Tag Archive for: teatime

Reading Time: 3 minutes

During the pandemic, news gathering in various news websites must continue. If as journalists in their usual conditions they have to go out to find news and conduct interviews, then there is a slight difference during a pandemic. That’s the story of Retyan Sekar, a journalist, on the talk show ‘Teatime’ made by Department of Communication International Program (IP) Universitas Islam Indonesia (UII) on August 30, 2020.

For almost an hour, guided by Annisa Putri Jiany, Retyan shared stories about pursuing a career path as a journalist. Live Instagram Teatime’s theme “Study Life Impact to Carrier”, explores the experiences of this Communication Science’s alumni batch 2015.

Retyan, her nickname, said that working in online media must have a way to keep sources and finish news in all conditions. During a pandemic, interviews can be done online and some information can be searched through social media. In stark contrast to the pre-pandemic era.

Even though at first glance his career looks smooth, in fact his passion for journalism was not obtained in a short time. She has cultivated his experience in journalism since childhood.

Early Interest in Journalism

Since childhood, Retyan has always liked to participate in various competitions such as storytelling and poetry. This is what made her accustomed to writing and speaking in public. Retyan also loves to talk in front of the camera and has been familiar with broadcasting since she was nine years old. Until 2007, Retyan was invited to participate in making a documentary film and was selected as a young reporter.

When studying at the Universitas Islam Indonesia (UII), Retyan had joined the UII student press agency known as Himmah. Retyan said, through Himmah, he learned a lot about writing, the basics of journalism, teamwork, and sensitivity to internal issues. In addition, She also gained experience in dealing with the global world when She joined UII MUN and Jogja International Delegates.

Retyan’s interest in journalism led her to choose UII Communication Science Department. “From the beginning, I entered Communication Science already steadily entering specialization in Journalism. In my opinion, journalism is really fun. So we have like-minded friends to exchange ideas as well as be friends to play with. Because since I was little I often participated in competitions that were related to public speaking, without realizing it that shaped me,” said Retyan.

Reaching and Living The Dream Career Path

According to Retyan, who currently works at Kumparan online media, initially She just wanted to know how online media works. While at Kumparan, he was taught a lot on how to write and structure correctly. This made her determined to continue to improve writing patterns.

Despite having an internship at Kompas TV, since graduating Retyan has not been too confident about his writing skills. So She chose to look for work challenges that required her to develop her writing skills.

However, is it enough to achieve a dream career only with the support of enthusiasm or interest? Retyan advised that to achieve dreams, the key is to set goals. According to her, because by having a goal, the decisions made will feel more rational.

Even though the pandemic has hit and hindered his work, She advised to always be smart in seeing the positive side of all events. “Life is not a competition. These are tough times for everyone, and don’t beat yourself up for everything that happens in situations like this. Because the target that has been planned is chaotic does not mean you can blame yourself. Negative thinking is okay, but try to take the positive side. We can actually learn anything in the current situation, for example English, and so on,” She said.

——-

Writer: Fitriana Ramadhany (Student of Communication Major of UII, Internship at International Program of Communication Science Department UII)

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: 2 minutes

Selama masa pandemi, kegiatan mencari berita di berbagai media tetap harus berjalan. Apabila sebagai jurnalis pada kondisi biasa mereka harus keluar untuk mencari berita dan melakukan wawancara, maka ada sedikit perbedaan di masa pandemi. Begitulah cerita pengalaman Retyan Sekar, seorang Jurnalis, di acara bincang-bincang ‘Teatime’ besutan Jurusan Komunikasi International Program (IP) UII pada 30 Agustus 2020.

Hampir selama satu jam, dipandu Annisa Putri Jiany, ia berbagi kisah menekuni jalan karir sebagai jurnalis. Live Instagram ‘Teatime’ kali ini yang mengangkat tema “Study Life Impact to Carrier”, mengulik pengalaman alumni Jurusan Ilmu Komunikasi UII angkatan 2015 ini.

Retyan, sapaan akrabnya, mengatakan bekerja di media online pun harus punya cara untuk tetap mendapatkan narasumber dan menyelesaikan berita di segala kondisi. Pada masa pandemi wawancara dapat dilakukan secara daring dan beberapa informasi dapat dicari melalui media sosial. Berbeda sangat dengan masa sebelum pandemi.

Meski sekilas karirnya terlihat mulus, tetapi nyatanya kesukaannya pada dunia jurnalistik tak didapat dengan waktu yang pendek. Pengalamannya dalam jurnalisme sudah ia pupuk dari kecil.

Minat Jurnalisme Sedari Dini

Sejak kecil Retyan selalu suka mengikuti berbagai lomba story telling dan puisi. Hal inilah yang membuatnya terbiasa menulis dan berbicara di depan umum. Retyan juga sangat suka bicara di depan kamera dan telah mengenal dunia broadcasting sejak umur sembilan tahun. Hingga pada tahun 2007 Retyan diajak untuk ikut serta dalam pembuatan film dokumenter dan dipilih sebagai reporter cilik.

Ketika kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII), Retyan sempat bergabung dalam lembaga pers mahasiswa UII yang dikenal dengan nama Himmah. Retyan mengatakan, melalui Himmah ia banyak belajar terkait kepenulisan, dasar-dasar Jurnalisme, kerjasama tim, dan kepekaan akan isu internal. Selain itu, ia juga mendapatkan pengalaman dalam menghadapi dunia global ketika bergabung di UII MUN dan Jogja International Delegates.

Ketertarikan Retyan pada jurnalisme membuatnya memilih Program Studi Ilmu Komunikasi UII. “Dari awal masuk Ilmu Komunikasi udah mantap masuk peminatan Jurnalisme. Menurutku, Jurnalisme itu seru banget. Kita jadi punya teman yang sepaham untuk bertukar pikiran sekaligus jadi teman main. Karena dari kecil sering ikut lomba yang berhubungan sama bicara di depan umum, tanpa sadar itu yang membentuk aku,” ujar Retyan.

Meraih dan Menapaki Jalan Karir Impian

Retyan yang saat ini bekerja di media online Kumparan, pada awalnya hanya ingin mengetahui bagaimana cara kerja media online. Ketika di Kumparan ia banyak diajarkan bagaimana penulisan dan struktur tulisan yang benar. Hal ini membuatnya bertekad untuk terus memperbaiki pola kepenulisan.

Meskipun memiliki pengalaman magang di Kompas TV, Retyan sejak lulus tidak terlalu percaya diri dengan kemampuannya menulis. Sehingga ia memilih untuk mencari tantangan kerja yang mengharuskannya mengembangkan kemampuan menulis.

Namun, apakah karir impian cukup diraih hanya dengan didukung oleh antusiasme atau ketertarikan? Retyan berpesan bahwa untuk dapat meraih impian, kuncinya adalah dengan menetapkan tujuan. Menurutnya, karena dengan memiliki tujuan, keputusan yang diambil akan terasa lebih rasional.

Meski pandemi mendera dan menghambat pekerjaannya, ia berpesan agar selalu cerdas melihat sisi positif dari segala peristiwa. “Hidup bukan kompetisi. Ini masa sulit bagi semua orang, dan jangan menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi di situasi seperti ini. Karena target yang udah direncanakan kacau bukan berarti bisa menyalahkan diri sendiri. Berpikiran negatif boleh, tapi coba untuk mengambil sisi positifnya. Kita justru bisa belajar apapun di situasi sekarang, misalnya Bahasa Inggris, dan lain-lain,” ujarnya.

———–

Penulis: Fitriana Ramadhany (Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UII – Magang Program Internasional Jurusan Ilmu Komunikasi UII)

Editor: A. Pambudi W

 

 

Reading Time: 2 minutes

Di episode Teatime kali ini, Suwaibah Mataeha, mahasiswa IP Communications (IPC) 2019, akan berbagi pengalamannya selama menjadi mahasiswa internasional. Suwaibah atau biasa dipanggil Suwai, adalah seorang mahasiswa Komunikasi UII program internasional dari Yala, Thailand. Annisa Putri Jiany selaku pembawa acara ikut serta dalam diskusi Teatime pada episode kali ini yang bertema “Ngobrol Bersama Mahasiswa Internasional“.

Suwai sudah lama ingin belajar di luar negeri untuk menambah pengalaman. Ia mengaku mendapat informasi tentang beasiswa UII dari teman-temannya melalui Facebook. Suwai memanfaatkan kesempatan tersebut dan bersama teman-temannya mencoba melamar beasiswa di UII. Alasan dia memilih jurusan Ilmu Komunikasi bukan hanya karena dia menyukainya, tapi juga karena ingin lebih mahir dan percaya diri dalam mempraktikkan kegiatan komunikasi di depan umum.

Menjadi mahasiswa internasional tentunya membutuhkan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru. Senada, Suwai mengaku saat pertama kali di UII sempat sedikit kesulitan dengan kemampuan bahasanya. Namun, motivasi belajar dan keinginan kuat untuk menguasai bahasa membuatnya bersemangat. Keinginannya untuk menambah keterampilan dan pengetahuan baru adalah tujuan awalnya sebagai mahasiswa. Inilah yang selalu dia ingat saat melewati masa-masa sulit.

Dosen dan karyawan yang sangat dekat dengan mahasiswa membuat Suwai merasa senang dan aman selama menempuh pendidikan di Jurusan Komunikasi UII. Dia juga mengatakan bahwa dia tidak menemui masalah apapun selama di kelas. Menurutnya, sistem pembelajaran di UII tidak jauh berbeda dengan sistem di negaranya.

Hal yang membedakan adalah tentang cara berbusana. Pelajar di Thailand memiliki aturan untuk memakai seragam hitam putih. Sedangkan di Indonesia, khususnya di UII, mahasiswa tidak diwajibkan berseragam.

Kendala Mahasiswa Internasional: Adaptasi dan Bahasa

Mengenai kendala bahasa yang sering dialami oleh mahasiswa internasional di UII, pihak kampus menyediakan fasilitas untuk membantu permasalahan tersebut. Fasilitas yang disediakan kampus bagi mahasiswa internasional adalah mahasiswa mendapatkan bantuan belajar bahasa melalui program BIPA. BIPA (Bahasa Indonesia untuk Orang Asing) merupakan program prasyarat yang dilaksanakan di CILACS (Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Internasional) UII.

Suwai mengatakan dalam program ini mahasiswa akan diajarkan bahasa Indonesia dari dasar hingga mahir. Selain itu kampus juga memberikan fasilitas berupa bantuan sembako pada saat pandemi. Sehingga pelajar khususnya pelajar internasional tidak kesulitan tinggal di Jogja saat pandemi.

Ketika ditanya tentang hal-hal baru yang dipelajarinya selama belajar di Jogja, Suwai menjawab bahwa ia pernah mencoba beberapa makanan khas Jogja seperti Gudeg. Menurutnya makanan Indonesia yang memiliki kemiripan dengan makanan di Thailand adalah seblak, karena rasanya yang pedas dan asin. Ia juga pernah mencoba menonton beberapa film horor buatan Indonesia. Suwai menilai film horor Indonesia lebih seram dibanding film horor buatan Thailand.

Meski baru memasuki semester 3, Suwai mengaku mendapatkan manfaat dari ilmu yang didapat selama kuliah di IPC. Seperti Mata Kuliah Fotografi dan Public Speaking yang dia praktikkan saat di Thailand. Sebagai penutup, Suwai menyampaikan kesan yang didapatnya di IPC, bahwa IPC memiliki dosen yang ramah dan lingkungan yang baik. Ia berpesan, “Jangan takut mencoba, karena semua hal bisa dipelajari. Tidak apa-apa membuat kesalahan. Jadi, tetaplah percaya diri meskipun Anda belum bisa berbicara bahasanya. Karena semua yang ada di IPC menarik.”

———————–

Penulis: Fitriana Ramadhany (Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UII Magang Program Internasional Jurusan Ilmu Komunikasi UII)

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: < 1 minute

Teatime 9th edition will invite:

Retyan Sekar – Journalist

(Alumni of communication Science Department, batch 2015).

The next International Program of Communication’s Teatime

Theme:
Talking With Alumni: Study Life Impact to Carrier

Live On Instagram

Schedule

Sunday, August, 30th, 2020
Start at 4pm (UTC+7)

Keep update on IGTV
@ip.communication.uii
@retyansekar

View this post on Instagram

 

A post shared by IP COMMUNICATION UII (@ip.communication.uii) on

 

 

Reading Time: 2 minutes

In this episode of Teatime, Suwaibah Mataeha, a 2019 IP Communications (IPC) student, will share her experiences while being an international student. She is student of Communication Science Department of Universitas Islam Indonesia (UII). Suwaibah or Suwai (her nickname), is an international student from Yala, Thailand. Annisa Putri Jiany as the host joined Teatime’s discussion on this episode with the theme “Chit Chatting with International Students.”

Suwai has long wanted to study abroad to gain more experience. Suwai said that she got information about UII scholarships from friends via Facebook. Suwai took the opportunity and together with her friends tried to apply for a scholarship at UII. The reason she chose the Communication Science major was not only because she liked it, but also because she wanted to be more proficient and confident in practicing communication activities in public.

Being an international student certainly requires the ability to adapt to new environments. Likewise, Suwai admitted when the first time in UII she had a little difficulty with her language skills. However, the motivation to learn and a strong desire to master the language keeps her excited. Her desire to add new skills and knowledge was his initial goal as a student. This is what she always remembers when going through difficult times.

Lecturers and staff who are very close to students make Suwai feel happy and safe while studying at the International Program of Communication Science Department (IPC) at UII. She also said that she did not encounter any problems during class. According to her, the learning system at UII is not much different from the system in her country. The thing that distinguishes is about how to dress. Students in Thailand have a rule to wear black and white uniforms. Meanwhile in Indonesia, especially at UII, students are not required to wear uniforms.

Regarding the language barrier that is often experienced by international students at UII, the campus provides facilities to help this problem. The facilities provided by the campus for international students are that students receive language learning assistance through the BIPA program. BIPA (Indonesian Language for Foreigners) is a prerequisite program implemented at CILACS (Center for International Language and Culture Studies) UII.

Suwai said that in this program students will be taught Indonesian from basic to advanced. Besides, the campus also provides facilities in the form of basic food assistance during the pandemic. So that students, especially international students, have no difficulty living in Jogja during the pandemic.

When she was asked about the new things she had learned while studying in Jogja, Suwai replied that she had tried some typical Jogja foods such as Gudeg. According to her, Indonesian food which has similarities with food in Thailand is seblak, because of its spicy and salty taste. She has also tried watching several horror films made in Indonesia. Suwai argues that Indonesian horror films are scarier than horror films made in Thailand.

Even though she has just entered the 3rd semester, Suwai admits that she has benefited from the knowledge she got while studying at IPC. Like the Photography and Public Speaking courses that she practiced when in Thailand. In closing, Suwai conveyed the impression she got in IPC, that IPC had a friendly lecturers and kind environment. She advised, “Don’t be afraid to try, because all things can be learned. It is okay to make mistakes. So, be confident even though you can’t speak the language yet. Because everything in the IPC is exciting.”


Writer: Fitriana Ramadhany (Student of Communication Major of UII, Internship at International Program of Communication Science Department UII)

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: 2 minutes

Teatime episode ke 7 pada tanggal 14 Agustus 2020 yang mengangkat tema “Obrolan Menjadi Mahasiswa IPC” menghadirkan M. Aditya Arvian dari IP Communication (IPC) UII (Universitas Islam Indonesia) angkatan 2018. Melalui acara yang disiarkan lewat Live Instagram ini, Muthia B. Maharani, selaku tuan rumah, mendampingi diskusi dan berbagi dalam tentang mahasiswa IPC.

Hal yang sering ditanyakan tentang kelas IPC adalah perbedaannya dengan kelas komunikasi biasa. Menjawab pertanyaan itu, Adit dan Muthia menjelaskan sebagai mahasiswa IP, tugas dan ujian diberikan dalam bahasa Inggris dengan mengikuti regulasi internasional. Selain itu, mahasiswa IP dipersiapkan untuk menghadapi lingkungan internasional. Sehingga pelajaran yang diajarkan di kelas mengikuti standar internasional. Kapasitas kelas dan siswa yang disediakan juga lebih sedikit dibandingkan kelas reguler. Kelas yang lebih kecil ini memberikan keuntungan bagi mahasiswa IP untuk lebih dekat dengan dosen dan karyawan.

“Kami memiliki waktu yang akrab dengan dosen kami dan staf lainnya. Karena fasilitas yang kami dapatkan berbeda dengan yang biasa.”kata Adit.

Tidak hanya belajar di kelas, mahasiswa IPC juga mendapatkan pembelajaran melalui pengalaman langsung. Salah satu pengalaman unik yang bisa didapatkan di kelas IPC adalah melalui program P2A (Passage to Asean). Program ini merupakan salah satu program wajib dimana mahasiswa IPC diwajibkan mengikuti program ini minimal satu kali. Melalui program ini mahasiswa IPC bisa mendapatkan pengalaman langsung dengan orang internasional, berteman dengan orang di negara lain, dan belajar tentang budaya yang berbeda. Selain itu IPC Mahasiswa juga memiliki kebebasan untuk mengikuti organisasi dan acara yang diadakan di kampus maupun di luar kampus seperti halnya mahasiswa pada umumnya.

“Kita harus berbaur dengan orang dari beragam latar belakang. Bukan berarti karena kita mahasiswa internasional, kita tidak bisa berteman dengan orang lain. Bukan berarti seperti itu. Kita tetap berteman dengan jurusan dan negara yang berbeda,” ujarnya.

Semangat Menjadi Mahasiswa IPC UII

Untuk tahun pertama, mahasiswa IPC akan mendapatkan Bridging Program yang akan memudahkan mereka beradaptasi di dalam kelas. Untuk masuk kelas IPC mahasiswa baru tidak harus pandai berbahasa Inggris. Karena melalui Bridging Program tahun pertama, mahasiswa akan diajarkan tentang public speaking yang akan membantu mereka. Program ini juga akan membantu pembentukan karakter mahasiswa. Adit mengatakan, melalui kelas IPC setiap orang berhak mendapatkan kesempatan untuk belajar. Mereka akan mempelajari prosesnya bersama dengan berlatih bahasa Inggris secara langsung.

“Mengapa mereka harus memilih IPC?” tanya Muthia. Adit menjelaskan, di kelas IPC mahasiswa akan mendapatkan pengalaman unik yang tidak didapat di kampus lain. Seperti program P2A, workshop internasional, dan program lain yang disediakan untuk mahasiswa. Banyak hal menyenangkan yang bisa didapat dengan mengikuti kelas IPC. Karena kapasitas kelas yang kecil, hubungan emosional antar mahasiswa di dalamnya menjadi lebih dekat. Absennya senioritas juga menambah suasana akrab antara senior dan junior, maupun mahasiswa dan dosen.

Terkait tugas, sebagai mahasiswa IP, penugasannya cukup berbeda dengan kelas reguler. Mereka harus berbicara dengan fenomena internasional dan mengacu pada jurnal internasional. Meski berat, mereka punya fasilitas yang bisa menunjang. Dan di IPC mereka membangun ikatan emosional mereka dengan saling membantu satu sama lain ketika kesulitan dalam beragam hal. Misal kesulitan berbahasa, membaca teks asing, dan kesulitan akademik lainnya. 

 

———————–

Penulis: Fitriana Ramadhany (Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UII Magang Program Internasional Jurusan Ilmu Komunikasi UII)

Editor: A. Pambudi W

 

Reading Time: 2 minutes

The 7th episode of Teatime on August 14, 2020, with the theme “Chit Chat About Being IPC Students” presented M. Aditya Arvian from IP Communication (IPC) UII (Universitas Islam Indonesia) batch 2018. At this Teatime, Muthia B. Maharani as the host accompanied the discussion and sharing in today’s topic about IPC students.

The thing that is often asked about the IPC class is the differences with the regular communication class. Answering that question, Adit and Muthia explained as IP students, assignments and exams were given in English by following international regulation. Besides, IP students are prepared to face the international environment. So that the lessons taught in the class follow international standards. The class and student capacity provided are also less than regular classes. This smaller class provides the advantage for IP students to be closer to the lecturers and staff.

“We have an intimate time with our lecturer and other staff. Because of the facility we got different from the regular one. For example, in the Prodi we can make coffee, that’s become one of the benefits for me. And that is the facility that we mentioned before,” said Adit.

Not only learning in class, but IPC students also get learning through direct experience. One of the unique experiences that can be obtained in IPC classes is through the P2A program. This program is one of the compulsory programs where IPC students are obliged to attend this program at least once. Through this program, IPC students can get direct experience with international people, make friends with people in another country, and learn about different cultures. Besides, IPC students also have the freedom to join organizations and events held on campus and outside campus like students in general.

“We have to blend in with people. It doesn’t mean because we are international students, we cannot make a friend with others. It’s doesn’t mean like that. Because we are still being friends with different major and country” he said.

The Excitement of Being an IPC UII Student

For the first year, IPC students will get a Bridging Program that will make them easier to adapt in the classroom. To enter IPC classes new students do not have to be good at English. Because through the Bridging Program first-year students will be taught about public speaking which will help them. This program will also help form the student character. Adit said, that through IPC classes everyone deserves the opportunity to learn. They will learn the process together by practicing English directly.

“Why they must choose the IPC?” asked Muthia. Adit explained that in the IPC class, students will get unique experiences that will not be obtained on another campus. Such as the P2A program, international workshops, and other programs provided for students. Many fun things can be obtained by joining IPC classes. Due to the small class capacity, the sense of relationship in it becomes more obvious. The absence of seniority also adds to the familiar atmosphere between seniors and juniors, nor students and lecturers.

Related to Adit statement, as the IP students, the assignment is quite different from the regular class. They have to talk to international phenomenon and refer to international journals. Even though it is heavy, they have facilities that can support. And in IPC they build their chemistry with help each other.

 

———————–

Writer: Fitriana Ramadhany (Student of Communication Major of UII, Internship at International Program of Communication Science Department UII)

Editor: A. Pambudi W

Reading Time: < 1 minute

Teatime 7th edition will invite:

M. Aditya Arvian

(student of International communication Science Department, batch 2018).

The next International Program of Communication’s Teatime

Theme:
Chit Chat about being IPC Student with M. Aditya Arvian

Live On Instagram

Schedule

Friday, August, 14th, 2020
Start at 4pm (UTC+7)

Keep update on IGTV
@ip.communication.uii
@adityaarvn

Reading Time: 2 minutes

Bagaimana Bikin Hobimu Jadi Artikel Ilmiah Internasional? Pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pemetaan ide Anda Untuk Memulai Penulisan Akademikmu. Ide atau topik harus jelas dan baru. Jelas dan baru berarti idemu tidak ambigu, memiliki tujuan yang jelas, dan melihat masalah dengan tepat. Apa masalahnya, apa solusinya, dan belum ada yang menulisnya sebelumnya. Pemetaan dan brainstorming topik atau masalah adalah kunci penulisan akademis. Pemahaman dan minat subjek juga merupakan kuncinya. Kita akan melihat banyak kesulitan ketika kunci-kunci tersebut belum siap di pikiran kita.

Demikian beberapa tips yang telah dibahas pada acara Teatime Talkshow tanggal 7 Agustus 2020. Talkshow ini ditayangkan di Instagram TV International Program Komunikasi UII (ip.communication.uii). Trik-trik tersebut telah dibagikan oleh Krisal Putra Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII angkatan 2016 atas pengalamannya sebagai presenter di konferensi internasional sebelumnya. Tapi, apakah hanya itu tip yang dia bagikan?

Pada talk show edisi keenam ini, seperti biasa, Ida Nuraini, Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi Internasional UII, memandu acara talkshow tersebut. Dia bertanya kepada Krisal apa lagi tips menulis akademis di konferensi internasional seperti halnya Krisal.

“Selain memetakan isu, garis besar ide atau subjek penelitian juga penting,” jawab Krisal. Ia juga mengatakan bahwa kita harus banyak berdiskusi, bertukar pikiran, dan juga sering menulis.

Krisal mengatakan dosen di kampus kami memiliki peran penting untuk meningkatkan kemampuan menulis akademis kami juga. “Apa peran spesifiknya?” tanya Ida, dosen spesialis Jurnalisme, Citizen Journalism, dan Studi Media.

Dosen harus mendorong mahasiswa untuk terlibat dengan budaya akademik. Ketika seseorang sudah terlibat dengan budaya akademis, maka akan memudahkan mereka menulis tulisan akademis. “Judul atau subjek tulisannya harus jelas,” kata Krisal. Seorang dosen juga hendaknya memberikan kesempatan kepada mahasiswanya untuk memiliki kebiasaan menulis yang baik seperti yang dilakukan Komunikasi IP sebelumnya.

Hobi dan Ketertarikan Mempermudah Menulis Artikel Ilmiah

Krisal melanjutkan, sebaiknya kita tidak memulai dari ide kosong.

“Pastikan Anda sudah memiliki pemahaman yang baik dengan konsep penelitian. Anda tidak bisa menulis penelitian tanpa konsep dan ide penelitian. Jika Anda tidak tahu harus menulis apa, Dosen Anda akan menghadapi kesulitan besar untuk membimbing Anda,” kata Krisal.

Ida juga membagikan pengalamannya dalam keseharian di kelas menulis akademis. Sebagai dosen mata kuliah jurnalistik, Ida selalu menghadapi realitas budaya akademik mahasiswanya: tidak punya ide untuk menulis. Baik Krisal dan Ida sepakat bahwa siswa harus mulai menulis dengan apa yang mereka kuasai dan sukai.

Seperti yang pernah dilakukan Krisal sebelumnya, Ia memiliki ketertarikan pada isu lingkungan. Maka Ia mengawali tulisan akademisnya yang harus dipresentasikan pada konferensi internasional dengan isu lingkungan. “Dari permasalahan itu kita bisa perbaiki dan kembangkan menjadi berbagai macam format dan gaya penulisan akademis,” pungkasnya kemudian.

Selain belajar dari pengalaman Krisal, Anda juga bisa belajar menulis dengan tips Lindstroom di sini. Lindstroom berbicara tentang tips menulis tulisan akademis di jurnal internasional. Ia berbicara di depan banyak peserta Konferensi Internasional yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi UII.

Reading Time: 2 minutes

To Start Your Academic Writing, first to do is doing mapping of your idea. The idea or the topic should be clear and new. Clear and new means your idea is not ambiguous, have a clear goals, and see the problem precisely. What is the problem, what is the solution, and no one already write it before. Mapping and brainstorming the topic or issues is the key for academic writing. Understanding and interest of the subject are also the key, indeed. We will see a lot of difficulties when those keys are not ready on our mind.

Those tips are some of what have discussed at evening Teatime Talkshow on August, 7th, 2020. This talk show was aired on International Program Instagram TV (ip.communication.uii). Krisal Putra, Communication Science Student of UII batch 2016, have already shared those tricks on behalf his experience as presenter on international conference before. But, were those thins the only tips that he shared?

On this sixth edition talk show, as usual, Ida Nuraini, the secretary of International Program of Communication of UII, guided the talk show. She asked Krisal what else the tips for doing academic writing on international conference same as Krisal’s.

“Beside mapping the issues, the outline of the idea or research subject also important,” Krisal answered. He also said that we should do a lot of discussion, idea brainstorm, and also make writing often.

Krisal said lecturer on our campus have an critical roles to improve our academic writing too. “What is the specific role?” asked Ida.

Lecturers and professors should encourage student to engage with academic culture. When someone have engaged with academic culture, it will make them write academic writing easily. “You should have a clear title or subject to write,” said Krisal. A lecturer also should give an opportunity to students to have a good habit of writing like what IP Communication done before.

Krisal continued that we’d better not start from an empty idea.

Make sure you already have a good understanding with the research concept. You can not go into research writing without any research concept and idea. If you have no idea what to write, your Lecture will face a big difficult to guide you,” said Krisal.

Ida also shared what she got on everyday life of academic writing class. As a lecture of journalism subject, Ida always face the reality of students’ academic culture: have no idea to write. Both of Krisal and Ida agreed that student should start writing with what they are good at and like.

Like what Krisal have done before, He have an interest on environment issues. So He were start his academic writing that should present on international conference with environment issues. “From that issues, we can improve and develop it into many different academic writing format and style,” said He then.

Beside learn from Krisal’s experience, You also could learn to write with Lindstroom’s tips here. Lindstroom were speaking about tips to write academic writing on international journal. She spoke in front of a lot of participants of International Conference that held by UII Communication Science Department.