Reading Time: 2 minutes

Lately, students will often experience difficulties if looking for references that talk about Public Relations Management. Usually, students must refer to references about management, then according to later books on public relations. Not many reference books or textbooks in one package talk about management on the one hand, and public relations on the other.

Mutia Dewi, lecturer in strategic communication skills, has completed completing textbooks that can be used as a reference to fill out the minimum references on public relation management studies. Starting in 2019, the book is available and can be consumed by the public. The textbook given under the title ‘Public Relations Management’ (only available in Bahasa) is not only talking about public relations but also swooping in stories about the history of public relations, its relation to management, media relations, community relations, to how public relations practices with state agencies and consumers.

As in his introduction, Mutia Dewi wrote that management cannot be separated from what is called PR and communication. One of the pillars in management issues is the management of public relations based on a complete understanding of the concept of public relations (PR). PR is demanded to be the front door of the organization, both government agencies, private companies, communities, even the media that do not even escape from relations with the public. So, in this context, this book will discuss a lot of managerial communication, communication within the scope of management and public relations.

Not only that, although there was a discussion about the history of public relations, it will not merely a history book. You as a reader, especially a beginner, will be greatly helped to understand the concept of PR from the beginning. You will be invited to explore the journey of public relations from time to time, how the emergence of PR in the begining, who the founder is, for what and why PR should present in every managerial activity of the organization. Mutia Dewi, who has also been teaching and studying the PR and Strategic Communication for several years, presents you with the scope of public relations work and how the process works, if you will, eventually, become involved in the PR world, anywhere.

So it is not exaggerated if this book is called a comprehensive reference for textbooks on public relations management that are hard to find today. The comprehensiveness of this book is expected to broaden the horizons of students in the Communication Department of Universitas Islam Indonesia (UII). Finally, it seems appropriate to emphasize this book’s message as expected by the author, “Hopefully the presence of this book will add insight to PR students in seeing and finding interesting dynamics in the scope of public relations work. Hopefully.”

Reading Time: 2 minutes

Tak jarang mahasiswa akan mengalami kesulitan jika mencari referensi yang berbicara tentang Manajemen Public Relation. Biasanya, mahasiswa harus merujuk referensi-referensi tentang manajemen, lalu seturut kemudian buku-buku soal public relation. Belum banyak buku rujukan atau buku ajar yang dalam satu paket berbicara soal manajemen di satu sisi, dan publik relation di sisi yang lain.

Mutia Dewi, Dosen pengampu bidang keahlian komunikasi strategis, telah menyelesaikan menyelesaikan buku ajar yang dapat dijadikan rujukan untuk mengisi minimnya referensi itu. Mulai 2019, buku itu tersedia dan dapat dikonsumsi publik. Buku ajar yang diberi tajuk Manajemen Public Relation ini tak hanya bicara soal public relation an sich melainkan juga menukik dalam berkisah tentang sejarah PR, kaitannya dengan manajemen, media relation, community relation, hingga bagaimana praktik-praktik hubungan masyarakat dengan instansi negara dan konsumen.

Seperti dalam pengantar bukunya, Mutia Dewi menulis bahwa manajemen tidak bisa dilepaskan dengan apa yang disebut PR dan komunikasi. Salah satu penopang, jika tidak mau disebut yang utama, dalam manajemen adalah pengelolaan public relation yang berdasar pada pemahaman utuh tentang konsep public relation. PR di sini dituntut menjadi pintu depan organisasi baik itu instansi pemerintah, perusahaan swasta, komunitas, bahkan media sekalipun yang bahkan tak luput dari relasi dengan publik. Jadi, dalam konteks ini, buku ini akan banyak membahas komunikasi manajerial, komunikasi dalam lingkup manajemen dan public relation.

Tak hanya itu, meski ada pembahasan soal sejarah PR, ia bukan melulu buku sejarah. Anda sebagai pembaca, utamanya pembaca pemula, akan sangat terbantu untuk memahami konsep PR dari mulanya. Anda akan diajak menyelami perjalanan PR dari waktu ke waktu, bagaimana mulanya kemunculan PR, siapa pendirinya, untuk apa dan mengapa PR hadir dalam setiap aktivitas manajerial organisasi. Mutia Dewi, yang telah lama juga mendalami kajian PR dan Komunikasi Strategis, ini menyuguhkan pada anda pula ruang lingkup kerja-kerja PR dan bagaimana proses kinerjanya jika anda pada akhirnya nanti menggeluti dunia PR, di manapun.

Maka tak berlebihan agaknya jika buku ini disebut sebagai rujukan komprehensif untuk buku ajar soal manajemen public relation yang sulit ditemukan. Komprehensifitasnya buku ini diharapkan akan menambah luas wawasan dan cakrawala mahasiswa di Prodi Ilmu Komunikasi UII. Akhirnya, menutup tulisan ini, tampaknya patut ditegaskan pesan buku ini seperti apa yang diharapkan oleh penulisnya, “Semoga dengan hadirnya buku ini, akan menambah wawasan mahasiswa PR dalam melihat dan menemukan dinamika yang menarik dalam ruang lingkup pekerjaan PR. Semoga.”

Reading Time: 2 minutes

Jika anda mahasiswa Komunikasi UII periode mula-mula, atau paling tidak mahasiswa komunikasi dua atau tiga tahun belakangan, maka anda akan menemui mata kuliah Etika Profesi Komunikasi. Sejak Dikti menerapkan sebuah standar KKNI, maka mata kuliah itu dilebur menjadi Filsafat dan Etika Komunikasi. Standar baru kompetensi dasar inilah yang harus dicapai oleh seluruh mahasiswa strata 1 dengan apa yang disebut sebagai KKNI (Kurikulum Kompetensi Nasional Indonesia) dan ini sifatnya seluruh perguruan tinggi mau tidak mau harus mengikutinya. Begitu pula dengan Komunikasi UII.

Kabar buruknya, anda akan menemui kesulitan menemukan ragam buku atau referensi tentang Filsafat Komunikasi, apalagi kini ditautkan dengan Etika. Jika sebelumnya etika profesi komunikasi lebih menjelaskan secara praksis etika dalam melakukan kerja-kerja profesi yang berkaitan dengan dunia komunikasi, maka kini Filsafat dan Etika Komunikasi lebih banyak mendalami soal kajian-kajian dan landasan-landasan filosofis dalam memandang beragam fenomena komunikasi.

Mungkin nasib Mata Kuliah Etika Komunikasi atau Etika Profesi Komunikasi tak seburuk Filsafat. Anda mungkin akan menemukan beberapa referensi dengan lebih mudah jika mencari tentang Etika Profesi Komunikasi. Serangkaian kode etik beragam profesi mulai dari profesi jurnalis, perusahaan periklanan, hingga etika dan kode perilaku dalam penyelenggaraan penyiaran yang terkodifikasi dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) mudah dilacak dalam jagad maya bahkan toko buku. Namun filsafat komunikasi tampaknya tidak semujur itu, seperti kata Puji Rianto, penulis dan pengampu mata kuliah Filsafat dan Etika Komunikasi.

Maka dari itulah, Puji Rianto, dosen yang selama ini telah lama menggeluti dunia kajian regulasi, etika, dan filsafat komunikasi, sejak 2018 menyusun dan akhirnya pada 2019 merampungkan penulisan buku ajar untuk mata kuliah Filsafat dan Etika Komunikasi itu. Proyek penulisan buku ini sekaligus menjawab kurangnya rujukan tentang kajian etika, apalagi filsafat komunikasi. Mulai sekarang, mahasiswa Komunikasi UII akan dapat mencecap dengan mudah rujukan mata kuliah Filsafat dan Etika komunikasi, yang jika anda baca, tidak saja memenuhi standar perkuliahan, tetapi juga dapat menjadi bacaan paling dasar untuk membaca gejala dan fenomena komunikasi dengan cara pandang filsafat.

 

Reading Time: 2 minutes

If you are an UII Communication student in the early period, or at least students of Communicaton Department in the past two or three years, then you will meet the ‘Professional Communication Ethics’ course. Since the Ministry of Higher Education implemented a KKNI standard, the course was merged into ‘Philosophy and Ethics of Communication’. This new standard of basic competence must be achieved by all undergraduate students which is referred to as the KKNI (Indonesian National Competency Curriculum) and all the universities in Indonesia inevitably have to follow it. Likewise with Communication Department of UII.

 

The bad news, it is difficult to find a variety of books or references about Communication Philosophy, especially now linked and related to Ethics. If previously, the professional ethics of communication explained more praxis ethics in carrying out professional work related to the world of communication, then now Philosophy and Ethics of Communication is more concerned with the questions of studies and philosophical foundations in looking at various communication phenomena.

 

Maybe the fate of previous course (Profesional Ethics) is not as bad as ‘Philosophy and Ethics of Communication’. You might find some references more easily if you search about the Communication Ethics Professional. A series of ethics codes of various professions such as the journalist profession, advertising companies, to ethics and code of conduct in the conduct of broadcasting codified in the Broadcasting and Broadcast Program Standards (P3SPS) Guidelines are easily traced in the internet. In contrast, the condition of ‘Philosophy and Ethics of Communication’ does not seem to be as luck as it is, said Puji Rianto, MA., who teaches the course subject of Philosophy and Ethics of Communication.

 

Hence, Puji Rianto, a lecturer who has long been involved in the world of regulatory studies, ethics, and communication philosophy, has compiled since 2018 and finally in 2019 completed the writing of textbooks for the ‘Philosophy and Ethics of Communication’ course. The project of writing this book also answers the lack of references to ethical studies, and especially the philosophy of communication. From now on, communication students will be able to taste easily the reference to the ‘Philosophy and Ethics of Communication’ course. This book is easy to read, even though it talks about philosophy, it is not only meet the lecture standards, but also can be the most basic reading to read the symptoms and the phenomena of communication with a philosophical perspective.

 

 

Reading Time: 2 minutes

Is it possible for students to produce films at the level of widescreen films? How to use a cinema camera? Isn’t that RAW file difficult?

These Questions arose when Amirul Mukminin present at the PSDMA Nadim Communication UII public discussion entitled “Cinema Class – Master Camera”. The discussion that was held on Friday, (12/8) in the TV and Film Laboratory, Communication Department of UII gave a new perspective to the students of Communication Department of UII about cinema cameras and widescreen film production. For example, the matter of files produced by RAW extensions that has been considered as large capacity and difficult.

Amir actually denied it with an analogy. “The writing that I have written on this paper can be read, right? But if I roll this paper, I will fold it, becoming like this, of course it can’t be read right?” Amir said while making a simulation.

“Now the parable is like that. The RAW file results are like paper that I haven’t rolled and folded before. It’s easy and clear to read the writing inside. But the size is large because it contains metadata. All colors, temperature options, and others are stored in the RAW file metadata,” he continued. Whereas the folded paper is likened to a non-RAW film document that has been compressed into smaller sizes but the writing inside is hard to read. “Different file types, different quality. Now this REDcinema camera results are RAW files,” he said.

“Then what’s the advantage of using this RED Cinema camera?” Raihan, one of the participants, asked him. Aside from being the cheapest widescreen cinema camera among other cinema cameras, it is also easy because it uses RAW. “Because using RAW in RED, we can choose the temperature, color, and so on from the camera even when shooting without having to wait for an editing session on the computer. Save on the budget right?” Amir explained while demonstrating the use of temperature, color and other options from the RED camera. Besides giving an explanation on a presentation, Amir also invited all participants to practice operating the REDcamera with several other students playing the role of the host.

After practicing using REDcinema camera, Amir opened himself up to work with universities so that his students could use RED for free. “The requirement is student should produce competitive short video production and have quality ideas,” he said. Later Amir has collaborated with one of the universities in Yogyakarta to hold a short video idea competition. The student who wins the idea competition has the right to use his REDcamera for free. They will able to produce video and film for 3 days.

 

Reading Time: 2 minutes

Apakah mungkin mahasiswa memproduksi film selevel film layar lebar? Bagaimana menggunakan kamera sinema? Bukannya file RAW itu menyulitkan?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang muncul saat Amirul Mukminin hadir pada diskusi publik PSDMA Nadim Komunikasi UII bertajuk “Master Class Kamera Sinema”. Diskusi yang dihelat pada Jumat, (12/8) di Laboratorium TV dan Film, Prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII ini memberi perspektif baru pada mahasiswa Komunikasi UII soal kamera sinema dan produksi film layar lebar. Misalnya soal file hasil produksi film berekstensi RAW yang selama ini dianggap berkapasitas besar dan menyulitkan.

Amir justru membantahnya dengan sebuah analogi. “Tulisan yang sudah saya tulis di kertas ini bisa dibaca kan? Tapi kalau kertas ini saya gulung, saya lipat-lipat, menjadi seperti ini tentu tidak bisa dibaca kan?” Kata Amir sambil membuat simulasi.

“Nah perumpamaannya seperti itu. File hasil produksi berekstensi RAW itu seperti kertas yang belum saya gulung dan lipat tadi. Mudah dan jelas dibaca tulisan di dalamnya. Namun ukurannya besar karena berisi metadata. Semua warna, pilihan suhu, dan lainnya tersimpan di metadata file RAW itu,” sambungnya. Sedangkan kertas yang sudah dilipat-lipat itu diumpamakan dokumen film bukan RAW yang sudah dikompresi menjadi lebih kecil ukurannya tetapi tulisan di dalamnya sulit dibaca. “Beda jenis file, beda kualitas. Nah kamera REDcinema ini hasilnya adalah file RAW,” katanya.

“Lalu apa keuntungannya menggunakan kamera RED Cinema ini?” Tanya Raihan
Taruna, salah satu peserta. Selain ia adalah kamera sinema layar lebar yang paling murah di antara kamera sinema lainnya, ia juga mudah karena menggunakan RAW. “Karena pakai RAW di RED ini, kita bisa pilih opsi suhu, warna, dan sebagainya dari kamera bahkan langsung ketika shoot di lapangan tanpa harus menunggu sesi editing di komputer. Menghemat anggaran kan?” Jelas Amir sambil memeragakan penggunaan opsi suhu, warna, dan lainnya dari kamera RED. Selain memberi penjelasan, Amir juga mengajak semua peserta praktik mengoperasikan kamera RED dengan beberapa mahasiswa lain berperan menjadi pembawa acara.

Setelah praktik, Amir pun membuka diri untuk bekerjasama dengan perguruan tinggi agar mahasiswanya dapat menggunakan RED gratis. “Syaratnya ya harus produksi video pendek yang kompetitif dan idenya berkualitas, nanti bisa diaturlah,” ungkapnya. Belakangan Amir telah bekerjasama dengan salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta untuk adakan kompetisi ide video pendek. Mahasiswa pemenang kompetisi ide tersebut berhak menggunakan kamera RED miliknya gratis untuk produksi video dan film selama 3 hari.

Reading Time: < 1 minute

Eksistensi Film dokumenter tidak sefamiliar film fiksi pada umumnya. Film dokumenter berada di wilayah yang jarang sekali diperbincangkan. Meskipun begitu saat ini film dokumenter tidak hanya menjadikan stasiun televisi saja sebagai tempat untuk penayangannya. Belakangan sudah mulai banyak platform yang bisa menjadi tempat untuk film dokumenter dalam menunjukkan dirinya.

Perlu diketahui juga bahwa secara rating, dokumenter di Industri nasional sangat rendah. Pada industry film nasional, film dokumenter ada di pinggiran karena tidak populer. Film dokumenter memiliki penonton yang spesifik. Hal itu lah yang dirasakan oleh Tonny Trimarsanto sebagai seorang sineas dokumenter yang disampaikannya dalam Diskusi Bulanan PSDMA Nadim Komunikasi UII dengan tema Seluk Beluk Industri Dokumenter internasional yang digelar pada Kamis, 19 Juli 2018 lalu di RAV Prodi ilmu Komunikasi UII. Berangkat dari pengalamannya Banyak karya dari Tonny yang tidak di tayang di Nasional, tetapi mampu untuk tayang di region internasional.

Tonny juga menyebutkan bahwa sebenarnya film documenter memiliki lahan yang luas. Karena dokumenter bisa ditargetkan pada suatu region. “Membuat film dokumenter tidak perlu uang yang banyak, tapi semangat yang banyak,” jelas Tonny (19/7). Butuh kesabaran dan ketekunan dalam memproduksi documenter. Perlu pertimbangan alangkah lebih baik film untuk diproduksi ialah untuk yang mendekatkan antara isu dengan penonton. Selain itu juga perlu memperhatikan Timing yang tepat dalam menentukan pengeluaran film.

Penulis: Risky Wahyudi

Reading Time: 2 minutes

Terdapat enam kelas pelatihan yang ditawarkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII, di antaranya pelatihan kelas Film Dokumenter, Foto Story, Penulisan Esai, Produksi Program Radio, Penulisan Feature Berita, dan juga keorganisasian. Masing-maing peserta diwajibkan memilih salah satu dari opsi yang tersedia agar bisa lebih fokus untuk mempelajarinya.  Selama di camp tiap-tiap peserta diberikan materi dan didampingi oleh  fasilitatornya masing yang terdiri atas Dosen, Staf, Alumni UII, dan juga mahasiswa tingkat akhir yang berkompeten di bidangnya.

Keseriusan Media Camp 2018 juga terlihat tiap-tiap kelasnya pun juga turut menghadirkan Guest Speaker yang professional di bidangnya sebagai pemateri di salah satu sesinya. Seperti Anggertimur (fotografer freelance) untuk kelas Foto Story, Yohanes Aditya Sanjaya (Sineas Dokumenter) untuk kelas Film Dokumenter, Ella Arlika ( Program Director Geronimo FM) untuk kelas Produksi Program Radio,  Fahri Salam (Editor Tirto.id) untuk kelas Penulisan Feature Berita, Muhidin M.Dahlan (Esais Radiobuku) untuk kelas Penulisan Esai, dan juga Budhi Hermanto (Fasilitator lapangan – MPM Yogyakarta) untuk kelas keorganisasian.

Melalui Media Camp 2018 ini diharapkan mahasiswa mempunyai pemikiran baru yang lebih fresh dalam memproduksi produk media. Muzayin Nazaruddin, Kaprodi Ilmu Komunikasi UII mengharapkan kedepannya mahasiswa Komunikasi UII dalam memproduksi suatu karya memiliki konsep yang matang dan pesan yang kuat. “Yang terpenting bukanlah teknis, tapi pesan yang disampaikan,” ungkapnya dalam Sesi Orientasi dan Perspektif Produksi Media  (4/5/18).

Kegiatan ini ditutup dengan Rencana Tindak Lanjut (RTL) yang mana pesertanya melakukan diskusi bersama fasilitatornya masing-masing. Setelah workshop ini, peserta diminta untuk menggarap proyek yang sebenarnya dengan target sasaran untuk diikutkan lomba tingkat nasional dan juga dilakukan eksibisi terbuka untuk masyarakat umum.  Selama proses penggarapan proyeknya pun peserta masih didamping oleh fasilitatornya masing-masing untuk melakukan mentoring.

 

Penulis: Risky Wahyudi

Foto: Andi Zulham Jaya

Reading Time: < 1 minute

Reading Time: 2 minutes

Ketika melakukan aktivitas produksi media, tentu harus memiliki orientasi program dan perspektif yang jelas. Keduanya harus memiliki kedudukan yang kuat supaya mampu menghasilkan karya-karya yang berkualitas dan tepat sasaran. Adanya kedua hal tersebut mampu memberikan pandangan jelas tentang seperti apa idealnya paket produksi media yang harus dihasilkan.

Prodi Ilmu komunikasi UII mencoba menerapkan pemahaman pentingnya orientasi program dan perspektif dalam produksi media kepada mahasiswa melalui Media Camp 2018 yang digelar pada tanggal 4-6 Mei 2018 lalu. Kegiatan tersebut diikuti lebih dari 60 orang peserta yang merupakan perwakilan dari HIMAKOM dan Klub (KLIK18, KOMPOR.KOM, GALAXY, RedAksi, dan DISPENSI) yang ada di Komunikasi UII. Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari tersebut digelar di Hotel Pandanaran, Jalan Prawirotaman, Yogyakarta. Media Camp 2018 merupakan kegiatan workshop yang digelar untuk mewadahi mahasiswa mempelajari materi seputar produksi media, di antaranya Film Dokumenter, Penulisan Esai, Penulisan Feature Berita, Foto Story,  Program Acara Radio dan juga kelas organisasi yang diperuntukkan khusus HIMAKOM dan inti klub.

Pada sesi pertama peserta diberikan materi ‘Orientasi Program dan Perspektif dalam Produksi Media’ yang diikuti secara umum oleh peserta yang dimulai sekitar pukul 14:00 WIB. Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Muzayin Nazaruudin, selaku pemateri pada sesi tersebut membuka sesi materi dengan membandingkan foto yang dimuat di media surat kabar dengan foto dari Relawan dalam satu momen yang sama, yaitu erupsi merapi pada tahun 2010 silam. Ia menjelaskan bahwa setiap suatu peristiwa bisa dikisahkan dengan berbagai perspektif. Ia mengungkapkan dalam hal ini perlu pesan yang mesti menjadi perhatian dalam memproduksi karya. “Yang terpenting bukanlah terkait teknis, tapi pesan yang disampaikan,” ungkapnya (4/5/18).

“Pada hakikatnya suatu karya tidak ada yang objektif. Dipastikan selalu berangkat dari nilai yang diyakini,” jelasnya .

Muzayin juga menegaskan bahwa setiap karya yang bagus dipastikan mendapatkan pemahaman masalah yang bagus. Sehingga pada peltihan ini dimulai dari bagaimana cara melihat masalah. Sederhanya bisa dimulai dari hal-hal yang sepele.

“Dimulai dengan bagaimana cara mengidntifikasi dan memahami masalah, yaitu dimulai dengan observasi.,” tambahnya.

Setelah selesai materi pertama tersebut, peserta dipecah menjadi 12 kelompok untuk melakukan observasi. Tiap-tiap kelompok diminta untuk mengamati masalah, dan menggali informasi lebih dalam tentang isu yang diamati tersebut. Kemudian pada malam harinya masing-masing kelompok melakukan analisis sosial dengan fasilitatornya untuk mendiskusikan temuan lapangan yang telah didapatkan.

 

Penulis: Risky Wahyudi

Foto: Andi Zulham Jaya