Tracer study

Tracer study UII

Mengambil tema “Prodi ILKOM Needs Your Help” Prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII mengajak seluruh alumni yang lulus pada tahun 2017-2020 untuk berpartisipasi mengisi survei atau Tracer Study.

Prodi Ilmu Komunikasi akan berjuang untuk meraih akreditasi Unggul di tahun 2023. Namun, Prodi Ilmu Komunikasi tentu tak mampu untuk berjuang sendiri. Peran serta alumni akan sangat membantu dan berdampak besar dalam perjuangan ini.

Tracer Study merupakan survei yang berisi pertanyaan mengarah pada keterkaitan sistem pembelajaran di Prodi Ilmu Komunikasi dengan keterkaitan pada dunia kerja. Praktisnya apakah proses belajar yang yang dijalani alumni memberikan manfaat dalam dunia kerja.

Artinya pengisian Tracer Study ini akan memberikan dampak besar terhadap akreditasi Prodi Ilmu Komunikasi, mulai dari pengisian ISK menuju Unggul dan tentunya reakreditasi.

Lantas bagaimana cara alumni membantu Prodi Ilmu Komunikasi berjuang untuk meraih akreditasi Unggul?

Bagaimana caranya? Simak informasi berikut

  1. Mengisi survei Tracer Study melalui link https://bit.ly/FormTracerStudyUII
  2. Isi secara lengkap danpastikan tidak ada yang terlewat
  3. Sebagai ungkapan terima kasih, ada uang digital senilai Rp. 50.000 setelah menyelesaikan survei
  4. Menariknya masih ada lucky draw berupa emas setelah pengisian serentak selesai
  5. Survei ini ditujukan untuk alumni yang lulus pada tahun 2017-2020
  6. Batas pengisian 22 Maret 2023

Demikian informasi terkait Tracer Study Prodi Ilmu Komunikasi yang ditujukan kepada seluruh alumni yang lulus pada tahun 2017-2020.

MoU dengan UNSIA
Universitas Siber Asia kunjungi Prodi Ilmu Komunikasi UII

UNSIA kunjungi Prodi Ilmu Komunikasi UII

Prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII menerima kunjungan dari Universitas Siber Asia yang diwakili oleh Prodi Komunikasi PJJ pada Kamis, 16 Februari 2023. Dalam kunjungan tersebut bertujuan untuk menjalin kerja sama diantara kedua belah pihak.

Universitas Siber Asia (UNSIA) merupakan perguruan tinggi yang dalam praktiknya melakukan pembelajaran secara 100 persen daring dan berdiri tahun 2020.

Menjadi Universitas yang terbilang muda, UNSIA nyatanya cukup menarik perhatian calon mahasiswa. Hingga kini jumlah mahasiswa telah mencapai 3000 yang tersebar di seluruh Indonesia dan 10 persen di antaranya merupakan Pegawai Migran Indonesia yang tersebar di beberapa negara seperti Hongkong dan Taiwan.

Peluang kerja sama dan saling bersinergi menjadi pembahasan cukup serius antara Prodi Ilmu Komunikasi UII dengan UNSIA. Kaprodi Ilmu Komunikasi Bapak Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D memberi sambutan hangat. Hal terpenting dalam kerja sama ini adalah keuntungan kedua belah pihak.

“Prinsip (kerja sama) adalah keuntungan kedua belah pihak. Hal-hal lain yang sifatnya teknis kemarin saat Bu Oca (Kaprodi Komunikasi PJJ) menawarkan MoU saya sangat senang,” ucap Kaprodi Ilmu Komunikasi UII saat membuka diskusi.

Lebih mendalam, pihak UNSIA banyak membahas terkait kurikulum dan mata kuliah yang sesuai dengan kondisi terkini. Kisah menarik didapatkan kala Kaprodi Komunikasi PJJ Ibu Rosanah, S.S., M.I.Kom menceritakan pengalamannya saat mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi UII selama 2015-2016. Ia menilai culture belajar di Prodi Ilmu Komunikasi UII cukup menarik menjadi pembelajaran.

“Prodi Komunikasi PJJ saat ini memiliki memiliki dua bidang minat yakni Corporate Communication dan Penyiaran Digital. Kami ingin belajar dan ingin tahu bagaimana kurikulum di Prodi Ilmu Komunikasi UII,” terangnya.

Menanggapi hal itu dosen Ilmu Komunikasi UII, Dr. Zaki Habibi, M.Comms bercerita banyak dan memberi feedback bagaimana Prodi Ilmu Komunikasi UII bertumbuh. Sistem yang terbangun ternyata lebih banyak pada proses persiapan yang organik berdasarkan keahlian para dosen pengajar yang berasal dari beragam universitas.

Setelah melakukan diskusi dan penandatangan kerja sama antara Kaprodi Ilmu Komunikasi UII dan Kaprodi Komunikasi PJJ UNSIA dilanjutkan dengan tour ke Gedung Unit 18 home base Prodi Ilmu Komunikasi.

Di sana pihak UNSIA didampingi oleh beberapa petugas Laboratorium dan beberapa dosen Prodi Ilmu Komunikasi untuk melihat secara dekat fasilitas penunjang pengajaran.

Dalam acara tersebut hadir pula Dekan FPSB Dr.Phil Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si., Sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi Ratna Permata Sari, S.I.Kom., MA, dosen Ilmu Komunikasi UII Dr. Subhan Afifi, S.Sos., M.Si.

Sementara dari UNSIA ada Ibu Dian Metha Ariyanti, S.Sos., M. Si selaku Ka. Biro PMB, Kaprodi Komunikasi PJJ Rosanah, S.S., M.I.Kom dan lima dosen tetap yakni Adinda Arifiah, S.I.Kom., M.I.Kom, Ayu Lestari, S.Hum., M.Ikom, Anggoro Santoso, M.I.Kom, Muhammad Nur Ichsan, S.I.Kom., M.I.Kom, dan Diovita Hernika Pramadhani, S.Ikom., M.Si.

Yudisium

10 mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII telah mengikuti yudisium pada 15 Februari 2023. Pelaksanaan yudisium dilakukan secara daring tepat pukul 16:00 WIB hingga selesai. 

Sebagai informasi, yudisium merupakan penentuan nilai ujian sarjana secara lengkap di perguruan tinggi. Artinya mahasiswa dinyatakan lulus tepat pada pelaksanaan yudisium tersebut. 

Dalam pelaksanaan yudisium tersebut Kaprodi Ilmu Komunikasi UII Bapak Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D. secara resmi menyebutkan 10 mahasiswa telah lulus dari jenjang sarjana dan telah memenuhi persyaratan kelulusan. 

Dua mahasiswa dengan Indeks Prestasi Kumulatif tertinggi diraih oleh Edin

Hadir juga Sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi Ibu Ratna Permata Sari, S.I.Kom., MA serta dosen Ilmu Komunikasi Bapak Narayana Mahendra Parstya, S.Sos., MA. 

Berikut daftar mahasiswa yang dinyatakan lulus dari Prodi Ilmu Komunikasi pada 15 Februari 2023: 

  1. Selma Ilafi Alzahra 15321012 
  2. Taupik Qurrahim 15321119 
  3. Abdul Haikel Ramadhan Talaohu 15321162 
  4. Fauzul Huda A.M 15321165 
  5. Rayhan Yuka Fadillah 18321028 
  6. Cakra Omar Yusuf 18321057 
  7. Edina Ismi Aulia 18321066 
  8. Namira Salsabila 18321079 
  9. Ilmi Jasmine Azzahrah 18321085 
  10. Santi Hendriyani 18321181 

Demikian informasi terkait yudisium gelombang pertama bulan Februari yang telah berlangsung di Prodi Ilmu Komunikasi UII. 

Sementara yudisium gelombang kedua di bulan ini pada 28 Februari 2023, serta batas akhir pendaftaran pada 24 Februari 2023. 

Hari Pers Nasional 2023
Logo dan maskot Hari Pers Nasional 2023

Perayaan Hari Pers Nasional 2023

Hari Pers Nasional selalu diperingati setiap tanggal 9 Februari.  Lantas apa itu Hari Pers Nasional dan mengapa diperingati?

Terbentuknya Hari Pers Nasional mengacu pada Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 5 tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada tanggal 23 Januari 1985 dicetuskan sebagai Hari Pers Nasional sebagai bentuk penghargaan peran wartawan sebagai aktivis pemberitaan yang membangkitkan kesadaran nasional masyarakat.

Selain itu sejarah Hari Pers Nasional juga erat kaitannya dengan lahirnya organisasi PWI yang dibentuk pada 9 Februari 1946.

Hari Pers Nasional 2023 diperingati di Medan, Sumatera Utara dengan tema “Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat”.

Tema: Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat 

Makna logo Hari Pers Nasional 2023: 

  1. Huruf (p) yang berwarna-warni dimaknakan sebagai keragaman komponen pers, sekaligus menegaskan kemeriahan pesta.
  2. Untaian pita yang membentuk HPN dimaksudkan sebagai lambang pesta raya masyarakat pers, sedangkan jalinan pita dimaknakan sebagai sinergi antar komponennya. 

Makna Maskot Hari Pers Nasional 2023: 

  1. Maskot Hari Pers Nasional adalah Harimau yang memiliki makna sebagai fauna Sumatera yang dilindungi. 
  2. Baru Oholu yang merupakan pakaian adat daerah Nias sebagai bagian dari adat budaya di Sumatera Utara. Baru Oholu ini melambangkan kekuatan, keberanian, dan kapabilitas para prajurit yang juga harus menjiwai pers nasional. 
  3. Pena merah menggambarkan kerja-kerja pers di tanah air dalam meningkatkan kompetensi. 
  4. Kamera sebagai salah satu alat jurnalistik yang menggambarkan teknologi dalam jurnalistik. 

Bagi alumni Prodi Ilmu Komunikasi UII yang terjun di dunia pers semangat untuk selalu produksi berita yang berimbang, akurat, dan mampu dipertanggungjawabkan.

PILMAPRES FPSB UII

Pemilihan mahasiswa berprestasi (PILMAPRES) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) UII 2023 saat ini tengah berlangsung. Berikut informasi lengkap mengenai persyaratan, proses seleksi, dan timeline pelaksanaan. 

PILMAPRES merupakan pemilihan mahasiswa berprestasi pada tingkat fakultas di FPSB. Artinya seluruh mahasiswa dari Prodi di FPSB dipersilahkan untuk mendaftar dengan catatan memenuhi persyaratan. 

Sebelumnya PILMAPRES FPSB dikenal dengan sebutan Anugerah Prestasi Mahasiswa yang diselenggarakan setiap tahun. 

PILMAPRES merupakan bentuk apresiasi FPSB UII kepada mahasiswa-mahasiswa yang memiliki prestasi bidang akademik maupun non akademik.  

Persyaratan peserta 

  1. Terdaftar pada PD-Dikti dan aktif sebagai mahasiswa program Sarjana.
  2. Berusia tidak lebih dari 22 tahun pada tanggal 1 Januari 2023 yang dibuktikan dengan KTP ataupun KITAS.
  3. Belum pernah menjadi finalis Pilmapres tingkat nasional.
  4. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal 3,00.
  5. Bagi mahasiswa yang ingin mengikuti kegiatan PILMAPRES dapat melampirkan surat pengantar dari Wakil Dekan 2.

Proses seleksi

  1. Seleksi berkas
  2. Capaian Unggulan (CU) memuat maksimal 10 prestasi terbaik selama menjadi mahasiswa. 
  3. Diutamakan juga melampirkan prestasi internasional sesuai bidang keilmuan 
  4. Sertifikat Bahasa Inggris 
  5. Video presentasi dalam Bahasa Inggris 
  6. Seleksi presentasi
  7. Presentasi gagasan kreatif/produk kreatif 
  8. Wawancara verifikasi berkas dan portofolio CU 

Timeline PILMAPRES FPSB 2023 

18-31 Januari 2023 – Pendaftaran dan pengumpulan berkas PILMAPRES melalui https://s.id/DaftarPilmapresFPSB2023 

21 Januari 2023Sosialisasi PILMAPRES FPSB 

1-2 Februari 2023Seleksi kelengkapan berkas 

3 Februari 2023Pengumuman finalis PILMAPRES FPSB 

4-11 Februari 2023Coaching clinic bagi peserta calon PILMAPRES  

13 Februari 2023Koordinasi perdana finalis dan penjelasan teknis mengenai seleksi presentasi 

14-15 Februari 2023Proses penilaian video presentasi Bahasa Inggris 

16-17 Februari 2023Presentasi gagasan kreatif/produk inovasi 

20-21 Februari 2023Wawancara verifikasi berkas dan portofolio CU 

24 Februari 2023Pengumuman pemenang PILMAPRES FPSB 

Demikian informasi terkait PILMAPRES FPSB UII, bagi mahasiswa yang berminat untuk mengikuti segera daftarkan diri melalui link yang tersedia. 

Revisi jadwal ujian remediasi daring FPSB

Informasi terbaru jadwal ujian remediasi Semester Ganjil TA 2022-2023 Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya yang akan dilakukan secara daring. 

Ujian remediasi daring akan dilaksanakan pada 25 – 26 Januari 2023. Bagi mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi UII baik Reguler maupun International Program (IP) yang belum mencapai standar nilai kelulusan mata kuliah tertentu maka perlu mengikuti ujian remediasi tersebut. 

Berikut detail jadwal dan daftar mata kuliah yang akan dilakukan ujian remediasi daring untuk Prodi Ilmu Komunikasi UII baik Reguler maupun IP. 

Jadwal ujian remediasi daring 

Rabu, 25 Januari 2023 

08:00 WIB – Introduction to Social Research (Kelas A) 

08:00 WIB – Bahasa Indonesia (Kelas A, B, C, D, E) 

10:00 WIB – Komunikasi (Kelas C, E) 

13:00 WIB – Manajemen PR (Kelas B) 

13:00 WIB – Public Relations Management (Kelas A) 

15:00 WIB – Pengantar Manajemen (Kelas B, C) 

15:00 WIB – Teknologi Komunikasi dan Ekologi Media (Kelas B, C, E) 

15:00 WIB – Communication and Media Ecology (Kelas A) 

Kamis, 26 Januari 2023 

08:00 WIB – Ilmu Sosial Budaya Dasar (Kelas A,C, E) 

08:00 WIB – Basics of Social Cultural Science (Kelas A) 

10:00 WIB – Komunikasi Profetik (Kelas A, B) 

10:00 WIB – Prophetic Communication (Kelas A) 

13:00 WIB – Psikologi Komunikasi (Kelas A, C) 

13:00 WIB – Psychology of Communication (Kelas A) 

15:00 WIB – Pengantar Riset Sosial (Kelas A,D, E) 

Demikian revisi jadwal ujian remediasi daring Semester Ganjil TA 2022-2023 khusus Prodi Ilmu Komunikasi UII. 

Informasi detail ujian keseluruhan dapat dapat diunduh melalui link di bawah ini. 

REVISI JADWAL UJIAN REMEDIASI DARING FPSB UII SEMESTER GANJIL TA 2022-2023 

JADWAL UJIAN REMEDIASI MKWU

Predikat kelulusan di Universitas Islam Indonesia (UII) kini mengalami perubahan. Untuk mendapatkan predikat Cum Laude mahasiswa harus menyelesaikan masa studi tidak lebih dari 4 tahun 3 bulan. 

Aturan tersebut tertera pada  Pasal 28 dan 46 Peraturan Universitas Islam Indonesia No. 2 Tahun 2017, maka bagi mahasiswa Prodi angkatan 2018 dan setelahnya mulai berlaku ketentuan mengenai predikat kelulusan khususnya terkait dengan predikat Cum Laude dan Summa Cum Laude. 

Sementara untuk batas minimum Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) kategori Cum Laude adalah 3,51-3,99. Untuk IPK 4,00 adalah lulus dengan kehormatan tertinggi dalam kategori Summa Cum Laude. 

Artinya di Prodi Ilmu Komunikasi UII juga menerapkan aturan yang sama, bagi mahasiswa dengan angkatan 2018 dan setelahnya yang tidak menyelesaikan masa studi lebih dari 4 tahun 3 bulan tentu gagal meraih predikat Cum Laude. 

Batas kesempatan bagi angkatan 2018 yang masih berkesempatan raih Cum Laude adalah mereka yang lulus selambat-lambatnya per Desember 2022. 

Ktegori predikat kelulusan 

2,50 – 2,75 Lulus dengan predikat Cukup 

2,76 – 3,00 Lulus dengan predikat Memuskan 

3,01 – 3,50 Lulus dengan predikat Sangat Memuaskan 

3,51 – 3,99 Lulus dengan pujian (Cum Laude) 

4,00 Lulus dengan kehormatn tertinggi (Summa Cum Laude) 

*** 

Seminar Day 2023

Seminar Day 2023: Alur lengkap pengajuan outline hingga ACC dosen pembimbingProdi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar “Seminar Day 2023” pada Selasa, 17 Januari 2023 secara daring untuk mahasiswa angkatan 2020 dan beberapa angkatan yang belum mengambil mata kuliah Seminar Proposal yang akan dimulai pada semester depan TA 2022-2023.

Dalam “Seminar Day 2023” dibahas proses pengajuan dari outline hingga ACC dari dosen pembimbing. Wajib diketahui syarat utama untuk bisa mengambil mata kuliah “Seminar Proposal” adalah lulus mata kuliah Penulisan Akademik, Metode Riset Kuantitatif, dan Metode Riset Kualitatif dengan nilai minimal C.

Seperti disampaikan Ketua Prodi Ilmu Komunikasi UII, Bapak Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D, Seminar Day 2023 dipersiapkan untuk mahasiswa yang akan mengambil mata kuliah Seminar Proposal.

” Mahasiswa harus memastikan alur Seminar Proposal dari outline hingga ACC dosen pembimbing. KKalau tidak mengikuti alur dan proses yang dijalani, maka mahasiswa tidak berhak mengambil mata kuliah Seminar Proposal,” ucapnya pada pembukaan Seminar Day 2023 pada Selasa, 17 Januari 2023.

Berikut informasi lengkap terkait alur Seminar Proposal yang wajib diketahui oleh seluruh mahasiswa yang akan mengambil mata kuliah tersebut.

Alur Seminar Proposal

1. Mahasiswa mengakses informasi lengkap presentai dari masing-masing dosen Prodi Ilmu Komunikasi melalui link https://s.id/Presentasidosenilkom

2. Mengikuti Seminar Day 2023 (Sudah berlangsung pada Selasa, 17 Januari 2023 pukul 08:30 WIB)

3. Membuat outline Seminar Proposal 2-3 halaman sesuai template yang dapat diakses di https://s.id/outline2023

4. Mahasiswa konsultasi ke dosen sesuai spesialisasi

5. Mengupload outline Seminar Proposal yang sudah mendapat tanda tangan ACC dosen spesialisasi maksimal Selasa, 31 Januari 2023 pukul 16:00 WIB melalui link https://s.id/Uploadoutline2023

6. Informasi final pembagian dosen pengampu kelas Seminar pada Jumat, 3 Februari 2023 pukul 16:00 WIB melalui https://communication.uii.ac.id

7. Mahasiswa key-in mata kuliah Seminar Proposal dengan nama dosen pengampu kelas yang telah diumumkan melalui website Prodi Komunikasi.

8. Prodi menyelenggarakan perkuliahan Seminar Proposal secara offline.

Timeline Seminar Proposal

17 Januari 2023
08:30 WIB – Seminar Day 2023

31 Januari 2023
16:00 WIB – Batas maksimal upload outline Seminar Proposal

3 Februari 2023
16:00 WIB – Informasi final pembagian dosen pengampu

Sebagai informasi dalam acara Seminar Day 2023 telah diikuti oleh 216 mahasiswa dari Prodi Ilmu Komunikasi dari International Program (IP) maupun reguler serta 15 dosen pengampu.

Karang Taruna Tirta Yodha belajar podcast dengan Laboratorium Ilmu Komunikasi

 

Laboratorium Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menerima kunjungan studi dari Karang Taruna Tirta Yodha pada Kamis, 5 Januari 2023.

Kunjungan Karang Taruna Kalurahan Tegaltirto, Kepanewon Berbah, Sleman, Yogyakarta di Laboratorium Ilmu Komunikasi bertujuan menambah wawasan dan pengetahuan tentang produksi podcast serta pengelolaan media informasi bagi para pengurus Karang Taruna.

Kunjungan tersebut diwakili 6 orang diantaranya 2 Pak Dukuh di Tegaltirto dan 4 anggota Karang Taruna Tirta Yodha. Mereka berkesempatan menjadi perwakilan untuk belajar bersama dengan beberapa dosen dan praktisi laboratorium Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Perwakilan Karang Taruna Tirta Yodha yang berkunjung tentunya mendapatkan materi spesifik terkait produksi podcast mulai dari pemilihan materi informasi, proses produksi, hingga publikasi.

Nantinya informasi yang telah diproduksi Karang Tarurna Tirta Yodha akan dipublikasikan di media sosial dan menjadi pusat iformasi masyarakat di wilayah Tegaltirto dan sekitarnya.

Sebelumnya kunjungan ini merupakan bentuk tindak lanjut dari pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh dosen Ilmu Komunikasi UII di kawasan Kalurahan Kepanewon Berbah.

Tentu saja kunjungan tersebut disambut hangat oleh Kepala Prodi Ilmu Komunikasi UII, Bapak Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D. Ia berharap kunjungan seperti ini terus berkelanjutan guna mendekatkan dunia kampus dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagaimana slogan yang diusung Progam Studi Ilmu Komunikasi, yakni Communication for Empowerment.

Mayoritas festival film di kota menjadi agensi kultural karena kemampuannya untuk menawarkan hal-hal alternatif. Agensi kultural yang demikian juga meneguhkan branding tempat tertentu hingga identitas kota itu sendiri.

Oleh
ZAKI HABIBI
Tulisan pernah dimuat Harian KOMPAS pada 18 Desember 2022. Artikel dimuat ulang untuk tujuan pendidikan dan penguatan isu kajian Film, Kota, dan Visual di Ranah Kajian Media, dan Urban Research.

Menjelang penghujung akhir tahun 2022, sejumlah kota kembali riuh dengan beragam pesta sinema. Dari Denpasar ke Jakarta hingga Yogyakarta, publik penonton film disuguhi serangkaian festival film yang menyapa khalayak secara langsung setelah dua tahun sebelumnya dilakukan secara daring. Kota-kota lain di berbagai wilayah pun menyusul untuk menggiatkan kembali perjumpaan fisik lewat ajang festival film.

Awal hingga tengah Oktober lalu, misalnya, Madani Film Festival dan Jakarta Film Week (JFW) digelar berdampingan waktu. Sebagian programnya diadakan dalam format kolaborasi kedua festival di lokasi yang sama, baik pemutaran film tertentu maupun sejumlah diskusi publik. Tidak lama kemudian, Jakarta Independent Film Festival (JIFF) juga hadir di awal November. Kali ini penyelenggara JIFF membuat festival dalam format bauran, mempertahankan program pemutaran daring dan mulai mengadakan program-program secara luring di Jakarta.

Pada tengah November, giliran Festival Film Dokumenter (FFD) di Yogyakarta yang kembali menyapa penikmat publik film untuk kali keduapuluh satu perhelatannya (Kompas, 27/11). Di penghujung akhir bulan November hingga 3 Desember 2022, Yogyakarta melanjutkan kemeriahan pesta sinema dengan berlangsungnya Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF).

Seperti akar namanya, festival adalah sebuah perayaan. Bila ditilik dari nalar kebahasaan, maka secara literal, festival adalah perayaan kolektif yang membangkitkan perasaan kegembiraan dan keriangan bagi siapapun yang terlibat di dalamnya. Festival film pada dasarnya adalah ruang sosial yang memberikan kesempatan rasa gembira dan nuansa riang secara bersama. Meski begitu, ada makna kontekstual yang khas karena–seperti film itu sendiri–festival film adalah hasil kerja kolektif nan kompleks, sejak konseptualisasi, kuratorial dan pemrograman, pendanaan, manajemen pengelolaan, pemublikasian program dan keterlibatan partisipan serta penonton, hingga konteks produksi ruang (space) sosial dan kultural serta pembentukan makna tempat (place) atas keberadaan suatu festival film tertentu.

Dengan begitu, kemeriahan yang terbentuk karena hadirnya festival film di sebuah tempat–dalam hal ini ruang urban–pada dasarnya telah melampaui makna literal sebagai ruang instrumental atas perayaan kegembiraan dan keriangan bagi sekelompok orang terbatas. Di luar fungsi utamanya dalam ekosistem perfilman secara spesifik, yakni sebagai bagian tidak terpisahkan dari relasi produksi, distribusi dan eksibisi film, festival juga dapat dipahami secara lebih luas. Sebuah festival film esensinya adalah produksi ruang perjumpaan budaya (cultural encounter) yang tidak bisa dilepaskan dari keterikatannya dengan tempat (place) ia bermula dan berbasis. Antara festival film dan kota telah berkelindan sedemikian rupa, saling andil dalam interaksi kultural yang terus saling berkaitan.

Festival Film dan Kota

Terlepas dari adanya perbedaan karakteristik utama dari setiap festival film di berbagai kota, terdapat satu pertanyaan tunggal yang sebenarnya selalu serupa. Yaitu, mengapa festival film menjadi penting bagi kota tempat ia hadir dan bergeliat?

Di luar fungsi instrumental dan konteks ekonomi-politik bagi ekosistem perfilman, setidaknya ada tiga arti penting kehadiran festival film secara kontinyu di kota masing-masing. Pertama, festival film adalah salah satu agensi budaya. Fungsi festival film melampaui arti literalnya sebagai ruang gembira dan riang bersama. Kedua, festival film–disadari atau tidak oleh warga kotanya maupun perumus kebijakan di kota–kerap menjadi sarana penyokong branding tempat (place branding), termasuk branding kota dan identitas kota. Ketiga, festival film berpotensi besar untuk memunculkan keberagaman suara (multiple voices) serta produksi ruang inklusif di kota.

Sebagai sebuah cultural agency, festival film semestinya tidak melulu dipandang sebagai peristiwa temporer belaka. Toh bagi para pekerja dan pegiat festival, kiprah festival film adalah kerja sepanjang tahun. Dalam penelitian yang ditulis Sri Ratna Setiawati (atau yang lebih akrab disapa Lulu Ratna), ia mengkaji terbentuknya konsepsi ruang urban Yogyakarta ditilik dari studi spesifik terhadap kurasi program pada dua festival di kota tersebut, yaitu FFD dan JAFF. Menurutnya, kehadiran kedua festival non-pemerintah yang lahir pasca-1998 ini berkontribusi dalam ”membangun konstruksi Yogyakarta ideal, namun pada saat yang sama juga melakukan perlawanan terhadap dominasi media arus utamadan distribusi-eksibisi film komersial, sehingga berhasil membangun kekuatan untuk menjadi hegemoni baru perfilman Indonesia” (Setiawati, 2020).

Lebih jauh dari itu, mayoritas festival film di kota pada muaranya menjadi agensi kultural karena kemampuannya untuk menawarkan hal-hal alternatif, dari cara pandang dan cara praktik atas berbagai aspek kehidupan di masyarakat tempat ia hadir. Selanjutnya, agensi kultural yang demikian juga mendukung upaya-upaya peneguhan branding tempat tertentu (festival venues) hingga identitas kota itu sendiri. Proses branding kota semacam ini biasanya mengomunikasikan kota sebagai ”imaji-imaji yang memantik selera orang” (Löfgren, 2005: 64).

Orvar Löfgren, seorang etnolog yang mendalami budaya kontemporer dalam keseharian hidup, mengingatkan bahwa city branding yang dijalankan dengan menempatkan prinsip ”catwalk economy” ada bahayanya. Segala sesuatu yang semata ditampilkan memukau di lapis imaji belaka, termasuk memoles kota seperti tengah berjalan di sebuah catwalk, hanya akan menempatkan kota sebagai produk. Kota sebagai produk adalah sebuah pandangan yang berbahaya (Löfgren, 2014: 202), karena akhirnya kota dapat didesain secantik mungkin, tapi justru menyajikan ruang urban yang tidak berdaya hidup (”a beautifully designed, but lifeless cityscape”) (Löfgren, 2007: 91).

Untuk mengembalikan daya hidup kota, diingatkan Löfgren dan juga Jensen (2007: 102), segala upaya branding kota harus kembali ke esensinya dalam meneguhkan identitas kultural dan segala nilai pokok dari kota tersebut melalui kelindan beragam pengalaman orang-orangnya.

Dengan begitu, dalam konteks festival film, berbagai hal yang terjadi dan terbincangkan di luar ruang pemutaran film merupakan pengalaman signifikan yang sama pentingnya dengan representasi apapun yang tersaji di layar pemutaran di dalam studio bioskop atau berbagai venues lainnya. Meski tidak selalu dapat terukur secara kuantitatif, hal-hal semacam ini pada dasarnya juga menyokong proses branding kota yang berbasis identitas kultural dan nilai-nilai esensial.

Keberadaan festival film yang demikian akhirnya bermuara pada cara memandang dan menafsirkan kota. Mengapa demikian? Meminjam dan memodifikasi penjelasan Henri Lefebvre, kota sebagai ruang sosial semestinya dipahami secara menyeluruh sebagai perwujudan aspek triadik tak terpisahkan. Yaitu, kota dalam wujud material (the perceived or material city), kota yang terimajinasikan (the conceived or imagined city), serta kota yang dialami atau dihidupi warga dan beragam orang yang melintasinya (the lived city).

Lewat festival film, siapapun yang terlibat, hadir, atau sekadar selintas melihat publikasi acaranya di jalanan sebenarnya telah menjadi bagian dari ketiga model triadik kota di atas. Festival film, terutama melalui program-programnya, kerap berfokus pada upaya-upaya untuk merawat ingatan. Dari ragam genre dan tema film, topik diskusi, hingga lontaran-lontaran dalam obrolan informal di sela-sela acara utama adalah wujud nyata dari beragam upaya merawat ingatan atau kerap disebut pula sebagai recalling and re-articulation of social and cultural memories. Tujuannya, agar isu yang penting, kegelisahan yang dirasakan, serta fakta dan emosi yang tidak tersaji di permukaan dapat menjadi rekaman bersama dan, syukur-syukur, direspons pula lewat berbagai karya-karya lanjutan di masa mendatang.

Tatkala festival film menjadi ruang yang memungkinkan upaya merawat ingatan agar terus terkelola, ini adalah aktualisasi dari gagasan the imagined city dan the material city. Di saat yang bersamaan, berfestival film pada asalinya adalah serangkaian pengalaman individual dan kolektif sekaligus. Pada aras ini, festival film telah mewujudkan pula gagasan the lived city yang selalu menyajikan pengalaman majemuk warga, tidak pernah tunggal, yang harus terus diberi ruang seluas-luasnya. Bahwa kota yang terhidupi, the lived experiences in the city, ini tidak selalu sejalan dengan idealisasi dan materialisasi yang diharapkan di awal, hal itu tetap harus mendapatkan perhatian yang sama pentingnya.

Suara Majemuk dan Ruang Inklusif

Dengan memahami festival film dalam cara pandang yang demikian, arti penting ketiga dari festival film di sebuah kota dapat terwujud. Yaitu, potensi untuk ’mendengarkan’ suara majemuk atau multiple voices melalui berbagai program yang juga mempertemukan ragam entitas. Kata voice di sini tidak semata-mata terjemahan suara dalam pengertian pengalaman akustik. Melainkan, ‘suara’ di sini berkaitan pula dengan artikulasi kuasa (power) yang selalu menjadi medan kontestasi dalam keseharian pengalaman hidup masyarakat urban.

Di perhelatan festival film, artikulasi suara majemuk yang semestinya diberikan ruang luas tersebut tak ubahnya menjadi ruang nafas atau the breathing spaces dalam hiruk-pikuk dan sesak pengalaman hidup perkotaan. Ruang nafas demikian dapat bermakna ganda: festival film sebagai oase di belantara ragam peristiwa dan kepenatan di kota, sekaligus festival film sebagai ruang menekan tombol ”pause” dalam keseharian hidup warga kotanya. Jeda sejenak ternyata penting demi mendengar ”suara-suara” yang berbeda sembari membincangkan imajinasi atas harapan-harapan yang beragam.

Dalam berbagai perjumpaan formal sebagai bagian dari program festival maupun perbincangan informal di kedai dan selasar lokasi festival, terdapat banyak catatan penting yang kemudian menjadi fondasi kerja-kerja kolektif selanjutnya setelah festival berakhir. Dialog dalam forum diskusi, tanya jawab dengan sineas dan kru film pasca-pemutaran, hingga peluncuran buku terkait sinema adalah beberapa ruang sosial yang kerap mewadahi kemunculan ragam suara sekaligus kompilasi harapan.

Bersama itu pula, festival film juga melanjutkan ruang-ruang sosial demikian sebagai kemungkinan memupuk hadirnya ruang yang lebih inklusif di perkotaan. Kita lihat, misalnya, sejumlah program juga menyediakan ”bioskop bisik” untuk akses bagi penonton disabilitas. Harapannya, festival film menjadi kian meneguhkan rasa kepemilikan yang luas di luar komunitas pembuat, pendistribusi dan eksibitor film semata.

Inklusivitas juga hadir lewat cara lain. Seperti, kombinasi antara praktik-praktik lokal yang ditawarkan sebagai ciri khas setiap festival di masing-masing kota dengan dialog lintas entitas yang muaranya kerap menuju cita rasa kosmopolitanisme.

Menutup tulisan ini, saya teringat salah satu adegan di film Autobiography (2022) – ditulis dan disutradarai oleh Makbul Mubarak– yang secara simbolik tidak hanya kuat bagi narasi dan unsur sinematik film ini, tetapi juga secara metaforis menggambarkan kelindan gagasan yang saya ulas di atas. Sebagai wujud artikulasi ”investigasi emosional sejak masa kecil bagi sineasnya” (Kotzathanasis, 2022), film ini sarat akan ekspresi implisit emosi yang tidak selalu sejalan dengan hal-hal yang manifes di layar.

Tatkala tokoh pelik Purna berujar di bagian permulaan film kepada Rakib, sang protagonis, ”Siapa bilang saya minum kopi?” pertanyaan retoris ini tidak pernah terjawab verbal karena memang esensinya bukan itu. Melainkan, sisi-sisi yang tidak terkatakanlah yang memberikan petunjuk bagi penonton atas bangunan karakter tokoh tersebut dan premis utama filmnya. Begitu pula dengan pentingnya festival film bagi kotanya. Hal-hal yang tersampaikan secara subtil, bahkan terkadang tak tampak, dalam perhelatan festival film tidak boleh luput dari perhatian banyak orang. Karena dari situlah andil dan kontribusi festival film sedang terbentuk secara kultural bagi kota dan warganya.

ZAKI HABIBI

Peneliti kajian media dan budaya visual,
Prodi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta
dan Lund University, Swedia