Pahami Jurnalisme Sensitif Gender Sebelum Menulis

Reading Time: 3 minutes

Perempuan masih menjadi minoritas, sedikit sekali perempuan yang menempati posisi strategis di media. Padahal kehadiran perempuan di posisi strategis internal media dapat mengurangi objektifikasi perempuan oleh media. Baik media film, televisi, iklan, game, dan produk-produk jurnalistik.

Objektifikasi perempuan oleh media sering terjadi juga karena perempuan dianggap sebagai komoditas menarik di media. Baik sebagai dalam bentuk penggambaran perempuan yang sangat laki-laki dan bentuk pelecehan terhadap perempuan.

“Misalnya body shaming atau joke-joke seksis yang tidak sensitif gender hadir dalam konten media,” kata Iwan Awaluddin Yusuf, mahasiswa doktoral Monash University, Australia pada 30 Mei 2021 di Diskusi Publik LPM Jumpa Universitas Pasundan.

Lalu bagaimana peran media dalam objektifikasi perempuan?

Menurut Iwan, ada peran media yang paling buruk misalnya media mereproduksi ketidaksetaraan dan mengkomodifikasi perempuan. Selain itu media juga melanggengkan dan merayakan objektifikasi perempuan. Peran lain dari media juga masih pasif dalam mengedukasi publik.

Seharusnya, harap Iwan, media dapat mengedukasi publik. Media sebaiknya menjalankan fungsi pengawasan dan pencegahan. “Yang paljng ideal dan progresif adalah media yang memainkan peran menerapkan dan mengembangkan jurnalisme sensitif gender,” ungkap Iwan. “Misal dilakukan teman-teman jurnalis di Konde dan Magdalene. Mereka berkomitmen berserikat dan melakukan advokasi thdp hak-hak perempuan dan marginal,” kata Iwan menyontohkan. Hak-hak seperti cuti haid, hamil, ruang laktasi dan lain-lain kerap disuarakan di media-media yang disebut Iwan tersebut.

Lalu apa yang harus dilakukan media? Apa yg harus dihindari?

Pekerja media, termasuk di pers mahasiswa, sebisa mungkin menghindari victim blaming. “Dalam peliputan, hindari membela pelaku, hindari menggunakan elemen-elemen yang sensasional, sadis, dan bombastis. Elemen yang ini di dalam kode etik jurnalistik ini melanggar,” jelas Iwan, Dosen Komunikasi UII, yang menjadikan jurnalisme sensitif gender sebagai kajiannya selama di Monash University.

Media arusutama, media pers mahasiswa, dan media komunitas penting memahami jurnalisme sensitif gender. Menurut Iwan, utamanya media publik seperti RRI dan TVRI berpotensi mengedukasi publik. “Kalau ada yang perlu kita kritisi adalah RRI dan TVRI tidak menjadi alat pemerintah, harapan itu tidak boleh putus, media apapun, perlu bersinergi soal ini (sensitif gender), termasuk dari RRI dan TVRI,” sambung Iwan.

Media juga bisa menyeimbangkan porsi narasumber dalam liputan-liputannya. Hal yang paling mudah adalah menyeimbangan narasumber laki-laki dan perempuan. “Juga menyeimbangkan narsum yang punya perspektif gender,” jelasnya pada peserta yang kebanyakan adalah mahasiswa.

Media massa hari ini juga sebaiknya bisa mengadopsi Unesco Gender Sensitive Indicator for media yang dirilis Unesco pada 2012. Dengan indikator ini setidaknya media bisa menerapkannya hingga di level organisasi atau manajemen. Media bisa menjalankan kebijakan yang pro perempuan dengan membuat struktur dan rekrutmen yang seimbang antara pengelola, pimpinnan dan jurnalis perempuan dan laki-laki.

Upaya-upaya ini penting untuk menghindari objektifikasi perempuan dan kelompok marginal di media hari ini.

Tantangan Media Hari Ini

“Startup atau perusahaan over the top (OTT) seperti google, YT, FB, twitter, dll belum semua mau mengambil tanggungjawab jika ada konten dan aplikasi yang tidak sensitif gender,” sebut Iwan. Iwan memandang tantangan media hari ini tidak hanya di kalangan jurnalis, melainkan di lingkup perusahaan dan media digital.

Belum lagi, fakta bahwa selama ini belum ada kurikulum sensitif gender di lingkungan akademik. Padahal ini juga penting untuk menghasilkan jurnalis dan praktisi media yang sadar gender.

Iwan juga merasa perlunya mendukung peningkatan kapasitas regulator media agar mampu mengidentifikasi berbagai bentuk objektifikasi perempuan. Regulator media, seperti KPI dan Dewan Pers, harus dapat melihat dan mengamati secara cermat wacana yang justru menghambat upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang muncul di media.

Pembicara lain, Nani Afrida, jurnalis di Anadolu Agency, mengatakan bahwa kebutuhan atas hadirnya media arusutama yang independen dan sensitif gender sangat dibutuhkan. “Posisi media ini sangat sulit independen karena dikooptasi oleh konglomerasi pemilik media. Posisi perempuan jadi sangat tidak terdengar,” katanya.