Reading Time: 2 minutes

Pameran dan Diskusi foto cerita Doc-Camp resmi digelar dari 20 hingga 23 September 2022. Dalam Diskusi Foto pertama, Nadim Komunikasi UII menghadirkan Boy Harjanto sebagai pembicara untuk membedah 12 tema foto story dari para mahasiswa UII lintas angkatan dan jurusan. Boy mengatakan, selain teknis foto, para peserta pameran foto sudah mencoba mengangkat tema-tema yang beragam. Meski begitu ada beberapa penilaian darinya.

Beberapa fotografer ia nilai masih kurang berani untuk bereksperimen dengan menggunakan teknik-teknik foto yang mempunyai tingkat kesulitan cukup tinggi. “Misalnya panning, slow motion, zooming, rotation, dll,” ungkap Boy Harjanto dalam Diskusi Foto karya Peserta Pameran Foto Doc-Camp 2022 hasil kerjasama PSDMA Nadim Komunikasi UII dan Klik18 pada 20 September 2022. Boy memberi penilaian dan membedah karya foto para peserta sambil juga menunjukkan contoh-contoh karyanya yang mengabadikan momen percetakan Iqra di seputaran kotagede atau membekukan kegiatan rutin ramadhan di Jogokariyan dengan beragam eksperimen teknik fotografi tingkat tinggi.

Oleh karena itu, para fotografer foto cerita, selain harus memertimbangkan aspek teknis fotografi dan eksperimen foto, ia juga harus mempertimbangkan apa yang disebut Boy dengan teknik pemaparan alur cerita. Foto cerita sebenarnya adalah teknik bercerita lewat foto. Maka fotografer foto story harus bisa bermain cerdas dengan foto sekaligus alur cerita.

“Dari segi pemaparan alur cerita, para fotografer Doc-Camp, beberapa sudah ada yang fokus untuk membuat foto cerita sesuai dengan perencanaan yang dibuat,” kata Boy menjelaskan. “Meski ada juga peserta yang kurang fokus dengan perencanaan yang sudah dibuat sebelumnya,” papar Boy. Misalnya ada tim yang membuat alur cerita lain di dalam foto cerita itu sendiri.

Kelas Foto Cerita Doc-camp ini adalah gabungan dari fotografer mahasiswa dari lintas angkatan, lintas jurusan, fakultas dan multigender serta beragam tema. Jadi, tak semua fotografer didominasi laki-laki justru. “Kelas ini di bagi menjadi dua kelompok dengan durasi waktu yang berbeda. Doc-camp 2019 menghasilkan produksi foto cerita sebanyak tujuh judul yang dikerjakan secara personal dan kelompok. Lalu Doc Camp pada 2022 menghasilkan produksi foto cerita sebanyak lima Judul baik yang di kerjakan ada yang secara personal dan juga mayoritas dibuat dengan berkelompok,” papar Boy. Total ada 12 foto cerita yang telah diproduksi oleh seluruh peserta dengan beragam tema. Misalnya tema corak islam di Masjid Pathok Negoro di Plosokuning, pengajian antimainstream Ngaji Filsafat di Masjid Jenderal Sudirman, Biker subuhan, hingga potret pesantren dengan santri mayoritas tunarungu di Sleman.

Di akhir acara, Naufal Syahrofi, Ketua Klik18 (komunitas foto mahasiswa Komunikasi UII), memberikan kenang-kenangan dari Prodi Komunikasi UII, pada Boy T. Harjanto, pembicara sekaligus mentor mereka selama proses pembuatan dan produksi foto cerita di 2022 ini. Boy telah mendampingi para peserta mulai dari proses pelatihan, perencanaan, sequencing, hingga kurasi foto dan pameran.

Reading Time: 2 minutes

The theme of photo stories about Islam is now easier to pick up. In addition to the theme being quite universal, the subjects taken for the subject of the photo story are quite common because the majority of Indonesians are Muslims with various backgrounds. Both male and female students can have no difficulty assembling a story through the shutter and lens of a photo story.

“The growth of Islam in the archipelago is also significant, both in big cities and in villages, making it easier to take Islamic issues in photos story,” said Boy T. Harjanto, a photographer from EPA (European Press Agency) Photo, which became the main speaker in the Discussion and Photo Exhibition of Doc-Camp 2022 stories in collaboration with the Nadim Communication Center for Alternative Media Studies and Documentation UII and Klik18. Boy sees photo exhibitions with Islamic themes that are currently very easy to take because they are also abundant in variety besides being universal.

On this occasion, on September 20, 2022, Boy was appointed by the Doc-Camp 2022 committee to be the reviewer of 12 photographic works of photographers from UII students. Nizli Nailunni’mah the moderator of this evening’s discussions said, all photographers are here and share their experience of making the photo stories. Many of them face obstacles while taking pictures, particularly a refusal from the subject. According to Boy, from the photography aspect, the 7 themes of the photo stories from the early Doc-Camp participants had the opportunity to find momentum and photo events to be more flexible and explore photos more. “The 2019 Doc-Camp participants have quite a bit of time, so it is possible for the participants to produce better photo repetitions than the 2022 Doc-Camp participants,” said Boy judging from the photographic aspect.

Meanwhile, Doc-Camp 2022 participants experienced limited time, and the tight schedule of lectures and campus committees made it difficult for them to take photos again. Although the hunting period is also entering the exam holiday period, not every team has the opportunity to take photos again, so it is difficult to get better photos.

According to Boy, the photos from participants’ stories, in terms of taking photos, the basic technique of taking photos is quite good, “although there are still some technical errors, such as lack of focus and under and overexposure,” added Boy.

Dozens of participants attended this discussion. Both from the student community and clubs at UII to several photo communities and photo lovers from outside UII. In addition to discussions, a photo exhibition has also been held from 20-23 September 2022 with 12 photo themes and more than 150 photo frames exhibited at the UII Library with the Kimpulan Temple as the background. Visitors to the photo exhibition recorded more than 300 participants from inside and outside UII, such as Unriyo Yogyakarta, Fotka, Lens Club Sanata Dharma, Semarang student photo community, and others.

(Featured Photo by Nabiel Marazieq and Galih Abimanyu: featuring Nizli as the moderator (left) and Boy as the speaker (right))

A Souvenir was given to Our Keynote Speaker, Boy Harjanto (Left), by Naufal Syahrofi (right), The Head of the Committee of this Discussion and Photo Exhibition on 20 September 2022 (Photo by Desyatri Parawahyu)

 

Reading Time: 3 minutes

Setelah terkendala dua tahun lebih Pandemi Covid-19, akhirnya pameran karya tujuh tema foto story dari Fotografer penerima beasiswa Doc-Camp (Doctrine-Media Camp) 2019 berhasil juga terlaksana. Uniknya, kali ini pameran juga berkolaborasi dengan 16 peserta Doc-Camp 2022 buah kerjasama dengan komunitas mahasiswa komunikasi yang fokus pada dunia fotografi di UII yaitu Klik18. Klik18 menyumbang lima tema foto cerita pada perhelatan pameran ini.

Cita-cita untuk melihat wajah Islam 20 tahun pasca reformasi sudah sudah ada sejak 2018 lalu. “Kami, tepatnya Mas Muzayin, Ali MInanto (keduanya adalah Dosen Komunikasi UII) dan Saya punya angan-angan untuk memotet bagaimana wajah Islam pasca 20 tahun reformasi. Lalu kami membuat pelatihan membuat film, foto, video, dan tulisan feature,” kenang M. Iskandar Tri Gunawan tentang mula-mula Doc-Camp dirilis. Mulanya, Doc-Camp adalah dua kegiatan dengan dua nama yang akan digabung: Doctrine (documentary training) dan Media Camp pada 2018. Menurut Iskandar, pada 2019, kedua program pengembangan mahasiswa ini dilebur menjadi satu nama dengan semangat yang serupa menjadi Doc-Camp 2019.  Pada Doc-Camp 2019, tema yang diangkat tidak lagi soal Islam 20 tahun pasca reformasi, melainkan islam dan transfromasi: membaca kota dan mendaras desa, kata Iskandar di pembukaan Diskusi dan Pameran Foto Doc-Camp 2022 pada 20 September 2022 di Mini Theathre Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Beberapa tahun membuat rangkaian pelatihan yang dinamai Doctrine di tahun 2018, Media Camp di 2018, dan Doc-Camp di 2019. “Tahun 2020-2021 kosong terjeda pandemi. Hingga akhirnya kami mengundang kerjasama dengan temen-teman Klik18 untuk pameran bareng,”Ujar Iskandar selaku Laboran di Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dalam pembukaan acara diskusi foto yang bertajuk Islam dan Transformasi pada 20 September 2022.

Jeda dan Ruang Berefleksi

Jeda waktu aktifitas dua hingga tiga tahun karena pandemi memberikan penanda waktu yang penting. “Adanya acara ini juga adalah salah satu wujud dari hasil proses itu. Proses memberi ruang untuk berkreasi, ruang berekspresi, dan mendorong berdialog dengan klub dari kampus lain,” sambut Zaki Habibi, salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII memberi sambutan mewakili dari Prodi Komunikasi UII. Menurut Zaki, pameran dan diskusi foto Doc-Camp 2022 hasil kerjasama dengan PSDMA Nadim Komunikasi UII dan Klik18 adalah ruang untuk berefleksi atas foto dan islam kini setelah istirahat akibat pandemi Covid-19.

“Panggung ini adalah apresisi untuk klik18, para mentor, kru Prodi Komunikasi UII dan Anda semua. ini pinggangnya kaku karena dua tahun ini rebahan,” Kelakar Zaki, yang juga adalah Dosen Komunikasi UII spesialis kajian Urban dan Visual Culture.

Foto sama halnya dengan pandemi. Zaki menjelaskan foto adalah bagian dari momen, ruang dan waktu yang dibekukan untuk memberi jeda. Jeda sejenak untuk membaca ruang visual. Jeda, ambil sedikit waktu untuk berhenti sejenak dari arus rutinitas yang terus menerus, untuk berefleksi.

Zaki Habibi, perwakilan Prodi Komunikasi UII, memberi sambutan dalam Pembukaan Diskusi dan Pameran Foto Doc-Camp 2022 pada 20 September 2022. Menurutnya, pameran ini adalah hasil dari jeda dan refleksi selama dua tahun pandemi Covid-19 (Foto oleh Nabiel Marazieq)

Di sini, dalam pameran ini, membaca fotografi dan membaca masyarakat dalam ranah isi. “Kayaknya teman kita melihat Islam ini tidak sempit, tidak hanya Islam yang teologi dan ritual,” kata Zaki.

Lewat foto-foto, kata Zaki, dapat dilihat di masyarakat kita bahwa Islam tidak sebatas pada ajaran yang sifat nya teologis, ritual, dan spiritual. “Tapi kita bisa lihat Islam yang lebih kultural, yang berinteraksi dengan masyarakat,“ kata Zaki dalam sambutannya

“Kita harus bisa membacanya dengan kacamata yang beyond the simbol of ibadah.”

Banyak sisi lain dari kultur, fotografi itu mampu mengambil jeda sejenak untuk melihat dunia yang dihentikan dalam frame. Ciri khas fotografi adalah membekukan momen, membekukan ruang dan waktu untuk berhenti sejenak memberikan kita jeda untuk berefleksi bersama.” tutupnya.

Sesi selanjutnya diisi dengan materi Bedah Karya Foto dari Boy Tri Harjanto, pendamping pelatihan sejak 2018. Boy adalah fotografer European Press Agency (EPA) Photo, ia memberi masukan baik teknis dan konsep pada sejumlah foto yang dipamerkan di Pameran foto bertema Islam dan Tranformasi kali ini.

 

Reading Time: 2 minutes

Tema foto cerita tentang Islam kini lebih mudah diangkat. Selain tema tersebut cukup universal, subjek yang diambil untuk
subjek foto cerita cukup banyak ditemui karena mayoritas warga Indonesia adalah muslim dengan beragam latar belakang. Baik mahasiswa, laki perempuan, bisa tak punya kesulitan merangkai cerita lewat rana dan lensa menjadi sebuah foto cerita.

“Pertumbuhan Islam di Nusantara juga signifikan baik yang terjadi di kota-kota besar ataupun di desa-desa membuat kemudahan mengambil isu Islam dalam foto cerita semakin tinggi,” kata Boy T. Harjanto, fotografer dari EPA (European Press Agency) Photo, yang menjadi pembicara utama dalam Diskusi dan Pameran Foto Cerita Doc-Camp 2022 hasil kerjasama Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif Nadim Komunikasi UII dan Klik18. Boy melihat pameran foto dengan mengangkat tema islam saat ini sangat mudah diambil karena selain universal juga ragamnya berlimpah.

Pada kesempatan ini, pada 20 September 2022, Boy didapuk oleh panitia Doc-Camp 2022, menjadi pembedah 12 karya foto cerita para fotografer dari mahasiswa se-UII. Menurut Boy, dari aspek fotografi, 7 tema foto cerita dari peserta Doc-Camp awal ini, punya kesempatan menemukan momentum dan peristiwa foto lebih fleksibel dan lebih bisa mengeksplorasi foto. “Peserta Doc-Camp 2019 punya waktu agak panjang, sehingga sangat memungkinkan peserta untuk melakukan produksi pengulangan foto yang lebih baik ketimbang peserta Doc-Camp 2022,” kata Boy menilai dari aspek fotografis.

Sedangkan peserta Doc-Camp 2022 mengalami keterbatasan waktu dan padatnya jadwal kuliah dan kepanitiaan kampus
mengakibatkan mereka kesulitan mengambil foto ulang. Meskipun sebenarnya masa hunting juga memasuki masa libur ujian, tak sepenuhnya tiap tim punya kesempatan untuk mengambil foto ulang sehingga sulit mendapatkan foto lebih baik.

Menurut Boy, foto-foto cerita para peserta ini, dari segi pengambilan foto, secara teknik dasar pengambilan foto sudah cukup baik, “meski masih ada beberapa kesalahan teknis, seperti kurang fokus dan ada yang under dan over exposure,” tambah Boy.

Acara Diskusi ini dihadiri oleh puluhan peserta. Baik dari komunitas mahasiswa dan klub di UII, hingga beberapa komunitas foto dan penikmat foto dari luar UII. Selain diskusi, pameran foto juga telah diadakan dari 20-23 September 2022 dengan 12 tema foto dan lebih dari 150 pigura foto yang dipamerkan di Perpustakaan UII yang berlatar Candi Kimpulan. Pengunjung pameran foto tercatat lebih dari 300 peserta baik dari dalam dan luar UII, misalnya dari Unriyo Yogyakarta, Fotka, Lens Club Sanata Dharma, Komunitas foto mahasiswa Semarang, dan lain-lain.

Reading Time: < 1 minute

Halo, Kami mengundang seluruh mahasiswa Komunikasi UII, terutama di peminata Jurnalistik, Media Kreatif, dan Kajian Media, Silakan hadir pada kesempatan istimewa diskusi soal berbagi pengalaman liputan jurnalis di wilayah perang. Acara tersebut bisa dilihat pada detil seperti sebagai berikut:

Judul:

Berbagi Cerita bersama Wartawan Kompas di Komunikasi UII: Liputan Perang di Ukraina

Kamis, 15 September 2022

Pukul 09.00-11.00 WIB

Jadwal:

Mini Theatre (RAV/ Ruang Audio Visual)

Lantai 3, Gedung Unit 18, Komunikasi UII (Seberang Gedung Rektorat UII)

Pembicara:

Harry Susilo (Wartawan KOMPAS)

Moderator:

Dr. rer. soc. Masduki (Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII)

Reading Time: < 1 minute

Mari ikuti Remaja Berdaya dengan Media – Training of Trainer untuk Mahasiswa Komunikasi UII. Mahasiswa Komunikasi di UII silakan mendaftar untuk menjadi peserta pelatihan menjadi trainer. Mahasiswa akan menjadi berlatih menjadi fasilitator pemberdayaan komunitas.

Mahasiswa akan mendapatkan Beberapa manfaat mengikuti kegiatan ini. Pertama, misalnya adalah 30 peserta terpilih akan mengikuti pelatihan di Kampus, Prodi Ilmu Komunikasi UII, secara gratis. Jumlah hari pelatihan berlangsung 4 hari bersama pemateri yang disediakan oleh Prodi Komunikasi UII.

Kedua, 10 peserta akan diseleksi untuk mengikuti kegiatan selama 10 hari di Sekon, Timor Tengah, Utara NTT. Seluruh akomodasi, konsumsi, dan transportasi lokal (kecuali tiket pesawat PP) akan ditanggung oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Silakan mendaftar ke tautan berikut:

 

INfo lebih lanjut silakan lihat keterangan dalam gambar di tautan ini

 

 

 

Reading Time: < 1 minute

Pengumuman untuk seluruh mahasiswa Ilmu Komunikasi UII
Yukk ramaikan acara ini🥳

Jadwal

Hari, tanggal: Kamis, 1 Sept 2022
Pukul: 10:00 WIB – Selesai
Tempat: Mini Theatre Ilmu Komunikasi UII

Konfirmasi kehadiran:
https://bit.ly/RegistrasiKuliahPakarKerelawanan

Reading Time: 3 minutes

            Survei bertajuk Reuters Institute Digital News Report 2022 yang dirilis Juni tahun ini kembali menempatkan TVRI sebagai tiga besar media yang paling mendapat kepercayaan publik (brand trusted score) di Indonesia. Tahun 2021 hal serupa juga diraih televisi publik ini, dimana TVRI berada di bawah CNN dan Kompas. Survei ini menarik di tengah krisis informasi berkualitas di Indonesia pasca serbuan disinformasi, ujaran kebencian dan tingginya harapan publik akan berita yang baik menjelang kontestasi pemilihan Presiden tahun 2024. Pada klaster media penyiaran yang paling dicari publik untuk mengakses informasi, TVRI berada di posisi 9, di bawah puluhan televisi nasional seperti TVOne, Kompas, Metro, SCTV dan Indosiar. Bagaimana memahami dan memberi makna serta merawat posisi ini, di tengah serbuan konten jurnalisme berbasis platform digital?

Hasil survei di atas memberikan impresi positif bahwa TVRI menjadi media yang diharapkan publik mengambil peran strategis saluran informasi. Brand TVRI sudah cukup kuat sebagai saluran informasi pembangunan di masa Orde Baru, tetapi lemah pada informasi publik yang kritis di masa kini. Sebagai televisi yang legendaris, tertua di banding televisi dan media jurnalisme lain, popularitas TVRI kuat dalam kerangka brand historis, bukan brand aktual. Kepercayaan publik ini dapat menjadi modal membenahi tata kelola redaksi TVRI menuju media berita terdepan. Pilpres 2024 nanti akan menguji TVRI apakah bisa menjadi saluran berita yang mendalam, mencerdaskan, tidak partisan.

Merujuk hasil survei Reuters, suatu brand media yang kuat, tidak berkorelasi dengan loyalitas konsumsi atas produk dari media pemilik brand. Meski di posisi tiga besar, pilihan publik untuk mengakses informasi TVRI hanya di level 9. Artinya ada persoalan belum tersedianya informasi yang berkualitas, memadai dan sesuai kebutuhan publik. Dibanding Metro TV atau TVOne pada tahun 2019 dipersepsi partisan, posisi TVRI masih tertinggal. Sudah jamak diketahui, kekuatan LPP di Indonesia masih berbasis konten siaran budaya, olah raga atau informasi pembangunan. Ini bertolakbelakang dengan kekuatan LPP di berbagai negara seperti BBC dan ABC yang terpusat pada jurnalisme.

Dari sisi kelembagaan, memasuki tahun 2022, TVRI belum memiliki saluran khusus berita baik untuk layanan nasional apalagi internasional. Saluran TVRI nasional saat ini masih campur aduk, posisi produk berita cenderung masih marginal. Gagasan mendirikan insitusi TVRI World yang sempat mencuat tahun 2019 belum ada kabar lanjutan. Justru belakangan ini manajemen disibukkan oleh migrasi layanan teknologi siaran dari analog ke digital, yang sejatinya di berbagai negara lain diurus lembaga tersendiri.

Upaya merawat kepercayaan publik atas brand TVRI ini tidak hanya bisa dilakukan melalui siaran jurnalisme yang berkualitas. Merujuk norma dasar sebagai LPP, maka TVRI dapat menerapkan public engagement yang paripurna. Platform digital yang lebih terbuka dan atraktif seperti YouTube, Instagram, Tiktok, dll dapat menjadi ruang bagi diseminasi konten TVRI, agregasi layanan berita dari jalur konvensional, hingga menjalin kedekatan dengan publik secara digital. Konsep interactivity dan sociability harus menjadi pilihan melakukan perawatan kepercayaan, dengan cara membentuk direktorat khusus media digital. Jika tidak, TVRI bukan hanya akan tertinggal dalam konten berkualitas di media konvensional, tetapi kehilangan popularitas di media digital yang makin menggurita.

Beberapa tahun terakhir, TVRI mulai masuk ke platform digital dengan membuat aplikasi TVRIKlik, mengisi kanal YouTube, mengelola Instagram, mengembangkan layanan Vodcast, dll. Namun strategi yang dipilih masih satu arah, yaitu dari TVRI untuk publik, interaksi dalam kolom komentar, aktivasi diskusi digital terkait isu tertentu belum dibangun. Lebih jauh yang dibutuhkan TVRI sejatinya adalah gambaran empiris perilaku dan kebutuhan pemirsa dalam jangka panjang. Data ini hanya dapat diperoleh melalui penguatan kinerja riset dan pengembangan siaran di internal TVRI. Gambaran profil pemirsa yang memadai akan membantu TVRI menjaga kedekatan publik dan pilihan layanan informasi yang tepat, sebagai prakondisi dalam menjaga kepercayaan publik. Riset dan audit kebutuhan publik wajib secara rutin dilakukan, baik oleh TVRI sendiri  atau berkolaborasi.

 

Penulis: Masduki

Dosen Ilmu Komunikasi UII, Pendiri Rumah Perubahan LPP (Lembaga Penyiaran Publik)

===========================================

Artikel ini terbit pertama kali di Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta pada 24 Agustus 2022. Artikel ini dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

Reading Time: 5 minutes
Dr. Rer. Soc. Masduki, lecturer at the Department of Communications, Universitas Islam, Indonesia and former Programme Director of Radio Republik Indonesia (RRI).
12th April 2022
This year marks 20 years since public radio was established in Indonesia. To date, Radio Republik Indonesia (RRI) remains the only public radio broadcaster in the country. But ongoing governance and independence issues have presented themselves as key barriers to it being a truly independent, public media organisation. With a new director and supervisory board recently elected, this insight by Masduki provides an analysis of RRI’s ongoing issues, and explores the potential solutions that new leadership could consider to reform the organisation and protect the future of public radio in Indonesia.

For the fourth time since its establishment as a public service radio in 2002, RRI, as the sole public radio in Indonesia, has elected new directors. The election process was in November 2021, with the elected directors starting work since early January 2022. Veteran radio journalist, political survey practitioner and social activist, Ignatius Hendrasmo, was elected to lead RRI until 2026. This report discusses the points that can be noted from this new five-year management reform for the journey of RRI as a national broadcaster in the post-authoritarian Indonesian media system.

Two decades of public media in Indonesia

The public service broadcasting (PSB) system in Indonesia differs from most public broadcasting in Europe, which is the birthplace of this system. Indonesia only started adopting the PSB system in 2002, with three main operators: RRI for radio, TVRI for television and local provincial and/or sub-provisional PSBs (LPPLs). They are separate media institutions previously owned by national and local governments. Among all broadcasters, RRI is the oldest national broadcaster, established on 11 September 1945. The majority of its broadcasters were government employees. The main funding for this media, since its establishment, is the annual state budget (called APBN).

The supervisory board does not function as a barrier to political intervention, but becomes an extension of politicians’ interests instead.

The change in RRI’s legal status from a government owned radio organisation to a public radio organisation in 2002 did not directly alter its work culture and its overall governance. While political intervention no longer occurs in its content production, the budget plan and distribution as well as selection of its top structure members remain in the hands of political authorities. RRI has two high level structures: a supervisory board and a board of directors, which are elected every five years. The supervisory board is legally elected by parliament on behalf of the citizens, while the board of directors is elected by the supervisory. This two-room model is formally in line with many other public broadcasters throughout the world, such as the BBC and NHK. However, they experienced a different journey here in Indonesia. The supervisory board does not function as a barrier to political intervention, but becomes an extension of politicians’ interests instead.

New leadership: ongoing politicisation

The election of a new board of directors at the end of 2021 provides an ideal reference to indicate the ongoing politicisation of RRI. By observing various coverage of the election in the last six months, there are three relevant issues to unpick.

First, there was a continued external intervention of the supervisory board in July 2021, which led to the politicisation of the directors’ election in December 2021. The elected members of the supervisory board who are considered informally affiliated with certain political parties influenced their appointment of the RRI Director. This intervention is legally supported by the Broadcasting Law No. 32/2002, the regulation which established RRI as a public radio organisation, that gives full mandate to the parliament to elect the board through two stages, involving the government and the parliament. Initially, politicians assign the government – not an independent institution – to recruit applicants in an open and competitive manner, then 15 selected names are submitted to parliament. Such politicisation not only results in the weak autonomy that the supervisory and executive boards wield, but it also minimises RRI’s latitude to have public representatives in its management structure.

Second, there was an ‘elite model’ of selection mechanism. Instead of forming a large number and varied membership of selection team, the Minister of Communication and Informatics created a small team only consisting of its senior staff and academics. There was no representative from civil societies and/or larger public institutions.

Third, given the open and competitive nature of the election, culture-based representatives or representatives of various communities, professionals in broadcasting and the diversity of public interests do not apply. This is because, in contrast to the selection model for the top public radio board in Germany, the selection model for the supervisory board and board of directors of RRI in Indonesia, referring to Law no. 32/2002, adheres to the competitive representation model. This model attracts members to come from open selection without specific affirmation given by certain groups such as women or from the disabled community. The open competitive model may open up competition without discrimination on the one hand, but risks having figures who only have clientelist affiliations with government officials and/or politicians being selected. As a result, the board members work only to serve the interests of their political allies, instead of universal public aspirations.

The recent optimism for RRI as a public radio that excels in digital services to serve the interests of citizens remains high amidst the financial crisis.

Government decree no. 12 and 13 of 2005 legally allows three kinds of supervisory membership: the government, RRI and the public. Yet, in practice, the composition of the supervisory and executive boards of RRI in the past 15 years have been dominated by representatives of RRI – among 5 members of the board, the public based commissioner is a minority (typically one person from the public). The rest are from RRI and/or government official. The lack of public representation has resulted in a conflict among the elites between RRI, the government and politicians, without considerable public involvement.

Hope for independent public radio in the future?

The recent optimism for RRI as a public radio that excels in digital services to serve the interests of citizens remains high amidst the financial crisis facing commercial broadcasters and the politicisation of social media in Indonesia. For this reason, apart from focusing on internal consolidation, challenges for the new directors include advocating for changes to broadcasting policies and forming audience councils – and therefore increasing public participation – in all provinces throughout Indonesia. Given the lessons learned from the recent election of the RRI supervisory and executive boards in 2021, an assessment of the selection mechanism is also needed. The German model, wherein members of the boards are a mix of professionals, socio-religious figures, political parties, etc., could be considered. It is necessary to emphasise that RRI is a social rather a political institution, so that RRI can be free from politicisation. The new RRI boards should also intensively forge alliances with media advocates at national and international levels to push the Indonesian parliament’s plan to revise the Broadcast Law so that it is in line with the ideal interests described above.

===============================

This article was first published in Public Media Alliance. Read the source article. This article has been republished for educational purposes within the “Communication on Media” Rubric: Department of Communications mediated in Mass Media content.

Reading Time: < 1 minute

Undangan Sosialisasi

Bidang Minat Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi

Acara ini adalah sosialisasi mengenalkan bidang minat atau konsentrasi bidang minat studi untuk Mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2020. Bidang minat yang dimaksud adalah pilihan bidang minat atau konsentrasi studi Jurnalisme dan Penyiaran, Kajian Media, Media Kreatif, dan Public Relation. Bidang minat ini penting untuk dipilih baik untuk mahasiswa kelas International Program maupun Kelas Reguler. Acara akan diadakan pada:

Jumat, 19 Agustus 2022
08.30-Selesai
Zoom Meeting

Acara ini bersifat wajib