Reading Time: 2 minutes

Qualitative research for corporations and public relations is for the advancement of the company. Research is also the basis for company decisions and policies. PR Research prioritises the beneficial interests of company development rather than science.

Research for corporate public relations is the spearhead of corporate image and crisis management. “What we mainly do in research for public relations is why it happened, what happened, and how to solve it,” said Zulfatun Mahmudah, Media and Public Communication of PT. Kaltim Prima Coal, in an expert Lecture on the Role of Research in Public Relations, on July 10, 2021. This expert lecture is one of the enrichments with practitioners in the Qualitative Research course.

In addition to tracking solutions, public relations must analyse the possible consequences of the solutions found. “Then if we take a certain solution, we have to see if it fits or not, and what the consequences are. From that context, what can corporations do, the output proposals are important,” said Zulfatun, who is also a doctoral student at UGM, Department Cultural and Media Studies.

Zulfatun also talked about the practice of applying research in daily public relations activities. “For example, there is a case of river pollution. So people will ask questions. Now, we as public relations need to do research,” he said.

While waiting for research to be carried out, public relations can provide temporary information. “It is true that this incident has occurred, but we will investigate it and conduct research. If it comes from us, we will be responsible,” said Zulfatun, recounting the experience and praxis of public relations when facing crises that hit corporate.

According to him, that is the function of PR. PR manages issues so that companies do not become victims of prolonged public bullying.

Puji Rianto, the lecturer of this course, also asked questions. “What should PR anticipate to monitor the issue like what? Do you use big data or what? We can predict and handle the mass media, but social media is very wild,” he asked Zulfatun.

Zulfatun said that this social media could be an attacker or a supporter. Even the big media sometimes don’t balance it. “What do we need to do? We have social media which is a medium whose delivery is faster than waiting for official media such as mass media,” he replied. “We also have a special division that handles media relations which we call media relations.”

The practise of public relations research in the company is not too critical in the use of theory. The theory is used as the basis for viewing in a practical context.

According to him, if the corporation took a team of research consultants from universities, it could be a different story. “It could be that the theory was used to provide a brief basis for explaining the conclusion’s position.”

However, transparency of interviews and methods is also essential to represent research findings in the community. The PR research can be used as a basis, and we have to see how the public perception, what steps need to be prepared.

“Essentially, research in the corporate world is problem solving oriented.”

Reading Time: 2 minutes

Bisnis dan Manajemen media adalah kajian yang tak banyak dijadikan mata kuliah khusus atau jurusan di kampus-kampus komunikasi di Indonesia. Tak banyak pula orang yang memfokuskan diri menjadi pengkaji sekaligus praktisi dalam satu waktu. Amir Effendi Siregar (AES), pendiri Komunikasi UII dan PR2Media, adalah salah satu yang menhadirkan kajian manajemen media dalam sebuah definisi yang komplit.

Dimensi Manajemen Media berdasarkan definisi AES, kata Iwan Awaluddin Yusuf, terpetakan menjadi enam dimensi. Enam dimensi ini disarikan oleh Iwan dari definisi yang dibuat oleh AES tentang manajemen media. “Pertama adalah pengelolaan media dengan prinsip-prinsip dan proses manajemen. Dimensi ini mencakup level filosofis, metodologis, dan praktis,” kata Iwan Awaluddin Yusuf, mahasiswa doktoral di Monash University, Australia, pada 10 Juli 2021.

Iwan bicara sebagai salah satu penulis dalam buku berjudul Buku Melawan Otoritarianisme Kapital. Buku itu adalah kumpulan tulisan Pemikiran dan Gerakan AES dari murid, teman, dan sahabat AES. Pembicara lain adalah Dr. Rahayu, wakil ketua PR2Media dan Editor buku ini. Buku ini dibedah dan diluncurkan pada 10 Juli 2021 atas kerjasama PR2Media, Komunikasi UII, dan SPS dan dipandu oleh Ignatius Haryanti sebagai moderator. Diskusi ini juga digelar sebagai peringatan Milad ke-17 Komunikasi UII dan Ulang Tahun ke 11 PR2Media. Kedua lembaga tersebut adalah lembaga dimana AES menjadi pendiri dan peletak dasarnya.

Iwan mengatakan ada pula dimensi kedua Manajemen Media yang intinya mengkaji posisi media sebagai industri dan media sebagai institusi. Apa karakter media sebagai industri, dan peran media sebagai institusi pers, misalnya.

Penting juga pengelola media, kata Iwan mengutip AES, menentukan arah paradigma medianya.

“Paradigmanya pasar atau paradigma propaganda/ misionaris,” kata Iwan. Menentukan paradigma ini menjadi dimensi ketiga yang sering dikemukakan AES.

Selanjutnya, mengkaji manajemen media juga harus memperhatikan konteks lingkungan sebagai dimensi keempat. Maksudnya, bagaimana sistem media yang ada dalam suatu kawasan atau negara mempengaruhi Manajemen Media.

Kajian manajemen media juga akan melihat dimensi kelima yaitu perkembangan teknologi dari sisi dampak dan bagaimana mengantisipasinya. Sedangkan dimensi keenam, AES juga sering menjelaskan bahwa manajemen media harus dikaji berdasarkan kegunaanya sebagai ilmu. Terutama manfaat bagi mereka yang mempelajari dan masyarakat pada umumnya.

 

Reading Time: 2 minutes

Kehidupan media di Indonesia kehilangan banyak setelah kepergian Amir Effendi Siregar (AES). Pemikir media dan pengawal demokratisasi media di Indonesia ini adalah soko guru kajian manajemen media dan cikal bakal Prodi Komunikasi UII. Banyak yang terinspirasi dan meneladani pemikiran AES. Terutama hal ini muncul setelah terbit buku Melawan Otoritarianisme Kapital, Amir Effendi Siregar dalam Pemikiran dan Gerakan Demokratisasi Media.

Iwan Awaluddin Yusuf, Dosen Komunikasi UII, murid dan penerus Amir di dua lembaga (Komunikasi UII dan PR2Media), mencatat ciri khas yang bisa diteladani dalam pemikiran AES. Ia melihat pemikiran AES selalu memunculkan empat hal. Empat hal ini adalah ciri yang membuat pemikiran AES tak lekang oleh jaman. Selain itu, semangat AES pada ilmu juga terlihat dari ciri khas ini.

Pertama, pemikiran AES selalu disertai dengan telaah filosofis. Ini ciri khas menelaah sesuati dari akar, dari filosofi. “Ia selalu filosofis berbicara soal makro yang besar, lalu kedua, pemikirannya selalu memunculkan data,” kata Iwan, doktor lulusan Monash University, Australia, pada Diskusi Buku tersebut via Zoom yang dilaksanakan Sabtu, 10 Juli 2021.

Pelibatan data ini menunjukkan bahwa AES selalu berdasar pada data empirik. Ia selalu memperbarui dan merelasikan dengan kondisi termutakhir.

Selain filosofi dan data, kata Iwan, Bang Amir juga tak lupa untuk memberi perbandingan dengan praktik di negara lain. “Bahkan ia seringkali melakukan pembantahan antara data dengan data. Biasanya misalnya AES selalu menekankan untuk melihat india dan negara lain yang secara sosial mirip,” papar Iwan mengenang masa ketika AES masih hidup dan berkiprah di PR2Media.

Ciri keempat, pemikiran AES selalu dikontekskan dan merujuk pada konstitusi. Rujukan pada konstitusi ini membuat pemikiran AES selalu layak dipertimbangkan dalam mengkaji dan memperbaharui regulasi. Termasuk di antaranya kajian AES tentang teknologi media di era digital.

“Di tempat saya belajar, Monash University, sudah tidak menggunakan kata media baru karena media baru itu relatif. Maka digunakan digital media,” papar Iwan. “Media baru akan menjadi media lama pada waktunya,” tambahnya. Semaju apapun perkembangan tekonologi dan media, kata kuncinya tetap sama, yaitu demokrasi, dengan kata kunci yang sering disebut AES: diversity.

 

Reading Time: 2 minutes

Riset Kualitatif untuk korporasi dan humas sifatnya untuk kemajuan perusahaan. Riset juga menjadi dasar pengambilan keputusan dan kebijakan perusahaan. Ia lebih mengedepankan kepentingan praktis pengembangan perusahaan, ketimbang keilmuan.

Riset untuk humas korporat menjadi ujung tombak citra dan manajemen krisis perusahaan. “Yang terutama kita lakukan dalam riset untuk kehumasan adalah mengapa itu terjadi, apa yang terjadi, dan bagaimana solusinya,” kata Zulfatun Mahmudah, Media and Public Communication PT. Kaltim Prima Coal, dalam Kuliah pakar Peranan Penelitian dalam dunia Kehumasan, pada 10 Juli 2021. Kuliah pakar ini adalah salah satu pengayaan bersama praktisi pada mata kuliah Riset Kualitatif.

Selain melacak solusi, public relation harus menganalisa kemungkinan konsekuensi yang muncul dari solusi yang ditemukan. “Lalu kalau kita mengambil solusi tertentu, harus kita lihat cocok atau tidak, dan apa konsekuensinya. Dari konteks itu apa yg bisa dilakukan korporasi, usulan outputnya yg penting,” ujar Zulfatun yang juga adalah mahasiswa doktoral di Kajian Budaya dan Media UGM.

Zulfatun bercerita juga praksis penerapan riset dalam keseharian aktivitas kehumasan. “Misalnya ada kasus pencemaran sungai. Nah masyarakat akan bertanya-tanya. Nah kita sebagai humas perlu melakukan riset,” katanya.

Sembari menunggu riset dilakukan, humas bisa menyampaikan informasi sementara. “Bahwa betul telah terjadi peristiwa ini, tetapi kami akan dalami dan riset. Bila itu berasal dari kami, kami akan bertanggungjawab,” ungkap Zulfatun menceritakan pengalaman dan praksis humas ketika menghadapi krisis yang menerpa korporat.

Menurutnya, Itulah fungsi PR. PR mengelola isu agar perusahaan tidak menjadi korban perundungan (bully) masyarakat berkepanjangan.

Monitoring isu dan Netizen

Puji Rianto, dosen mata kuliah ini, juga menyampaikan pertanyaan. “Apa yang mesti diantisipasi PR untuk memonitoring isunya seperti apa? Pakai big data atau seperti apa? Kalau media massa kan bisa kita duga dan atasi, tapi media sosial ini kan liar sekali,” tanyanya pada Zulfatun.

Zulfatun mengatakan bahwa media sosial ini bisa menjadi penyerang maupun pendukung. Media besar pun kadang kala juga tidak menjadi penyeimbang. “Apa yang perlu kami lakukan? Kita punya media sosial yang menjadi media yang penyampaiannya lebih cepat daripada menunggu media resmi seperti media massa,” ujarnya menjawab. “Kami juga punya divisi khusus yg menangani hubungan dengan media yang kami sebut media relation.”

Praktik penelitan kehumasan dalam perusahaan, tidak terlalu utama dalam penggunaan teori. Teori dijadikan dasar untuk melihat dalam konteks praktis.

Menurutnya, jika korporasi mengambil tim konsultan riset dari perguruan tinggi, bisa jadi beda cerita. “Bisa jadi teori itu dipakai untuk menjadikan dasar sekilas untuk menjelaskan posisi kesimpulan.”

Namun transparansi wawancara dan metode juga penting dilakukan agar temuan penelitian di masyarakat juga menjadi representatif. Ini bisa dijadikan dasar, kita harus melihat bagaimana persepsi publik, apa langkah yang perlu disiapkan.

“Intinya, penelitian di dunia korporasi berorientasi pada problem solving.”

Reading Time: 2 minutes

In times of crisis, the need for information is very fast. So does the flow of information. The number of needs and the flow of information often makes people panic, and confusing because of overlapping information. In an educational institution such as the Indonesian Islamic University (UII), a Public Relations (PR) team is needed to organize information.

This time’s teatime, Thursday, July 8, 2021, carries the theme of mitigating the COVID-19 crisis by Public Relations (PR) at the Islamic University of Indonesia (UII). Discussion of the role of PR in the midst of this pandemic invited Ratna Permata Sari. He is a lecturer in Communication Studies at UII, as well as the Head of Public Relations (PR) at UII.

You can imagine when a crisis occurs, people will wonder what happened, is there any new information, what should I do if a boarding housemate is infected with the coronavirus. What should I do if I am infected by corona? Not only that, confusion about online lectures also became a problem.

In this pandemic situation, PR must create a set of rules for the flow of information to stem the flow of information that is actually misleading. Correct information will make both students, parents, employees, and lecturers get clear and precise information.

In addition to providing information related to health protocols within UII, UII’s PR also creates a call center that will help all UII academics get precise and accurate information.

For example, information related to the affairs and regulations of lectures and work in the UII environment. “If there is information that is not clear, the source can be asked through the call centre. Information becomes one door so it doesn’t confuse people,” said Ratna, who is also a lecturer in the Visual Communication research cluster specialist.

In addition to creating a call centre, UII PR also makes a set of rules related to visits to campus. How to make rules that can mitigate the transmission of covid, for example by making Standard Operating Procedures (SOP) for several types of cases. For example, limiting the number of guests, making rules, arranging rooms that may be used, as well as rules for using Covid-19 detection tools.

The condition of this pandemic is not always the same, it is always changing with an increase in cases, the spread of cases in one particular location, as well as changing government policies. Under these conditions, Ratna admits that this pandemic is not an easy crisis. He also gave an example of a number of countries that have not yet fully succeeded. “No one is really an expert in handling the crisis in this COVID-19 pandemic,” said Ratna.

In this uncertain condition of the crisis, the rules can change at any time. These rules must be based on current conditions and the possibility of what could happen in the future. “For example, genose, it is known that it is not very accurate in detecting the presence of the Covid-19 virus, so it must be changed,” said Ratna.

Reading Time: 2 minutes

Di saat-saat kondisi krisis, kebutuhan informasi sangat kencang. Arus informasi pun demikian. Banyaknya kebutuhan dan arus informasi tersebut sering kali justru membuat orang panik, dan simpang siur karena informasi yang saling tumpang tindih. Dalam sebuah institusi pendidikan seperti Universitas Islam Indonesia (UII), dibutuhkan sebuah tim Public Relation (PR) untuk mengatur informasi.

Teatime kali ini, Kamis, 8 Juli 2021, mengusung tema mitigasi krisis covid-19 oleh Public Relation (PR) di Universitas Islam Indonesia (UII). Diskusi peran PR di tengah pandemi ini mengundang Ratna Permata Sari. Ia adalah seorang Dosen Ilmu Komunkasi UII, sekaligus Kepala Public Relation (PR) UII.

Bisa dibayangkan ketika terjadi krisis, orang akan bertanya-tanya apa yang terjadi, apakah ada informasi terbaru, apa yang harus aku lakukan jika teman kost ada yang terinfeksi virus korona. Apa yang harus aku lakukan jika saya sendiri yang terinfeksi. Tak hanya seputar itu, simpang siur tentang perkuliahan daring juga sempat menjadi masalah.

Dalam situasi pandemi ini, PR harus membuat seperangkat aturan arus informasi untuk membendung arus informasi yang justru malah menyesatkan. Informasi yang benar akan membuat baik mahasiswa, orangtua, karyawan, juga dosen mendapatkan informasi jelas dan tepat.

Selain membuat informasi terkait protokel kesehatan di lingkup UII, PR UII juga membuat call center yang akan membantu semua civitas akademi UII mendapatkan informasi yang tepat dan akurat.

Misalnya informasi terkait urusan dan peraturan perkuliahan dan kerja-kerja di lingkungan UII. “Kalau ada informasi yang nggak jelas sumbernya bisa ditanyakan lewat call center. Informasi menjadi satu pintu jadi tidak membuat orang-orang bingung,” kata Ratna, yang juga adalah dosen spesialis klaster riset Komunikasi Visual.

Selain membuat call center, PR UII juga membuat perangkat aturan terkait kunjungan ke kampus. Bagaimana membuat aturan yang dapat memitigasi penularan covid misalnya dengan membuat Standart Operasiona prosedur (SOP) untuk beberapa jenis kasus. Misalnya membatasi jumlah tamu, membuat aturan, mengatur ruangan yang boleh dipakai, juga aturan penggunaan alat deteksi covid-19.

Kondisi pandemi ini bukanlah hal yang selalu sama, selalu berubah dengan adanya peningkatan kasus, merebaknya kasus di satu lokas tertentu, juga kebijakan pemerintah yang berubah-ubah. Dalam kondisi seperti ini, Ratna mengakui bahwa pandemi ini bukan krisis yang mudah. Ia juga mencontohkan beberapa negara yang juga masih belum berhasil sepenuhnya. “Nggak ada yang benar-benar ahli dalam menangani krisis di pandemi covid-19 ini,” ungkap Ratna.

Dalam kondisi ketidakpastian krisis ini, aturan dapat berubah kapan saja. Aturan tersebut harus berdasarkan atas kondisi terkini dan kemungkinan apa yang bisa terjadi ke depan. “Misal genose, ternyata sudah diketahui tidak begitu akurat mendeteksi adanya virus covid-19, makanya harus diubah,” kata Ratna.

Prosedur bebas pustaka
Reading Time: < 1 minute

Bersyukurlah kepada Allah, jika mata pencaharian orang tua/ penanggung biaya pendidikan anda tidak terdampak. Universitas Islam Indonesia memberikan keringanan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) untuk mahasiswa aktif program sarjana dan program diploma, dengan ketentuan sebagai berikut:

Reading Time: 2 minutes

Public broadcasting is a must. Public broadcasting is here to fulfill the public’s right to quality and high-quality information. From here, the public will become a civilized society because they are educated with information. With information, people can organize themselves and improve their quality of life and civilization. So, public broadcasting must be present as a counterweight. 

“In countries with advanced democracies, the existence of public broadcasting is very much needed for balance,” said Darmanto, Program Manager for the Change House of the Public Broadcasting Institution (RP LPP) in the Book Discussion Against Capital Authoritarianism Volume 2, on Saturday, July 3, 2021. the Department of Communications UII held this discussion with cooperation by PR2Media, and SPS to commemorate and perpetuate Amir Effendi Siregar’s thoughts. Amir Effendi Siregar (AES) is the founder of the Department of Communications and PR2Media, two key institutions in communication and Media studies in Indonesia. 

Darmanto is one of the authors of a book containing a collection of writings by AES students, friends, colleagues, and colleagues on democratization thinking and the media movement. According to Darmanto, one of AES’ most important thoughts is about publicity and public broadcasting. The existence of public broadcasting is important in a country with a democratic system. Public broadcasters in developed countries also tend to be strong, independent, and professional institutions. 

The reason for the existence of public broadcasting, said Darmanto, was to draw on the thoughts of AES to serve the public interest. “The raison d’etre of public broadcasting is for that, serving the public interest,” said Darmanto. Public broadcasting, therefore, must be an independent institution from various fields. Be independent in terms of human resources, editorial, to finance. 

According to AES, said Darmanto, in terms of independence, HR management at RRI TVRI is still a problem. Not to mention, because LPP fulfills the public interest, it needs special regulations or laws that provide an umbrella for public broadcasting to be more independent on all fronts. 

The discourse on public broadcasting has long shifted towards the term public service media (public service media). It relies not only on broadcast media but also on any media with a wider scope in the internet era. “Even in Scandinavian countries, in 2003, they released a book on public service media,” said M. Kabul Budiono, TVRI’s Supervisory Board, who was also a speaker on the occasion. 

Reading Time: 2 minutes

Penyiaran publik adalah keniscayaan. Ia hadir sebagai pemenuh hak publik akan informasi yang berkualitas dan bermutu tinggi. Dari sini, publik akan menjadi masyarakat yang beradab karena teredukasi dengan informasi. Dengan informasi, masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri dan meningkatkan kualitas hidupnya dan peradabannya. Maka, penyiaran publik harus hadir menjadi penyeimbang.

“Di negara-negara yang demokrasinya maju, keberadaan penyiaran publik sangat dibutuhkan untuk penyeimbang,” kata Darmanto, Manajer Program Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RP LPP) dalam Diskusi Buku Melawan Otoritarianisme Kapital Jilid 2, pada Sabtu, 3 Juli 2021. Diskusi ini diadakan oleh Prodi Komunikasi UII, PR2Media, dan SPS untuk mengenang dan mengabadikan pemikiran Amir Effendi Siregar. Amir Effendi Siregar (AES) adalah pendiri Komunikasi UII dan PR2Media, dua lembaga kunci dalam kajian Komunikasi dan Media di Indonesia.

Darmanto adalah salah satu penulis dalam buku berisi kumpulan tulisan murid, sahabat, kolega, dan rekan AES tentang pemikiran demokratisasi dan gerakan media. Menurut Darmanto, salah satu pemikiran AES yang paling penting adalah soal kepublikan dan penyiaran publik. Eksistensi penyiaran publik penting hadir dalam negara dengan sistem demokrasi. Penyiaran publik di negara-negara maju juga cenderung menjadi lembaga yang kuat, independen, dan profesional.

Alasan keberadaan penyiaran publik, kata Darmanto, mendedah pemikiran AES, adalah untuk melayani kepentingan publik. “Raison d’etre penyiaran publik adalah untuk itu, melayani kepentingan publik,” ungkap Darmanto. Penyiaran publik, karenanya, harus menjadi institusi yang merdeka dari beragam bidang. Baik itu merdeka dari sisi sumber daya manusia, redaksional, hingga keuangan.

Menurut AES, kata Darmanto, dari segi kemandirian, pengelolaan SDM di RRI TVRI masih menjadi problem. Belum lagi karena LPP adalah mutlak memenuhi kepentingan publik, maka perlu regulasi atau undang-undang khusus yang memayungi penyiaran publik agar ia lebih independen di segala lini.

Meski begitu, wacana soal penyiaran publik telah lama bergeser ke arah istilah public service media (media layanan publik). Ia bukan lagi hanya bersandar pada media penyiaran, tetapi media apapun yang cakupannya lebih luas di era internet. “Bahkan di negara skandinavia, pada 2003 mereka sudah merilis sebuah buku tentang public service media,” kata M. Kabul Budiono, Dewan Pengawas TVRI, yang ikut menjadi pembicara pada kesempatan tersebut.

 

Reading Time: < 1 minute

Kuliah di jurusan International di dua kampus sekaligus bukan perkara gampang. Tapi, bukan berarti hanya anak pintar saja yang bisa mengikutinya. Mengerjakan sesuatu yang besar tak mesti harus selalu mendapatkan nilai A dan IPK 4.

Pengakuan tersebut keluar dari mulut Defita Dwinusa, mahasiswa Komunikasi UII International Program angkatan 2019. Defita diundang dalam ngobrol daring Teatime International pogram of Communication Department (IPC) Universitas Islam Indonesia, pada Sabtu, 2 Juli 2021.

Mahasiswa yang hobi taekwondo itu mengikuti program transfer kredit atau International Credit Transfer. Separuh kuliahnya dia selesaikan di Komunikasi UII separuh lagi di Mapua University, Filipina. Di Mapua University, Defita juga mengambil mata kuliah yang yang berkorelasi dengan ilmu-ilmu komunikasi agar semua mata pelajaran salih berhubungan.

Perkuliahan dalam program International Credit Transfer ini adalah program yang baru diselenggarakan tahun ini. Perkualiahan pun belum dilangsungkan. Satu hal yang sangat dikhawatirkan Defita adalah beban kuliah yang berat dan bahasa pengantar kuliah. “semoga saja pembealjaran dengan bahasa Ingris penuh bukan Tagalog. Tidak bisa dibayangkan,” kata Defita.

Kita tahu bahwa beban kuliah international di dua universitas itu berat, hal ini juga ditanyakan oleh salah satu peserta diskusi Teatime. Ketika ditanya tentang bagaimana mengelola waktu, Defita menjawab dengan melihat prioritas dan kembali mengingat niat dan rasa tanggungjawab. “Sama seperti kita kuliah biasanya:  melakukan apa tanggungjawab kita. Mana yang prioritas? Bermain media sosial atau kuliah kita,” kata gadis kelahiran Jawa Barat itu.

Mengingat kuliah di dua international bukan hal sepele dan juga tak murah, Defita mengaku bahwa dia bukanlah anak dengan prestasi akademik yang cemerlang. Kata-kata Defita ini bisa dikutip oleh siapapun yang ingin maju dan berhasil seperti defita. “Jangan kira aku anak pintar. Bukan. Aku cuma orang yang selalu melakukan apa yang harusnya aku lakukan. Itu saja,” tegas gadis yang kualitas tendangannya sudah diganjar sabuk hitam itu.