Reading Time: 2 minutes

Masa pandemi tidak bisa dilewati dengan kerja sendiri-sendiri. Kerja-kerja yang dilakukan UII selama pandemi ini nyatanya bisa berhasil mengarungi deru deras pandemi covid-19 berkat kerukunan dan kerjasama seluruh pihak di UII.

“Di masa sulit ini, alhamdulillah kita masih bisa menikmati dan menjaga organisasi kita,” kata Suwarsono, Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (YBW UII), pada 20 Mei 2021. Menurutnya, ke depan banyak pekerjaan besar Yayasan Badan Wakaf yang harus dirampungkan. Di antaranya menyelesaikan pembangunan gedung Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Agama Islam akhir tahun ini.

Selain itu juga, katanya, YBW UII harus selesaikan pembangunan RS JIH di Purwokerto, “yang ini mustahil kami lakukan tanpa kerjasama bapak ibu sekalian. Terima kasih selama ini sudah mengarungi masa sulit ini. Resepnya, seperti yang disebut Pak Syamsudin tadi, rukun, kerja sama, sabar,” katanya. “Alhamdulillah ini telah kita miliki di lembaga kita ini,” ucapnya. Ia berterima kasih pada semua pihak (di UII) yang telah ikut berperan serta agar lembaga UII ini selamat dan tetap bertahan di tengah pandemi untuk mencapai cita-citanya. “Di masa sulit, kita masih bisa menikmati gaji dengan cukup, tunjangan hari raya, yang di tempat lain tidak, saya rasa itu yang harus kita syukuri,” paparnya kemudian.

Suwarsono mengatakan hal itu pada sambutannya di Halalbihalal daring Keluarga Besar UII bertajuk Maafkan kesalahan, Jaga Erat Tali Persaudaraan, dan Raih Kemenangan di Tengah Terpaan.

Fathul Wahid, selaku Rektor UII juga mengucapkanTerima kasih pada seluruh staf, tendik, dosen, keluarga, alumni, mahasiswa, mitra, lembaga mahasiswa dan seluruh pihak civitas akademika UII.

Ia mengajak seluruh pihak UII memaknai syawal sebagai proses kembali pada fitrah.

“Mari kita kembali pada fitrah, asal kejadian kita diciptakan sebagai manusia. Karakter awal manusia. Diantaranya adalah fitrah personal seperti tunduk, menebar damai, melakukan interaksi positif dan saling menghargai, hidup sederhana, dan lain-lain,” katanya dalam sambutan halalbihalal tersebut.

Selain fitrah personal, ia juga mengajak kembali pada fitrah sosial. Karakter saling membantu, mengajak pada kebaikan, saling bersabar, dan semua yang menguatkan kolektivitas kita sebagai manusia. Lingkupnya bisa dalam tingkat keluarga, perkumpulan, organisasi, persyarikatan, kelompok, hingga negara.

Acara dimulai dengan pembukaan oleh Mila Minhatul Maula sebagai pembawa acara, lalu dilanjutkan dengan pembacaan kalam ilahi oleh Yusril Syuaib, Qori yang juga mahasiswa dari Prodi Kimia FMIPA UII. Pada kesempatan selanjutnya sambutan disampaikan oleh Muhammad Raditya Adhyaksa, Ketua Dewan Permusyawaratan Mahasiswa UII, Achmad Tohirin, Dosen FE UII sekaligus Ketua Ikatan Pegawai UII, dan Samsudin sebagai Ketua Paguyuban Pegawai Purna Tugas UII. Halalbihalal daring juga ini mengundang Prof. Dr. KH. Habib Chirzin. Habib Chirzin aktif di International Institute of Islamic Thought dan Islamic Forum for Peace, Human Rights and Development, dan Muhammadiyah.

Reading Time: 2 minutes

Further study is the struggle to build an intellectual journey. Naturally, ups and downs become daily in every process. Not infrequently, constant motivation is the key. Intellectual processes need to be passed from building to testing ideas.

Masduki, a Department of Communications lecturer, and Raden Retno Kumolohadi, UII Psychology Lecturer, are both new FPSB doctors and attended the Farewell event for Lecturers and Education Personnel of the Faculty of Psychology and Socio-Cultural Sciences, Universitas Islam Indonesia. At this event, the Dean of FPSB UII also gave a memento to Mr. Djiwanggo and Mrs. Indri, two FPSB education staff who have completed their tenure at UII so far.

At the event held on May 5, 2021, Masduki shared his experience while taking his doctorate in Munich, Germany. At first, he felt confident that he could complete his doctorate in up to three years. “I was confident when I submitted a research proposal to my supervisor. I thought this was cool,” said Masduki. Later, the five sheets of his research proposal that were considered good were asked to be revised by the supervisor. According to the supervisor, this proposal is more of an NGO program proposal. “So it’s not a proposal full of theoretical studies, I mean.”

“From there I believe, my struggle will be more than three years,” said Masduki while laughing, reminiscing about the early days. As a result, after that, Masduki had to read more and study various books. “I spent time from the library opening to closing. That was the first six months of his struggle,” he said.

Quick Recipe for Completing Doctoral Studies 

Retno Kumolohadi, another new doctor, said the recipe for completing doctoral studies was based on experience. “I think the most important thing is intention: to do something good. If that is the intention, we will get help from Allah SWT,” She said. She also greatly appreciated all employees, staff, and friends who have contributed to supporting the lecturers who are continuing their studies.

Another tip from Masduki, quoting Hegel, is that S3 is like tesis, antithesis, synthesis of Hegel’s words. “The doctoral degree person builds the thesis first. A kind of proposition. Then develops the antithesis,” He explained. “It’s like a building being beaten until it becomes strong. The process was during the antithesis building period. Now, the final process is the synthesis and I’m sure this has been completed,” He said.

On the other hand, Masduki believes that undergoing further studies is building an intellectual journey. “I also underline, I like to quote the Quran Surah Ali Imron verse 91. Inna fi kholqi fissamawati … li ulil albab. So if we take bachelor, magister, and doctoral then the end is ulil albab,” He said. “Well, we read the process. This is extraordinary,” He continued.

Ulil albab is the intellectual peak stage after Ulin Nuha. According to Masduki, ulinnuha is the level of scientists collecting knowledge, discovering and conveying it in class. “But if ulil albab is a scholar. So he is not only an intellectual explorer but also a learner, whose campus walls are not enough as a locus of devotion, but also has a dedication to the wider world,” He explained. “The ones in Gramsci are organic intellectuals. Not traditional intellectuals,” Masduki explained.

Traditional intellectuals are people who are only on campus conducting examinations, said Masduki. Intellectuals of this model think about how it impacts outside the campus.

“Hopefully we can go there. Hopefully later our friends can do the same and so that our faculty can have an international reputation,” concluded Masduki.

 

Reading Time: 2 minutes

Baca artikel pertama di sini. 

Ketahui akar Anda untuk melakukan magang. Itu tergantung pada apa yang akan Anda lakukan. Akan sangat membantu jika Anda memiliki sikap yang baik daripada hanya memiliki pengetahuan. Ketika Anda berpikir kompetensi Anda tidak sebaik orang lain, itu adalah celahnya. 

“Perasaan itu juga terjadi pada saya. Kuncinya hanya mensyukuri diri sendiri. Fokus pada diri sendiri, bukan orang lain,” kata Yasser Muhammad Syaiful, Country Head ELSA, Corp, pembicara di International Program of Communication (IPC) Workshop . Workshop kali ini diberi judul “Workshop Persiapan Magang untuk Masa Depan Global” Cicil.co.id feat IPC. Workshop ini juga bekerjasama dengan Elsa Speak dan diadakan pada 5 Mei 2021. 

Pada kesempatan itu, banyak juga mahasiswa yang mengajukan pertanyaan untuk mempertajam pemahamannya. Misalnya, Nadhira Mutia, mahasiswa International Program, menanyakan tentang curriculum vitae (CV). “Bagaimana cara memberikan bukti terbaik pada CV kita?”

Yasser mengatakan bahwa tugas kita adalah memastikan HRD mengetahui siapa kita. “Bersikaplah jujur ​​dan artikulatif, berikan gambaran terbaik tentang Anda, cantumkan nomor Anda di sana. Ini menunjukkan bukti dan kredibilitas Anda,” Yasser menjawab.

Yasser juga menekankan pentingnya kegiatan ekstrakurikuler. “Pertama-tama, Anda sudah bergabung di organisasi mana pun. Catat organisasi dan peran Anda. Bikin urutannya,” kata Yasser. “Setelah itu, Anda bisa menggambarkannya. Anda harus mendeskripsikan diri Anda dan juga hasil atau pencapaian Anda di organisasi. Jelaskan apa peran Anda di sana, apa dampak Anda di sana,” tambah Yasser. Dengan menjelaskan peran kita dalam organisasi, perekrut akan tahu bagaimana kita menangani masalah dan bagaimana kita menyelesaikannya. “Mereka juga akan tahu caramu menghadapi orang.”

Menggunakan aplikasi Linkedin juga dapat membuat CV kita lebih baik. Linkedin sudah memiliki standar pengukurannya. Buat profil yang bagus di Linkedin. Yasser mengatakan bahwa CV kita di Linkedin adalah cara termudah untuk membuat profil yang baik.

Pertanyaan lain datang dari Baiq Muthia Maharani, “Apakah Anda pernah melakukan kesalahan dan kegagalan, dan bagaimana menanganinya?”

Yasser mengatakan bahwa kita sudah harus memiliki pola pikir bahwa membuat kesalahan itu tidak masalah. “Ini yang saya lakukan, saya mencatata kesalahan dan kegagalan lalu saya tempel di catatan saya. Setiap kali saya menemui kesalahan, saya tinggal memasukkannya dalam daftar dan menempelkannya di catatan tempel saya,” kata Yasser. Idenya adalah selama Anda tahu kesalahannya dan Anda bisa mencegahnya, apa sisi baiknya, dan bikin list. “Tidak apa-apa untuk membuat kesalahan, meminta maaflah, dan Anda akan dapat menemukan cara untuk memperbaikinya.”

Di sesi terakhir, Yasser mengingatkan kita bahwa yang kita perlu miliki hanyalah mendapatkan empat pola pikir ini: tahu mengapa, menjadi diri yang baru, laksanakan rencana, dan evaluasi. Jika Anda tidak memiliki keempat pola pikir ini, Anda tidak akan termotivasi untuk melakukan yang terbaik.

Reading Time: 2 minutes

Studi lanjut adalah perjuangan membangun perjalanan intelektual. Wajar jika jatuh bangun menjadi makanan dalam setiap prosesnya. Tak jarang, motivasi yang ajeg menjadi kunci. Proses intelektual perlu dilewati mulai dari membangun, hingga menguji gagasan.

Masduki, dosen komunikasi UII, dan Raden Retno Kumolo, Dosen Psikologi UII, misalnya, keduanya adalah doktor baru FPSB dan hadir dalam acara Pisah Sambut Dosen dan Tenaga Kependidikan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia. Pada acara ini Dekan FPSB UII juga memberi kenang-kenangan pada Bapak Djiwanggo dan Ibu Indri, dua tenaga pendidikan FPSB yang telah merampungkan masa pengabdiannya di UII selama ini.

Pada acara yang dilaksanakan 5 Mei 2021 ini, Masduki berbagi pengalamannya selama mengambil doktor di Munich, Jerman. Mulanya, ia merasa yakin dapat menyelesaikan doktoralnya hingga tiga tahun. “Saya sudah percaya diri waktu mengajukan proposal riset pada supervisor saya. Saya merasa ini sudah keren,” kata Masduki. Belakangan, 5 lembar usulan risetnya yang sudah dirasa bagus, diminta revisi oleh supervisor. Menurut supervisor, usulan ini lebih kepada usulan program sebuah NGO. “Jadi bukan usulan yang penuh dengan kajian-kajian teoritik, maksudnya.”

“Dari situlah saya meyakini, perjuangan saya akan lebih dari 3 tahun,” kata Masduki sambil terbahak mengenang masa-masa awal. Akibatnya, setelah itu, Masduki harus lebih banyak membaca dan menelaah beragam buku. “Saya sampai menghabiskan waktu dari perpustakaan buka hingga tutup. Itu enam bulan pertama perjuangannya,” ungkapnya.

Resep Cepat Menyelesaikan Studi Doktoral

Retno Kumolo Hadi, doktor baru lainnya, mengucapkan resep menyelesaikan studi doktoral berdasarkan pengalaman. “Menurut saya yang paling penting adalah niat: mengerjakan sesuatu yang baik. Kalau niat begitu kita akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT,” ungkapnya. Ia juga memberikan penghargaan yang tinggi pada seluruh karyawan, tendik, teman-teman yang telah berkontribusi mendukung para dosen yang tengah melanjutkan studi.

Tips lain dari Masduki, mengutip Hegel, bahwa S3 itu layaknya tesa, antitesa, sintesa kata hegel. “Tahapan orang S3 itu membangun tesanya dulu. Semacam proposisi. Lalu mengembangkan antitesa,” jelasnya. “Layaknya bangunan itu dipukuli sampe jadi kuat. Proses itu di masa membangun antitesa. Nah proses akhir ini sintesisnya dan yakin ini sudah selesai,” ungkapnya.

Di sisi lain, Masduki meyakini menjalani studi lanjut adalah membangun intellectual journey. “Saya juga memberi garis bawah, saya senang mengutip Quran Surat Ali Imron ayat 91. Inna fi kholqi fissamawati…li ulil albab. Jadi kalau kita ikut S1, S2, dan S3 ya ujungnya ulil albab,” katanya. “Nah prosesnya itu kita membaca. Ini luar biasa ini,” sambungnya.

Ulil albab adalah tahapan puncak intelektual setelah Ulin Nuha. Menurut Masduki, jika ulinnuha adalah taraf ilmuwan mengumpulkan pengetahuan, penemu dan menyampaikan di kelas. “Namun kalau ulil albab itu cendekiawan. Jadi dia tidak cuma penjelajah intelektual (intellectual explorer) tapi juga pembelajar, yang dinding kampus ini tidak cukup sebagai lokus pengabdian, tetapi juga punya pengabdian pada dunia yang lebih luas,” paparnya. “Yang dalam bahasa Gramsci itu intelektual organik. Bukan intelektual tradisional,” jelas Masduki.

Intelektual tradisional adalah orang yang hanya di kampus melakukan eksaminasi, kata Masduki. Intelektual model ini memikirkan bagaimana dampak ia di luar kampus.

“Semoga kita bisa menuju ke sana. Semoga nanti kawan-kawan juga bisa begitu dan sehingga fakuktas kita bisa bereputasi internasional,” tutup Masduki.

Reading Time: 2 minutes

Kunci untuk melakukan magang adalah harus mengetahui akar kita. Apa pun yang ingin Anda lakukan, apa pun yang akan Anda rasakan, itu tergantung pada Anda. Kuncinya ada pada Anda. Akan lebih baik jika Anda tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi juga sikap yang baik. Ketika Anda berpikir kompetensi Anda tidak sebaik mereka, itu adalah celahnya. 

“Perasaan itu juga terjadi pada saya. Kuncinya hanya mensyukuri diri sendiri. Fokus pada diri sendiri, bukan orang lain,” kata Yasser Muhammad Syaiful, Country Head ELSA, Corp, pembicara di International Program of Communication (IPC) Workshop . Workshop kali ini bertajuk “Workshop Persiapan Magang untuk Masa Depan Global” Cicil.co.id feat IPC. Workshop, yang diselenggarakan pada 5 Mei 2021, ini juga bekerjasama dengan Elsa Speak. 

Yasser mengatakan bahwa apa yang membuat mahasiswa menonjol dan berhasil tergantung pada empat kunci sukses, terutama dalam magang. Yang pertama adalah mengetahui faktor ‘mengapa’ dari Anda. “Sebelum melamar pekerjaan atau magang, ketahui faktor ‘why’ dari Anda. Setelah itu, Anda perlu bertransformasi menjadi diri Anda yang baru,” kata Yasser. 

Yang kedua adalah Anda harus melakukan proses tindakan nyata. Tanpa tindakan dan aksi, Anda tidak akan mencapai tujuan. “Komitmen melakukannya dengan disiplin juga menjadi kunci keberhasilan,” tambahnya kepada seluruh peserta workshop. “Dan yang terakhir adalah melakukan evaluasi. Dan ini akan memotivasi kita sebagai pribadi,” kata Yasser. Evaluasi membuat kita tahu apa yang lebih baik dan apa yang salah dalam mencapai tujuan kita. 

Emi Zulaifah, Wakil Dekan Fakultas FPSB UII, juga banyak berbagi poin dengan seluruh mahasiswa yang akan mencoba melakukan magang sebagai mahasiswa internasional. “Menurut saya magang adalah hal yang baik. Saat melakukan magang, banyak mahasiswa akan mendapatkan perspektif yang berbeda dan juga semangat dalam belajar.

“Sungguh, semangat belajar bisa dibawa kemana-mana. Anda masih sangat muda, hari semakin cerah dan itulah Anda. Dengan magang, kita akan belajar banyak,” kata Emi memotivasi mereka. 

Kedua, sebagai mahasiswa UII, menjaga integritas itu penting. “Anda akan mendapatkan pengalaman profesional, Anda harus menjaga integritas. Dan bawalah itu dengan penuh integritas ke dalam perjalanan magangmu,” kata Emi.

Kalau mau jadi pemimpin, Anda harus membuat mahasiswa memahami masyarakat dengan KKN, dan Anda akan melihat banyak ketimpangan di sana. Semua pengalaman semacam ini akan memberi para mahasiswa ide, apapun jenis masalah yang akan mereka hadapi. “Saya pikir itu sama jika Anda nanti akan magang, Anda akan melihat kenyataan. Kami percaya melakukan pemagangan akan membuka banyak peluang,” kata Emi. 

Berdasarkan Ida Nuraini Dewi, sekretaris program Program Internasional di Komunikasi, UII, mahasiswa akan magang setelah menyelesaikan ujian skripsi.

Ini adalah artikel pertama. Lanjutkan ke beirta yang kedua di sini

Reading Time: 2 minutes

The key to do an internship is must to know our roots. Anything you want to do, anything you will feel, it depends on you. The key is on you. It would be best if you had not only knowledge but also a good attitude. When you think your competence is not good as theirs, it is the gap. 

“Thats feeling also happens to me. The key is just to be grateful for yourself. Focus on yourself, not another person,” said Yasser Muhammad Syaiful, Country Head ELSA, Corp, the speaker at the International Program of Communication (IPC) Workshop. The workshop title is “Workshop Internship Preparation for Global Future” Cicil.co.id feat IPC. The workshop is also in collaboration with Elsa Speak on May 5th, 2021. 

Yasser said that what makes students stand out and succeed depends on four keys to success, especially in an internship. The first is to know your ‘why.’ “Before you applying for your job or internship, know your ‘why’. After that, you need to transform into the new you,” Yasser said. 

The second is you should have to make a process of real action. Without action, Zero action will reach no goal. “Commitment to do it with discipline is also the key to success,” added him to all workshop participants. “And the last is to do evaluation. And this will motivate us as a person,” said Yasser. Evaluation makes us know what is better and what is wrong in reaching our goal. 

Emi Zulaifah, as the Vice Dean of FPSB Faculty, also shares many points with all students who will try to do an internship as international students. “I think an internship is a good thing. When doing an internship, many students will gain a different perspective and keep the spirit of learning. 

“Really, the spirit of learning you can bring it everywhere. You are still very young, the day is rising and that is you are. By internship, We are going to learn a lot,” Emi said and motivated them. 

Second, as a student of UII, it is critical to keep integrity. “You go to professional experience, you bring with the integrity. And you bring it with integrity to your internship,” Emi said.

If you want to create a leader, you should make students understand society with KKN, and you will look there is a lot of imbalance. All this kind of experience gives them ideas about the sort of problem they will face. “I think it is the same if you go to an internship, you are going to see the reality. We believe doing intership will open alot of your opportunities,” Emi said. 

Based on Ida Nuraini Dewi, program secretary of International Program at Department of Communications, UII, the student will go to internship after finishing their final defense of the undergraduate thesis.

This is the first article. Continue to the second one here

Reading Time: 2 minutes

Read the first article here. 

Know your roots to do an internship. It depends on what you will do. It would help if you have a good attitude than knowledge only. When you think your competence is not good as theirs, it is the gap. 

“Thats feeling also happens to me. The key is just to be grateful for yourself. Focus on yourself, not another person,” said Yasser Muhammad Syaiful, Country Head ELSA, Corp, the speaker at the International Program of Communication (IPC) Workshop. The workshop title is “Workshop Internship Preparation for Global Future” Cicil.co.id feat IPC. The workshop is also in collaboration with Elsa Speak on May 5th, 2021. 

On that occasions, many students were also asking some questions to sharpener their understanding. For example, Nadhira Mutia, an International Program student, asking about curriculum vitae (CV). “How to provide best evidence to our CV?”

Yasser said that it is our task to ensure HRD knows who we are. “Be honest and be articulate, give the best picture of you, put your number there. It shows your evidence and credibility,” Yasser Answer.

Yasser also emphasized the importance of extracurricular activities. “The first thing first, you have already joined in any organization. List down the organization and your role. Just list down,” said Yasser. “After it, you can describe it. You have to put your description and also your result or achievement. Describe what your role there, what your impact there,” added Yasser. By describing our role in the organization, the recruiter will know how we deal with problems and how we solve them. “They will also know the way you deal with people.”

Use Linkedin apps also can make our CV better. Linkedin already has its measurement. Make your good profile on Linkedin. Yasser said that our CV in Linkedin is the easiest way to make a good profile.

Another question was came from Baiq Muthia Maharani, “Do you have any mistake and how to handle mistake?”

Yasser said that having the mindset that making mistakes is does not matter. “This is the way I did, I just put my note. Every time I just put the list and put it on my sticky note,” Yasser said. The idea is as long as you know the mistake and you can prevent it, it’s good, and list it. “It’s okay to make a mistake, just apologize, and you can find how to improve it.”

In the last session, Yasser reminds us that all we have is to gain these four mindsets: know why, be a new you, total action, and evaluation. If you have none of these four mindsets, you will not be motivated to do your best.

Reading Time: 2 minutes

Pandemi adalah berkah, dan Ramadhan menjadi menjadi momen mahasiswa seru untuk kolaborasi. Kenapa? Karena pendemi, semua kegiatan fisik dibatasi. Tapi justru karena tak mampu menjankau secara fisik dan kini semua kegiatan dilakukan secara online dan virtual, kolaborasi menjadi sangat mudah.

Momen Pendemi di tengah Ramadan ini menjadi kesempatan emas bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo. Kolaborasi Kajian Ekonomi Politik Komunikasi dilakukan antara Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII dan Ilmu Komunikasi UNS, ini bertepatan dengan bulan Ramadan, mereka menggagas Kelas Alternatif: Ngaji Ekopol Media yang untuk volume 1 ini akan dilakukan sebanyak tujuh pertemuan mulai dari 12 April 2021 hingga 24 Mei 2021. Ngaji Ekopol ini mendaku Annisaa Fitri, pemantik sekaligus Dosen Komunikasi UNS dan Dr. Rer. Soc. Masduki, Dosen Komunikasi UII, sebagai pemantik di sesi kuliah tamu khusus studi kasus penyiaran indonesia dalam kacamata Ekonomi Politik.

Beberapa tema yang diusung antara lain adalah Sejarah Media Penyiaran Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi politik Media, Pemikiran kritis dan Kritik katas Modernitas, Sejarah Studi Ekonomi Politik di Amerika, dan kajian pemikiran tokoh mulai dari Adorno dan Habermas tentang Culture Industry dan Public Sphere, Vincent Mosco tentang komodifikasi khalayak, konten, dan pekerja, Mosco & Chomsky soal komodifikasi imanen & manufacturing consent, hingga Fuch yang mengkaji soal digital labour, dan membaca kembali teori kritis di era digital.

Ada juga kuliah tamu dengan mendatangkan pakar seperti Masduki, Dosen Ilmu Komunikasi UII, yang konsen di sejarah ekonomi politik media penyiaran publik. Antusiasmenya pun lumayan tinggi yaitu rata-rata 40 hingga 50 partisipan.

Diminati Lintas Kampus dan Lintas Daerah

“Aku sama temen-temen UNS menggagas Ngaji Ekonomi Politik ini biar temen-temen (dari kampus lain) yang tertarik bisa ikut,” ungkap Alif Madani, salah satu Mahasiswa ilmu Komunikasi UII, angkatan 2016, yang turut menggagas kolaborasi Diskusi Ngaji Ekopol lintas kampus ini. Salah satu yang mendasari diskusi ini adalah ketertarikan banyak mahasiswa pada kajian kritis tetapi mereka tidak mendapatkannya di kurikulum kampus mereka. Gagasan mulanya berasal dari banyak pertemuan dalam forum yang digelar Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi/IMIKI antar daerah. Beragam diskusi dan obrolan digelar. “Malah di UNS mereka sudah punya komunitas kajian ekopol lebih dulu yang merasa perlu memperdalam kajiannya,” kata Alif.

Peminat diskusi inipun tak hanya dari Kampus UII dan UNS saja. Mahasiswa dari kampus lain juga banyak yang tertarik mengikuti diskusi Ekopol ini. Peserta lain berasal dari kampus jateng-DIY antara lain adalah Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan, Unversitas Respati Yogyakarta, Sekolah Tinggi Pemerintahan Desa APMD, Universitas Pembangunan Nasional “veteran” Yogyakarta, dan juga ada dari luar kota seperti Universitas Tarumanegara, Universitas Tidar Magelang, dan Univ. Nurul Jadid Probolinggo.

Berawal dari ngobrol-ngobrol dan diskusi informal, “diskusi ini merupakan dorongan dari temen-temen di Solo yang pengin belajar perspektif kritis di komunikasi, tapi di kampusnya masih minim bahkan nggak ada. Jadi tanggung jawab moral juga temen-temen Jogja yang sudah lebih dulu belajar ekopol dan kajian kritis lainnya dari ruang kelas kuliah di Komunikasi UII,” jelas Alif sebagai salah satu inisiator dari Komunikasi UII.

(gambar properti milik #NgajiEkopolmedia)

Reading Time: 2 minutes

On January 4, 1946, a secret carriage group containing Soekarno and his friends arrived at Tugu Train Station, Yogyakarta. Their arrival marked the move of the capital from Jakarta which had been occupied by Allied forces from NICA (Nederlandsch Indië Civiele Administratie) to Yogyakarta.

The Indonesian government moved several Indonesian Ministries to Yogyakarta, including the Ministry of Information, which was then followed by the Indonesian Film Agency (BFI). The transfer of the two institutions prompted artists and republican sympathizers to also move to Yogyakarta. This incident made Yogyakarta at that time not only the center of Indonesian government, but also the center of arts and cinema in Indonesia.

Four Key Actors

“There are four important actors in Yogyakarta as the capital of Indonesian films: the Indonesian Film Agency, the Ministry of Information, Mataram Entertainment, and Kino Drama Atelier,” said Dyna Herlina Suwarto on Saturday, April 24, 2021. Dyna speaks in the discussion entitled Yogyakarta as the Capital City of Indonesia’s Film. This webinar is held by the collaboration of the PSDMA Nadim and KNSK. PSDMA Nadim is stands for Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA) Nadim Department of Communications UII. KNSK is stands for National Consortium for History of Communication (KNSK).

The Speaker who is familiarly called Dyna is a lecturer in the Communication Department at Yogyakarta State University. She is also founder of Rumah Sinema, and NGO who is focused on youth and media literacy. She is also active in the Indonesian Film Reviewers Association (KAFEIN). Currently, Dyna is undertaking doctoral studies in Film and Television Studies, University of Nottingham.

Dyna stated that Yogyakarta in 1946-1949 could be called the media capital, because Yogyakarta was considered a safe place that allowed economic, knowledge, cultural and political interactions. Creative actors from various parts of Indonesia also interact with each other and expand local, national and international networks. Finally, the relatively stable conditions in Yogyakarta allow for capital accumulation, market expansion and distribution systems.

Media Capital

When the media capital discussed by Michael Curtin was initiated by the private sector, Yogyakarta as the media capital was actually owned by the state as the main actor.

“In modern media capital , as mentioned by Curtin, the objective is financial accumulation. Meanwhile at that time in Jogja the main objective of media or films produced at that time was politics. Recognition of Indonesia’s independence and sovereignty as well as the accumulated knowledge of the film production industry itself,” said Dyna who also active in the Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF).

There are several films that are important to discuss in the Yogyakarta era from 1946 to 1949. One of the documentary film produced by the Indonesian Film Agency is Indonesia Fight for Freedom. This film was brought to the United Nations to gain recognition of Indonesian sovereignity. Apart from films, the establishment of film academies Cinedrama Institute and Kino Drama Atelier is also significant. These film academies has also become a milestone in the development of film in Indonesia.

Although in the end the Dutch attacked Yogyakarta on December 19th, 1948 and brought the film to a halt at that time, this era has become an interesting piece of film history in Indonesia.

——–

Reporter and Author: Rizky Eka Satya, UII Department of Communication’s student, Class of 2015. Internship at PSDMA Nadim at Department of Communications UII.

Editor: A. Pambudi W.

 

Reading Time: 3 minutes

Hasil Disertasi Dr. rer. Soc, Masduki, MA, salah satu dosen senior di Komunikasi UII, tak henti-hentinya didiskusikan dan dibedah dalam beberapa kesempatan diskusi online. Pada bulan Ramadan ini pun, diskusi tentang penyiaran publik kembali hadir mengisi waktu paska tarawih pada Senin, 3 Mei 2021.

Menariknya, diskusi kali ini digagas secara kolaboratif oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo. Bertepatan dengan bulan Ramadan, temanyapun adalah Kelas Alternatif: Ngaji Ekopol Media yang akan dilakukan sebanyak 7 pertemuan. Di kesempatan keempat ini, diskusinya adalah kuliah tamu mengusung Sejarah Media Penyiaran Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi politik Media dengan Masduki sebagai pembicara tamu. 50 partisipan mengikuti sesi ini.

Masduki mengatakan kemungkinan kalau orang Indonesia pasti bakal protes dan bertanya-tanya, “Ngapain riset tentang media penyiaran publik kita RRI TVRI yang secara market mengalami decline?” dari survey Nielson saja media penyiaran publik ini hanya medapatkan 2 sampai 2.5 poin. “Ini juga juga dipertanyatakan supervisor saya?” kata Masduki menceritakan pengalamannya memulai disertasi ini di Jerman.

Mengapa Topik Disertasi Penyiaran Publik Menarik?

“Saya tidak sedang meneliti sebuat institusi. Kita membicarakan sejarah lembaga penyiaran dalam konfigurasi politik yang sedang berubah di Indonesia. Sebuah lembanga penyiaran di sebuah bangsa yang sedang berubah, dan mengalami dinamika politik yang tidak stabil,” jawab Masduki kemudian.

Ketika bicara sejarah, pasti kita akan membayangkan kronologi tanggal dan bulan tertentu terjadinya peristiwa penting sejarah. Setidaknya begitu yang ada di benak kita ketika mendengar sejarah. Seperti bagaimana kita belajar sejarah di sekolah dulu. “Tidak seperti itu. Kita bisa saja cari di blog atau website tertentu selesai,” ungkap Masduki. “Melihat sejarah tidak melulu harus kronologis, tetapi memotret beberapa momentum penting sejarah lalu dilihat dalam dimensi yang lebih makro,” ujar Masduki.

Lalu Masduki memberikan gambaran salah satu chapter disertasinya dan buku yang membantunya dalam proses risetnya melihat gambaran penyiaran publik di negara-negara dunia ketiga. Ketika memulai chapter Sejarah Media Penyiaran Dunia Ketiga, Masduki menemukan sebuah Buku berjudul “Broadcasting in the Third World: Promise and Performing” oleh Elibu Katz (guru Besar University di Israel, dan Geoge Wedell.

“Buku ini menarik. Berisi tentang strategi orientasi dan performa konten media penyiaran 11 negara dunia ketiga termasuk Indonesia di tahun 70an, lalu di-compare dengan dunia pertama,” jelas Masduki.

Buku tersebut membantu Masduki dalam melihat fase sejarah media penyiaran Indonesia pada tahun 70an yang sangat kental dengan tiga hal. “Lintasan sejarah penyiaran di dunia ketiga, yang selalu menjadi platform penyiaran adalah, yang pertama, harus mendorong integrasi nasional.” Jelas Masduki yang kemudian menjadi tidak heran jika slogan RRI atau TVRI tidak jauh-jauh dari kata pemersatu bangsa atau media publik milik bangsa. “Yang seperti ini tidak ditemukan di negara dunia pertama.”

Yang kedua adalah Media menjadi corong pembangunan ekonomi dan sosial. Masduki meriwayatkan bahwa di Tahun 70 Peraturan Pemerintah nomor 55, PP pertama tentang penyiaran Indonesia yang isinya secara spesifik mematikan siaran politik di media komersial. Dan RRI menjadi corong pemerintah menyiarkan pembangunan, dan swasta disetir oleh pemerintah. Pada era Suharto inilah mendapatkan citra sebagai agent of socio-economic development.

Tujuan terakhir adalah perubahan dan kesinambungan budaya. Budaya menjadi yang utama dalam siaran saat itu. “Dan ini menjadi cenderung apolitis. Dan ini masih kita temukan sekali lagi sekarang,” ujar Masduki mengajak peserta untuk melihat dan mengenali penyiaran publik Indonesia yang masih didominasi oleh konten budaya alih-alih produk jurnalismenya yang kritis. “Pendek kata, menurut saya, walaupun ini dilakuka di 11 negara, kalau kita lihat, tiga hal ini masih menjadi warna paltform penyiaran kita,” simpul Masduki.

Ditarik mundur lagi di masa kepemimpinan Soekarno, menjelaskan berkembangnya ikon modernisasi dan simbol kemajuan pembangunan fisik di era sukarno. Jadi secara politik, penyiaran di indonesia bukan dibangun untuk mengakomodasi hak politik warga negara, melainkan tujuan politis alih-alih kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi. Sedangkan media penyiaran Publik pada masa paska reformasi penyiaran ia ibaratkan seperti, “By Law (secara hukum) penyiaran publik dilihat sebagai hal yang mencerdaskan kehidupan bangsa, namun faktanya lebih pada menyiarkan kebudayaan,” kata Masduki.