Reading Time: 2 minutes

The music industry has been affected by the Covid-19 Pandemic. The pandemic in an unclear time frame makes the music industry have to make creative innovations to turn the wheels of their industry. The concept of digital concerts must be lived. They must consider how digital concerts can feel real instead of just showing regular video shows. For example The Online Concert BTS, NCT 127 online concert, and etc.

Salsabilla Dewi Kemuning, a student of the Department of Communications at the Universitas Islam Indonesia (UII), raised this digital concert phenomenon as the topic of her undergraduate thesis research. She saw how the audience could feel the atmosphere of this digital concert. He explained the liveness concept of this online concert at the Monthly Discussion Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA) NADIM of Communication Department UII on Tuesday, 28 June 2022.

To make the digital concert so real, the event organizer made various efforts, both visual appearance and audience experience. For example, by presenting a live chat feature, video calls, rest breaks, and stage creations. Some of the explanations for these efforts are as follows:

Live chat

The audience can feel so connected to the concert directly (synchronously) by providing a live chat feature where the audience can comment directly in the chat column provided.

Video call and lightstick

The existence of this video call makes the audience feel that when they are watching this concert, they are sure that this concert is taking place. Especially when the stage screen also shows all the audience from all directions, their faces live. In addition, the lights tick on the ticket is also used to impress a real concert.

Breaktime for rest

The impression of liveness is also felt when the artist needs a short break to rest. This break is also often done by artists when they do live concerts. Participants also got a real concert atmosphere when the artist asked for a break to change clothes or take a break.

Stage layout

The event organizer does two kinds of stage layouts when building a liveness image. The first is to use the studio during concerts and Augmented Reality (AR) to present effects on stage. The second is to build an outdoor concert stage with all the concert equipment like a real concert. “The two methods received different responses from the audience. The audience can feel the aura of the concert more with the second method,” said Kemuning.

 

Reading Time: 2 minutes

Industri musik ikut terimbas Pandemi Covid-19. Pandemi dalam rentang waktu yang tidak jelas membuat industri musik harus membuat inovasi kreatif memutar roda industri mereka. Konsep konser digital harus dijalani. Mereka harus memikirkan bagaimana konser digital dapat dirasakan begitu nyata, alih-alih sekadar menampilkan tayangan video biasa. Misalnya Online Concert BTS, konser online NCT 127, dan sebagainya.

Salsabila Dwi Kemuning, salah satu mahasiswa Jurusan ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) mengangkat fenomena konser digital ini sebagai topik riset skripsinya. Ia melihat bagaiamana atmosfer konser digital ini dapat dirasakan oleh penontonnya. Konsep liveness konser online in ia ceritakan di Diskusi Bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Ilmu Komunikasi UII pada Selasa 28 Juni 2022.

Untuk membuat konser digital itu begitu nyata dirasakan, pihak Event organizer melakukan berbagai upaya baik visual appearence maupun audience experience-nya. Misalnya dengan menghadirkan fitur obrolan langsung (live chat), video call, jeda istirahat, hingga kreasi tata panggung. Beberapa penjelasan upaya itu adalah sebagai berikut:

Live chat

Membuat penonton merasaka begitu terhubung dengan konser secara langsung (sinkron) adalah dengan memberikan fitur live chat dimana penonton bisa memberikan komentar secara langsung di kolom chat yang disediakan.

Video call dan lightstick

Adanya fitur video call ini membuat penonton merasa bahwa saat ia sedang menonton konser ini, ia yakin bahwa konser ini nyata sedang berlangsung. Terlebih ketika layar panggung juga menampilkan semua penonton dari semua penjuru ditampilkan wajah mereka secara live. Selain itu, fasilitas lightstick yang ada di ticket juga digunakan untuk mengesankan real concert.

Breaktime untuk istirahat

Kesan liveness juga terasa saat artis membutuhkan break sejenak untuk istirahat. Break ini juga sering dilakukan oleh artis saat mereka melakukan konser langsung. Atmosfer konser real juga didapatkan peserta saat artis meminta jeda waktu untuk berganti baju atau istirahat.

Tata panggung

Ada dua macam tata letak panggung yang dilakukan oleh Event organizer saat membangun liveness image. Pertama adalah dengan menggunakan studio saat konser dan menggunakan Augmented Reality (AR) untuk menyajikan efek-efek di panggung. Kedua adalah membangun panggung konser outdoor dengan segala kelengkapan konser layaknya real concert. “Kedua metode ini mendapat tanggapan berbeda dari penonton. Penonton lebih bisa merasakan aura konser dengan metode kedua,” ungkap Kemuning.

You can watch the video here too:

Reading Time: < 1 minute

Peraturan travel ban dan larangan berkumpul selama pandemi membuat konser-konser K-Pop terpaksa dibatalkan. Sayangnya, digitalisasi format konser ini menciptakan banyak tanda tanya di dalam kepala khalayak. Konser online K-Pop dinilai tidak lagi memiliki esensi karena tidak bisa mempertemukan idola dan penggemar dalam satu lokasi.

Lantas, bagaimana tayangan konser digital K-Pop dikonstruksi sebagai
sebuah “konser” dalam benak penonton?

Mari merapat dan kita diskusikan bersama pada:

📅: Selasa, 28 Juni 2022
🕓: 16:00 WIB
📌: Klik Tombol di bawah ini untuk Tautan Zoom

Reading Time: < 1 minute

Kepada Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII, berikut ini adalah tawaran untuk berkarya dan menambah pengalaman keilmuan, jejaring, dan wawasan di bidang media, perpektif komunikasi pemberdayaan, profetika komunikasi, dan humanisme. Silakan daftar menjadi relawan di lembaga Rifka Annisa Women Crisis Centre. Lokasinya di Yogyakarta. Anda bisa mendaftar pada posisi relawan atau magang. Mau daftar tinggal Klik bit.ly/VolunteerRifka22 ya. Berikut ini informasi detilnya:

Sobat Rifka
Rifka Annisa memperpanjang masa recruitment relawan.

Silahkan cek informasi lengkap melalui link: bit.ly/KualifikasiVolunteer.
Pendaftaran melalui link: bit.ly/VolunteerRifka22.
Kami tunggu hingga tanggal 26 Juni 2022.

Jika membutuhkan informasi lebih lanjut silahkan email: [email protected]

Reading Time: 2 minutes

Indonesian Public Service Broadcasting (PSB) Institutions (LPP) such as RRI, TVRI, and Local LPP public broadcasting institutions should provide quality broadcasts. It is not only entertaining but also has to be informative and educational.

He conveyed this at the Capacity Building Training for Local Public Broadcasting Institutions (LPPL) in Indonesia, 13-15 June 2022, in Solo. Masduki, one of the RPLPP Founders and an UII Communications Lecturer, was also present. Masduki was emphasizing that in today’s digital era, Local PSB must begin to realize that Local PBS is responsible to the public as taxpayers whose funds make PSB viable. “Because of taxes from the public, on the other hand, PSB must provide quality content in return,” said Masduki

Masduki, UII Communications Lecturer, said that in a study last year, in November 2021, Jacobs Media conducted research on the main reasons why the public still listens to public radio. The five things that stand out the most, to be more reliable and objective, “to be informed about the news,” he said. Then the second is learning new things, in-depth perspectives on reporting, and finally, feeling more appreciative of the listener’s intelligence.

Bambang Muryanto, Chairman of the PSB Clearing House (RPLPP), appealed to all Local PSB broadcasters to adhere to the verification principle when producing journalistic works. Especially, when implementing the concept of conflict-sensitive journalism. Apart from conflict-sensitive journalism, this capacity building also contains investigative journalism material. Shinta Maharani, Chairperson of the Yogyakarta Alliance of Independent Journalists (AJI) and an RPLPP activist, also delivered the investigative material. In addition, another material is reflection and broadcast program production with Darmanto.

Pambudi, RPLPP activist and UII Communication Staff, researcher, and the mentor of this training, presented three Local PSB problems from all the training participants who attended. 53 people from 29 local PBS representatives participated in this survey. The survey found that Human resources, finance, and infrastructure problems were three issues that were considered by the participants as the main problems in their PSB. These Local PSB participants throughout Indonesia are Local PSB, who are members of Persada Indonesia (Regional Public Radio and TV Association). The participants are committed to interestingly presenting content based on the training materials presented in these three days.

 

Reading Time: 2 minutes

Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Indonesia seperti RRI, TVRI, dan LPP Lokal sebagai sebuah lembaga penyiaran milik publik memiliki kewajiban untuk memberikan tayangan yang berkualitas. Tidak hanya menghibur semata. Tetapi juga harus informatif dan mendidik.

Hal ini disampaikannya pada Pelatihan peningkatan kapasitas Lembanga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) di Indonesia, 13-15 Juni 2022, di Solo, itu, Masduki, salah satu Dewan Pendiri RPLPP dan juga Dosen Komunikasi UII, turut hadir. Masduki hadir juga sebagai mentor dalam kesempatan tersebut, turut menekankan bahwa di era digital saat ini harus mulai menyadari bahwa LPPL bertanggungjawab pada publik sebagai pembayar pajak yang dana tersebut menjadikan LPPL bisa hidup. “Karena pajak dari publik, sebaliknya LPPL harus memberikan konten yang berkualitas sebagai timbal balik,” kata Masduki

Masduki, Dosen Komunikasi UII, mengatakan, pada penelitian setahun lalu, November 2021, Jacobs Media melakukan penelitian terkait alasan utama kenapa publik masih mendengarkan radio publik. Lima hal yang paling menonjol adalah pertama, lebih terpercaya dan dan objektif, “to be informed about the news,” katanya. Lalu kedua adalah mempelajari hal-hal baru, perspektif yang mendalam pada pemberitaan, lalu terakhir adalah terasa lebih menghargai kecerdasan pendengar.

Bambang Muryanto, Ketua Rumah Perubahan LPP yang kali ini adalah mentor pula, mengimbau seluruh lembaga penyiaran LPPL untuk berpegang pada prinsip verifikasi ketika memproduksi karya jurnalistik. Terutama saat mengimplementasikan konsep jurnalisme sensitif konflik. Di samping jurnalisme sensitif konflik, pengembangan kapasitas ini juga berisi materi investigative journalism. Materi investigasi ini diampu oleh Shinta Maharani, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta sekaligus aktivis RPLPP. Selain itu, materi lain adalah materi refleksi dan produksi program siaran bersama Darmanto.

Pambudi, pegiat RPLPP dan juga staf di Komunikasi UII, juga mentor pelatihan ini, menyajikan tiga masalah LPPL dari seluruh peserta pelatihan yang hadir. Survei ini diikuti oleh 53 orang dari perwakilan 29 LPPL dari peserta pelatihan LPPL Se-Jawa. Sumber daya manusia, keuangan, dan infrastruktur adalah tiga persoalan yang dianggap oleh para peserta sebagai masalah utama di LPP-nya. Para peserta LPPL se-Indonesia ini adalah LPP Lokal yang tergabung dalam Persada Indonesia (Perhimpunan Radio dan TV Umum Daerah). Dalam pelatihan ini, para peserta berkomitmen untuk menyajikan konten secara menarik berdasar materi-materi pelatihan yang disampaikan dalam tiga hari ini.

Reading Time: 2 minutes

Fenomena Desa Wisata kian marak. Terlebih di abad instagram kini banyak orang yang ingin menyambangi berbagai tempat yang instragramable. Selain untuk healing-healing dari kepenatan, juga agar tetap eksis di dunia maya dengan update story dan laman feed.

Namun, mengembangakan desa wisata bukanlah hal mudah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dan dipersiapakan. Mulai dari sumber daya manusia, infrastruktur dan juga sumber pendanaan. Maraknya desa wisata ini menjadi daya tarik tersendiri untuk ditelisik lebih jauh bagiaman mengupayakan pembentukan desa wisata tersebut serta apa kendala dan cara mengatasinya.

Untuk mengetahui bangaimana masyarakat dan pemerintah desa Karangrejo membangun desa wisata ini, Zubaidah Nur Oktafiani, mahasiswa Ilmu Komunikasi mengangkatnya sebagai sebuah tema untuk menyelesaikan tugas akhirnya sebagai mahasiswa. Temanya adalah Komunikasi pemberdayaan dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa Wisata di Wilayah Borobudur Magelang. Zubaidah memaparkan ini dalam diskusi bulanan yang diselenggrakan oleh Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Prodi Ilmu Komunikasi Universitas islm Indonesia (UII) pada Kamis, 9 Juni 2022.

Ia menceritakan tahap-tahap pemerintah desa dan masyarakat yang paling utama yang harus dilakukan adalah perencanaan yang meliputi penggalian potensi desa, membuat masterplan rencana pembangunan, dan membentuk organisasi penunjang.

Menurut Zubaidah, ada beberapa prinsip dasar yang sering lalai dipertimbangkan dalam proses pembentukan desa wisata. Dalam pembentukan desa wisata karrangrejo Borobudur prinsip-prinsip yang dijaga dan diaplikasikan adalah prinsip tersebut antara lain kesetaraan, partisipasi seluruh komponen masyarakat, kemandirian dengan tidak bergantung bantuan dari pihak pemerintah maupun pihal lain, serta prinsip keberlanjutan.

Ada tujuh upaya pemerintahan desa menuju pengembangan desa wisata. Pertama adalah Desa melakukan pengembangan SDM dengan cara membuat kegiatan edukasi, pelatihan keterampilan, diskusi dan studi banding. Kedua, desa menjalin kerjasama dengan beragam pihak. Contohnya kemitraan dengan instansi pemerintah, LSM, agen travel, bahkan perusahaan negara.

Upaya ketiga, desa juga menyelenggarakan aktivitas-aktivitas pemerintahan di desa dengan mengadakan rapat, acara tahunan, dan juga pertemuan. Sedangkan usaha keempat yang dilakukan pemerintah desa adalah menguatkan citra dan promosi lewat sarana online maupun offline.

Empat upaya ini akhirnya mendukung bagaimana upaya kelima bekerja efektif. Desa menyelenggarakan festival atau kegiatan lain yang menarik kunjungan dan popularitas. Selain festival, misalnya, juga diadakan pertandingan voli dan festival budaya yang dihelat rutin.

Tentunya, upaya keenam ini juga penting mendukung upaya lainnya. Upaya keenam ini juga dilakukan agar ada penunjang pariwisata. Upaya ini dilakukan untuk membentuk organisasi warga sebagai support system pariwisata. Upaya ketujuh adalah dengan bermitra dengan perguruan tinggi. Beberapa kampus yg menjadi mitra adalah ISI, UGM, UNY, Sekolah pariwisata Sahid, UMS, Dll

Dampak positif pemberdayaan masyarakat desa wisata Karangrejo terlihat pada beberapa hal. Menurut Zubaidah, misalnya adalah dampak dengan adanya perbaikan kelembagaan di lingkup desa, perbaikan lain misalnya perbaikan iklim usaha, perbaikan pendapatan di sektor ekonomi, perbaikan lingkungan misalnya dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hidup bersih dan sehat yang mendukung lokasi wisata yang bersih. Ada juga dampak dengan meningkatnya taraf kehidupan masyarakat, dan perbaikan kondisi sosial masyarakat yang menjadi lebih guyup dengan adanya beberapa lembaga masyarakat yang menopang pariwisata.

Reading Time: 2 minutes

The phenomenon of Tourism Villages is increasingly widespread. Especially in the Instagram age, now many people want to visit various Instagram-able places. In addition to healing from fatigue, it continues to exist in the virtual world by updating Instagram stories pages and feeds.

However, developing a tourist village is not easy. There are many things to consider and prepare. Starting from human resources, infrastructure and also funding sources. The rise of this tourist village is the main attraction to investigate further how to seek the formation of a tourist village, what obstacles are, and how to overcome them.

To find out how the community and the Karangrejo village government built this tourist village, Zubaidah Nur Oktafiani, a Communication Department student, chose it as a theme to complete her final assignment as a student. Empowerment Communication in Improving the Welfare of Tourism Village Communities in the Borobudur Magelang Region is the theme. Zubaidah explained this in a monthly discussion organized by the Center for the Study and Documentation of Alternative Media (PSDMA) NADIM of the Communication Department at the Islamic University of Indonesia (UII) on Thursday, June 9, 2022.

She recounted the most important steps the village government and community had to take were planning, including exploring village potential, making a master plan of development plans, and forming supporting organizations.

According to Zubaidah, several basic principles are often neglected to consider when forming a tourist village. In the establishment of the Karangrejo Borobudur tourism village, the principles that are maintained and applied are, among others, equality, participation of all components of society, and independence without relying on assistance from the government or other parties, and the principle of sustainability.

There are seven village government efforts toward the development of tourist villages. The first is that the Village conducts human resource development through educational activities, skills training, discussions and comparative studies. Second, the Village cooperates with various parties. For example, partnerships with government agencies, NGOs, travel agents, and even state companies.

In the third effort, the Village also organizes government activities in the Village by holding meetings, annual events, and also meetings. Meanwhile, the fourth effort made by the village government is to strengthen the image and promotion through online and offline means.

These four efforts ultimately support how the fifth effort works effectively. The village hosts festivals or other activities that attract visits and popularity. Apart from festivals, for example, volleyball matches and cultural festivals are also held regularly.

Of course, this sixth effort is also important to support other efforts. This sixth effort is also carried out to support tourism. This effort was made to form a citizen organization as a tourism support system. The seventh effort is to partner with universities. Some partner campuses are ISI, UGM, UNY, Sahid Tourism School, UMS, etc.

The positive impact of community empowerment in the Karangrejo tourism village can be seen in several ways. According to Zubaidah, for example, is the impact of institutional improvements in the village scope, other improvements such as improving the business climate, improving income in the economic sector, improving the environment, for example by increasing public awareness of clean and healthy living that supports clean tourist sites. There is also an impact by increasing the standard of living of the community and improving the community’s social conditions, which are becoming more cohesive with the existence of several community institutions that support tourism.

Reading Time: 2 minutes

Menyelesaikan studi doktoral (S3) adalah sebuah pengalaman yang pasti menggoreskan hal yang tak sepele bagi siapapun yang mengalaminya. Bagi orang awam, mungkin S3 itu ‘buat apa’. Namun bagi akademisi seperti dosen atau peneliti pengalaman studi doktoral punya maknanya sendiri. Banyak pengalaman berat, tapi yang jelas juga pengalaman ‘merdeka dari urusan administratif kampus dan ngajar mahasiswa’. Pengalaman ini dibukukan dalam buku Pergi untuk Kembali: Refleksi Perjalanan Studi Doktoral Dosen FPSB (Pengalaman Kuliah S3 Doktor FPSB UII).

Pada Bulan Juni ini, buku ‘Pergi Untuk Kembali: Refleksi Perjalanan Studi Doktoral Dosen FPSB’ ini diluncurkan dan dibedah secara daring pada Sabtu, 4 Juni 2022. Dimoderatori oleh Herman Felani, bedah buku ini juga mengundang I Made Andi Arsana, seorang akademisi, doktor di UGM, yang juga seorang penulis.

Buku yang ditulis dalam durasi kurang dari lima bulan itu, merupakan kisah perjalanan, perjuangan, juga renungan dari 15 penulis yang merupakan dosen FPSB UII yang ketika itu sedang studi lanjut doktoral di berbagai kampus. Baik dalam maupun luar negeri. Kumpulan tulisan ini diedit oleh empat Editor, yakni Iwan Awaluddin Yusuf, Hasbi Aswar, Nita Trimulyaningsih, dan Puji Rahayu.

Iwan Awaluddin Yusuf, salah satu dosen Ilmu Komunikasi UII, yang juga seorang penulis sekaligus editor dalam buku ‘Pergi untuk Kembali’, menceritakan bagaimana cerita dibalik penulisan dan penerbitan buku ini. “Saya ngobrol dan bercerita dengan pak dekan tentang bagaimana kami menjalani masa-masa studi doktoral. Rekan-rekan lain yang punya cerita menarik lainnya. Bisa dibukukan dan pasti menarik. Nggak banyak yang menuliskan ini.”

Dalam pembukaan acara ini, Iwan, desainer kulit muka buku ini juga, membocorkan beberapa fakta menarik dari buku ini. Beberapa di antaranya adalah bahwa buku yang memiliki tebal 365 halaman ini merekam 15 tulisan dari 26 doktor yang ada di FPSB UII. “Biru, warna sampul buku ini adalah warna fakultas. Dan judul buku ini baru ada beberapa hari mendekati buku ini terbit. Mepet sekali,” kata Iwan.

“Banyak sekali doktor diluar sana. Tapi tidak semua menuliskan cerita ketika menjalani studi doktoral. Kami merasa bahwa tidak semua orang punya kesempatan untuk studi S3. Pengalaman ini adalah sebuah privilege, terlebih dengan terbebas dari urusan adminstratif kampus, tidak ngajar,” kelakar Iwan.

Reading Time: 2 minutes

Every doctoral program graduate (S3) has a memorable moment from experience. The doctoral journey can be a super moment for some people. However, academics like lecturers or researchers can benefit from their expertise in doctoral studies. There are many challenging circumstances, but the feeling of independence from the school administration and student teaching obligation shines out. This experience is recorded in the book Going to Return: Reflections on the Doctoral Journey of FPSB Lecturers (Experience of Doctoral Lectures at FPSB UII).

This June, the book entitled ‘Pergi Untuk Kembali: Refleksi Perjalanan Studi Doktoral Dosen FPSB’ (Going To Come Back: Reflections on the Doctoral Study of FPSB Lecturers) was launched and published online on Saturday, June 4, 2022. Moderated by Herman Felani, this book review also invited I Made Andi Arsana, an academician doctorate at UGM, who is also a writer.

The book, which was written in less than five months, is a story of the journey, struggles, and reflections of 15 writers who are lecturers of FPSB UII who, at that time, were pursuing doctoral studies at various campuses. Both at home and abroad. This collection of writings was edited by four editors: Iwan Awaluddin Yusuf, Hasbi Aswar, Nita Trimulyaningsih, and Puji Rahayu.

Iwan Awaluddin Yusuf, one of UII’s lecturers in the Communication Department, who is also a writer and editor of the book, tells the story behind the writing and publishing of this book. “I chatted and talked with the dean about how we went through our doctoral studies. Other colleagues who have other interesting stories. Bookable and definitely interesting. Not many have written these experiences.”

At the opening of this event, Iwan, the designer of this book’s cover, also shared some interesting facts about the book. Some of them are that the book has a thickness of 365 pages and records 15 writings from 26 doctors at FPSB UII. “Blue, the color of the cover of this book is the color of the faculty. And the title of this book is choosen only a few days before this book is published. Very tight,” said Iwan.

“There are so many doctors out there. But not all write stories while undergoing doctoral studies. We feel that not everyone has the opportunity to study doctoral degrees. This experience is a privilege, especially by being free from campus administrative matters, not teaching,” joked Iwan.