Tag Archive for: uniicoms

Reading Time: 3 minutes

Amir Effendi Siregar tak hanya menjadi pemikir, ia juga adalah inisiator banyak gerakan dan aktivis media, juga ideolog demokrasi penyiaran. Inilah yang tak mudah ditemukan kini. Pemikiran AES sangat luas dan beragam. Ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi generasi penerus, terutama di Komunikasi UII.

Kristiawan mengatakan, pemikiran AES membentang dari ekonomi politik, regulasi, penyiaran dan termasuk pers dan regulator media. Menurut Kristiawan, AES juga adalah yang memotori KIDP (Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran).

“Ada dua praksis Bang AES yang menurut saya unik dari tipologi bang AES, yang pertama praksis advokatif,” kata Kristiawan dalam diskusi buku Melawan Otoritarianisme Kapital, Amir Effendi Siregar Amir Effendi Siregar dalam Pemikiran dan Gerakan Demokratisasi Media, jilid pertama, pada Zoom Meeting Sabtu, 26 Juni 2021.

“Ini terus terang, Bang Amir bilang, ini gara-gara kamu, Wan. Aku udah hidup tenang-tenang kamu tarik ke sini. Itu sekitar tahun 2009. Aaat itu saya masih di yayasan Tifa. Saya menggalang aktor-aktor baru di demokrasi penyiaran,” kata Kristiawan menceritakan. “Kalau kita tarik ke tahun-tahun itu, gerakan demokratisasi penyiaran saat itu hampir nol. Waktu itu mulanya Maksi (masyarakat komunikasi dan informasi indonesia), ini sebelum KIDP. Lalu berikutnya kami bikin KIDP,” ungkap Kristiawan.

Menurut Kristiawan, ini adalah milestone dalam demokratisasi penyiaran. Saat itu gerakan KIDP adalah mengangkat isu kepemilikan media di Indonesia sebagai problem sejak awal, “dan saya bersyukur gerakan ini sangat masif dan kuat lalu berujung di uji tafsir di Mahkamah Konstitusi (MK). Itu praksis pertama bang AES.”

Sedangkan praksis kedua, menurut Kristiawan, adalah adalah praksis manajerial. AES mau dan mampu mengelola majalah Warta Ekonomi. “Ini menuntut keterampilan berfikir yang lain. yang satu tujuannya mengkritik, yang satu tujuannya jualan. Saya kira ini unik. dan ini menegaskan, kalau kita tarik ke atas lagi, bahwa memang corak berpikir Bang Amir ini corak sosial demokrat,” ungkap Kristiawan kemudian.

Menurutnya, AES tidak menolak industri, tidak menolak kapitalisme, tetapi bagaimana menjinakkan kapitalisme itu agar menunjang kualitas kehidupan bersama, “atau istilahnya decent capitalism, itu yang sering diangkat Bang Amir.”

Selain itu, Kristiawan juga mengatakan model berpikir AES. “Saya di forum ini ingin menegaskan, bangunan pemikiran Bang Amir tidak hanya berhenti dalam level mikro dan meso, tapi sampai level makro. Istilah saya, kuda-kuda ideologisnya sangat kuat,” papar Kristiawan. Secara epistemologis, katanya, pemikiran AES ini sangat kuat dan konsisten tidak hanya dalam tindakan tapi juga dalam logika.

“Saya kira satu yang tidak jadi fokus Bang Amir itu di content analysis yang sangat mikro. Saya lihat bang AES tidak tertarik ke sini, kecuali saya tidak tau,” imbuh Kristiawan.

Nina Mutmainnah, sebagai editor buku ini juga urun cerita tentang AES. “Ini penting sekali dalam sejarah penyiaran di Indonesia, karena kelompok ini (KIDP) pada 2011 melakukan uji tafsir terhadap aturan kepemilikan dalam UU Penyiaran ke Mahkamah konstitusi. Kita tahu isu kepemilikan media juga jadi isu yang dikawal oleh Bang Amir,” kata Nina Mutmainnah, Dosen di Departemen Komunikasi UI, saat menjadi pembicara bersama Kristiawan.

Buku yang diluncurkan seturut dengan Milad 17 Tahun Komunikasi UII dan 11 Tahun PR2Media ini memuat tulisan banyak penulis yang mewakili murid, rekan, sahabat, dan bahkan guru. Misalnya ada R. Kristiawan, Puji Rianto, Ade Armando, M. Heychael, Ignatius Haryanto, Nina Mutmainnah, dan Eduard Lukman, yang bicara di level pemikiran AES soal ekonomi politik. Wisnu Martha Adiputra, Masduki, Hermin Indah Wahyuni, Darmanto, Ezki Soeyanto, Rahayu, dan Iwan Awaluddin Yusuf menulis soal Kepublikan dan Penyiaran Publik. Sedangkan Wisnu Prasetya Utomo, dan A. P. Wicaksono menulis pemikiran Bang AES tentang pers mahasiswa.

Topik Bagian pertama didiskusikan pertama kali pada Sabtu, 26 Juni 2021. Topik diskusi kali ini menghadirkan wakil penulis R. Kristiawan (Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran), dan wakil Editor Buku yaitu Dr. Nina Mutmainnah (Dosen Komunikasi UI). Dr. Eni Maryani dari Komunikasi UNPAD, juga hadir sebagai pembahas sekaligus dipandu oleh moderator Mufti Nur Latifah, MA (Dosen Komunikasi UGM).

Menurut Nina, AES juga berulang-ulang menyampaikan dalam berbagai tulisannya, bahwa ia meyakini satu indikator negara yang demokratis adalah terdapatnya jaminan Freedom of Expression, Freedom of speech, freedom of the press, diversity of voices (Keberagaman suara), diversity of content (keberagaman konten), dan diversity of ownership (keberagaman kepemilikan). AES menekankan hal ini bahwa hal ini harus terus dijaga dan dikawal. Seperti apa yang ia tulis pada 2014 pada bukunya yang berjudul Mengawal Demokratisasi Media.

Reading Time: 2 minutes

Branding and marketing local products are the key to successful sales during a pandemic. Covid-19 has indeed hit micro, small and medium enterprises. But other than that, collaboration is a new trick rather than getting dizzy with the competition.

“I don’t see the similarity of products as competition. I recommend diligently monitoring at distribution locations,” said Dwi. “Even though there are many similar products in distribution locations, I don’t think it’s time for competition but collaboration,” said Dwi Karti Handayani, founder of Wedang Uwuh UMKM, by June 12, 2021. The UMKM is named Den Bagus. Dwi is speaking on an online seminar on the task activity in the commercial communication project management course at the Department of Communications, UII.

Dwi Karti was a speaker in a webinar on branding and product marketing during the pandemic, together with Den Bagus and eight projects. Eight Project is one of the creations of the students of the course. They choose Eight Project as the name.

“Who knows if we can’t meet the export demand, we can fulfill it by collaborating with other similar products,” added Dwi Karti. According to Dwi Karti, “For me, it’s unique in the packaging. Then, when people have repeated orders, we will talk about customer loyalty.”

This event uses a flash sale technique. Flash Sale encourages viewers to make direct purchases while getting discounted prices.

Flash sale Den Bagus and den ayu specifically for products with specific characteristics. Call it red ginger, which has higher properties, and ginger emprit, which is spicier.

In addition, there is also a processed product that is more popular during the pandemic, namely Wedang Uwuh Jakute. Jakute is an Indonesian abbreviation of ginger turmeric, temulawak or commonly called empon-empon in Indonesia. The combination of the benefits of empon-empon.

“This is the most sought after by buyers. There are friends whose products are sought by French buyers,” said Dwi Karti. “Our products are widely known abroad. There is a noni drink. My mother used this drink to take this and her back pain recovered,” She added, giving testimony.

According to Dwi Karti, these local products are essential and of high quality. For example, the Den Ayu noni product no longer smells bad. It is packaged instantaneously. Similar products also have a special drink (Wedang) product for red rosella. “Instant packaging and wrapping, the packaging is pressed so that it is not easily damaged,” She added.

 

Reading Time: 2 minutes

Penjenamaan (branding) dan pemasaran (marketing) produk lokal adalah kunci penjualan sukses pada masa pandemi. Covid-19 memang telah memukul usaha mikro kecil menengah. Namun selain itu, kolaborasi adalah trik baru ketimbang pusing dengan kompetisi.

“Saya nggak melihat kesamaan produk sebagai persaingan. Saya menganjurkan untuk rajin memantau di lokasi-lokasi distribusi. Meskipun di lokasi distribusi banyak produk yang sejenis, saya berpikir tidak jamannya lagi kompetisi tapi kolaborasi,” kata Dwi Karti Handayani, pendiri UMKM Wedang Uwuh, dengan jenama Den Bagus pada 12 Juni 2021, sebagai kegiatan tugas dalam mata kuliah manajemen project komunikasi komersil.

Dwi Karti menjadi pembicara dalam Webinar branding dan marketing produk di masa pandemi, bersama den bagus dan eight project. Eight Project adalah salah satu kreasi mahasiswa yang mengambil mata kuliah itu. Para mahasiswa ini mengambil nama kelompok Eight Project.

“Siapa tahu kalau kita tak dapat memenuhi permintaan ekspor, kita bisa memenuhinya dengan kolaborasi produk lain sejenis,” imbuh Dwi Karti. Menurut Dwi Karti, “Kalau saya ini uniknya di kemasan. Nah baru nanti kalau orang sudah repeat order baru kita bicara loyalitas pelanggan.”

Acara ini menggunakan teknik flash sale. Flash Sale mendorong pemirsa melakukan pembelian langsung sekaligus mendapat potongan harga.

Flash sale denbagus dan den ayu khusus pada produk-produk dengan karakteristik tertentu. Sebut saja seperti jahe merah yang khasiatnya lebih tinggi, dan jahe emprit yang lebih pedas.

Selain itu ada pula produk olahan yang lebih populer di masa pandemi adalah wedang uwuh jakute. Jakute adalah kependekan dari jahe kunir temulawak atau biasa disebut empon-empon. Gabungan dari manfaat empon-empon.

“Ini yang paling banyak dicari pembeli. Ada teman yang produknya dicari pembeli Prancis,” kata Dwi Karti. “Produk kita sudah banyak dikenal luar negeri. Ada wedang mengkudu. Ibu saya dulu konsumsi ini backpainnya (sakit punggung) pulih,” tambahnya memberi kesaksian.

Menurut Dwi Karti, produk lokal ini penting dan bermutu tinggi. Misalnya, produk mengkudu Den ayu sudah tidak bau. Ia dikemas instan. Produk serupa juga ada produk wedang khas untuk rosela merah. “Kemasan instan dan wrapping, dipress kemasannya sehingga tidak mudah rusak,” imbuhnya.

Reading Time: 2 minutes

Bulan ramadhan adalah bulan yg sangat agung. Bulan yang penuh barokah, panen pahala, karena di bulan ramadan semua pahala dilipatkan dibanding bulan yang lain. Bahkan di bulan ramadhan ada satu malam yang malamnya lebih baik dari seribu bulan. Termasuk pahala untuk yang memberi makan pada orang yang sedang berbuka.

“Diam saja bernilai ibadah, apalagi bertasbih,” kata Ust KH. Supriyanto, S.Ag. dalam Pengajian Akbar dengan Tema ramadhan berlalu, Takwa Siap Selalu pada 29 Mei 2021. Acara ini dilaksanakan bersamaan dengan rangkaian Milad ke-26 FPSB UII dan dilakukan dengan model hybrid (daring dan luring) dengan dukungan Uniicoms TV, TV daring pertama di UII.

“Ketika selesai panen, kita memasuki lebaran. Lebar nopo, lebar panen kacang, lebar panen pari. Sedangkan panennya orang yang puasa bulan ramadhan seperti disebut dalam al baqoroh ayat 183, lebar panen, lebaran, meningkat ketakwaannya,” jelas Supriyanto.

Supriyanto mengatakan dalam ceramahnya, barangsiapa dosanya sampai memenuhi bumi, sebesar apapun dosa orang itu, tetap masih lebih besar ampunan dari Allah. Syaratnya asal di lisan orang itu masih ada kalimat laa ila ha illallah. “Karena kalimat lailaahaillah itu penghapus dosa. Maka biasakan lisan ini membaca kalimat Allah SWT,” imbuhnya.

Sedangkan jika ditanya, apakah tanda taat pada Allah? Tanda taat pada Allah SWT adalah salat lima waktu kata Supriyanto. Orang yang akan melaksanakan salat lima waktu ibarat di depan rumahnya ada sumber mata air yang dalam. Dalamnya sumber ini terkesan sangat dalam hingga ibarat ia bisa untuk mandi lima kali sehari. “Sebersih apa coba mandi lima kali sehari, maka wudhu itulah pembersih dosa,” kata Supriyanto, ulama dari puntuk, umbulmartani, ngemplak, sleman, ini.

Jika seorang muslim telah memenuhi tiga pilar Islam, maka terpenuhilah ketaatannya. Ketiganya yaitu syahadat, salat, dan puasa. “Ya pengikat agama islam adalah tiga ini. Dan dari tiga pilar itulah islam ditegakkan. Dimana zakat? Tidak semua bisa membayar zakat,” papar Supriyanto. Bagaimana dengan haji? Haji juga hanya bisa dijalankan jika ia sudah mampu. “Monggo untuk taat pada Allah mari tiga ini kita laksanakan,” katanya kemudian.

Termasuk amalan orang yang bertakwa adalah orang yang mau menginfakkan hartanya. “Sodakoh ora kudu nunggu sugih (sedekah tidak harus menunggu jadi kaya dulu), bahkan ketika tidak longgar pun tetap diminta sedekah,” kata Supriyanto memotivasi. “Jadi sedekah miskin dan kaya itu sebenarnya disesuaikan oleh kemampuannya masing-masing.”

Reading Time: 2 minutes

The month of Ramadan is a very great month. A month full of blessings, a harvest of rewards, because in the month of Ramadan all rewards are multiplied compared to other months. Even in the month of Ramadan, there is one night whose night is better than a thousand months. Including the reward for feeding the person who is breaking the fast.

“Silence is worth worshiping, let alone glorifying,” said Ust KH. Supriyanto, S.Ag. in Pengajian Akbar with the theme of Ramadan passes, Takwa Always Ready on May 29, 2021. The event was held in conjunction with the 26th Milad series of FPSB UII and conducted with a hybrid model (online and offline) with the support of Uniicoms TV, the first online TV in UII.

“When the harvest is over, we enter Eid. The width of the nopo, the width of the bean harvest, the width of the stingray harvest. While the harvest of people who fast the month of Ramadan as mentioned in al baqoroh verse 183, the width of the harvest, Eid, increases his piety,” explained Supriyanto.

Supriyanto said in his lecture, whoever sins to the point of filling the earth, no matter how great the person’s sin, is still greater forgiveness from God. The original condition is that in the person’s mouth there is still the sentence laa ila ha illallah.

“Because the sentence lailaahaillah is the remover of sins. So get used to reading the words of Allah SWT verbally,” he added.

Meanwhile, if asked, what is a sign of obedience to God? The sign of obedience to Allah SWT is the five daily prayers, said Supriyanto. The person who will perform the five daily prayers is like in front of his house there is a deep spring. The depth of this source was so deep that it was as if he could take a bath five times a day. “As clean as what, try to take a bath five times a day, then ablution is the purifier of sins,” said Supriyanto, a scholar from Puntuk, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman, this.

If a Muslim has fulfilled the three pillars of Islam, then his obedience is fulfilled. All three are creed, prayer, and fasting. “Yes, the binding of Islam is these three. And from those three pillars, Islam is enforced. Where is zakat? Not everyone can pay zakat,” said Supriyanto. What about Hajj? Hajj can also only be performed if he is able. “Please to obey God, let’s do these three,” he said later.

Including the practice of a pious person is a person who wants to invest his property. “Sodakoh does not have to wait for the rich (alms does not have to wait to be rich first), even when it is not loose, alms are still asked,” said Supriyanto motivating. “So the alms of the poor and the rich are actually adjusted by their respective abilities.”

 

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar

Diskusi peluncuran buku “Public Service Broadcasting and Post-Authoritarian Indonesia” (Masduki, Palgrave Macmillan, 2020) dengan judul:

Lembaga Penyiaran Publik: Kemarin, Hari Ini dan Esok

 

Jadwal:

Senin, 14 Desember 2020
Pukul 15:30-17:00 WIB

 

Diskusi ini menghadirkan:

Penulis

Dr.rer.soc. Masduki (UII, Yogyakarta)

Pembahas

Prof. Dr. Johannes Bardoel (University of Amsterdam, The Netherlands)

Assoc. Prof. Nurhaya Muchtar (Indiana University of Pennsylvania, USA)

———————–

Moderator

 

Mira Rochyadi-Reetz (Lecturer and Doctoral Student, Institute of Media and Communication Science Ilmenau University of Technology, Ilmenau- Germany

 

——–

 

Registrasi di link berikut:

info lebih lanjut Hub:

Reading Time: < 1 minute

Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII kembali mengadakan #NgajiKomunikasi dengan tema:

“Refleksi Akhir Tahun 2020”

Islam merupakan agama yang sangat mementingkan soal waktu. Islam menganut konsep waktu monokronik, yakni waktu terus berjalan secara linier dan tidak bisa berputar ulang. Agama Islam memberikan pedoman hidup sesuai dengan waktu yang berjalan maju tersebut, sehingga umat Islam hendaknya bisa menjadi orang yang menghargai waktu dan bredisiplin dengan waktu[1]. Ketika waktu terus bergerak maju dan apa yang telah terjadi tak dapat diulangi kembali, maka sebagai orang Islam perlu untuk melakukan refleksi terhadap apa yang sudah dikerjakan selama ini.

Tahun 2020 akan segera berakhir. Tentu saja perlu adanya refleksi terhadap apa yang telah kita lakukan di sepanjang tahun ini. Tahun 2020, umat manusia menjalaninya dalam kondisi menghadapi krisis Covid-19 yang berdampak pada banyak hal. Ancaman terhadap kesehatan, adaptasi (beberapa di antaranya perlu dilakukan secara drastic) terhadap aktivitas yang kita lakukan, dampak terhadap pendapatan atau penghasilan, hingga ketahanan keluarga menjadi hal yang marak dibicarakan sepanjang tahun ini. Refleksi ini diperlukan untuk menghadapi tahun-tahun mendatang yang akan semakin penuh tantangan.

Pemateri: 

Ustadz Dr Harry B Santoso S.Kom, M.Kom (Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia)

Jadwal

Hari/tanggal    : Sabtu / 12 Desember 2020

Jam                 : 13:00 WIB – 15:00 WIB

Media              : Daring (Zoom). Link/tautan : bit.ly/Pengajianilkomuii

 

Reading Time: 2 minutes

Seperti apa yang dimaksud dengan Istilah sinema organik? Mungkin ini menjadi pertanyaan yang banyak muncul di benak mahasiswa ketika mendengar istilah sinema organik dari Dirmawan Hatta saat workshop Desain karya Kreatif Batch 1. Mungkin istilah ini memang asing dan baru buat teman-teman yang baru masuk di dunia film. Istilah ini tidak sefamilar dokumenter atau indie. Sinema organik sebetulnya juga tidak bersebarangan dengan istilah film dokumenter atau film indie. Yang berbeda hanyalah pendekatannya saja.

Workshop Desain Karya Kreatif pada Sabtu (5/12), ini merupakan salah satu workshop penting selain untuk memberi jeda mahasiswa dengan tugas kuliah di masa pandemi. Workshop ini memberikan pandangan dan cara baru dalam membuat karya kreatif sekaligus persiapan menuju Seminar Proposal. Dalam rangka serial Road to Seminar Proposal ini, penting mahasiswa dibekali dengan berbagai tawaran ide untuk mereka sajikan dalam sebuah karya kreatif tugas akhirnya.

“Bagaimana mahasiswa mencari ide, menemukan masalah, mencari insight, untuk nanti bisa dikembangkan untuk karya kreatif maupun skripsi,” ungkap Puji Hariyanti, Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia membuka acara.

Sinema organik diperkenalkan dalam workshop ini oleh Dirmawan Hatta, salah satu pembicara dalam workshop daring ini. Sinema organik dibentuk oleh beberapa orang yang merasa prihatin dengan mindset bahwa film bagus harus dibuat dengan modal berlimpah. Mereka, orang-orang di komunitas film yang disebut Tumbuh Kembang Rakyat, mengembangkan sebuah pendekatan untuk membuat film.

Mereka merasa akan bisa membuat film yang bagus jika bisa menyakinkan film dengan perspektif yang otentik, bukan perpektif umum (kebanyakan), perspektif yang datang dari orang luar pembuat film. Sinema organik mencoba mengangkat sebuah konsep film warga. Film warga biasa yang luar biasa.

Bagaimana film yang bisa dibilang sinema organik itu? Awalnya mereka melakukan riset sosial, melakukan pengamatan dalam jarak dekat, hidup bersama warga saling bercerita dengan warga setempat. Tak hanya itu, “warga dilibatkan secara aktif, dan peran warga itu penting. Mereka yang memiliki perspektif akan masalah dalam film itu,” terang Dirmawan yang juga adalah Sutradara film Istri Orang.

Pendekatan partisipatif meyakini bahwa keterlibatan warga sebagai ‘orang yang punya gawe’ dalam film adalah utama. Dengan begitu film akan berangkat dari bagaimana warga memandang masalah, memandang realitas sosial, dari perspektif mereka sebagai warga. “Bukan perspektif kita sebagai pembuat film, bukan perspektif ilmiah,” katanya. Di sini orang luar diposisikan sebagai teman untuk bercerita, dan lebih banyak ada di bagian pengorganisasian dan teman berdiskusi.

 

Reading Time: 2 minutes

Yang terbayang ketika mendengar kata film indie atau film Independen adalah kualitasnya gambarnya sederhana, gelap, pemainnya “konco dewe”. Bertolak  belakang dengan yang kita bayangkan ketika mendengar film konvensional atau lazim dengan sebutan film komersial yang melibatkan ratusan kru, kamera besar dan mewah, lampu-lampu besar, budget besar dan aktor kondang, serta didistribukan lewat bioskop.

Stigma tersebut tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Dirmawan Hatta, seorang perintis Tumbuh Sinema Rakyat, memberikan padangannya tentang film Indie (Film Independen) yang berkembang saat ini.

Sabtu itu, 5 Desember 2020, Dirmawan tengah diundang dalam workshop Desain Karya Kreatif yang di selenggarakan oleh Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Workshop yang disiarkan langsung dari studio laboratorium audiovisual Komunikasi UII ini menjelaskan seperti apa perkembangan film Indie. Mahasiswa bisa menonton siarannya di Youtube Saluran Uniicoms TV.

Dirmawan menceritakan film Indie di awal kemunculannya sebelum era internet dan streaming ada. Workshop yang dipandu oleh Ratna Permatasari, Dosen Komunikasi UII, dengan klaster Riset Komunikasi Visual, ini melaju seru. Ratna mengajukan beberapa pertanyaan pemantik sehingga membuat mahasiswa lebih mudah mendapatkan gambaran yang diberikan.

“Mau digarap dengan skema-skema apapun jika film tersebut didasari sebagai upaya untuk menjawab kebutuhan mereka itulah film independen. Bukan untuk kepentingan industri film konvensional.”

Gambaran film Indie yang umum dipahami, kata Dirmawan, bahwa film indi adalah film dengan budget kecil, kru sedikit, kamera biasa, tapi bisa juga didistribusikan melalui bioskop. “Apakah kalau didistribusikan lewat bioskop nggak bisa disebut Indie? Tidak juga,” kata Dirmawan.

Dirmawan juga melanjutkan bahwa film indi memang tidak memiliki definisi yang rigid dan pasti. Hal ini sering membuat perdebatan tersendiri. Dari sekian perdebatan, Dirmawan lebih melihat secara subtantif. Film seperti apa yang bisa dibilang sebagai film indie? Ia mencoba melihat dari spiritnya. “Mau digarap dengan skema-skema apapun jika film tersebut didasari sebagai upaya untuk menjawab kebutuhan mereka itulah film independen. Bukan untuk kepentingan industri film konvensional.”

Reading Time: < 1 minute

 Mencari ide inspiratif itu susah-susah gampang. Sesusah cari ide untuk membuat artikel atau judul skripsi. Tapi sebenarnya tidak sesulit itu. Begitu yang diungkapkan Bagus Kresnawan atau lebih dikenal dengan Bagus Tikus, seorang alumni Komunikasi UII angkatan kedua pada 5 Desember 2020. Paparan itu ia sampaikan kemarin dalam acara Awarding FKI (Festival Konten Inspiratif) 2020 yang diadakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia.

FKI perdana ini adalah festival yang mendorong netizen agar dapat membuat konten positif dan inspiratif. Dari sejak pembukaan pendaftaran kompetisi FKI, puluhan peserta telah berpartisipasi dengan beragam konten. Mulai dari Vlog, film pendek fiksi hingga film pendek dokumenter. Diskusi bersama Bagus Tikus sekaligus membuka acara penganugerahan FKI pada 2020 ini.

Bagus, yang juga pendiri huntingpasar.id, memulai dengan membedah istilah inspiratif. Ia mencoba menyerderhanakan inspiratif itu tidak selalu sesuatu yang membuat orang lain bergerak untuk melakukan perubahan. Tidak serumit dan tidak sesulit itu.

Bagi Bagus Tikus, inspiratif itu cukup untuk membuat orang untuk gelisah saja. Pastinya hal itu dekat dan sangat kita sukai. Ia mencontohkan, “aku mengulas A to Z tentang I-pad. Tanpa ada tendensi untuk membuat orang tergerak. Hanya karena aku suka saja.”

Dari konten itu ternyata di luar dugaannya menjadi konten yang bagus dan populer, “banyak orang akan mikir oh Ipad mahal, tapi ternyata kalau dihitung bisa lebih murah. Dan kualitas gambar yang bagus bisa membuat aku lebih produktif dan menguntungkan untuk bikin konten.” Dia menceritakan bawa dengan konten tersebut bahakan ada orang yang akan membeli barang, memutuskan untuk tidak membeli barang, atau sebaliknya.

Jadi tidak perlu merasa terbebani dengan konten yang harus menggugah orang lain untuk bergerak. Cukup buat saja konten atau pesan yang kita sukai dan dekat dengan kehidupan kita. Orang lain tergerak atau tidak, itu bukan urusan nanti.