campus,” concluded Gunawan.

 

Writer: Ridwan Ainurrahman, UII Communication Science Student 2016, Internship at the UII International Communication Program.

Editor: A. Pambudi W.

 

Reading Time: 2 minutes

Ekosistem film di Kalimantan belum berkembang dan bisa dibilang sama sekali tidak ada. Padahal Kalimantan memiliki harta cerita yang melimpah meski kurangnya wawasan mengenai ekosistem dan tradisi film. Itu dulu, sebelum Ade mulai merintis budaya film di sana. Ade Hidayat, Alumni Komunikasi UII angkatan 2005, menceritakannya pengalamannya ini pada pemirsa live Instagram IP Komunikasi UII (@ip.communication.uii).

Paparannya tersebut disampaikan dalam acara bincang-bincang rutin “Teatime” episode ke-12 pada 18 September 2020. Acara yang dipandu M. Iskandar T. Gunawan, Laboran Laboratorium Komunikasi UII, ini juga mengulik pengalaman Ade Hidayat yang inspiratif. Misal bagaimana ia merakit keterampilannya di bidang film sejak masih kuliah di semester awal.

Kisahnya menunjukkan Ade bukan pemain baru dalam dunia film. Ia juga  merupakan pionir sejak aktifitasnya di komunitas perfilman di Komunikasi UII beberapa tahun silam dengan membangun Kompor.kom (komunitas mahasiswa di bidang film). Kisahnya melambung hingga cerita tentang kegigihannya membangun budaya perfilman di kampung halamannya.

Kurangnya komunitas dan orang orang yang peduli dengan ekosistem film adalah isu yang paling penting mengapa Ade ingin menghidupkan ekosistem film di kalimantan. Menghidupkan ekosistem perfilman yang dilakukan Ade tidak secepat itu membuahkan hasil. Ia membutuhkan waktu tujuh tahun lamanya.

Selama 2 tahun mengamati ekosistem film di kalimantan, Ade akhirnya mendapatkan teman yang sesuai dengan semangatnya. Mulanya ia membuat Screening Film dan peta besar rencana kegiatan perfilman. Ini , makan waktu lima tahun. Tahun pertama, ia membuat program yang bernama Ngofi. Tahun kedua, tahun edukasi film. Tahun ketiga, ia bikin produksi film sederhana. Lalu pada tahun keempat,  produksi film dilakukan kembali sekaligus menggencarkan distribusinya. Sayangnya, rencana di tahun kelima mandeg terhalang oleh pandemi Covid-19.

Produksi Film dan Konsistensi

Semangat Ade tak muncul begitu saja. Banyak juga sineas di daerah lain juga memengaruhi. Misalnya, film Makassar yang berjudul Uang Panai yang menelan biaya produksi sekira 450 juta rupiah.  Target penonton film produksi lokal tersebut bisa menyentuh angka 550 ribu penonton.

Tak hanya itu, Uang Panai mendapatkan penghargaan khusus untuk Film Produksi Daerah dari Indonesian Box Office Movie Award (IBOMA) pada 2017. Dari sini Ade Hidayat merasa termotivasi dan akhirnya merintis ekosistem film di kalimantan. Harapannya, kelak ia dan sineas di kalimantan memiliki film yang pantas dikenal di seluruh Indonesia bahkan Dunia.

Singkat cerita, Ade kini dapat merasakan budaya perfilman yang kental di daerahnya. Tentu itu tak muncul dari ruang hampa. Kunci sukses Ade dalam dunia film terletak bagaimana selama kuliah ia menciptakan jejaring sosial, kerjasama, serta mempunyai target agar tetap konsisten. Komunikasi adalah kunci dari semuanya,” ujar Ade.

Gunawan, Host dalam diskusi ini, mengatakan pandangan senada. Kuliah adalah ladang mengolah relasi, latihan bekerjasama, dan tidak lupa konsistensi. “Ambil pengalaman sebanyak-banyaknya selama berada di dunia kampus,” pungkas Gunawan.

 

Writer: Ridwan Ainurrahman, Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII 2016, Magang di International Program Komunikasi UII.

Editor: A. Pambudi W.

Reading Time: < 1 minute

KepadaYth.
Mahasiswa/Mahasiswi

Program Studi Ilmu Komunikasi
FPSB UII

Di Tempat

Assalamualaikumwr.wb.

Sehubungan sudah dimulainya semester baru Tahun Akademik Ganjil 2020/2021 Pogram
Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII, dengan ini kami
menginformasikan kepada Mahasiswa Angkatan 2013, 2014, 2015, 2016 yang menempuh
Tugas Akhir (Skripsi), harap menyelesaikan pembayaran administrasi pembimbingan
maksimal tanggal 10 Oktober 2020. Alur pembayaran selama Mitigasi Covid bisa dilihat di tautan berikut (akses dengan email UII):

Demikian surat pemberitahuan ini kami sampaikan atas perhatiannya diucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum wr.wb

Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi

Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom

 

Reading Time: < 1 minute

Berikut adalah daftar Mahasiswa dan Dosen Pembimbing untuk Bimbingan Skripsi/Tugas Akhir pada Tahun Akademik Ganjil 2020/2021 Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII (per 3 oktober 2020). Gunakan email UII anda untuk mengaksesnya.

 

 

Reading Time: < 1 minute

In order to welcome all of you as the new IPC family, We present an event entitled Academic & Study Skill. This event is still included in the series of welcoming to the all of 2020 IPC students.

This Academic & Study Skill event is held to help IPC new students as a provision of how to adapt to the college life and as a preparation for you to become a global future leader.  This series of Academic & Study Skill events will be filled by @hermanfelanitandjung . The program will be divided into two days which start from 3 – 4 October 2020. Per each day we will be having different topics and these are the topics that will be carried out at this year’s Academic & Study Skills:


1. How to be Global Student in the time of Pandemics
2. Global Experience And Global Skills As Future Global Leaders

In addition, there will be briefings from the UII Learning Center.  This series of events is mandatory for new IPC students in 2020 and is open to IPC students of 2018 & 2019 class.

So prepare yourself, don’t miss this event because we’ll be having a good time and getting a lot of insightful information.

See you IPC Friends!

Reading Time: < 1 minute

Teatime 14th edition will invite:

Nadia Wasta Utami – Lecturer of Departemen of Communication Science UII

The next International Program of Communication’s Teatime

Theme:
Master Your Public Speaking Skills Now to Boost Your Confidence

Live On Instagram

Schedule

Friday, September, 25th, 2020
Start at 3pm (UTC+7)Keep update on IGTV
@ip.communication.uii

 

Reading Time: < 1 minute

Diberitahukan kepada Mahasiswa/Mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu
Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia yanng sudah menyelesaikan skripsi dan kkk (magang),
Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII akan mengadakan Yudisium Sarjana yang Insya Allah
dilaksanakan pada :

Hari/Tanggal : Selasa , 27 Oktober 2020
Pukul : 10.00 WIB – selesai
Media : Zoom (Link Zoom akan diberikan H-1)

Mengingat pentingnya acara tersebut, Sdr/i disarankan untuk hadir tepat pada waktunya dan tidak
dapat diwakilkan tanpa perkecualian. Mahasiswa yang tidak dapat hadir pada waktu di atas,
yudisiumnya ditunda untuk periode berikutnya.

Demikian Informasi ini kami sampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih

Pendaftaran yudisium paling lambat hari Jumat tanggal 23 Oktober 2020 jam 16.00
Wib melalui

Link Zoom akan dibagikan H-1 melalui group WA

 

Reading Time: < 1 minute

Pelatihan dan Sertifikasi Public Relations (Skema Media Relations Officer)

untuk Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia

📆 Waktu:

8-10 Oktober 2020

 

🏬 Tempat :

STMM MMTC Jl Magelang, Yogyakarta. Pelaksanaan : Dilaksanakan secara luring dengan protokol Covid19 yang ketat dan peserta terbatas.

 

✅Penyelenggara :

LSP STMM MMTC

 

💰Biaya : Free.

 

🆗 Persyaratan yang wajib disiapkan peserta :
-Fotocopy KTP
-Fotocopy Kartu Mahasiswa
-Fotocopy Ijazah Terakhir
-Foto 3×4 2 lembar ( background merah)
-Wajib membawa laptop pada saat pelaksanaan

 

📞Bagi mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi UII yang sedang berada di Jogja dan berminat untuk mengikuti kegiatan tersebut silahkan menghubungi Pak Subhan Afifi (WA 081328351800)

Kerjasama LSP STMM MMTC dan Prodi Ilmu Komunikasi UII

 

Reading Time: 2 minutes

In the Amir Effendi Siregar forum on September 26, 2020, Muzayin Nazaruddin, Lecturer for Department of Communication Science of UII, conveyed some of the boredom and mistakes of researchers in Indonesia regarding the use of semiotic analysis in dissecting text in sign systems.

Muzayin, who is pursuing his Ph.D. study at Tartu University in the field of semiotics, sees the error in the perspective of semiotics by many researchers in Indonesia. “In Indonesia, semiotics is only seen as a method, not as a paradigm,” said Muzayin.

So far, if you want to analyze a text, images, videos, literary works, poetry, you will definitely use semiotics. “It’s a paradigmatic mistake. In communication there is a semiotic tradition, a way of looking at phenomena with a semiotic perspective,” said Muzayin.

Muzayin gave an example of a study that was commonly carried out by students and, unfortunately, also carried out by researchers. For example, research looks at what symbols appear in certain films or media. What is the meaning contained. For example, there are students researching patriotism in films. But if we then reflect on it, it turns out that he did not contribute anything to the development of the concept of patriotism.

Returning to the tendency of semiotics to be a text analysis tool rather than a paradigm. When semiotics is seen as a paradigm, it is not limited to just a method of analysis. The semiotic paradigm allows researchers to see every event, phenomenon, media, and natural phenomenon with a semiotic perspective.

For example, at Tartu University, where Muzayin took his doctoral program in Semiotics, there were various studies based on semiotics. Such as Cultural Semiotics, zoo semiotic, and even some that are not yet common in Indonesia which in Tartu are called bio-semiotic.

Then he continued his explanation by giving an example that if all communication phenomena, events are seen as a sign, which we can see at the receiver level, or at the production level, or at the context level if all are seen in a semi-related relationship, then all events can be analyzed using semiotics.