Menulis bukan perkara mudah. Apalagi menulis agar banyak orang ikut membeli dan tertarik dengan produk jualan kita. Menulis untuk konten iklan terutama, tak bisa terlalu panjang, apalagi berbelit-belit. Konten iklan harus mengajak orang minimal berhenti melihat produk kita.

Kunci meraih konsumen adalah menulis copywriting yang eyecathing, simpel, dan tidak panjang. Langka memulai menulis untuk iklan tak bisa sembarangan. “Yang utama itu riset. Kita harus riset dulu sebelum menulis untuk advertising,” ujar Nasuha Ali, copywriter di Zenius Education, pada Jumat (27/8/2021) di acara bincang-bincang milik International Program yaitu Teatime, .

Nasuha Ali saat ini bekerja di edu tech zenius. Dia terbiasa menulis untuk kepentingan copywriting iklan Zenius. Nasuha berkata kemampuan kreatif dan menulisnya banyak dibentuk sejak kuliah. “Mata kuliah krisis itu terpakai sekali. IMC juga jadi kunci saya juga bergerak di dunia kreatif dan marketing. Penulisan akademik terutama jadi pondasi menentukan struktur tulisan,” katanya .

Adakah Langkah-langkah Melakukan Copywriting?

“Pertama tergantung brief nya. Copywriter dan content wirter beda. Kalo copywriter kan bekerja di kreatif untuk teks iklan. Itu tergantung dengan biefnya, desain grafis, creative, dan lain-lain,” kata Nasuha. Terutama langkah utama adalah riset. Riset kompetitor, riset segmen pembaca, lalu penentuan bahasa dan riset pesan.

“Lalu kemudian kita perlu menyesuaikan apa key message yang mau kita tonjolkan dalam konten iklan kreatif,” jelas Nasuha, yang juga alumni Komunikasi UII. “Pembagian tugas di produksi iklannya ada copywiter, graphic designer, atau dari bagian campaign, juga marketing,” Nasuha bilang, tim ini juga memertimbankan brand voice, key message, dan unsur estetik. “Intinya adalah kerja tim,” katanya..

Zenius, kata Nasuha, adalah perusahaan edukasi berbasis teknologi. Bimbingan belajar online. “Kami menyediakan satu platform di luar jam sekolah. Nah sekarang gurunya ada, bisa live, bisa langsung ngerjain latihan soal sampai try out,” katanya emnejlaskan profil Zenius.

Copywriter adalah orang yang menulis konten iklan digital. Outputnya menyediakan iklan yang eyecathing, simple, dan sesuai key message. “Bedanya kalau content writer atau SEO writer itu outputnya tulisan panjang, lebih dari 300 kata, gimana caranya kalo orang liat itu langsung beli atau klik. Ngebantu penjualanlah (sales).”

Ini penting sekali copywriter, kata Nasuha. “Orang sekarang kan jarang suka membaca panjang, jadi copywriter penting menulis untuk meraih konsumen lebih banyak secara singkat dan digital.”

Untuk Menjadi profesional, kita harus bisa menentukan menjadi generalis atau spesialis. Meskipun beberapa orang ada yang memilih menjadi generalis, bisa melakukan segala, tetapi sebaiknya menekuni bidang spesiaisasimu bisa menjadi arah sejak menjadi mahasiswa. Spesialisasi bidang kajian dan keahlian akan sangat menentukan ketika kamu memasuki dunia kerja profesional.

“Ada di dunia kerja itu ada yang dia milih jadi palugada, apa lu mau gue ada. Semua yang diminta, aku bisa. Atau kalau misal mau spesialis, ya sejak awal protofoio kamu itu mengarah ke spesialisasi yang mau kamu tuju,” ujar Nasuha Ali, copywriter di Edutech Zenius Education, pada bincang-bincang Teatime, Jumat, 27 Agustus 2021.

Lewat saluran tayangan langsung Instagram Live, Nasuha bercerita bagaimana ia mengawali karir dan berjibaku dengan rivalitas di dunia profesional. “Anak-anak komunikasi itu kan suka berkarya, nah karya dan portofolio ini yang jadi modal kamu menghadapi persaingan. Justru yang sudah punya pengalaman lebih banyak. Ada yang sudah punya pengalaman minimal satu hingga dua tahun, gimana fresh graduate bisa bersaing?,” papar Nasuha Ali, yang juga adalah alumni Komunikasi UII. “Ya perbanyak karya dan pengalaman project, bisa penelitian dengan dosen, program dengan teman, dan lain sebagainya. Pengalaman itulah yang menjadi daya saing kita dengan orang-orang profesional berpengalaman satu dua tahun itu,” katanya memberi saran.

Menurutnya, kegiatan kampus dan kuliah banyak membantunya mengahdapi dunia kerja. Banyak mata kuliah yang turut andil membantunya kini berkembang di dunia copywriter. “Dulu ada mata kuliah dasar-dasar soal teori penulisan, advertising, dasar soal PR (Public Relation), dan menulis rilis. Itu kita dilatih menulis di bidang minat komunikasi strategis,” papar Nasuha mengenang masa-masa kuliah

Dulu, Nasuha bercerita, ia sudah mencoba pengalaman berkarya ini dan itu. Mulai dari ikut program dosen, program karya bersama teman, hingga mendaftar di pekerjaan-pekerjaan yang dianggap sepele. Itu caranya untuk mengetahui kompleksitas dunia kerja. Ia juga akhirnya tetap harus berjuang mengirim ratusan lamaran. Saingannya, menurutnya, adalah mereka-mereka yang sudah berpengalaman kerja, meskipun lowongan itu diperuntukkan untuk fresh graduate. Kunci dan modal utama bersaingnya adalah pengalaman aktivitas di komunitas dan akademik ketika kuliah di Komunikasi UII.

 

 

To become a professional, we must be able to decide whether to be a generalist or a specialist. Even though there are some people who choose to be generalists, they can do anything, but it’s best if pursuing your field of specialization can be a direction since you are a student. Specialization in the field of study and expertise will be very decisive when you enter the world of professional work.

“In the world of work, there is someone who chooses to be a ‘yes man. Or, for example, if you want to be a specialist, from the start, your portfolio will lead to the speciality you want to go to,” said Nasuha Ali, copywriter at Edutech Zenius Education, during the Teatime talk show, Friday, August 27, 2021.

Through the live Instagram Live channel, Nasuha told how he started his career and struggled with rivalries in the professional world. “Students of communication like to create creative projects, so this work and portfolio are your capital to face competition.

Instead, they have more experience. How can fresh graduates compete with anyone who already has at least one to two years of experience?” said Nasuha Ali, who is also an alumnus of UII of the Department of Communications. “Yes, multiply the work and project experience, you can do research with lecturers, the program with friends, and so on. That experience is what makes us competitive with those professionals with one or two years of experience,” he advised.

According to him, campus and college activities helped him face the world of work. Many courses that contributed to helping him now thrive in the world of copywriting.

“In the past, there were basic courses on writing theory, advertising, basic PR (Public Relations), and writing press releases. We are trained to write in the field of strategic communication,” said Nasuha, reminiscing about his college days.

In the past, Nasuha told us that he had tried this and that work experience. Starting from participating in lecturer programs, work programs with friends, to registering in trivial jobs. That’s his way of knowing the complexity of the world of work. He also ended up still having to struggle to send hundreds of applications. 

The competitors, according to him, are those who have work experience, even though the vacancies are intended for fresh graduates. The key and the main competitive capital is the experience of community and academic activities while studying at UII of the Department of Communications.

In the midst of Independence Day, a sense of nationalism is not limited to flag symbols and flag ceremonies. Expressing nationalism in the midst of a pandemic can be done by doing small and simple things, but it can be very influential, done together. This can be done by students who are often embedded as agents of change.

Herman Felani, one of the lecturers at Department of Communications at the Universitas Islam Indonesia  (UII) offered the meaning of nationalism at the Teatime International Program of Communication Department, UII. Guided by Muhammad Daffa Athalariq, student class 2019, Saturday, August 20, 2021, we talked casually, discussing how to fill nationalism during a pandemic.

During a pandemic like this, any nuance loses its passion. August, which is usually filled with various competitions and other celebrations, can now only be done at home. Socializing is only limited to social media or the zoom room. In this condition at least, “If you can’t feel the vibe. But, we can put up flags, put up banners. It’s symbolic. It’s a trivial thing, but it awakens the spirit of nationalism,” suggested Herman if he couldn’t do anything else that was more useful.

On a higher level, on independence day Herman advised young people to convey good things as a nation. “If we can’t get together as a nation, imagine community we still apply. We are still one community by spreading good messages during the pandemic.

At the next level, Herman said that students can do simple and trivial things, but have great benefits. Herman described that many Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) have gone out of business. He gave an example of a neighbor who helps other neighbors whose sales are quiet due to the pandemic. “He helps sell his friend’s merchandise through social media accounts and online buying and selling accounts. This simple thing is not a big thing, but if many people do it, the benefits are great. It can help a lot of people,” said Herman as an example.

For Herman, nationalism is not just an independence day, a flag, or a ceremony. Nor is it about a particular geographic area, nor is it merely the hometown where I was born and raised. “Nationalism is humanity and justice. It’s not about the hometown where I was born and raised by my mother,” Herman said. Because now it is very felt that whatever happens on earth will have an effect wherever we are. Everything is connected.

International Communication Department program has been running since 2018. International programs are becoming increasingly important when the world is now interconnected. Now humans are no longer isolated by the state and nation, but have become global citizens. International competition and collaboration is a necessity. However, many students still feel that they do not have the English language skills to join the International Communication program.

The Teatime discussion this time, Saturday, August 20, 2021, talked about the International Program at Communications Department of the Univeritas Islam Indonesia (IPC UII). This discussion invited Ida Nuraini Dewi Kodrat Ningsih as Secretary of the International Program of Communication, UII. In this casual chat, they talked about how the lecture process at IPC is, what if you want to change the path from regular class to International class, what about international collaborations such as double degree, IPC UII student admissions, and other international activities at IPC UII.

Regarding lectures, IPC UII uses full English as an introduction to lectures. The same goes for assignments and exams. “Especially for lectures, if there are some students who find it difficult with full English, they can communicate with lecturers who are in charge of certain courses so that they use Indonesian on several occasions,” said Ida.

For some new students who are worried that they will not be able to participate in international programs, IPC UII provides a bridging program, which is a program that bridges students to adapt to learning through various academic preparations.

“There are special courses for new students so they can adapt, the program also includes how to write academically,” added Ida.

There was also Anggi, an IP Communication UII student who at first felt inferior because he felt his English skills were not good. But, after this program he lived, he was able to get used to it. In addition, he also saw that he was not alone, there were several other friends like him who were also still in the process of adapting to the English-academic nuance. “Over time I feel my ability to speak English has improved by itself.”

 

Di tengah hari kemerdekaan, rasa nasionalisme tak eebatas simbol bendera dan upacara bendera. Mengungkapkan nasionalisme di tengah pandemi bisa dilakukan dengan melakukan hal kecil dan simple, tapi bisa sangat berpengaruh besar dilakukan secara bersama-sama.  Hal ini bisa dilakukan oleh mahasiswa yang sering sekali tersemat sebagai agen perubahan.

Heman Felani, salah satu dosen pengajar di Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menawarkan makna nasionalisme di acara Teatime International Program of Communication DEpartment, UII. Dipandu oleh Muhammad Dafa Athalariq, ngobrol santai sore ini, Sabtu, 20 Agustus 2021, mengulik soal bagaimana mengisi nasionalisme di kala pandemi.

Saat pandemi seperti ini, nuansa apapun jadi kehilangan gairahnya. Agustus yang bisanya diisi dengan berbagai lomba dan perayaan lain, kini hanya bisa di rumah saja. Berssosialisasi hanya sebatas di sosial media atau ruang zoom. Dalam kondisi ini paling tidak, “If you cant feel the vibe. Tapi,  kita bisa memasang bendera, memasang umbul-umbul. Itu simbolisnya. Hal sepele, tapi membangkinkan spirit nasionalisme,” saran Herman jika memang tidak dapat melakukan hal lain yang lebih berguna.

Pada level yang lebih tinggi, di hari kemerdekaan Herman menyarankan anak muda untuk menyampaikan hal-hal yang baik sebagai sebuah bangsa. “kalau nggak bisa kumpul bareng sebagai sebuah bangsa, imagine community masih kita terapkan. Kita masih tetap menjadi satu komunitasdengan menyebarkan pean-pesan yang baik saat pendemi.

Pada level berikutnya, Herman menyampaikan bahwa mahasiswa bisa melakukan hal sederhana dan sepele, tapi punya manfaat yang besar. Herman menggambarkan banyaknya Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) banyak yang gulung tikar. Ia mencontohkan seorang tetangganya yang membantu tetangga lain yang jualannya sepi karena pandemi. “dia membantu menjual barang dagangan temannya melalui akun sosial media dan akun jual beli online. Hal simpel begini bukan hal besar, tapi kalau banyak orang melakukannya manfaatnya besar. Bisa bantu banyak orang” kata Herman mencontohkan.

Bagi Herman, nasionalisme bukan sekadar hari kemerdekaan, bendera, atau upacara. Bukan juga tentang satu wilayah geografi tertentu, bukan juga semata kampung halaman tempat lahir dan dibesarkan. “Nasionalisme adalah humanity and justice. Bukan tentang kampung halaman tempat aku lahir dan dibesarkan bunda,” kata Herman. Karena sekarang sudah sangat terasa bahwa apapun yang terjadi di muka bumi akan berpegaruh dimanapun kita berada.  Semua terkoneksi.

International program Communication Department seudah berjalan sejak 2018. international Progam menjadi kian penting dirasakan ketika kini dunia sudah saling terhubung. Kini manusia sudah tidak lagi terskat oleh negara dan bangsa, tapi sudah menjadi warga global. Kompetisi dan kolaborasi secara internasional menjadi kebutuhan. Tapi, banyak mahasiswa masih merasa kecil diri merasa tidak punya kecakapan berbahasa inggris untuk bergabung dengan International program Communication.

Diskusi Teatime kali ini, Sabtu, 20 Agustus 2021, berbincang soal International program Communication Department of Universitas Islam Indonesia (IPC UII). Diskusi ini mengundang Ida Nuraini Dewi Kodrat Ningsih sekalu Sekretaris International program of Communication, UII. Dalam ngobrol santai kali ini mereka berbincang tentang bagaimana proses perkualiahan di IPC, bagaimana jika ingin pindah jalur dari reguler class ke International class, bagaimana dengan kerjasama international seperti double degree, jalur penerimaan mahasiswa IPC UII, dan kegiatan international lain yang ada di IPC UII.

Tentang perkuliahan, di IPC UII menggunakan bahasa inggris sepenuhnya sebagai pengantar perkuliahan. Begitu juga dengan tugas dan ujian. “Khusus untuk perkuliahan, jika ada beberapa mahasiswa yang merasa kesusahan dengan full inggris bisa komunikasikan dengan dosen pengampu mata kuliah tertentu agar menggunakan bahasa Indonesia di beberapa kesempatan,” ujar Ida.

Untuk beberapa mahasiswa baru yang khawatir jika tidak mampu mengikuti internasional program, IPC UII menyediakan bridging program yakni sebuah program yang menjembatani mahasiswa untuk beradaptasi dengan pembelajaran melalui beragam persiapan akademik. “Ada mata kuliah khusus mahasiswa baru agar mereka bisa adaptasi, program itu juga ada di antaranya adalah bagaimana menulis akademik,” kata Ida.

Ada pula Anggi, mahasiswa IP Communication UII yang pada awalnya sempat minder karena merasa kemampuan bahasa Inggrisnya kurang baik. Tapi, setelah program ini ia jalani, ia sudah bia membiasakan diri. Selain itu ia juga melihat bahwa dia tidak sendiri, ada beberapa teman lain yang seperti dia yang juga masih berproses adaptasi dengan nuansa ingris-akademis. “Lama-lama saya merasa kempampuan saya berbahasa Inggris sudah improve dengan sendirinya.”

Assalamualaikum Wr. Wb.

Socialization of Student Interests for Class of 2019 (Regular and International Program)

All Students at the Department of Communications, FPSB UII, Class of 2019 (International Program Class and Regular Class) who will take the fifth (5) semester are required to attend the Socialization of Study Interests on:

Day/Date: Tuesday, August 24, 2021
Time: 13.00 WIB
Zoom Links     :

Thus we submit this notice. We thank you for your attention.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Prosedur bebas pustaka

Kalender Akademik FPSB UII Semester Ganjil 2021-2022 (per 15 Juli 2021) dapat anda lihat di laman ini atau unduh di tombol berikut:

 

Humans and nature coexist. But in recent years, the earth’s environment is not doing well. Human nature is greedy to make nature a victim. Earth, which was once beautiful, is now starting to be disturbed. Garbage that accumulates around us to deforestation causes an imbalance of nature.

 Starting from this idea about environmental issues, Gery Cahayanta Perangin Angin, Department of Communications at UII, student class 2017, did a final project entitled “Living Creatures and the Environment in Conceptual Photography.” His work uses multiple exposure or double exposure photo techniques. The man who is usually called Gery invites people who see his work to realize the importance of protecting nature through his eleven photographs.

Gery said that the idea of ​​this project originated from a sense of human concern for the environment that is not getting better. It took approximately five months to complete this work, from the end of 2020 to April 2021.

 “I often play in nature and often see damaged natural conditions. I am also often faced with problems related to nature. Then I studied conceptual photography and came up with ideas,” said Gery via Zoom, Wednesday (04/08/2021), in the discussion on the Work of Living Humankind and the Environment.

 Seeing the increasing number of covid-19 patients, Gery chose to conduct a digital photo exhibition. Gery thought about the impact that would be had if he showed an exhibition offline. It uses websites and apps ARTSTEPS to display his work so that everyone can enjoy it. Gery also uses Zoom as a medium for discussion about his work.

 In a discussion via Zoom that lasted for approximately two hours, a practitioner named Achmad Oddy Widyantoro also commented on Gery’s work. Achmad Oddy Widyantoro, commonly called Mas Oddy, is a practitioner who already has experience in photography. He was appointed as the examiner for Gery’s final project. He argues that messages and forms of criticism from photos must be conveyed to the public as a form of communication.

 In his observations, Gery’s work conveys his concerns about environmental damage such as deforestation, deformation, plastic waste, and extreme weather changes. According to him, the effort, execution, and visualization of the 11 photos presented by Gery have been able to convey a message to the audience.

 “This work attempts to express dissatisfaction with the environment by using photography as a means of conveying messages. Many are dissatisfied with the current state of nature but just keep quiet. Here Gery has taken action through these photos. In terms of effort, execution, and visuals, it’s good,” he said.

 Oddy added that Gery’s work is a type of conceptual expression photography because it conveys the reality or objectivity of the photographer. This work is presented in various ways, for example, with unique objects such as snack wrappers depicting garbage and various other depictions. This phenomenon was used as an experience and a source of ideas for Gery’s work.