Tag Archive for: ramadan

Ask the Expert: Puasa Medsos hingga Rekomendasi Konten di Bulan Ramadan

Ask the Expert merupakan tajuk baru yang memuat gagasan dari para ahli sesuai bidangnya. Expert di sini merujuk kepada dosen-dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Dalam seri perdana, tim menunjuk Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D untuk mengulik lebih dalam terkait puasa media sosial hingga konten alternatif di bulan Ramadan sesuai kepakarannya dalam isu media digital.

Menilik data yang dirilis Digital 2025 Global Overview Report oleh We Are Social menempatkan Indonesia di posisi ke sembilan sebagai negara dengan pengguna media sosial terlama yakni 188 menit per hari (3 jam 8 menit). Selain menjadi ruang mengekspresikan diri dan mencari informasi, nyatanya media sosial tak benar-benar memiliki dampak positif seutuhnya.

Pew Research Center menyebutkan 69 persen orang dewasa dan 81 persen remaja di U.S menggunakan media sosial, jumlah tersebut turut menyumbang peningkatan risiko cemas hingga depresi.

Sementara Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyampaikan hal serupa, 1 dari 20 atau 5,5 persen (2,45 juta remaja) terdiagnosis mengalami gangguan kesehatan mental, penyebab utamanya terletak pada penggunaan media sosial.

Salah satu agar berjarak dengan media sosial, puasa medsos bisa menjadi alternatif. Secara umum puasa medsos adalah mengurangi atau membatasi aktivitas interaksi di media sosial, atau berhenti sementara (menggunakan medsos) dalam jangka waktu tertentu.

Dalam kajian Ilmu Komunikasi, langkah ini masuk dalam ranah literasi media yang mengarah pada detoks digital hingga media diet. Tujuannya tentu untuk mengurangi ketergantunganterhadap teknologi dan meningkatkan kesehatan mental.

“Bisa juga dimaknai sebagai bentuk mengurangi untuk istirahat dari medsos atau yang paling ekstrim adalah berhenti total. Tapi yang namanya puasa ada jeda dan akan kembali lagi sehingga ini adalah sebuah konsep dalam literasi media yakni detoks digital atau dalam kajian literasi media tradisional namanya media diet,” jelas Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D.

Terbilang cukup kompleks, kebiasaan mengakses media sosial tentu tak serta merta bisa ditinggalkan. Namun jika dilakukan dengan penuh komitmen berbagai hal baik akan didapatkan.

Puasa medsos bukan berarti berhenti selamanya, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan merencanakan durasi dalam jangka waktu yang ditentukan

“Itirahat untuk berinteraksi dengan media sosial bisa mengambil jarak direncanakan atau dengan durasi tertentu bisa dalam hitungan minggu, bulan, bahkan dalam skala ekstrem bisa berhenti sampai sekian tahun,” ujarnya.

“Paling tidak kita akan lebih bijak memaknai betapa berharganya kehidupan sosial yang nyata tidak berkorelasi dengan dunia maya yang selama ini ditinggalkan,” tambahnya.

Setidaknya ada tiga manfaat yang akan mengubah banyak hal ketika puasa medsos benar-benar dilakukan. Pertama tentu soal produktivitas, dengan log out pada akun medsos kita tak akan dibanjiri notifikasi bahkan daya tarik dalam mengaksesnya tentu berkurang signifikan.

Kedua, berkaitan dengan kesehatan mental. Kecemasan atas informasi negatif, bullying, hingga kesempurnaan hidup yang tak realistis akan minim dijumpai. Dan terakhir tentu soal memaknai kehiduapan nyata yang lebih berharga. Merasa semakin terkoneksi dengan orang-orang terdekat dalam lingkungan sosial.

Lantas, jika benar-benar tak mampu berpuasa medsos apa yang sebaiknya dilakukan? mengingat bahwa kehidupan tak lepas dari gadget dari tangan. Alternatif yang bisa dikendalikan tentu soal saring menyaring konten.

Di bulan suci Ramadan, banyak alternatif konten yang justru akan bermanfaat. Beberapa tawaran solusi yang disampaikan antara lain sebagai berikut:

  1. Melihat relasi atau kaitan konten di media sosila relatable dengan kebutuhan kita. Usahakan mencari informasi yang sesuai. Disiplin dalam melakukan dan mencari informasi secara aktif bukan hanya scroll mengikuti apa yang muncul di feed, laman-laman sosial media, FYP dan seterusnya tapi kita kembali ke hastag yang diperlukan.
  2. Memanfaatkan waktu dalam bulan Ramadan, mencari informasi yang memang mendukung dan kita harapkan menganai informasi-informasi tentang ibadah. Ibadah sosial maupun ibadah mahdhoh ibadah khusus kita dengan tuhan. Maupun hal produktif yang menunjang kita dalam memaknai bulan Ramadan
  3. Hindari informasi yang bahkan sekecil mungkin kembali membuat kita terdistorsi dengan hal-hal negatif dari media sosial (gambar, kata, meme, dan lainnya).
  4. Beberapa konten yang bisa dipilih bisa terkait hadist, kehidupan muslim di negara lain, keistimewaan ramadan tahun ini dengan sebelumnya.

Pada dasarnya “Media sosial bagaimanapun tetap mebawa manfaat jika digunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan kebutuhan (informasi dan hiburan),” tandasnya.

Itulah beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan. Bagaimana pendapatmu tentang gagasan tersebut Comms? Tertarik untuk mencoba puasa medsos?

Ramadan in Palestina

Ramadan is a time of reflection, prayer, and gratitude—a month where families gather around the iftar table, breaking their fast with warmth and love. But in Gaza, Ramadan is totally different from what it should be . It is a month where the call to prayer is often drowned out by the sound of airstrikes, where families don’t know if they will live to see another sunset, and where the simple act of breaking fast is a struggle for survival.

On March 18, 2025, Israeli airstrikes struck Gaza, ending a two-month ceasefire that had given people a fragile hope for stability. The attacks claimed the lives of over 400 people, including children, turning it into a Ramadan that no human being deserves to go through.

A Ramadan of Loss and Fear

Imagine sitting with your family at suhoor, not knowing if this will be your last meal together. In Gaza, this fear is a daily reality. Families are torn apart in an instant, and the streets that once carried the laughter of children are now lined with grief. Children who should be spending Ramadan in the comfort of their homes are instead searching for shelter, their eyes reflecting a pain far beyond their years. Parents who should be providing for their loved ones are forced to beg for food, struggling to secure even a sip of clean water. The most necessities—food, water, medicine—have become luxuries.

Fasting on Empty Stomachs

For most of the world, fasting during Ramadan is a spiritual test, broken with a fulfilling meal at sunset. But for Palestinians in Gaza, fasting continues long after maghrib. There is no feast waiting for them—only scraps of whatever aid reaches them, if any at all. Some break their fast with nothing more than a sip of water, while others have nothing at all. This is not just hunger; this is forced starvation. The world watches as an entire population is denied the right to eat, to drink, to live.

Nowhere to Call Home

A home is more than just a shelter; it is a place of belonging, of safety, of love. But in Gaza, homes are destroyed as if they were never meant to exist. Families who once had a place to pray, to eat, to rest, now live in the open, exposed to the harsh cold of night and the unrelenting sun of the day.

What does Ramadan mean when there is no home to gather in? When there is no family left to sit beside? When every night could be the last?

Faith That Cannot Be Broken

Despite everything, the people of Gaza hold onto their faith with unshakable strength. Even as the world turns a blind eye, they continue to pray. Even as they lose everything, they hold onto hope. Their belief remains strong, their resilience unmatched.

These struggles is based on one of the experience and conditions of Palestinians, as shared by Esraa Abo Qamar on Aljazeera . Their pain is real, their struggles unimaginable ,yet their faith endures.

This Ramadan, while we sit in our homes, surrounded by family, with tables full of food, let us remember that what we have is a privilege. Let us not take for granted the things that millions in Gaza only dream of.We must speak up. We must pray. We must spread the truth. The people of Gaza do not need just our sympathy; they need action. They need the world to see their suffering, to demand justice, to ensure that no one has to endure another Ramadan like this.

To our brothers and sisters in Gaza: you are not forgotten. Your pain is seen, your voices are heard, and your strength is admired. May this Ramadan bring you ease, and may the world finally wake up to your struggle.

 

References:

https://www.aljazeera.com/opinions/2025/3/1/ramadan-in-gaza-ruins-and-unshakable-faith

https://www.middleeasteye.net/news/18-march-2025-day-183-children-gaza-were-massacred-israel

https://www.middleeasteye.net/news/west-bank-displaced-palestinians-face-ramadan-humiliation-and-uncertainty

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Ramadan

Ramadan is the most anticipated and cherished month for Muslims worldwide. It is a time of spiritual reflection, self-discipline, and devotion, but it is also a month of unity, generosity, and cultural expression. Across different regions, Ramadan traditions vary, yet one common element remains: food. More than just a source of nourishment after a long day of fasting, food during Ramadan carries deep cultural significance. It connects families and communities, and reflects a nation’s culinary identity. The dishes prepared and shared during this month tell the stories of generations, showcasing the richness of diverse Muslim cultures.

Different Cultural Approaches to Ramadan Preparation

As Ramadan approaches, every country has its own way of preparing for the holy month. In some regions, markets fill with special ingredients, while in others, families spend days preparing homemade treats that will last throughout the month.

Middle Eastern countries often prepare traditional dried fruits, nuts, and special drinks like qamar al-din (apricot juice) ahead of time.

In Southeast Asia, homes and mosques are decorated, and communities organize special food-sharing events.

In parts of Africa, large communal iftar gatherings are held, where neighbors cook and share meals together.

These pre-Ramadan preparations highlight how food is not just about eating but also about fostering a sense of belonging and unity.

Special Foods and Traditions Exclusive to Ramadan

While every culture has its special food, Ramadan brings out special dishes that are often prepared only during this time of the year. These meals are not just about flavor; they carry deep historical and cultural significance, passed down through generations.

Yemen: Ramadan in Yemen is incomplete without shafout, a unique dish made of lahoh (fermented bread) soaked in a spiced yogurt sauce. Another staple is sambosa, crispy triangular pastries filled with meat, cheese, or vegetables, which have become a Ramadan favorite across many countries.

Indonesia: Iftar in Indonesia often begins with kolak, a sweet coconut milk-based dessert with bananas or sweet potatoes.

Turkey: A special Ramadan bread called pide is prepared, often served warm with soup or meat dishes.

Morocco: Harira, a hearty tomato and lentil soup, is a Ramadan staple, often accompanied by chebakia, a flower-shaped sesame cookie.

Despite the variety, these dishes all share something in common: they bring families together and make Ramadan even more special.

Food as a Link to Heritage and Identity

Ramadan cuisine is more than just food—it is a powerful connection to cultural roots. Traditional cooking methods, unique spices, and regional ingredients showcase the heritage of different communities. Some dishes have been passed down for centuries, preserving the flavors of the past.

For many, the act of preparing and sharing Ramadan meals is a way to bring families together and maintain cultural traditions, especially for those living far from home.  Muslims recreate the tastes of their homeland, keeping their identity alive through food.

Ramadan is more than just fasting; it is a celebration of cultural richness. The unique dishes prepared during this holy month reflect the diversity of Muslim communities worldwide while reinforcing the shared values of togetherness and generosity. Through food, traditions are preserved, and connections are strengthened, making Ramadan a truly special time of the year.

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

This was the first Ramadan for Thrya, an IPC student. It was a different experience from where he lives in Yemen.

This was the first Ramadan for Thrya, an IPC student. It was a different experience from where she lives in Yemen.

Ramadan away from home can be a bittersweet experience, but there is something truly special about observing it in Indonesia. While it may be different from what I was used to back home, the warmth and welcoming atmosphere of Ramadan around campus make it a memorable experience. The spirit of togetherness, the sense of community, and the shared excitement for iftar and Tarawih prayers create a unique vibe that makes this Ramadan stand out.

A Ramadan Unlike Any Other

This Ramadan is unlike any I have experienced before. For the first time, I find myself balancing university classes, assignments, and cooking meals, all while trying to maintain the spiritual essence of the holy month. Back home, Ramadan felt easier with family support—meals were prepared, and daily schedules were adjusted to accommodate fasting. However, as an international student, I now have to manage my time efficiently to ensure I don’t miss out on the blessings of this month. Finding time for Tarawih prayer after long, busy days is challenging, but it’s a commitment that strengthens my faith and discipline.

The Beauty of Iftar Gatherings

One of the things I love the most about Ramadan in Indonesia is the way people come together for iftar. Many students, like me, are away from their families, yet they make an effort to recreate the warmth of home by breaking their fast with friends. Whether it’s in dormitories, rented rooms, or university spaces, the joy of sharing meals brings comfort and a sense of belonging. The university also organizes special Ramadan activities, fostering a strong community spirit. Seeing people from different backgrounds unite in the spirit of Ramadan is truly heartwarming.

Lessons Learned from Ramadan in Indonesia

Beyond the spiritual significance, the first days of  Ramadan in Indonesia has been a learning experience. It has taught me:

  1. Independence and Time Management – Managing fasting, studies, and personal responsibilities requires discipline and organization.
  2. The Importance of Community – Even when far from home, the kindness and generosity of people around can make Ramadan fulfilling.
  3. Patience and Gratitude – Witnessing the way Indonesians celebrate Ramadan with simplicity and devotion has deepened my appreciation for the essence of this month.

Despite the differences, I feel this  Ramadan in Indonesia is going to be an enriching and unforgettable experience. The warmth of the people, the beauty of shared iftar moments, and the spiritual growth I have seen makes it truly special. While I may miss home, I have found a new kind of family here, and that is the essence of Ramadan—unity, gratitude, and faith.

 

Written by: Thrya Abdulraheem Motea Al-aqab

Edited by: Meigitaria Sanita

Muslim

Bulan suci Ramadan menjadi momen yang dirindukan, umat muslim di seluruh dunia berbondong-bondong meningkatkan ibadah dan memperbanyak ilmu. Namun ada beberapa hal yang menjadi kendala salah satunya adalah kesibukan yang kita jalani hingga merasa

Kesibukan kerap menjadi alasan bagi kita hingga luput untuk meningkatkan ilmu. Sementara berbagai kemudahan karena perkembangan zaman justru membuat kita semakain abai dan terlena.

Menurut cendikiawan muslim Profesor Quraish Shihab bulan Ramadan adalah waktu bagi kita untuk terus produktif. Baik dalam pekerjaan maupun menuntut ilmu. Dalam serial Kalam Abi Qu di laman Instagramnya beliau menyebut jika puasa bukanlah waktu untuk berleha-leha atau bahkan tidur berlebihan, melainkan waktu yang tepat untuk terus produktif.

Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan ilmu, kegiatan produktif ini termasuk kegiatan positif yang direstui Allah SWT. Sehingga beliau menegaskan untuk tidak meninggalkan pekerjaan dan menuntut ilmu dengan dalih fisik melemah karena puasa.

“Memang puasa mengurangi sedikit kekuatan fisik, tetapi kekurangannya diimbangi ditutupi oleh kekuatan mental sehingga kita dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang direstui oleh Tuhan dan kita dapat mencapai apa yang kita harapkan dengan melakukan aneka kegiatan positif di bulan puasa. Puasa mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif yang sesuai dengan tuntutan agama karena tidur melebihi waktu yang dibutuhkan bukanlah ibadah,” jelasnya.

“Di bulan puasa banyaklah belajar bukan sekedar membaca Al Quran, di bulan puasa jangan sampai anda terlambat masuk ke kantor dengan dalih sedang berpuasa. Di bulan puasa jangan sampai terjadi hal-hal yang melanggar tuntunan agama karena itu bukan tujuan yang diharapkan dari puasa,” tambahnya.

Bahkan pencapaian-pencapaian besar terjadi di bulan puasa seperti kemenangan memasuki kota Makkah, Perang Badar, hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia.

“Pada masa Nabi dan masa sahabat-sahabat, bahkan pada masa sesudah itu, karya-karya besar, pencapaian-pencapaian besar umat Islam, terjadi di bulan puasa,” ujarnya lagi.

Ditambah dengan banyaknya majelis-majelis yang diselenggarakan di bulan Ramadan menjadi kesempatan bagi umat muslim meningkatkan kapasitas dalam bidang ilmu agama. melansir dari laman NU Online, “Barang siapa hadir di majelis ilmu pada bulan Ramadan maka Allah menulis bagi orang tersebut tiap-tiap jangkahan kakinya sebagai ibadah satu tahun” dalam kitab Durratun Nasihin.

Cara Meningkatkan Ilmu di Bulan Ramadan di Era Digital

Sementara banyaknya daftar alasan karena kesibukan dan keterbatasan waktu ataupun ruang perkembangan zaman di era digital dan Society 5.0 telah mampu memberikan jawaban.

Seperti dikisahkan oleh salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, yakni Anang Hermawan, S.Sos., M.A., menyebut saat pandemi Covid-19 bulan Ramadan masa itu majelis-majelis tatap muka ditiadakan. Namun teknologi telah menjawabnya, umat muslim tetap bisa meningkatkan ilmu dengan berbagai hal mulai dari mengakses buku hingga media digital lainnya.

“Kendati bulan Ramadan ini tidak biasa dalam konteks kita menuntut ilmu kita harus menggunakan berbagai macam metode, bila kita tidak mampu untuk bermajelis mungkin apabila kita di rumah punya buku-buku ataupun sarana (media digital) kita baca kembali, karena begitu pentingnya agama kita menjadikan ilmu sebagai perangkat dalam kehidupan bahkan Allah berfirman dalam Alqur’an bahwa,” ujarnya pada tayangan YouTube Ikonisia TV.

Dalam Islam juga telah dijelaskan pentinganya ilmu dalam kehidupan manusia. Surat Al Mujadilah yang disebutkan oleh Anang, dengan ilmu seseorang akan mendpatkan kehidupan yang lebih baik dan derajat yang lebih tinggi.

“’Barang siapa yang mendapatkan ilmu atau memiliki ilmu, maka Allah akan meninggikan kedudukannya beberapa derajat’ dan nabi pun telah mengatakan bahwa ilmu itu akan bersifat wajib bagi seorang muslim ‘barang siapa yang ingin sukses di dunia, maka dia harus dengan ilmu. Barang siapa yang ingin sukses di akhirat, maka dia harus dengan ilmu. Barang siapa yang ingin sukses di dunia dan di akhirat maka dia juga harus dengan ilmu’,” ujarnya lagi.

Meski media digital dan sarana lain sangat mudah diakses, pihaknya menyebut jika mendatangi majelis adalah cara paling ideal dan efektif dalam menuntut ilmu. Jika memang terkendala, mencari sumber-sumber yang valid perlu kita lakukan. Karena memahami suatu ilmu tidak bisa dilakukan dengan hanya menonton video yang hanya sepotong-sepotong.

“Dengan segala keterbatasan yang ada di bulan ini karena kita tidak dapat lagi ke majelis-majelis ilmu marilah kita gunakan sebaik-baiknya kesempatan di rumah kita dengan membaca banyak buku, dengan mengkhatamkan Al Qur’an membaca kitab-kitab ilmu agama atau dengan membaca apapun yang akan bermanfaat untuk menambah pengetahuan sekaligus meningkatkan iman kita kepada Allah,” tandasnya.

Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah Munas NU pada September 2023 lalu menyebut, meski perkembangan AI telah begitu pesat hingga mampu menjawab berbagai pertanyaan seputar ilmu agama tidak bisa dipercaya karena tidak memiliki kemampuan keagamaan.

“Maka, bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengethuan jika kamu tidak mengetahui” Surat an-Nahl 43.

Dari pernyataan tersebut menyimpulkan bahwa umat muslim dianjurkan untuk mengakses ilmu melalui sumber  terpercaya, jika memang ingin mengakses melalui media digital pastikan sosok yang menyampaikan adalah seseorang yang memiliki keilmuan dalam bidang tersebut.

Untuk mengetahui informasi selengkapnya dapat diakses melalui laman berikut:

https://www.youtube.com/watch?v=HxB02tmVclg

 

Gorengan

Gorengan menjadi menu favorit masyarakat Indonesia saat berbuka puasa di bulan Ramadan. Survei terbaru tahun 2024 yang dilakukan oleh Populix menunjukkan 74% responden muslim Indonesia memilih makanan berbahan tepung yang digoreng garing tersebut.

Cita rasa yang lezat dari gorengan membuat lidah tak rela menolaknya. Secara umum ada dua cita rasa gorengan, yakni manis dan gurih asin. Salah satu gorengan yang populer adalah pisang goreng dengan cita rasa manis serta tahu isi dan mendoan atau tempe goreng dengan sensasi gurih asin. Keduanya tak akan absen pada menu buka puasa masyarakat Indonesia.

Makanan ini akan sangat mudah ditemukan di berbagai area, saat bulan Ramadan banyak kita temui pedagang gorengan di pinggir jalan dengan gerobak-gerobak yang cukup khas hingga pasar Ramadan.

Cara mengolah gorengan yang cenderung mudah juga menjadi alasan masyarakat Indonesia kerap mengkonsumsi makanan ini. Menurut survei yang dilakukan Katadata Insight Center (KIC), saat pandemi Covid-19 dan dilakukan pembatasan untuk keluar rumah gorengan adalah menu takjil yang paling sering dimasak di rumah.

Penasaran dengan fakta-fakta unik seputar gorengan, berikut deretan informasi yang telah dirangkum dari Databoks Katadata dari tahun ke tahun.

Fakta Unik Gorengan

  1. Camilan Gorengan Terbaik Dunia

Salah satu gorengan yang dinobatkan sebagai camilan terbaik dunia adalah pisang goreng. Camilan ini dinobatkan sebagi Best Deep Fried Desserts menurut situs panduan wisata dan kuliner, Taste Atlas. Pisang goreng meraih nilai 4,6 poin dari 5 poin, capaian tersebut mengungguli bomboloni asal Italia dan churros dari Spanyol.

  1. Junkfood Favorit

Gorengan termasuk dalam kategori junk food, artinya nilai gizi sangat minim. Dari deretan junk food yang ada di Indonesia seperti mie instan, burger, piza, dan lainnya gorengan menempati posisi teratas yang paling digemari. Sebanyak 45,7% responden memilih gorengan dibanding junk food lainnya meskipun sebagian besar responden mengetahui dampak buruknya bagi kesehatan.

  1. Seafood Terenak Kategori Taste Atlas

Selain pisang goreng, ada makanan laut olahan aatau seafood terenak di dunia dari Indonesia. Makanan itu adalah Pempek Palembang, kuliner yang dimasak dengan cara digoreng ini masuk daftar 10 besar seafood dengan nilai 4,7 poin dari 5 poin dan mengalahkan sushi dari Jepang dan fritto misto dari Italia.

  1. Bertahan Menjadi Menu Favorit Buka Puasa

Gorengan telah bertahan menjadi menu favorit buka puasa selama bulan Ramadan. Terbukti dari survei yang dilakukan Populix tahun 2024, 2023, dan 2022. Presentasenya selalu di atas 70%, bahkan gorengan selalu dipilih baik saat berburu takjil di pasar Ramadan maupun masak sendiri di rumah.

  1. Gorengan Bukan Asli Indonesia

Ternyata, gorengan bukanlah olahan asli Indonesia. Melansir dari laman Historia id, Prasasti Rukam yang ditemukan di Temanggung menunjukkan jika makanan di Indonesia diolah dengan cara diasinkan dan dipanggang. Begitupun dengan prasasti dari masa Jawa Kuno maupun Bali Kuno yang mencatat jika masyarakat Indonesia mengolah makanan dengan cara dikeringkan, diasinkan, diasap, direbus, dan dikukus.

Goreng menggoreng merupakan metode pengolahan yang diperkenalkan oleh orang Tionghoa. Ada beberapa teknik menggoreng yakni jian chao dan zha.

Zha merupakan teknik menggoreng dengan mencelupkan makanan ke genangan minyak panas dan membutuhkan penggorengan yang cukup dalam. Sementara jian chao atau tumisan dilakukan dengan sedikit minyak goreng panas di atas api dengan mengaduk cepat.

Meski demikian gorengan nyatanya tak cukup baik untuk kesehatan, kalori yang cukup tinggi memicu berbagai penyakit yang mematikan seperti jantung, diabetes, hingga obesitas. Dalam laman Kemenkes RI menyebut jika kandungan gizi makanan yang digoreng akan jauh berkurang.

“Makanan yang dilapisi dengan tepung dan digoreng memiliki kandungan kalori yang tinggi. Proses menggoreng dapat mengurangi nilai gizi pada bahan utama karena akan menambah kalori dan kandungan lemak,” tulis Kemenkes RI.

Walaupun menawarkan cita rasa yang lezat konsumsi gorengan harus dibatasi ya Comms, kira-kira buka puasa nanti menu apa yang dipilih? Semangat menjalankan ibadah puasa Ramadan.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Palestina

Umat muslim di seluruh dunia tengah bersuka cita menyambut bulan suci Ramadan, banyak perayaan dilakukan hingga menulis daftar makanan yang akan disantap untuk membatalkan puasa saat adzan maghrib berkumandang. Namun bagaimana dengan kondisi masyarakat Palestina, selain menahan rasa lapar tentu mereka berada dalam bayang-bayang bom yang diledakkan tantara Israel secara tiba-tiba.

Pilunya Ramadan tak terjadi pada tahun 2024 saja, menurut data yang dihimpun oleh Kompas jumlah korban luka dan meninggal masyarakat Palestina saat bulan Ramadan dari tahun 2019 hingga 2023 mencapai 6.891 yang terdiri 31 korban meninggal dan sisanya luka-luka. (Lokasi mencakup Tepi Barat dan jalur Gaza)

Masyarakat Palestina telah memulai ibadah puasa Ramadan pada 11 Maret, namun gencatan senjata yang dilakukan Israel tak ada tanda-tanda untuk berhenti. Selain itu kelaparan menjadi kondisi yang tak terelakan.

Menurut dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Dr. Herman Felani, S.S., M.A., menyebut kondisi darurat berdampak besar terhadap anak-anak dan bayi yang baru lahir.

“Laporan UNICEF menunjukkan memang anak-anak Palestina terutama yang sangat terdampak dari agresi penjajah Israel. Lebih dari 13 ribu anak anak Palestina syahid karena agresi penjajah Israel dan 2 dari 3 anak Palestina mengalami malnutrisi dan kelaparan. Bahkan, bayi-bayi sudah tidak mampu lagi menangis karena tidak punya energi,” ujarnya.

Berdasarkan kondisi yang dilaporkan oleh AP News, salat dilakukan di tengah puing-puing bangunan yang hancur. Meski demikan ada perayaan yang cukup pilu, di tenda-tenda yang sesak Nampak lampu-lampu digantung sebagai dekorasi. Tak hanya itu Gedung sekolah yang menjadi penampungan disulap menjadi venue pertunjukan anak-anak untuk merayakan Ramadan, mereka menari dan menyemprotkan busa, sementara yang lainnya menyanyai.

Sebanyak 30.000 masyarakat Palestina meninggal selama lima bulan terakhir atas tragedi genosida ini. Sementara kondisi semkain sulit karena tidak tersedianya makanan. Bantuan makanan kaleng sangat sedikit, jika membeli harganya tak mampu dijangkau.

“Anda tidak melihat seorang pun dengan kegembiraan di mata mereka,” kata Sabah al-Hendi, yang berbelanja makanan pada Ahad di kota Rafah, bagian selatan. “Setiap keluarga sedih. Setiap keluarga memiliki seorang martir.” Ujarnya dikutip dari AP News.

Seorang martir adalah seseoramg yang sangat berani dan rela berjuang hingga mati demi membela iman kepercayaanya.

Dari upaya berbagai negara yang mendesak untuk menyudahi kejahatan manusia tersebut menjelang hari raya, Perdana Menteri Israel yakni Benjamin Netanyahu tetap bersumpah untuk melanjutkan serangan hingga mencapai kemenangan total. Bahkan pada awal Ramadan pemimpin Hamas telah dibunuh dan terus menargetkan pembunuhan lainnya.

“Tiga, dua, dan satu sedang dalam perjalanan. Mereka semua adalah orang yang sudah mati. Kami akan menjangkau mereka semua,” tambahnya.

Jika Ramadan Tidak Dibawah Genosida

Eman Alhaj Ali, seorang jurnalis yang tinggal di Gaza dalam laman Aljazeera menuliskan kisah Ramadan di Palestina. Jika kali ini ibadah dipenuhi rasa haru dan duka, mereka merindukan momen-momen hangat tanpa gencatan senjata.

Masyarakat Palestina akan menyambut bulan ramadan dengan belanja beberapa minggu sebelumnya. Tempat favorit adalah Kota Tua dan Al Zawiya sebuah pasar tradisional. Mereka akan membeli makanan khas Ramadan acar asam, kurma terbaik, buah zaitun yang lezat, rempah-rempah yang memenuhi udara dengan aromanya, timi, pasta aprikot kering untuk membuat minuman qamar al-din, buah-buahan kering, dan berbagai jenis jus, dengan khoroub (carob) yang paling populer.

Sama halnya dengan masyarakat Indonesia, Eman menyebut jika mereka akan membeli baju baru dan mukena yang tengah tren di pasaran. Di rumah-rumah akan ada dekorasi dengan tulisan “hallou ya hallou, Ramadan Kareem ya hallou” yang artinya “sayang, sayang, Ramadan Kareem, sayang”.

Malam-malam Ramadan akan begitu menyenangkan anak-anak ramai bermain di jalan setelah salat tarawih dan menyalakan kembang api. Sementara keluarga besar akan berkumpul di rumah untuk menonton tayangan spesial Ramadan. Mereka juga akan mengisi waktu dengan banyak beribadah di siang hari, anak-anak dan orang dewasa melakukan hafalan, kakek dan nenek menceritakan kisah nabi kepada anak cucunya, dan ramai-ramai ke masjid untuk membaca ayat Al’Quran.

Menjelang buka puasa, berbagai hidangan disajikan ada yang memasak maqlouba (hidangan daging dengan nasi dan sayuran), ada pula yang memasak musakhan (hidangan ayam), dan ada pula yang memasak mulukhiya (sup). Selanjutnya mereka akan saling berbagi makanan dengan para tetangga. Tak lupa para ibu menyiapkan qatayf, makanan penutup populer yang hanya dibuat selama bulan suci.

Tapi apa yang terjadi saat ini, masyarakat Palestina semakin terpuruk. Meski mereka tengah khidmat beribadah tak ada tanda penghentian genosida. Ditambah negara-negara besar tak berbuat banyak atas hal ini.

“Meskipun PBB dan lembaga dunia lainnya mendesak Israel untuk melakukan gencatan senjata, Israel tetap akan melancarkan serangan ke Gaza dan bahkan ke wilayah Rafah yang merupakan kantong pengungsi sipil Palestina.  Negara-negara besar seperti Amerika dan Inggris bermain di dua kaki dengan mendorong gencatan senjata tapi juga menyediakan senjata untuk Israel. Harapan hanya ada jika semua negara betul-betul bersatu atas nama kemanusiaan memberi sanksi pada Israel secara politik, ekonomi dan diplomasi,” tandas Dr. Herman Felani, S.S., M.A.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

sikat gigi

Salah satu kondisi yang membuat kita tidak percaya diri adalah bau mulut. Hal ini bisa diatasi dengan menyikat gigi ataupun mengkonsumsi permen penyegar nafas yang beredar di pasaran. Namun ketika sedang puasa apa yang bisa dilakukan, apakah boleh menyikat gigi?

Melansir dari laman Kemenkes, bau mulut yang kita alami selama puasa terjadi karena beberapa hal, pertama karena makanan yang kita konsumsi saat santap sahur yang cenderung memiliki bau menyengat. Hal tersebut memicu bakteri berkembang biak dengan cepat. Kedua, bau mulut juga bisa dipicu oleh kondisi tubuh, seperti penderita diabetes dan maag.

Saat menjalankan ibadah puasa umat muslim dianjurkan menghindari material dari luar masuk ke dalam tubuh bagian manapun, termasuk air saat kita berkumur dan sikat gigi. Ketika kita melakukan aktivitas tersebut tentu akan ada kemungkinan air masuk ke dalam mulut. Apakah selama puasa kita dilarang melakukan aktivitas tersebut?

Terkait boleh tidaknya berkumur sikat gigi saat puasa telah disampaikan oleh Syekh Muhamad Nawai Al Batani dalam Nihayatuz Zain. Dilansir dari laman NU Online, berikut penjelasannya:

ومكروهات الصوم ثلاثة عشر: أن يستاك بعد الزوال
Artinya: “Hal yang makruh dalam puasa ada tiga belas. Salah satunya bersiwak setelah zhuhur,” (Nihayatuz fi Irsyadil Mubtadi’in)

Selain itu penjelasan dari Imam Nawawi menyebut jika tetap ingin melakukan aktivitas sikat gigi perlu dilakukan secara hati-hati. Hal ini dilakukan agar aiar, pasta gigi, bahkan bulu dari sikat gigi tidak masuk ke tenggorokan. Meski tanpa sengaja hal tersebut akan membatalkan puasa.

‎ لو استاك بسواك رطب فانفصل من رطوبته أو خشبه المتشعب شئ وابتلعه افطر بلا خلاف صرح به الفورانى وغيره

Artinya: Jika ada orang yang memakai siwak basah. Kemudian airnya pisah dari siwak yang ia gunakan, atau cabang-cabang (bulu-bulu) kayunya itu lepas kemudian tertelan, maka puasanya batal tanpa ada perbedaan pendapat ulaman. Demikian dijelaskan oleh al-Faurani dan lainnya. (Abi Zakriya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, juz 6, halaman 343)

Sementara dengan aturan yang jelas tersebut, solusi yang ditawarkan oleh ulama adalah menggosok gigi sebelum imsak, sementara jika sudah siang disarankan menggosok gigi dengan kayu siwak.

Untuk berkumur saat puasa anjurannya tidak berlebihan (al mubalaghah). Berlebihan yang dimaksud adalah terlalu kencang dan banyak karena kekhawatiran air akan tertelan.

Tips Mengurangi Bau Mulut saat Puasa

Selain menyikat gigi usai santap sahur, ada beberapa cara yang bis akita lakukan untuk mengurangi bau mulut selama menjalankan ibadah puasa. Berikut ada beberapa tips yang disarankan dilansir dari laman Kemenkes:

  1. Usahakan minum cukup, total konsumsi air saat sahur dan buka puasa minimal 2-3 liter.
  2. Membersihkan mulut secara sempurna, menyikat gigi serta menggosok lidah. Selain itu gunakan obat kumur agar mulut bersih secara maksimal.
  3. Menghindari makanan yang berbau tajam.
  4. Tidak merokok saat buka maupun sahur.
  5. Tidak tidur berlama-lama selama menjalankan ibadah puasa, hal ini merupakan pemicu bau mulut yang sering terjadi.

Itulah informasi seputar sikat gigi saat menjalankan ibadah puasa serta beberapa tips yang bisa diterapkan. Yuk Comms lakukan beberapa tips tersebut agar tetap percaya diri sepanjang menjalankan ibadah puasa tanpa khawatir bau mulut.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Nyadran

Menjelang bulan Ramadan berbagai kegiatan dilakukan oleh masyarakat, di Jawa berbagai tradisi menjadi penyemarak untuk menyambut bulan suci. Jawa Tengah dan Yogyakarta akan sangat lekat dengan Nyadran, di Jawa Timur ada Megengan atau Ruwahan, sementara di Jawa barat ada tradisi Munggahan dan Misalin.

Bagi masyarakat yang melakukan tradisi tersebut, hal ini memiliki nilai rligiusitas dan kearifan lokal. Dalam Nyadran, Megengan, hingga Misalin ada wujud antara relasi manusia, leluhur, alam, dan Tuhan.

Jika dilihat dari waktu melakukan tradisi tersebut tentu beriringan dengan momentum ibadah mahdhah, namun tradisi tersebut bukanlah bagian dari ibadah mahdhah yang bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah.

Hal ini memunculkan berbagai pandangan, ada yang sepakat ada yang tidak. Salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yakni Anang Hermawan, S.Sos., M.A dengan klaster riset bidang pemberdayaan menyebut tradisi ini diwarnai pro dan kontra keduanya memiliki argumen yang menguatkan.

“Ada perbedaan di kalangan umat Islam dalam melihat nyadran, pro dan kontra. Bagi yang kontra, nyadran dinilai menyelisihi ajaran agama, karena dianggap tidak ada landasannya sama sekali (secara persis). Di sisi lain, kalangan yg pro menganggap nyadran merupakan budaya masyarakat muslim yg juga memiliki landasan agama, atau paling tidak, memiliki dasar-dasar pemahaman yang tidak menyelisihi syariat,” ujarnya.

Merujuk pada KBBI, istilah Nyadran atau sadran-menyadran adalah mengunjungi makam pada bulan Ruwah untuk meberikan doa kepada leluhur dengan membawa bunga atau nyekar hingga membawa sesajian pendukung lainnya.

Melansir dari laman NU Jepara, tradisi ini merupakan kegiatan komunal seperti mengundang tetangga, mengumpulkan jamaah di masjid maupun di rumah untuk melakukan doa bersama, istighosah, tahlilan, yasinan yang ditujukan kepada leluhur. Mendoakan arwah leluhur bertujuan untuk meminta ampunan, Rahmat dan syafaat dari Rasulullah SAW dan diakhiri dengan “berkatan” atau berkah nasi dalam besek yang nantinya dibawa pulang ke rumah dan diberikan kepada anak dan keluarga.

Pandangan Islam tentang Tradisi dan Kearifan Lokal Nyadran

Lantas bagaimana Islam memandang tradisi Nyadran dan tradisi-tradisi menjelang bulan Syaban lainnya?

Faham soal takfiri (mengkafirkan), tabdi (membidahkan), tasyri (mensyirikkkan) terbentuk melalui pemahaman Islam konservatif. Tradisi tersebut memang tak bersumber pada Al’Quran maupun as-Sunnah, sehingga taka da standar baku dan dapat dilakukan sesuai kekhasan setiap daerah.

NU berpandangan, selama tradisi-tradisi dilakukan dengan cara yang beradab dan tidak menyimpang dari syariat maka tradisi tersebut layak disebut sebagau khazanah kearifan lokal yang patut dilestarikan.

Menurut artikel berjudul Memahami Kearifan Tradisi-tradisi Lokal yang ditulis oleh Ninde Adien Maulana pada laman NU Online, kriteria kebaikan pada adat kebiasaan berpijak pada kebenaran akal sehat manusia dan norma-norma syariat. Maka perlu diketahui bahwa tradisi yang tengah dilakukan tidak bertentangan dengan syariat, tidak menyebabkan kerusakan dan menghilangkan kebaikan, telah dilakukan secara masif dan berulang di kalangan umat Islam, dan tidak masuk dalam wilayah ibadah mahdlah.

“Penilaian sesuatu yang diharamkan tidak terletak pada nama, namun pada substansi isinya” (Fatawa al-Azhar 7/210)

Dalam konteks Nyadran, substansinya adalah ziarah kubur mendoakan leluhur dengan membaca ayat al-Quran, berbagi sedekah atas nama mayit.

Rasulullah bersedekah makanan atas nama Khadijah, “Aisyah berkata: “Jika Rasulullah menyembelih kambing, maka beliau berkata:” Kirimkan daging-daging ini untuk tean-teman dekat Khadijah”. Aisyah berkata: “Saya memarahi Nabi di suatu hari”. Nabi bersabda: “Saya sudah diberi reezeki mencintainya” (HR Muslim)

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallama melakukan penyembelihan hewan dan menyedekahkannya untuk Khadijah setelah wafatnya (HR Muslim No 4464). Syaikh berkata: Secara watak ini adalah sedekah. Dari dalil ini dapat diambil kesimpulan bahwa boleh bersedekah atas nama mayit baik berupa daging, makanan, uang atau pakaian, ini adalah sedekah, atau dengan qurban saat Idul Adlha. Kesemua ini adalah sedekah atas nama mayit” (Fatawa al-Ahkam asy-Syar’iyah No 9661)

Sementara dalam Muhammadiyah, tradisi ziarah pada masyarakat Jawa yang disebut ruwahan, nyekar, nyadran, dan sebutan lainnya dijelaskan pada artikel yang berjudul Ziarah pada laman Suara Muhammadiyah. Secara umum Majelis Tarjih membolehkan tradisi ini dengan hadis di bawah ini:

“Diriwayatkan dari Buraidah ia berkata, Rasulullah saw bersabda; Dahulu aku pernah melarang ziarah kubur, maka telah diizinkan bagi Muhammad berziarah kubur ibundanya. Maka berziarahlah kubur, sebab hal itu mengingatkan akhirat.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan al-Hakim)

Tak hanya itu, tradisi ini mesti dilakukan sesuai tuntunan dan etika yang diajarkan Nabi yakni meluruskan niat, melepas alas kaki, tidak duduk atau menduduku kuburan, berdoa kepada Allah, dan mengucapkan salam kepada ahli kubur.

“Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata; “Rasulullah saw pada tiap malam gilirannya, pergi ke Baqi’ di akhir malam, dengan ucapannya: Assalamu’alaikum dara qaumin mukminin wa atakum ma tu‘aduna ghadan muajjalun, wa inna insya Allahu bikum lahiqun. Allahummaghfir li ahli Baqi’il Gharqad. (Semoga keselamatan bagi kamu sekalian wahai negeri kaum yang beriman dan akan datang apa yang dijanjikan kepada kamu sekalian dengan segera. Dan sesungguhnya kami, dengan izin Allah, akan menyusul kamu sekalian. Yaa Allah ampunilah penghuni Baqi’ al-Gharqad (nama kuburan).” [HR. Muslim]

Meski demikian, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir pernah menyatakan jika ziarah adalah satu dari banyak sunnah yang dapat diamalkan

“Meski sunnah, tidak perlu terlalu sering berziarah kubur. Banyak sunnah Nabi lainnya yang lebih besar yang harus dikerjakan untuk memajukan umat dan bangsa,” tuturnya dalam laman Suara Muhammadiyah.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Makanan favorit

Daftar makanan dan minuman yang paling disukai masyarakat Indonesia sebagai pilihan menu buka puasa akan dipaparkan dalam artikel berikut ini. Setidaknya ada 8 hidangan teratas pilihan masyarakat Indonesia. Deretan makanan ini disukai karena cita rasa yang nikmat dengan rasa manis dan gurih.  

Setelah berpuasa selama hampir 13 jam tentu tubuh kita membutuhkan asupan makanan dan minuman untuk mengembalikan energi. Salah satu sumber utama yang mudah dan cepat didapatkan dari makanan yang memiliki kandungan gula. Namun yakin jika pilihan makanan ini baik untuk tubuh? 

Wajar jika 8 daftar hidangan yang paling disukai masyarakat Indonesia ini dominan ditempati oleh makanan-makanan manis dan bersantan. Beragamnya menu khas daerah serta tradisi di Indonesia bisa jadi pemicu utama mengapa masyarakat kita gemar konsumsi gula dan santan. 

Berdasarkan data survei dari 818 responden di Indonesia dengan range usia 18-55 tahun oleh TGM Research, menyebutkan kolak menjadi menu primadona saat buka puasa. 

Hidangan paling disukai adalah kolak dengan nilai 17,2 persen, selanjutnya ada rendang 11,2 persen, Opor ayam persen, kolak pisang 5,3 persen, disusul kurma 4,8 persen, ketupat 4,8 persen, opor 3,9 persen, dan terakhir es buah 2,4 persen. 

Dalam survei tersebut juga didapatkan hasil jika 90 persen masyarakat Indonesia memilih memasak di rumah untuk teman dan keluarga, serta 99 persen buka bersama anggota keluarga di rumah. 

Sama halnya dengan kebiasaan yang terjadi di lingkungan kita, seperti yang dilakukan melalui survei cepat di Grup WhatsApp Prodi Ilmu Komunikasi UII yang berisi dosen, staf, serta mahasiswa magang ditemukan hasil bahwa seluruhnya memilih minuman pembuka manis saat membatalkan puasa. 

Sebanyak 22 suara yang dikumpulkan sebanyak 3 orang memilih kolak, 2 orang es buah, 8 orang es degan, 5 orang memilih es campur, dan 4 orang lainnya. Menurut pengakuan 4 orang yang memilih lainnya cenderung mengaku berbuka dengan teh hangat manis maupun es teh manis. 

Artinya kebiasaan minum dan makan makanan yang memiliki kandungan gula menjadi primadona untuk membatalkan puasa. 

Risiko terlalu banyak konsumsi gula 

Berdasarkan daftar hidangan yang disebutkan di atas, semua makanan yang disukai oleh masyarakat Indonesia mengandung gula, garam, dan lemak (GGL) yang cukup tinggi. Sementara konsumsi zat gula, garam, dan lemak berlebih akan memicu penyakit diabetes, tekanan darah tinggi, jantung, stroke, ginjal, hingga gangguan saraf. 

Sebenarnya terkait batasan konsumsi GGL telah diatur dalam Permenkes Nomor 30 Tahun 2013. Dalam aturan tersebut juga mengatur pencantuman informasi kandungan GGL pada pangan siap saji dan pangan olahan.  

Kebutuhan dan anjuran konsumsi gula setiap orang per hari sebesar 10 persen dari total energi (200kkal) setara 4 sendok makan atau 50 gram. Sedangkan untuk garam per hari 2000 mg natrium, setara 1 sendok teh atau 5 gram. Terakhir konsumsi lemak per hari adalah 20-25 persen dari total energi (702 kkal) setara dengan 5 sendok atau 67 gram. 

Lantas bagaimana dengan kandungan kolak, apakah baik untuk kesehatan? Ternyata kandungan nutrisi pada kolak sangat baik untuk tubuh dengan catatan dengan tidak berlebihan dalam konsumsi per harinya. 

Bahan utama pada kolak adalah santan dengan berbagai isian seperti pisang, ubi, kolang-kaling, dan gula (gula merah ataupun gula pasir). Dilansir dari laman halodoc sekitar 100 gram kolak terkandung 163 kalori. 

Artinya satu mangkuk kolak pisang terdapat 47 persen lemak, 48 persen karbohidrat, 6 persen protein. Lemak dalam kolak pisang terdiri dari lemak jenuh dan lemak tak jenuh. Sementara kadar gula di dalamnya sekitar 11,95 gram dan 2,8 gram serat. 

Sedangkan untuk opor ayam yang memiliki bahan dasar santan dan ayam memiliki nilai 163 kalori per 100 gram, 8,67 gram lemak, 5,6 gram karbohidrat, dan 16,53 gram protein. 

Namun menyantap opor ayam akan lebih nikmat dengan nasi atau lontong, nilai kalori nasi sebesar 129 kalori per 100 gram, sedangkan lontong 144 kalori per 100 gram.  

Artinya konsumsi satu mangkok kolak masih aman untuk tubuh kita, namun perlu diketahui yang kita konsumsi tidak hanya itu. Masih ada nasi, opor ayam dan beberapa makanan lain. Maka kita perlu menciptakan gaya hidup sehat dan memperhatikan anjuran konsumsi GGL. 

Konsumsi GGL yang tinggi memicu berbagai penyakit terutama terkait kasus diabetes di Indonesia yang tinggi sebagai dampak pola hidup yang tidak sehat. Tahun 2021 jumlah penderita diabetes di Indonesia sekitar 19,47 juta, hal ini diprediksi akan terus meningkat.  

International Diabetes Federation (IDF) memprediksi jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 28,57 juta di tahun 2045. Artinya jumlah ini lebih besar 47 persen dari tahun 2021. 

Dalam jangka 10 tahun jumlah penderita diabetes di Indonesia meroket hingga 167 persen, sebelumnya tahun 2011 jumlah penderita diabetes 7,29 juta. Sementara jumlah kematian pada 2021 sebesar 236.711 jiwa atau meningkat 58 persen dari tahun 2011 yakni 149.872 jiwa. 

Solusi jalani puasa Ramadan tetap sehat 

Lantas bagaimana cara kita memperbaiki dan mengatur pola hidup yang sehat dan tetap fit selama menjalani ibadah puasa. Setidaknya ada tiga opsi yang bisa kita lakukan yakni memilih nutrisi yang baik, olahraga, dan membuat rencana makanan yang akan kita konsumsi. 

Langkah awal yang perlu kita lakukan adalah memastikan nutrisi baik yang masuk ke tubuh kita serta membatasi beberapa bahan yang buruk. Pastikan konsumsi makanan berkualitas tinggi dengan memperbanyak minum air putih dan menyeimbangkan dengan karbohidrat dari pati, sayur-sayuran, protein, dan produk susu lemak alami agar tetap terhidrasi selama puasa. Sementara beberapa hal yang perlu dihindari adalah makanan dengan kandungan garam, kafein, gula yang tinggi serta makanan olahan. 

Selanjutnya pastikan untuk meluangkan waktu untuk olahraga, meski puasa kita tetap harus aktif secara fisik demi kesehatan. Yang perlu diperhatikan adalah hindari latihan intensitas tinggi seperti lari cepat atau angkat beban di siang hari. Gantinya olahraga ringan 15-30 menit seperti jalan kaki, senam pilates, ataupun yoga. 

Terakhir yakni membuat rencana menu ke depan, pastikan tidak meninggalkan sahur demi memenuhi asupan untuk energi aktivitas siang hari terutama bagi pelajar dan pekerja. Agar lebih efektif rencanakan menu sahur dan buka puasa dengan fokus makan makanan berkualitas tinggi. 

Selain tiga hal tersebut pastikan agar tubuh kita memperoleh waktu istirahat dan tidur yang cukup agar metabolisme dalam tubuh tidak terganggu. 

 

Penulis: Meigitaria Sanita