Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia (RI) menandatangani Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama pada Jumat, 26 April 2024, di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito UII.
Secara umum, nota kesepahaman tersebut melingkupi bidang pendidikan dan penyuluhan HAM, bidang pengkajian dan penelitian HAM, bidang pengabdian masyarakat, serta bidang-bidang lainnya yang dapat dilakukan bersama.
Setelah Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dan Ketua Komnas HAM RI, Dr. Atnike Nova Sigiro, M.Sc meneken nota kesepahaman, acara dilanjutkan dengan diskusi panel bertajuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Negara Demokrasi.
Fathul Wahid menegaskan pentingnya isu tersebut, mulai dari fakta-fakta yang terjadi di lapangan hingga tekanan dan ancaman yang dialami oleh sejumlah jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
“Banyak alasan dan fakta di lapangan berbicara ternyata kebebasan berpendapat dan berekspresi di banyak pojok itu merupakan barang mewah dan bukan tanpa risiko dan kita punya beberapa saksi,” ujarnya.
“Kebebasan berpendapat seorang jurnalis dituntut karena sebuah berita oleh pemerintah provinsi senilai Rp700 miliar. Ternyata kebebasan berpendapat itu tidak sesuatu yang bisa kita nikmati begitu saja. Kita berharap di negara demokrasi kebebasan itu terjamin, di Indonesia dijamin konstitusi tapi pelaksanaanya bisa jadi agak berbeda,” tambahnya memberikan contoh kasus.
Atnike Nova Sigiro dalam sambutannya juga menyebut selain “melanjutkan kolaborasi yang selama ini dilakukan antara UII dengan Komnas HAM” ia juga menggarisbawahi terkait hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah syarat mutlak untuk pengembangan diri warga negara.
Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Negara Demokrasi
Diskusi panel tersebut menghadirkan lima pakar antara lain Dr. Herlambang P. Wiratraman, S.H., M.A. (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik); Dr. Abdul Haris Semendawai, S.H., LL.M. (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI); Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si. (Ilmu Komunikasi UII dan Forum Cik di Tiro); Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si. (Fakultas Hukum UII dan PYBW UII); dan Fatia Maulidiyanti (International Federation for Human Rights).
Diskusi dibuka oleh Dr. Herlambang P. Wirataman, S.H., M.A. yang membahas detail terkait kebebasan akademik. Berdasarkan temuan-temuan risetnya, sejak tahun 2015 kondisi di Indonesia tidak baik-baik saja.
Sementara baru-baru ini menjelang pesta demokrasi di Indonesia, deretan rektor di perguruan tingga dipaksa menyuarakan citra positif untuk kepentiang politik tertentu.
“Model baru otoritarianisme memanfaatkan informasi sebagai alat manipulasi itu pararel dengan temuan saya memperlihatkan bahwa kebebasan akademik mendapat serangan-serangan itu dan dianggap narasi-narasi yang muncul adalah narasi yang sebenarnya dominan tapi represif seperti hal yang dimaklumkan,” jelasnya.
“Peristiwa menjelang pemilu misalnya ketika rektor-rektor ditekan untuk mendapatkan citra positif Jokowi itu dianggap biasa saja. Padahal itu serangan yang paling memalukan,” tambahnya.
Menurutnya, gerakan kebebasan akademik sangat penting dilakukan demi mengawal perlawanan hukum dan konstitusional.
“Sehingga gerakan kebebasan akademik dan solidaritasnya harus dikuatkan agar pencerdasan kewargaan tumbuh dan dapat menjaga negara hukum demokratis dengan mengawal perlawanan hukum dan konstitusional,” tandasnya.
Temuan tersebut sejalan dengan data yang ditemukan oleh Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si. yang kini tengah sibuk menjadi pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi UII. Beliau menegaskan soal kebebasan berekspresi dan kebebasan pers merupakan bagian tak terpisahkan.
“Antara kebebasan berkespresi dan kebebasan pers sebetulnya dua sisi mata uang. Jika kita merujuk banyak scholar bahwa kebebasan berekspresi tidak akan terjadi jika tidak ada kebebasan pers,” jelasnya.
Sulitnya situasi yang terjadi di Indonesia terjadi karena demokrasi yang buruk. Masduki menyebut pers saat ini berbasis internet tidak cukup bebas, kebebasan tersebut adalah mitos. Karena faktanya Indonesia adalah kategori partly free dalam penggunaan internet.
“Indonesia juga bukan termasuk negara yang free, orang bebas menyampaikan apapun di internet kan tidak. Kita dimasukkan dalam kategori partly free. Negara-negara yang free pasti dengan sistem demokrasi yang baik,” tambahnya.
Tak hanya di internet, tekanan-tekanan juga dilakukan dengan kalimat-kalimat represif. Hal ini terjadi pada hajatan besar pesta politik dI mana akademisi di perguruan tinggi negeri dipaksa bungkam atas dasar netralitas.
“Ada penggunaan bahasa yang sangat represif terhadap teman-teman akademisi terutama di perguruan tinggi negeri. Jadi saya mengajak banyak sekali kawan di PTN untuk menyuarakan kritik terhadap politik dinasti misalnya tetapi kemudian mereka tersandera dengan kalimat ‘yang namanya ASN ini harus netral’. Jadi ada diksi netralitas kalau merujuk Pierre Bourdieu bahasa itu sebagai alat control atas kebebasan berpikir,” pungkasnya.
Diskusi lengkap dapat disaksikan melalui kanal YouTube brikut: