Tag Archive for: Media Sosial

Instagram
Reading Time: 3 minutes

Sepekan terakhir kampanye poster All Eyes di Instagram sukses membawa netizen ramai-ramai merepost ulang di story masing-masing. Mulai dari konflik internasional All Eyes on Rafah dan disusul All Eyes on Papua.

Seruan All Eyes on Rafah pertama kali diungkapkan pada Februari 2024 lalu oleh Rick Peeperkorn Direktur Kantor Wilayah Palestina di Orrganisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ungkapan itu muncul pasca Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menginstruksikan evakuasi ke Rafah menjelang penyerangan. Sayangnya pada 26 Mei 2024 serangan melalui udara mengakibatkan kebakaran hebat di kamp pegungsian hingga menewaskan 45 korban. Serangan tak berhenti dan berlanjut hingga beberapa hari setelahnya.

Sontak sejak 28 Mei 2024, seruan All Eyes on Rafah mencuat di X (Twitter) dan trending sehari setelahnya hingga mencapai 900 ribu lebih tagar tersebut. Sementara di Instagram lebih viral lagi, poster yang dikreasikan lewat AI itu mencapai 47 juta lebih dibagikan.

Kesuksesan lain disusul oleh All Eyes on Papua, isu lama itu kembali disorot pasca masyarakat Awyu di Boven Digul Papua Selatan dan Suku Moi di Sorong Papua Barat Daya melakukan aksi protes atas izin pengalihan hutan sebagai Perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari di Gedung Mahkamah Agung Jakarta pada 27 Mei 2024. Narasi “separuh luas Jakarta” menjadi menggema mengiringi poster All Eyes on Papua. Hutan tak hanya soal tanah dan pohon, bagi masyarakat Papua hutan adalah sumber kehidupan bernilai budaya. Tak hanya akan kehilangan sumber penghidupan, Perkebunan sawit yang akan digarap pada 36 ribu ha turut menyumbang emisi 25 juta ton CO2.

Mengapa Bisa Viral?

Dari kedua kasus tersebut, tingkat keviralan All Eyes on Papua bisa dikatakan sukses menyamai All Eyes on Rafah. Dalam skala nasional saja mampu mengajak lebih dari 2,8 juta pengguna Instagram membagikan isu lingkungan yang cenderung hanya menjadi concern beberapa pihak.

Menurut dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Nadia Wasta Utami, S.I.Kom., M.A. terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keviralan dua isu tersebut. Pertama terkait fitur yang menjadi penunjang di Instagram yakni Add Yours yang berfungsi untuk membuat rantai konten stories.

“Sosial media dengan beragam fiturnya sangat memudahkan sebuah isu itu menyebar. Fitur yang memudahkan orang dan membuat kita tau siapa saja teman kita yang menggunakan akan mentrigger akhirnya kita ikutan,” jelasnya.

Rantai konten stories yang tak terputus ini juga diikuti dengan sematan-sematan link dan narasi yang semakin membuat netizen merasa relate dengan isu dalam narasi All Eyes.

“Misal fitur Add Yours, fitur menyematkan tautan/link, fitur share ke sosmed kalau sudah mengisi petisi, fitur tagging supaya tersebar ke orang-orang yang kita mau. Terutama jika isu tersebut relate dengan banyak orang maka sosial media akan membuat berita itu tersebar ke circle tertentu lalu disebarkan lagi dan lagi dan lagi sampai kemudian menjadi yg kita sebut sbg viral (penyebaran seperti virus). Ini berkaitan juga dengan bagaimana Engagement rate itu naik,” tambahnya.

Tak hanya soal fitur, pengetahuan terhadap isu juga turut mempengaruhi keviralan. Ditambah pengguna Instagram didominasi oleh Gen Z dan Milenial dengan presentase lebih dari 60 persen. (Data Statista 2023)

“Bagaimana pengguna sosmednya sendiri yang sekarang paham atau tidak, mengerti betul ataupun hanya sekedar tau, ketika ada suatu isu yang itu ramai dibicarakan, mereka akan ingin ikut membicarakan hal tersebut. Istilahnya FOMO/fear of missing out. Karena ketika suatu isu itu banyak orang bicarakan, maka netizen akan merasa “keren” atau merasa up to date ketika ia juga ikut membincangkan atau dalam hal ini ikut me-repost, ikutan fitur add yours, ikutan petisi, ikut post hal yang sama. Sebaliknya mereka akan merasa “tertinggal” jika tidak ikutan tren yang sedang ramai dibicarakan. Dan itu untuk kalangan GenZ terutama menjadi suatu ketakutan “fear” kalau tidak tahu, tidak terlibat, dan tidak ikutan apa yang orang lakukan pada isu tersebut,” ujarnya.

Viral di Media Sosial Membawa Perubahan?

Di Indonesia fenomena No Viral No Justice awalnya adalah bentuk sindiran netizen kepada Polri yang dirasa ogah merespon laporan dari masyarakat. Harapannya dengan fenomena tersebut pihaknya menjadi lebih profesional. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan suatu isu tersebut viral di media sosial.

Sosial media menjadi ruang menyegarkan pembawa perubahan, namun menurut Nadia berbagai kemungkinan bisa terjadi. Netizen perlu memahami secara detail terkait isu yang tengah mencuat agar bijak dalam merespon.

“Jadi, apakah sosial media bisa bawa perubahan? Ini sudah banyak sih kasusnya bahwa isu yang berawal dari sosial media ternyata bisa membawa dampak pada kehidupan nyata. Dampak bisa baik, bisa buruk tentu saja. Namun yang perlu ditekankan untuk kita pengguna sosmed di sini adalah, ketika ada suatu isu/ tren tertentu, ada baiknya kita cari tahu dulu, pahami betul-betul apa yang terjadi,” jelas Nadia.

Tidak semua konten yang tersebar di media sosial selalu benar, jika hanya Fomo bisa jadi apa yang dibagikan pengguna akan merusak reputasi individu bahkan memicu konflik di ruang digital.

“Jadi tidak hanya sekadar ikut-ikutan karena takut ketinggalan. Karena bisa jadi apa yang ramai di belum tentu benar adanya. Apa yang diamini oleh banyak orang tidak selalu merupakan hal yang sebenarnya. Dan harus semakin berhati-hati karena kita kini hidup dalam gelembung fakta realita  semu yang ditentukan oleh algoritma sosial media,” tandasnya.

Penulis: Meigitaria Sanita

Kuliah umum
Reading Time: 2 minutes

Media Sosial dan Masa Depan Kemanusiaan menjadi tajuk pada pelaksanaan Kuliah Umum Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (UII) pada 27 April 2024. Topik ini dipilih karena memiliki urgensi bagi kehidupan di masa mendatang. Secara sadar atau tidak, media sosial telah mengubah banyak hal termasuk dalam preferensi seseorang terhadap apapun termasuk politik.

Materi kuliah umum ini disampaikan oleh Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yang fokus pada kajian Media Policy, Comparative Media System, Public Media and Journalism, serta Media Activism.

Sebelum kuliah umum dimulai Prof. Dr. Jaka Nugraha, S.Si., M.Si. sebagai Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset pada sambutannya menyampaikan terkait bagaimana media sosial tak cukup diimani dampak positifnya saja. Melainkan juga bagaimana berfikir kritis terhadap perkembangan teknologi digital dan bagaimana menyelesaiakan berbagai persoalan yang terjadi.

Sementara itu, sudah saatnya bagi tugas institusi pendidikan untuk terus memberi wadah saling belajar dan membuka diri demi masa depan kemanusiaan yang lebih baik

“Begitu dahsyatnya perpecahan polemik yang terjadi di media sosial masing-masing karena sudah terkungkung oleh sudut pandang masing-masing. Tentunya kita di dunia akademik ini harus membuka diri, membuka pemikiran kita bahwa suatu masalah bisa dilihat dari berbagai sisi,” ujarnya saat membuka Kuliah Umum Pascarjana, di Ruang Teatrikal Lantai 2, Gedung Kuliah Umum Dr. Sardjito UII.

Dipandu oleh Dr. Herman Felani, S.S., M.A. kuliah umum itu dimulai dengan statement yang cukup menggugah mahasiswa.

“Orang mengakses media sosial itu seperti dopamine, ngeposting sesuatu nunggu di-like, dikomen kalau engga nanti dia engga bahagia akhirnya generasi milenial banyak yang stres. Kalau begini masa depan kemanusiaan apakah bisa terwujud dengan sesuai harapan kita?” ujarnya.

Menjawab keresahan tersebut Prof. Masduki menyempaikan materi Media Sosial dan Dehumanisasi. Secara umum beliau menjelaskan dua perspektif terkait media sosial yakni digital optimist yang memandang perkembangan ini adalah peluang besar yang bisa dimanfaatkan secara maksimal. Kedua digital pesimis, bagaimana sebagai subjek pengguna tak hanya percaya dengan peluang namun percaya bahwa manusia adalah objek yang dimanfaatkan oleh platform.

Lebih dalam, beliau memaparkan bagaimana media sosial dalam kehidupan sosial politik mampu mengubah persepsi seseorang secara masif. Terbukti pada sepuluh tahun terakhir, akibat media sosial politik di Indonesia sangat mudah dinormalisasi.

“Medsos bukan penyubur demokrasi saat ini tapi pengubur demokrasi,” ujarnya.

Situasi mencekam terjadi di media sosial pada tahun 2017 terkait polarisasi politik pilkada DKI, hingga normalisasi politik dinasti Jokowi pada Pemilu 2024.

“Terjadi di Indonesia terjadi fabrikasi terhadap slogan Gemoy. Orang yang tadinya keras, militer, tiba-tiba di medsos isinya joget-joget dan anda suka mungkin bukan anda tapi keluarga kita jadi ini disinformasi,” ujarnya

“Saya enggak bicara politiknya, tapi media sosial membuat kita menormalkan yang tidak normal. Mungkin pak Jokowi tidak keliru sekali tapi orang yang berbisnis dengan media sosial, free rider orang ikut meramaikan begitu asal dia bisa klaim subcribernya berapa, viewersnya berapa akhirnya dapat duit,” tambahnya.

Demi masa depan manusia yang lebih baik, ada tiga solusi yang dirangkum oleh Prof. Masduki, pertama pendekatan regulasi ala Eropa: digital service act, digital citizenship act, publisher right, anti disinformation act; kedua, pendekatan akademik mendorong fakultas hukum dan sosbud atau isipol untuk mengkaji digital transformation and human right issues; ketiga pendekatan kultural: literasi digital dalam spirit kedaulatan digital.

Selengkapnya: https://www.youtube.com/watch?v=Y1aiZkuG8Z8

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Aplikasi
Reading Time: 2 minutes

TikTok dan CapCut tercatat sebagai aplikasi yang paling banyak diunduh oleh masyarakat Indonesia sepanjang tahun 2023. Data yang dirilis oleh Business of Apps sebanyak 67,4 juta kali TikTok telah diunduh dan CapCut sebanyak 53,9 juta kali.

Secara umum TikTok merupakan media sosial berbasis video pendek sementara CapCut adalah aplikasi yang menunjang untuk edit video, keduanya berada di bawah naungan ByteDance. Lantas mengapa aplikasi-aplikasi tersebut sangat diminati oleh masyarakat Indonesia?

Indonesia memang menjadi target market paling menjanjikan untuk urusan ini, Business of Apps juga melaporkan masyarakat Indonesia menghabiskan waktu 5,7 jam dalam sehari untuk menggunakan aplikasi mobile. Hal ini membuat pertumbuhan ekonomi mobile Indonesia sebagaiyang tercepat di dunia.

Pengguna yang didominasi Gen Z usia 18-24 tahun menghabiskan banyak waktunya untuk mengakses media sosial dan aplikasi edit foto dan video. Sehingga sangat relate jika disandingkan dengan tingginya jumlah unduhan TikTok dan CapCut.

Mengutip data yang dikumpukan oleh Databoks Katadata, per Januari 2024 pengguna aktif TikTok mencapai 1,56 miliar. Dengan popularitas ini pendapatan TikTok di Indonesia mencapai $34 juta. Sementara CapCut di tahun 2022 telah menjadi aplikasi dengan unduhan terbesar secara global yakni 357 juta kali.

Salah satu editor video di Laboratorium Ilmu Komunikasi UII, Iven Sumardiyanto, S.I.Kom., M.I.Kom, menyebut jika kedua aplikasi ini saling mendukung dan relatif memudahkan penggunanya karena fiturnya yang cukup lengkap.

“Konten di TikTok itu sangat menghibur dan unik-unik. Sehingga penggunanya menjadi terinspirasi untuk memproduksi video yang sedang tren juga. Sementara untuk CapCut sebagai aplikasi edit video yang gratis memiliki template yang cukup variatif tinggal put in put out. Sound efeknya juga bagus (re: jedag-jedug), kemudahan lainnya tak perlu buka laptop,” ujarnya.

Faktor lain yang sangat berpengaruh tentu jaringan internet di Indonesia yang sudah cukup luas. Jaringan 4G telah menjangkau 97 persen wilayah Indonesia sementara 5G mencapai 15 persen.

Menurut laman Up Stream Marketing, terdapat beberapa alasan mengapa aplikasi tersebut sangat populer. Pertama konten pendek dan mudah dikonsumsi, durasi pada konten TikTok maksimal berdurasi 3 menit dan dilengkapi mode gulir tanpa akhir.

Kedua, baik TikTok maupun CapCut memang ditujukan untuk semua pengguna. Di TikTok memiliki komunitas khusus yang mencakup semua jenis hobi, gaya hidup, dan hiburan. Sementara CapCut, adalah aplikasi yang ramah pengguna dan tak membutuhkan skill khusus untuk mengaplikasikannya.

10 Aplikasi Paling Banyak Diunduh Tahun 2023

Tak hanya TikTok dan CapCut, beberapa aplikasi yang telah banyak diunduh oleh masyarakat Indonesia sepanjang 2023 adalah aplikasi yang dinaungi Meta yakno Facebook dan Instagram, berikut data selengkapnya.

  1. TikTok: 67,4 juta
  2. CapCut: 53,9 juta
  3. Facebook: 52,8 juta
  4. Instagram: 50,6 juta
  5. Shopee: 42,5 juta
  6. WhatsApp: 38,6 juta
  7. DANA: 33 juta
  8. WhatsApp Business: 28,1 juta
  9. GoTube: 26 juta
  10. SHAREit: 25,5 juta

Itulah deretan aplikasi mobile yang populer dan paling banyak diunduh oleh masyarakat Indonesia sepanjang tahun 2023. Apakah kamu salah satu pengguna deretan aplikasi tersebut Comms?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Friendster
Reading Time: 2 minutes

Salah satu media sosial yang sempat menjadi idola tahun 2000an yakni Friendster kini kembali lagi. Tercatat hingga tahun 2011 pengguna Friendster mencapai 115 juta pengguna, sayangnya platform ini resmi ditutup tahun 2015. Namun di tahun 2024 nenek moyang media sosial bangkit lagi. Hingga hari ini, 30 januari 2024 sudah ada antrean lebih dari 131 ribu yang ingin kembali mencoba mendaftar.

Jika melihat tren pengguna media sosial saat ini telah didominasi oleh Gen Z sebut saja Facebook dari 198 juta pengguna di Indonesia lebih dari 60% penggunanya adalah Gen Z, begitupun dengan TikTok serta Instagram. Namun, akankah Gen Z tertarik dengan Friendster?

Mungkin bagi Gen Z tak cukup familiar dengan Friendster, berikut ulasan sedikit terkait media sosial yang sempat mati suri. Media sosial asal Filipina ini mulai berdiri sejak 2001 oleh Jonathan Abrams. Dalam platform ini pengguna dapat mengirim pesan, menulis komentar, memposting, hingga berbagi konten.

Nama Friendster berasal dari kata yakni Friend yang berarti teman dan Napster yang artinya fenomena. Puncak kesuksesannya pada tahun 2008 dengan pengguna bulanan sekitar 37,1 juta membawa media sosial ini mendapat suntikan dana lebih dari 50 juta dolar.

Lima tahun sebelumnya pada 2003 Google sempat ingin membeli Friendster seharga 30 juta dolar namun tawaran tersebut ditolak. Hingga akhirnya popularitas Friendster meredup pasca kemunculan Facebook. Media sosial bikinan Mark Zuckerberg terus melakukan modifikasi hingga memenangkan pasar.

Akankah ada kejutan menarik yang akan dibawa Friendster setelah come back, pada laman resminya tertulis “A NEW ERA OF PERSONALIZED NETWORKING” disusul dengan “Bringing it Back to the People”.

Nampaknya Friendster telah belajar dari kegagalan masa lalunya, hingga meyakinkan dengan kalimat persuasif “Temukan kembali pesona era awal jejaring sosial, yang kini diremajakan dengan sentuhan kontemporer. Friendster lebih baik dari sebelumnya dan untuk semua orang”.

Salah satu pengguna lawas Friendster yakni Putri Asriyani mengaku ingin mencoba dan bernostalgia dengan media sosial yang dulu membawanya berselancar mencari kenalan baru.

“Boleh (mencoba menggunakan) ingin bernostalgia. Dulu sekitar tahun 2007 pakai, di Friendster yang aku lakukan adalah membuat profil, upload foto hampir sama seperti facebook tapi lebih nyaman pakai facebook. Ajang chat cari kenalan, terus tukeran nomor HP. Kendalanya internet saat itu tidak seperti sekarang, harus ke warnet dulu,” ujarnya.

Tak hanya Putri, sambutan hangat juga datang dari pengguna lawas lainnya yakni Pambudi Wicaksono yang telah mendaftar dalam antrean.

“Iya aku sudah daftar Friendster,” ungkapnya.

Jika pengguna lawas telah menanti ingin bernostalgia, bagaimana dengan Gen Z? Hingga saat ini belum ada data atau survei terkait ketertarikan Gen Z terkait apakah inggin mencoba menggunakan Friendster.

Namun salah satu Gen Z generasi awal yakni Ajeng Putri Andani menyebut belum tertarik untuk mencoba daftar karena telah memiliki deretan media sosial di gadgetnya.

“Enggak tertarik, sosmedku terlalu banyak,” tandasnya.

Namun jawaban tersebut belum mampu mewakili suara Gen Z terkait hal ini. Lantas bagaimana denganmu Comms akankah tertarik menjajal menggunakan Friendster?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Semangka
Reading Time: 4 minutes

Seruan membela Palestina atas tindak kejahatan kemanusiaan oleh Israel yang terjadi di sepanjang jalur Gaza terus menggema. Seruan ini diekspresikan lewat ilustrasi buah semangka yang menjadi simbol Palestina tak henti-hentinya menghiasi media sosial.

Media sosial menjadi ruang ekspresi dan advokasi yang dilakukan oleh berbagai pihak di Indonesia untuk mendukung pembebasan Palestina. Tak hanya itu, baru saja Aksi Damai Bela Palestina digelar di Monumen Nasional (Monas) pada Minggu, 5 November 2023.

Ilustrasi buah semangka menjadi properti yang melengkapi aksi damai dari pagi hingga siang. Mulai dari masyarakat, influencer, hingga publik figur turun ke jalan dengan mengibarkan poster ilustrasi buah semangka.

Deretan petinggi negeri turut hadir, seperti Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, hingga Muhadjir Effendi selaku Menko PMK turut hadir dalam gelaran aksi damai tersebut. Secara tegas Indonesia mendeklarasikan dukungan pembebasan Palestina.

“Atas nama pemerintah Indonesia, kami ingin menegaskan kembali dukungan Indonesia pada perjuangan bangsa Palestina,” ujar Menlu Retno Marsudi, dikutip pada laman Kompas.com.

Senada dengan Menlu, Yaqut Cholil Qoumas menegaskan jika membela Palestiana adalah bentuk membela kemanusiaan.

“Posisi Indonesia jelas. Kita akan berdiri bersama Palestina. Membela rakyat Palestina adalah membela kemanusiaan,” ujarnya dikutip dalam laman resmi Kemenag RI.

Sejak 7 Oktober 2023, Hamas atau Harrakat al-Muqawwamatul Islamiyah memulai gerakan sebagai tanda eskalasi antara Palestina dan Israel sejak keterlibatan perang pada tahun 2021 yang berlangsung selama 11 hari. Gerakan yang dilakukan Hamas merupakan bentuk respon atas kekejaman Israel selama beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan update terkini (6 November 2023) dilansir dari laman Aljazeera, korban tewas di jalur Gaza terus meningkat setidaknya 9.770 warga Palestina meninggal dalam serangan Israel dan 1.400 orang Israel tewas atas serangan Hamas sejak 7 Oktober lalu.

Makna dan Sejarah Buah Semangka untuk Palestina

Mengulik sejarah tentang simbol buah semangka yang digunakan untuk menyerukan pembelaan terhadap Palestina dari tragedi kemanusiaan sebenarnya telah terjadi sejak 1967. Mengutip dari laman media Time, hal ini dilakukan perang enam hari pasca Israel menguasai jalur Gaza.

Di tahun 2023, kejadian berulang pada bulan Januari Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir memberikan perintah kepada polisi untuk menyita bendera Palestina. Disusul pemungutan suara atas rancangan undang-undang yang melarang orang-orang mengibarkan bendera Palestina di kantor pemerintahan termasuk universitas pada bulan Juni lalu.

Berdasarkan penuturan dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Muzayin Nazaruddin, S.Sos., MA yang mengkaji lebih dalam terkait ilmu semiotik dan komunikasi, buah semangka dipilih karena memiliki nilai historis. Tak hanya itu, pada tahun 1967 pihak Israel juga melarang pengibaran bendera Palestina. Mereka menganggap mengibarkan bendera Palestina di ruang publik adalah tindakan kriminal.

“Semangka (dan sendok) adalah simbol perlawanan Palestina. Tentu, keduanya punya kisah historis masing-masing mengapa menjadi simbol perlawanan Palestina. Semangka menjadi simbol perlawanan sejak 1960-an ketika Perang Enam Hari 1967 terjadi dan Israel melarang pengibaran bendera Palestina karena dikhawatirkan bisa mengobarkan semangat nasionalisme Arab-Palestina,” tuturnya.

Tak sekedar warna buah semangka yang mewakili bendera Palestina, buah ini ternyata juga berkaitan dengan aspek kedaulatan pangan. Semangka merupakan varietas yang tumbuh subur di Palestina. Mengutip dari Tempo, selama masa Intifada tahun 1987-1993, Israel melarang petani Palestina menanam semangka yang dikenal dengan Jadu’i. hal ini dilakukan demi menekan pemberontakan mengingat sumber perekonomian terbesar dari bidang pertanian.

“Semangka dipilih karena kesamaan warna dengan bendera Palestina. Tentu saja, pilihan itu historis dan kontekstual, warga Palestina memilih semangka karena memang buah itu tumbuh subur di negara mereka. Kebetulan semangka, ketika dibelah, memiliki paduan warna yang sama dengan bendera negara Palestina,” tambah Muzayin.

Kampanye Semangka di Media Sosial

Saat ini ilustrasi semangka telah menjadi bagian dari kampanye di berbagai media, termasuk media sosial hingga media masa. Beberapa laman berita online nasional seperti Republika dan Detik dengan lugas menyisipkan ilustrasi semangka pada logo portalnya.

Begitupun dengan para influencer di tanah air yang terus menerus menerus membagikan ilustrasi dan emoticon semangka di akun media sosialnya untuk sebagai bentuk advokasi pembebasan Palestina.

Meski di Indonesia sebenarnya tak ada larangan mengunggah bendera Palestina, simbol semangka digunakan untuk menghindari sensor dunia maya.

“Dalam invasi Israel di tahun 2023 ini, semangka kembali menjadi simbol yang populer karena bisa menghindari sensor ‘dunia maya’. Yang menarik adalah ketika penggunaan simbol semangka itu mengglobal, orang dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, menggunakan semangka sebagai bentuk dukungan dan simpati mereka pada penduduk Palestina. Bukankah mereka, yang di luar Palestina, bisa dengan bebas mengibarkan bendera Palestina ketika berunjuk rasa? Mengapa mereka memilih semangka?,” ujarnya.

Secara umum, menyerukan aksi dengan mengibarkan bendera saat berdemonstrasi atau melakukan berbagai gerakan perlawanan adalah pilihan yang tampak gagah dan patriotik. Bendera dikibarkan dengan gagah, dengan semangat kuat membela bendera itu sendiri.

Namun, lebih dari itu semangka adalah pilihan yang berbeda. Jika bendera hanya menunjukkan perang antara negara, semangka adalah tentang kejahatan kemanusiaan.

“Sementara, pilihan semangka menunjukkan hal yang sangat berbeda. Yang terjadi bukanlah perang dua negara, “dua bendera”, yang sama-sama kuat, yang sama-sama mengibarkan bendera dengan gagah, yang memperjuangkan klaimnya masing-masing. Yang terjadi adalah “kejahatan kemanusiaan” dari satu negara yang mengibarkan bendera mereka dengan pongah, terhadap negara lain yang bahkan untuk mengibarkan bendera mereka pun tidak boleh,” jelasnya.

Dengan mengkampanyekan ilustrasi ini, masyarakat global diingatkan untuk terus membuka mata betapa pilu dan terkoyaknya kondisi Palestina saat ini.

“Semangka adalah simbol perlawanan yang ‘pilu’ dan ‘terkoyak’. Ketika masyarakat global memilih simbol itu, kita sebenarnya tengah mendefinisikan apa yang tengah terjadi, kemanusiaan yang tercabik dan kepiluan karena ketidakmampuan, bahkan warga global sekalipun, untuk segera menghentikan itu,” tandasnya.

Media sebagai ruang ekspresi dan advokasi pembebasan untuk Palestina. Secara tidak langsung masyarakat global yang memposting ilustrasi semangka di media sosial secara berulang telah melakukan propaganda untuk membela mereka yang tertindas.

Bagaimana dengan dirimu Comms, sudahkah turut mengkampanyekan semangka di media sosial sebagai bentuk aksi kemanusiaan?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Typing ganteng
Reading Time: 3 minutes

Ada saja hal baru yang mengiringi perjalanan Gen Z di media sosial, terutama soal typing atau cara mengetik. “Typing ganteng” atau “typing cantik” adalah tren yang menjadi identitas dan perjalanan Gen Z di media sosial.

Kronologi kemunculan istilah typing ganteng bermula sekitar tahun 2019 dipopulerkan oleh Ivan Lanin, seorang yang melabeli dirinya sebagai Wikipediawan pecinta bahasa Indonesia. Ivan membagikan ilmunya terkait tata bahasa Indonesia sesuai EYD melalui Twitter dan berbagai platform media sosial lainnya.

Mengutip definisi dari Oxford English Dictionary, typing adalah kegiatan menulis atau menyalin dengan menggunakan mesin ketik. Sementara pada kondisi saat ini kegiatan typing dilakukan dengan laptop, komputer, hingga smartphone.

Sementara typing ganteng yang dipopulerkan Ivan Lanin didefinisikan sebagai gaya menulis atau chat yang rapi sesuai kaidah penulisan EYD agar enak dibaca. Berkat mempopulerkan typing ganteng, Ivan Lanin dijuluki sebagai Bapak Typing Ganteng Nasional.

Lantas mengapa Gen Z kini memilih untuk mengikuti tren typing ganteng di media sosial? Menurut salah satu mahasiswa Sastra Inggris Universitas Brawijaya, Rida Bawa Carita yang merupakan Gen Z menyebutkan alasan mengikuti tren typing ganteng agar tak dianggap sebagai sosok yang tertinggal.

“Agar lebih kerasa santai (typing ganteng), soalnya kalau typing alay merasa chattingan dengan orang yang tertinggal banget. Kita sudah 2023 dia masih 2010,” ungkapnya.

Mahasiswa Sastra Inggris itu menyebut, typing ganteng wajib dilakukan kepada orang yang baru saja ia kenal untuk menciptakan kesan positif.

Typing ganteng untuk yang baru kenal, minimal tidak chat “aku” dengan “aq”. Minimal sesuai EYD,” tambahnya.

Hal ini juga diamini oleh Iven Sumardiyantoro selaku Gen Z awal yang lahir di tahun 1997. Ia berani melakukan typing alay ketika bersama sahabatnya, sementara bersama pacarnya yang sama-sama Gen Z wajib typing ganteng.

Typing alay hanya sama sahabat dekat, kalau sama pacar typing ganteng. Dia (pacar) selalu chat sesuai EYD, menulis nama dengan awalan huruf kapital,” ujarnya.

Dalam berbagai artikel populer yang diterbitkan oleh beberapa portal media online menyebut bahwa typing ganteng adalah tips untuk mendapatkan citra positif dalam langkah pendekatan dengan gebetan.

Seperti dalam artikel yang terbit pada Kumparan.com berjudul “Pengertian Typing Ganteng dan Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan agar PDKT Lancar” lalu artikel berjudul “Apa Sih Arti Typing Ganteng? Benarkah Bisa Bikin Netizen Jatuh Hati?” pada portal Grid Kompas Gramedia, hingga “7 Cara Typing Ganteng yang Bikin Lancar PDKT Sama Cewek Gen Z” di laman IDN Media yang memberi framing bahwa cara mengetik yang baik dan benar akan memberi kesan positif dan tidak berlebihan di mata calon gebetan.

Selain berbagai artikel tersebut, viral di TikTok berbagai kalimat “muka gak harus ganteng, tapi kalau typing harus ganteng” yang telah ditonton 1,9 juta pengguna TikTok, “ganteng itu bonus, typing ganteng itu harus” yang ditonton sekitar 2,8 juta pengguna TikTok.

Typing ganteng identitas bagi Gen Z?

Jika menulis dengan gaya alay sempat tren di tahun 2000an hingga 2010 dan menjadi identitas bagi generasi pengguna Facebook awal, tampaknya typing ganteng menjadi identitas Gen Z dalam perjalanan di media sosial.

Mengutip dalam Psychology Today, identitas mencakup nilai yang dianut oleh seseorang yang menentukan pilihan dan keputusan yang diambil. Identitas dalam diri seseorang akan terus berkembang sepanjang hidup berdasarkan pengalaman.

Berdasarkan data yang dipublish GWI, salah satu lembaga market research di Amerika Serikat, menyebut bahwa salah satu karakter Gen Z adalah menggunakan media sosial dengan cara yang unik, 11% Gen Z menyebut bahwa media sosial adalah tempat mencari inspirasi.

Sehingga tren positif dengan typing ganteng ini bisa menjadi motivasi dan inspirasi untuk membentuk citra positif pada diri Gen Z.

Ciri-ciri typing ganteng

Bagi Anda yang masih bingung dengan typing ganteng yang dipopulerkan Ivan Lanin, berikut empat ciri-ciri yang mudah dikenali dan dapat dilakukan agar tak dianggap alay di media sosial.

  1. Tidak menyingkat kata

Ciri utama dalam typing ganteng adalah tidak menyingkat kata. Gunakan kata yang benar sesuai EYD, seperti kata “banget” tidak disingkat “bgt” dan singkatan-singkatan lainnya.

  1. Mengakhiri kalimat dengan titik

Konsep typing ganteng adalah rapi dan enak dibaca, untuk mengakhiri kalimat gunakan tanda titik untuk menampilkan kesan cool dan berwibawa.

  1. Tanda baca sesuai fungsi

Ciri typing ganteng selanjutnya adalah menggunakan tanda baca sesuai fungsi baik seperti koma, titik, tanda seru, hingga huruf yang tidak dobel. Kata “iya” tidak ditulis “iyaaa!”.

  1. Menggunakan kata sesuai EYD bukan kata alay

Typing alay mungkin sangat populer di tahun 2000an awal, namun hal ini benar-benar haram pada konsep typing ganteng. Penulisan kata “aku” bukan “aq” semua kata ditulis sesuai kaidah EYD.

Demikian informasi terkait typing ganteng yang menjadi identitas Gen Z di media sosial. Lantas bagaimana menurutmu, Comms? Apakah typing ganteng akan menjadi identitas yang Gen Z di media sosial?

 

Penulis: Meigitaria Sanita