Reading Time: 2 minutes

Di sebuah sekolah inklusi ada desain universal yang harus matang disiapkan. Desain ini harus juga diimani oleh semua pihak yang terlibat dalam proses belajar mengajar. Tak hanya guru melainkan juga orang dewasa lain. Desain itu biasa disebut Universal Design for Learning (UDL).

UDL adalah sebuah kerangka berpikir yang memungkinkan orang dewasa menyediakan beragam pilihan kepada anak. “Anak bisa terlibat memilih cara menyerap informasi dan mengekspesikan hasil belajarnya,” kata Ana Rukma Dewi dari ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center), sebuah pusat informasi dan layanan anak usia dini, yang berbicara pada Sabtu, 5 Juni 2021 secara daring. Menurut Ana, cara pandang UDL ini harus memungkinkan tiga aspek pembelajaran yaitu Minat & Atensi, Penyerapan Informasi, dan Ekspresi.

Dalam aspek ‘minat dan atensi’, orang dewa dipercaya mampu merangsang motivasi dan mempertahankan antuasme siswa dalam beajar. Selain itu,dalam perpekttif UDL ini orang dewasa harus bisa mengenali minat dan kekuatan (potensi) anak.

Dalam aspek penyerapan informasi, orang dewasa dituntut untuk memeberikan informasi dan materi dengan berbagai cara agar siswa mampu memahaminya dengan mudah. Orang dewasa juga wajib untuk menyediakan bergam media belajar yang disesuaikan dengan gaya belajar anak.

Sedangkan dalam aspek ekspresi, orang dewasa harus mampu menawarkan berbagai pilihan dan dukungan agar setiap siswa dapat menciptakan, mempelajari, dan berbagi informasi sesuai dengan gaya dan ekpresi siswa. Orang dewasa juga harus menyediagam beragam metode penialain yang juga disesuaikan dengan ekspresi siswa.

Informasi dan materi dibuat dengan berbagai cara agar siswa mampu memahaminya dengan mudah. Orang dewasa juga wajib untuk menyediakan beragam media belajar yang disesuaikan dengan gaya belajar anak.

Holy Rafika Dhona, MA, Dosen Komunikasi UII, dan beberapa mahasiswa klaster riset ini menggelar diskusi ini sebagai rangkaian event pemberdayaan masyarakat dalam empat tema diskusi. Diskusi kali ini adalah diskusi yang pertama. Momen diskusi bersama Ana dari ECCDRC ini merupakan bagian dari implementasi kluster Riset Komunikasi UII yaitu klaster Geography and Environmental Communication.

Diskusi dengan tajuk ‘Rekoneksi 2021: pengenalan sekolah inklusi dan praktiknya di Indonesia’ ini berusaha mendiskusikan kembali ruang-ruang belajar bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Apakah ia sudah ideal, apakah masih sebatas jargon. “Ruang adalah konstruksi bersama termasuk juga ruang belajar untuk ABK. Sekolah inklusi selama ini sebatas slogan belaka, ”kata Dhona.

 

 

Reading Time: 2 minutes

The objectification of women in the media takes place in various forms and mediums. Starting from objectification in songs, films, advertisements, games, to journalistic content products. Women have always been objects and victims of media violence.

Iwan Awaluddin Yusuf said that something can be described as objectifying women if the content makes women objects, tools, and sexual commodities. “In addition, also check, are there any expressions, depictions, or dialogues that sound like harassment against women (body shaming, sexist jokes, etc.),” ​​said Iwan who is also a Communications Lecturer at UII, on May 30, 2021, at the Women in Media Perspectives a public discussion: Is it true that women are objectified by the media?

This discussion by the Student Press Institute/ LPM Meets Pasundan University, besides presenting Iwan as an academic, also presented from the perspective of women activists Poppy Dihardjo, and journalist Nani Afrida. Poppy is the initiator of Women Without Stigma at @pentasindonesia and Nani is a journalist at Anadolu Agency.

Iwan added that the full depiction of the Male Gaze (male perspective) must also be checked whether he is dominantly present in the visual or audio depiction produced by the media.

According to a doctoral student at Monash University, Australia, this media objectification is often also present by putting women as a form of the perpetuation of patriarchal values.

In front of more than a hundred participants, Iwan said, in the world of film, the practice of media objectification often occurs as well. “Many films with the title women (widows) create symbolic violence against women and widows,” said Iwan. Not only in movies, this also appears in song lyrics that use widow’s diction. There is symbolic violence that appears in the choices of song diction.

Seeing Gender and Media Issues through a Media Ecosystem Approach

Women’s representation in the media from the past until now is not far from placing women as commodity objects and not serious subjects. “In the past, women have never been shown (represented) in serious content. For example, news, why are women presenters and how are they arranged?” Iwan asked. “Say no to objectification. Towards women, towards men, towards you, towards us,” added Iwan.

Iwan provides a way to overcome gender issues in our media. “This has been an issue for a long time. This is actually a good way to build an egalitarian media. For example, women become media leaders, become directors, and enter the internal media ecosystem,” explained Iwan.

In the past, the public was the audience. Now it has changed. When the public is able to produce their own media which is eventually called prosumer, the public should also be able to remind and report the media to avoid objectification of women by the media.

Why is it important to avoid objectification? If the media objectifies women, then what Iwan calls double victimisation. “So women are not tried to be victims twice. Victims of sexual violence perpetrators, even victims by the media because the stories are published by the media that make women victims and media selling commodities,” explained Iwan.

Reading Time: 2 minutes

Objektifikasi perempuan dalam media berlaku dalam beragam bentuk dan medium. Mulai dari objektifikasi dalam lagu, film, iklan, game, hingga produk konten jurnalistik. Perempuan selalu menjadi objek dan korban kekerasan media.

Iwan Awaluddin Yusuf mengatakan sesuatu dapat digambarkan mengobjektifikasi perempuan jika konten menjadikan perempuan sebagai benda, alat, dan komoditas seksual. “Selain itu, cek juga, adakah ungkapan, penggambaran, atau dialog bernada pelecehan pada perempuan (body shaming, candaan seksis, dll),” kata Iwan yang juga adalah Dosen Komunikasi UII, pada 30 Mei 2021 di acara diskusi publik Perempuan dalam Kacamata Media: Benarkah Perempuan diobjektifikasi oleh Media.

Diskusi oleh Lembaga Pers Mahasiswa/ LPM Jumpa Universitas Pasundan ini selain menghadirkan Iwan sebagai akademisi, juga menghadirkan dari kacamata aktivis perempuan Poppy Dihardjo, dan Jurnalis, Nani Afrida. Poppy adalah penggagas Perempuan Tanpa Stigma di @pentasindonesia dan Nani jurnalis di Anadolu Agency.

Iwan menambahkan bahwa penggambaran penuh Male Gaze (perspektif laki-laki) juga harus dicek apakah ia dominan hadir dalam penggambaran visual atau audio yang diproduksi media. Menurut mahasiswa doktoral Monash University, Australia, ini objektifikasi media seringkali juga hadir dengan menomorduakan perempuan sebagai bentuk pelanggengan nilai-nilai patriarki.

Di depan lebih dari seratus partisipan, Iwan mengatakan, dalam dunia film, praktik objektifikasi media sering terjadi juga. “Banyak judul film dengan judul perempuan (janda) yang membuat kekerasan simbolik pada perempuan dan janda,” kata Iwan. Tak hanya film, hal ini juga muncul dalam lirik-lirik lagu yang menggunakan diksi janda. Ada kekerasan simbolik muncul dalam pilihan-pilihan diksi lagu.

Melihat Persoalan Gender dan Media melalui Pendekatan Ekosistem Media

Representasi perempuan di media dari dahulu hingga sekarang tidak jauh dari menampilkan perempuan sebagai objek komoditas dan bukan subyek yang serius. “Sejak dulu perempuan tidak pernah ditampilkan (representasi) dalam konten yang serius. Misal berita, kenapa perempuan presenter dan diatur sedemikian rupa?” Kata Iwan mempertanyakan. “Say no to objectification. Towards women, towards men, towards you, towards us,” imbuh Iwan.

Iwan memberi cara mengatasi persoalan gender di media kita. “Ini yang menjadi isu dari dulu. Ini sebenarnya cara yang baik untuk membangun media yang egaliter. Misalnya perempuan menjadi pemimpin media, menjadi sutradara, dan masuk ekosistem internal media,” kata Iwan menjelaskan.

Dahulu, publik sebagai audiens. Kini telah berubah. Saat ketika publik sudah bisa memproduksi media sendiri yang akhirnya disebut prosumen, maka publik juga seharusnya bisa mengingatkan dan melaporkan media untuk menghindari objektifikasi perempuan oleh media.

Mengapa penting menghindari objektifikasi? Jika media mengobjektifikasi perempuan, maka akan terjadi apa yang disebut Iwan sebagai double victimisation. “Jadi perempuan diupayakan tidak menjadi korban dua kali. Korban dari pelaku kekerasan seksual, bahkan juga korban oleh media karena ceritanya dipublish oleh media yang menjadikan perempuan korban dan komoditas jualan media,” jelas Iwan.

Reading Time: 2 minutes

Penulis itu sebaiknya punya tirakat. Seorang penulis harus menjadi pembaca yang “rakus” menekuni dan menguasai bidang keilmuan secara kaffah. Seorang penulis harus mempunyai slogan hidup, “tiada hari tanpa membaca dan menulis.”

“Menjadi penulis mudah. Namun menjadi penulis yang transformatif dan inspiratif membutuhkan modal pengetahuan yang luas,” tutur Zuhairi Misrawi, kolomnis kawakan dan pemikir muda muslim ternama di Indonesia pada Senin (31/5/2021). Ia hadir di Komunikasi UII membagikan pengalamannya 30 tahun menulis kolom dalam Kuliah Pakar Penulisan Esai daring.

Meski begitu, ia menuturkan, menulis itu cuma butuh dua modal: kemauan. Kemauan dan mengerti jam biologis pribadi kapan nyaman menulis. Jika kita telah menemukan ritme menulis, segera melanjutkan dan menyelesaikan tulisan tersebut. Modal kedua adalah keberanian. Keberanian menyampaikan sudut pandang. Sementara itu, sudut pandang yang bagus dipengaruhi oleh bacaan. “Seorang penulis akan kelihatan apakah ia rakus membaca atau tidak,” katanya. “Tulisan harus komunikatif, berkomunikasi dengan pembaca seakan mereka terlibat dan berdialog dengan pembaca.”

Menurut pria lulusan Universitas Al Azhar, Mesir, ini penulis harus punya academic mindset: Cara berfikir akademis. Cara berfikir akademis itu harus bisa berfikir metodologis. Artinya ia harus berdasar teori (theory driven). “Apa yang kita pikirkan berbasis teori dan metodologi yang kuat. Berpikir rasional itu tidak bisa seenaknya berfikir, dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, masuk akal,” jelasnya kemudian.

Selain ilmiah, mahasiswa yang ingin menjadi penulis tidak boleh lupa untuk berfikir argumentatif. “Maksudnya berfikir itu ada argumennya. Argumen sejarah, antropologis, politisnya seperti apa,” imbuhnya. Tak hanya itu, mahasiswa juga sebaiknya menulis dengan cara berpikir kritis reflektif. Gunakan bahasa yang baik, benar, dan mengalir dan kaya gagasan khas mahasiswa.

Zuhairi menekankan, “Mahasiswa harus menulis bukan deskriptif, harus mempertanyakan. Berpikir kreatif itu bisa melakukan apa saja seperti yang kita hendaki. Out of the box.”

Diskusi yang dipandu oleh Risky Wahyudi dan Sumekar Tanjung, Dosen pengampu Mata Kuliah Penulisan Akademik, ini menjadi pengayaan berharga bagi mahasiswa Komunikasi UII dari begawan penulisan esai dan kolom kaliber nasional.

Tipologi Tulisan ala Hegel

Berdasar perspektif hegel, kata Zuhairi, tulisan yang paling mudah adalah tulisan dengan tipologi tesa. Tipologi ini hanya mendeskripsikan gagasan yang sudah ada. “Saya menantang mahasiswa menulis dengan tipologi anti-tesa yaitu tulisan yang mengkritik ide yang sudah mapan. Harusnya juga tulisan mahasiswa itu yang transformatif inspiratif yaitu tipologi sintesa: Memberi solusi dan melahirkan ide baru,” kata Zuhairi mengutip dialektika Hegel.

Menulis adalah tindakan peradaban karena ia mewarisi pikiran kepada generasi yang akan datang. Kalau kita menulis, kita masuk dalam bagian peradaban dunia. “Misalnya, buku-buku saya sudah masuk di satu rak khusus di Perpustakaan dunia, di Harvard, di Cambridge. Dari situ tulisan kita akan menjadi bagian peradaban dunia, menjadi referensi orang,” ungkapnya.

“Karena kita mewarisi peradaban, maka menulis adalah pekerjaan mulia. Sejatinya menulis adalah kita sedang sedekah ilmu,” kata Zuhairi memotivasi. Seorang penulis harus punya karakter yang mencerminkan identitas, visi, ideologi, sehingga pembaca tertarik dengan tulisan kita. “Bahkan untuk beberapa penulis, bukunya selalu diperbincangkan. Itu yang baik. Lalu kalau ditanya, banyak viewer-nya, banyak pembelinya, tapi apakah gagasan buku itu menjadi perbincangan?” jawab Zuhairi menanggapi pertanyaan salah satu peserta, Khalif Muhammad Madani.

Reading Time: 2 minutes

The writer should be humble. A writer must be a “greedy” reader to pursue and master the scientific field thoroughly. A writer must have a living slogan, “there is no day without reading and writing.”

“Being a writer is easy. But being a transformative and inspiring writer requires a broad knowledge base,” said Zuhairi Misrawi, a seasoned columnist and well-known young Muslim thinker in Indonesia, speak on Monday (31/5/2021). He was present at the Department of Communications UII, sharing his experience of 30 years of writing columns, in the online Essay Writing Expert Course.

Even so, he said, writing only requires two capitals: willpower and courage. Willingness and understanding personal biological clock when comfortable writing. If we have found the rhythm of writing, immediately proceed and finish the writing. The second capital is courage. Courage to present a point of view. Meanwhile, a good point of view is influenced by reading. “A writer will be seen whether he is a voracious reader or not,” he said. “Writing must be communicative, communicating with readers as if they were involved and in dialogue with readers.”

According to the man who graduated from Al Azhar University, Egypt, the writer must have an academic mindset: an academic way of thinking. The academic way of thinking must be able to think methodologically. This means that it must be based on theory (theory-driven). “What we think is based on a strong theory and methodology. Rational thinking cannot think arbitrarily, it can be scientifically justified, it makes sense,” he explained later.

Besides being scientific, students who want to become writers should not forget to think argumentatively. “It means to think that there is an argument. What are the historical, anthropological, political arguments like,” he added. Not only that, students should also write with reflective critical thinking. Use language that is good, correct, flowing and rich in typical university student ideas.

Zuhairi emphasized, “High Education students have to write not descriptively, they have to ask questions. Creative thinking can do whatever we want. Out of the box.”

The discussion, which was guided by Risky Wahyudi and Sumekar Tanjung, Lecturers in the Academic Writing Course, became a valuable enrichment for Department of Communication students from essay writing experts and national-calibre columns.

Hegel’s Typology of WritingHegel’s

Based on Hegel’s perspective, said Zuhairi, the easiest writing is writing with the thesa typology. This typology only describes an existing idea. “I challenge students to write with an antithesis typology, which is writing that criticizes an established idea. The student’s writing should also be transformative and inspiring, namely a synthesis typology: Providing solutions and generating new ideas,” said Zuhairi quoting Hegel’s dialectic.

Writing is an act of civilization because it inherits thoughts to future generations. If we write, we enter the civilization of the world. “For example, my books have been placed on a special shelf in the world library, at Harvard, in Cambridge. From there, our writings will become part of world civilization, become people’s references,” he said.

“Because we inherit civilization, writing is a noble job. In fact, writing is that we are giving alms to knowledge,” said Zuhairi. A writer must have a character that reflects his identity, vision, ideology so that readers are interested in our writing. “Even for some writers, their books are always discussed. That’s a good thing. Then if you ask, there is a book with many viewers, many buyers, but has the idea of ​​the book become a conversation in public dialogue?” replied Zuhairi in response to a question from one of the participants, Khalif Muhammad Madani.

 

Reading Time: 2 minutes

Bulan ramadhan adalah bulan yg sangat agung. Bulan yang penuh barokah, panen pahala, karena di bulan ramadan semua pahala dilipatkan dibanding bulan yang lain. Bahkan di bulan ramadhan ada satu malam yang malamnya lebih baik dari seribu bulan. Termasuk pahala untuk yang memberi makan pada orang yang sedang berbuka.

“Diam saja bernilai ibadah, apalagi bertasbih,” kata Ust KH. Supriyanto, S.Ag. dalam Pengajian Akbar dengan Tema ramadhan berlalu, Takwa Siap Selalu pada 29 Mei 2021. Acara ini dilaksanakan bersamaan dengan rangkaian Milad ke-26 FPSB UII dan dilakukan dengan model hybrid (daring dan luring) dengan dukungan Uniicoms TV, TV daring pertama di UII.

“Ketika selesai panen, kita memasuki lebaran. Lebar nopo, lebar panen kacang, lebar panen pari. Sedangkan panennya orang yang puasa bulan ramadhan seperti disebut dalam al baqoroh ayat 183, lebar panen, lebaran, meningkat ketakwaannya,” jelas Supriyanto.

Supriyanto mengatakan dalam ceramahnya, barangsiapa dosanya sampai memenuhi bumi, sebesar apapun dosa orang itu, tetap masih lebih besar ampunan dari Allah. Syaratnya asal di lisan orang itu masih ada kalimat laa ila ha illallah. “Karena kalimat lailaahaillah itu penghapus dosa. Maka biasakan lisan ini membaca kalimat Allah SWT,” imbuhnya.

Sedangkan jika ditanya, apakah tanda taat pada Allah? Tanda taat pada Allah SWT adalah salat lima waktu kata Supriyanto. Orang yang akan melaksanakan salat lima waktu ibarat di depan rumahnya ada sumber mata air yang dalam. Dalamnya sumber ini terkesan sangat dalam hingga ibarat ia bisa untuk mandi lima kali sehari. “Sebersih apa coba mandi lima kali sehari, maka wudhu itulah pembersih dosa,” kata Supriyanto, ulama dari puntuk, umbulmartani, ngemplak, sleman, ini.

Jika seorang muslim telah memenuhi tiga pilar Islam, maka terpenuhilah ketaatannya. Ketiganya yaitu syahadat, salat, dan puasa. “Ya pengikat agama islam adalah tiga ini. Dan dari tiga pilar itulah islam ditegakkan. Dimana zakat? Tidak semua bisa membayar zakat,” papar Supriyanto. Bagaimana dengan haji? Haji juga hanya bisa dijalankan jika ia sudah mampu. “Monggo untuk taat pada Allah mari tiga ini kita laksanakan,” katanya kemudian.

Termasuk amalan orang yang bertakwa adalah orang yang mau menginfakkan hartanya. “Sodakoh ora kudu nunggu sugih (sedekah tidak harus menunggu jadi kaya dulu), bahkan ketika tidak longgar pun tetap diminta sedekah,” kata Supriyanto memotivasi. “Jadi sedekah miskin dan kaya itu sebenarnya disesuaikan oleh kemampuannya masing-masing.”

Reading Time: 2 minutes

The month of Ramadan is a very great month. A month full of blessings, a harvest of rewards, because in the month of Ramadan all rewards are multiplied compared to other months. Even in the month of Ramadan, there is one night whose night is better than a thousand months. Including the reward for feeding the person who is breaking the fast.

“Silence is worth worshiping, let alone glorifying,” said Ust KH. Supriyanto, S.Ag. in Pengajian Akbar with the theme of Ramadan passes, Takwa Always Ready on May 29, 2021. The event was held in conjunction with the 26th Milad series of FPSB UII and conducted with a hybrid model (online and offline) with the support of Uniicoms TV, the first online TV in UII.

“When the harvest is over, we enter Eid. The width of the nopo, the width of the bean harvest, the width of the stingray harvest. While the harvest of people who fast the month of Ramadan as mentioned in al baqoroh verse 183, the width of the harvest, Eid, increases his piety,” explained Supriyanto.

Supriyanto said in his lecture, whoever sins to the point of filling the earth, no matter how great the person’s sin, is still greater forgiveness from God. The original condition is that in the person’s mouth there is still the sentence laa ila ha illallah.

“Because the sentence lailaahaillah is the remover of sins. So get used to reading the words of Allah SWT verbally,” he added.

Meanwhile, if asked, what is a sign of obedience to God? The sign of obedience to Allah SWT is the five daily prayers, said Supriyanto. The person who will perform the five daily prayers is like in front of his house there is a deep spring. The depth of this source was so deep that it was as if he could take a bath five times a day. “As clean as what, try to take a bath five times a day, then ablution is the purifier of sins,” said Supriyanto, a scholar from Puntuk, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman, this.

If a Muslim has fulfilled the three pillars of Islam, then his obedience is fulfilled. All three are creed, prayer, and fasting. “Yes, the binding of Islam is these three. And from those three pillars, Islam is enforced. Where is zakat? Not everyone can pay zakat,” said Supriyanto. What about Hajj? Hajj can also only be performed if he is able. “Please to obey God, let’s do these three,” he said later.

Including the practice of a pious person is a person who wants to invest his property. “Sodakoh does not have to wait for the rich (alms does not have to wait to be rich first), even when it is not loose, alms are still asked,” said Supriyanto motivating. “So the alms of the poor and the rich are actually adjusted by their respective abilities.”

 

Reading Time: 2 minutes

Many people want to study abroad for various reasons. But, of course, there are ups and downs. Turkey is one of the most popular countries to study, but you have to be prepared to miss Indonesia because of its food and learning atmosphere. Especially during this pandemic, which keeps people from staying at home and lying down all day. Spring weather and Eid al-Adha will make you feel at home there.

 The story became the ups and downs of Balya Ibnu Mulkan, an alumnus of Industrial Engineering at the Islamic University of Indonesia who is currently pursuing a Master of Business Administration (MBA) in Turkey. The International Communication Program of the Islamic University of Indonesia held this Ramadan light chat while hanging out waiting for the time to break the fast on Friday, May 28, 2021.

 Fasting and Eid in Turkey are very unattractive, according to Balya. Fasting atmosphere and Eid with regular days there is no change at all. Although he was grateful because the weather was not so hot in the range of 16-19 degrees Celsius, explaining the long fasting time. Fasting time is also longer than in Indonesia, which is only about 14 hours. “This year it’s only 16 hours because it’s spring . Last year, it could be 17 hours because it was summer,” said Balya. Especially during the pandemic, which requires them to only stay at home, can’t go anywhere and is closely guarded by the police.

 Food is a complicated problem for Indonesian students in Turkey. Food in Turkey is too sweet and tends to sour. Balya admits that none of the types of food that he can enjoy and fit on her tongue. Balya feels tormented about eating; once or twice is okay for him, but for a long time, it becomes very torturous. “Every time I eat, I always want to go home,” Balya confessed.

 If in Indonesia, one supervisor can accompany 30-50 students. “Here (Turkey), one lecturer only accompanies four students,” said Balya.

There is even an interesting phenomenon related to eating and studying in Turkey, which Indonesian students commonly experience. According to Balya, the length of the study period in Turkey does not depend on the student’s achievements, whether they are brilliant or not. For Indonesian students, it depends on the environment and food. 

On average, it takes two years to complete a master’s studies. But Indonesian students are faster than the usual travel time. “Usually I don’t feel at home because of the food and the environment,” said Balya.

 Apart from food, there is also a social environment and learning atmosphere. Indonesian students usually chat with each other casually and work in groups to do assignments. But not in Turkey. This very different learning culture is a challenge for Balya. The challenge is getting real because the supervisor’s assistance is rigorous. If in Indonesia, one supervisor can accompany 30-50 students. “Here (Turkey), one lecturer only supevise four students,” said Balya. 

 

 

 

 

Reading Time: 2 minutes

Banyak orang menginginkan studi ke luar negeri dengan berbagi alasan. Tapi, suka duka tentu ada. Turki, salah satu negeri incaran untuk belajar, tapi kalian harus bersiap untuk kangen Indonesia karena makanan dan atmosfer belajarnya. Terlebih di masa pendemi yang memasung orang untuk tetap tinggal di rumah dan rebahan sepanjang hari. Cuaca musim semi dan Idul Adha yang akan membuat betah tinggal disana.

 

Cerita tersebut menjadi suka duka Balya Ibnu Mulkan, salah satu alumnus Teknik Industri Universitas Islam Indonesia yang kini tengah menempuh master bisnis administrasi (MBA) di Turki. Ngobrol ringan bulan ramadhan ini diselenggarakan International Program Communication Universitas Islam Indonesia sembari ngabuburit menunggu waktu berbuka puasa pada Jumat, 28 Mei 2021.

 

Berpuasa dan Lebaran di Turki sangat tidak menarik, menurut Balya. Susana puasa dan lebarannya dengan hari normal tidak ada perubahan sama sekali. Meskipun ia menyukuri karena cuaca tidak begitu panas di kisaran 16-19 derajat celsius, menjelaskan waktu puasa yang panjang. Waktu puasa pun lebih lama daripada di Indonesia yang hanya sekitar 14 jam. “Tahun ini hanya 16 jam karena sedang spring (musim semi). Kalau tahun lalu bisa 17 jam karena summer,” kata Balya. Terlebih masa pendemi yang mengharuskan mereka hanya di rumah saja, dan tiak bisa kemana-mana dijaga ketat oleh polisi.

 

Bicara soal makanan, faktor ini adalah masalah yang sangat pelik bagi mahasiswa Indonesia di Turki. Makasna di turki sangat manis cederung ke asam. Balya mengakui tak satupun jenis makanan yang dapat dia nikmati dan cocok di lidahnya. Balya merasa tersiksa soal makan, baginya sekali dua kali tidak masalah, tetapi untuk masa yang lama menjadi sangat menyiksa. “setiap kali makan, aku selalu pingin pulang rasanya,” Balya mengaku.

 Jika di Indonesia satu dosen pembimbing bisa mendampingi 30-50 mahasiswa. “Di sini (Turki), satu dosen hanya mendampingi empat mahasiswa,” ungkap Balya.

Bahkan ada fenomena menarik terkait makan dan studi di Turki yang jamak dialami mahasiswa Indonesia. menurut Balya, lamanya masa studi di Turki tidak bergantung cemerlang atau tidaknya prestasi mahasiswa, tetapi karena lingkungan dan makanan. Rata-rata untuk menamatkan studi master dibutuhkan waktu 2 tahun. Tapi mahasiswa Indonesia lebih cepat dari waktu tempuh lazim itu. “Biasanya nggak betah karena makanan dan lingkungan,” kata Balya.

 

Selain makanan, juga lingkungan sosial dan atmosfer belajar. Indonesia mahasiswa biasa saling ngobrol santai dan kerja kelompok untuk mengerjakan tugas. Tapi, di turki tidak. Kultur belajar yang sangat berbeda ini menjadi tantangan tersendiri bagi Balya. Tantangan makin nyata karena pendampingan supervisor sangat ketat. Jika di Indonesia satu dosen pembimbing bisa mendampingi 30-50 mahasiswa. “Di sini (Turki), satu dosen hanya mendampingi 4 mahasiswa,” ungkap Balya. 

 

 

 

Reading Time: < 1 minute

PSDMA Nadim Ilmu Komunikasi UII kembali menggelar diskusi pada:


Hari: Kamis, 27 Mei 2021
Pukul: 14.00 wib
Zoom: http://bit.ly/diskusinadimdangdut

Diskusi kali ini turut menghadirkan @michaelhbraditya yang akan berbincang tentang:

“Membaca Generasi Ambyar: Dangdut Baru dan Problem Komunikasi.”

Catat waktu dan tanggalnya, ya!

#IlkomUII
#Nadim
#uiiyogyakarta