Kunjungan ke UUM
Reading Time: 3 minutes

Bertandang ke Malaysia selama tiga hari, Kaprodi Ilmu Komunikasi UII beserta jajarannya membawa kabar segar bagi kita semua. Pasalnya telah terjadi kesepakatan beberapa program antara Prodi Ilmu Komunikasi UII dengan School of Creative Industry Management and Performing Arts (SCIMPA) Universiti Utara Malaysia (UUM).

Kedua belah pihak intens melakukan berbagai kesepakatan dan kegiatan selama tiga hari yakni 4-6 November 2023. Ada dua hal utama yang menjadi kesepakatan dan realisasi kerja sama yakni Pendidikan dan Pengajaran serta Riset dan Publikasi.

Sebenarnya antara Prodi Ilmu Komunikasi UII dengan SCIMPA UUM kerap kali berkolaborasi dalam berbagai program internasional. Beberapa program yang telah berjalan adalah Exchange Program serta Passage to Asean atau sering dikenal dengan P2A.

Menurut Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, Bapak Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D., kegiatan berlangsung dengan sangat lancar dan hangat. Kedatangan Prodi Ilmu Komunikasi UII disambut oleh Dekan, dosen, serta mahasiswa dari SCIMPA UUM.

“Rangkaian pertemuan dan pelaksanaan kerjasama Prodi kita dengan SCIMPA UUM berjalan lancar dan produktif. Sejak kedatangan di hari Sabtu malam, kami disambut hangat di Bandara langsung oleh Dekan, Wakil Dekan dan dosen-dosen, serta perwakilan lembaga mahasiswa di SCIMPA,” terangnya dalam pesan tertulis.

Selama diskusi suasana begitu cair, bahkan kedua pihak sempat berbalas pantun yang menjadi warisan budaya Melayu.

“Semua agenda pertemuan sangat hangat dan sempat berbalas pantun,” sebutnya lagi mendeskripsikan keseruan yang terjadi.

Beberapa program yang segera direalisasikan salah satunya adalah Dual Degree, lantas apa saja program lainnya?

Kunjungan ke UUM

Suasana di perpustakaan UUM, Foto: Dok Pribadi

Pendidikan dan Pengajaran

Dalam bidang Pendidikan dan Pengajaran, salah satu program yang sudah 100 persen disepakatai adalah Dual Degree. Diskusi terkait schedule, biaya, prosedur, kriteria, hingga kurikulum.

Kemungkinan pembukaan dan pelaksanaan program Dual Degree akan direalisasikan pada tahun 2024 mendatang.

“Alhamdulilah kita telah bersepakat akan menjalankan kerjasama program Dual Degree. Kemarin saya mewakili Prodi juga sudah presentasi yang dilanjutkan berdiskusi intensif tentang pembahasan teknis. Pembukaan dan pelaksanaan Dual Degree tahun depan,” jelas Kaprodi Ilmu Komunikasi UII.

Dual Degree adalah program perkuliahan untuk meraih dua gelar akademis sekaligus (gelar sarjana ganda) dalam satu periode studi. Biasanya Dual Degrree didapatkan dari universitas dalam negeri dan luar negeri yang menjalin kerja sama.

Dalam hal ini mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi UII yang bersedia mengikuti program Dual Degree akan mendapat gelar sarjana dari UII dan UUM.

“Beberapa hal teknis masih perlu disesuaikan karena perbedaan standar akademik. Namun demikian, Intinya kita telah 100% bersepakat secara resiprokal,” tegasnya lagi.

Selain Dual Degree, program lainnya adalah Visiting Lecturer baik secara online maupun offline. Salah satu dosen yang telah mengikuti program tersebut adalah Prof. Dr. rer. Masduki.

“Kita diundang menjadi Visiting Lectuter untuk dosen. Dari kita Pak Masduki yang mendaftar, dan diterima,” ungkapnya.

Ketiga adalah UUM International Faculty Exchange Week (IFEX @UUM) yang setiap tahun digelar. Tentu program internasional ini akan melibatkan dan mengundang mahasiswa dari prodi Ilmu Komunikasi UII

Kunjungan ke UUM

Rombongan Prodi Ilmu Komunikasi UII berkesempatan berkeliling di museum UUM, Foto: Dok Pribadi

Riset dan Publikasi

Kerja sama selanjutnya adalah bidang Riset dan Publikasi. Hasil penelitian dari UII berkesempatan terbit di Jurnal UUM, begitupun sebaliknya.

Menariknya ajakan publikasi ini akan membuat suatu proyek buku referensi terkait lansekap dua negara, Indonesia dan Malaysia.

“Jurnal mereka siap menerima artikel dari kita begitu pula sebaliknya. Yang menarik antara lain ajakan publikasi bersama untuk penulisan buku referensi dengan konteks lansekap dua negara.  SCIMPA UUM mengirimkan jurnal dan buku untuk kita,” terang Kaprodi Ilmu Komunikasi UII.

Itulah beberapa kesepakatan dan kerja sama yang segera direalisasikam antara Prodi Ilmu Komunikasai UII dan SCIMPA UUM. Meski dua area program di atas telah disepakati 100 persen, masih ada kemungkinan kerja sama lainnya antara lain pengabdian masyarakat lima negara, riset dan mengajukan grant bersama ke BRIN.

Kunjungan ke UUM kali ini menjadi momen berharga dan penuh keseruan, rombongan dari Prodi Ilmu Komunikasi juga sempat diajak berkeliling mengunjungi Perpustakaan dan Museum di UUM.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Hari Pahlawan
Reading Time: 3 minutes

Sejarah mencatat pasca proklamasi Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, gejolak masih terus terjadi di beberapa daerah. Ketegangan memuncak di Jawa Timur khususnya Surabaya hingga bulan November. Dari sinilah Hari Pahlawan berawal.

Gejolak di Surabaya memuncak kala pengibaran bendera Belanda di Hotel Yamato yang berlokasi di Jalan Tunjungan no 56. Pengibaran bendera dilakukan tanpa izin pemerintah Indonesia memicu kemarahan masyarakat Surabaya.

Merangkum dari laman RRI, setidaknya selama tiga minggu masyarakat Surabaya melakukan perlawanan kepada tantara asing yang ingin mengusai wilayah tersebut. Banyak masyarakat sipil dan tantara Indonesia gugur dalam pertempuran.

Hingga pada 10 November Eric Carden Robert Mansergh, Mayor Jenderal Inggris mengeluarkan ultimatum kepada masyarakat Surabaya untuk menghentikan perlawanan serta menyerahkan diri dan senjata kepada Inggris. Namun semangat masyarakat Surabaya tak padam hingga meraih kemenangan. Dari situlah Surabaya disebut kota pahlawan. Atas sejarah ini dikeluarkanlah Keppres Nomor 316 tahun 1959 oleh Presiden Soekarno, bahwa 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Itulah sejarah singkat tentang Hari Pahlawan, jika Indonesia diperjuangkan dengan sejarah yang berdarah-darah, tak ada salahnya kita belajar sejarah dimana kita berpijak. Bagi civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) ada catatan besar yang ditinggalkan para pejuang. Semua itu dikemas dengan apik melalui film, buku, hingga ukiran prestasi.

  1. Belajar dari Film

Film menjadi media yang ampuh untuk belajar sejarah, ada dua film yang mengisahkan tokoh-tokoh pendiri UII yakni Prof. Sardjito dan K.H. Abdul Kahar Mudzakkir.

Kisah Prof. Sardjito diungkap dalam film dokumenter dengan judul Sardjito Dalam Lukisan Revolusi. Film berdurasi 32 menit itu dirilis pada 18 Juli 2018 dan diputar di 19 titik, 9 kota di antaranya Yogyakarta, Sleman, Bantul, Klaten, Purwokerto, Bogor, Lampung, Tarakan, dan Kupang. Mengutip dari laman resmi UII, film ini merupakan kisah Prof. Sardjito dalam perjuangan revolusi. Perjuangan dimulai dengan mengambil alih Institute Pasteur yang merupakan pabrik vaksin dari tangan penjajah Jepang. Tak berhenti disitu, Prof. Sardjito juga mendirikan Palang Merah Indonesia.

Catatan perjuangannya cukup panjang, di masa revolusi tahun 1945-1950 beliau menginisiasi pendirian Perguruan Tinggi, Dapur Umum dan Rumah Sakit Darurat pada masa Agresi Militer Belanda. Dengan keilmuan yang dimiliki, beliau juga menciptakan vaksin dan biskuit bagi tantara pejuang. Kecerdasannya juga digunakan untuk Menyusun strategi dan rute gerilya Nasution, serta menyuplai obat dan logistik pada gejolak Bandung Lautan Api dan Serangan Umum 1 Maret 1949. Kisah lengkap Prof. Sardjito juga diabadikan dalam buku berjudul Perjoangan Rakyat Klaten.

Kedua, film dokumenter K.H. Abdul Kahar Muzakkir yang berdurasi 35 menit ini merupakan hasil riset dari mahasiswa Program Studi MIAI FIAI UII konsentrasi Pendidikan Islam mata kuliah Pemikiran Pendidikan Islam yang didampingi Dr. Junanah MIS.

Dalam film bertajuk Mentari dari Boharen itu merupakan paparan kesaksiam hidup dari orang-orang yang sempat bertemu langsung dengan K.H Abdul Kahar Muzakir. Dalam cerita itu, para saksi hidup mengisahkan perjuangan K.H Abdul Kahar Muzakir yang telah memperjuangkan kemerdekan hingga mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kini menjadi UII.

  1. Tokoh-tokoh UII yang Meraih gelar Pahlawan Nasional

UII didirikan oleh deretan tokoh bangsa, dari beberapa nama itu ada tiga tokoh yang mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia. Mereka adalah Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir, Prof. Sardjito, dan K.H. Sanusi.

Prof. K.H. abdul Kahar Muzakkir adalah rektor pertama UII periode 1945-1960, sementara Prof. Sardjito adalah rektor ketiga UII periode 1963-1970. Keduanya mendapat anugerah gelar pahlawan nasional melalui keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120/TK tahun 2019 tertanggal 7 November 2019.

Selanjutnya, adalah K.H. Ahmad Sanusi, beliau menerima anugerah gelar pahlawan nasional melalui Keppres Nomor 96 TK Tahun 2022 pada 3 November 2022.

Dengan anugerah ini Prof. Fathul Wahid selaku rektor UII menyebut jika nilai keislaman, intelektualitas, dan nilai-nilai kebangsaan melekat erat di kampus Ulil Albab ini.

“Ketika warga, rajyat, masyarakat, sedang berjuang, maka UII libur, dikala Jogja pad waktu itu terlibat konflik. UII bersama dengan rakyat mempertahankan republik ini,” tutur Prof. Fathul Wahid dilansir dari laman UII.

  1. Meneladani Artidjo Alkostar

Sosok Artidjo Alkostar disebut-sebut sebagai sosok paling menakutkan bagi koruptor negeri ini. Beliau kerap dianggap sebagai Algojo para koruptor.

Beliau lahir di Situbondo pada 22 Mei 1948 dan meninggal di Jakarta pada 28 merupakan alumnus Fakultas Hukum UII yang mendedikasikan hidupnya untuk Indonesia. Kariernya di bidang hukum sebagai pengacara, hakim, akademisi hukum Indonesia, serta pernah menjabat sebagai Hakim Agung dan Ketua Kamar Pidana Mahkamah RI.

Artidjo Alkostar tekenal dengan ketegasannya yang memvonis hukuman koruptor cenderung lebih berat terhadap terpidana kasus korupsi. Tak hanya itu, kerap kali beliau mengeluarkan dissenting opinion dalam berbagai kasus besar.

“Kita akan selalu mengingat keberaniannya, idealismenya, kejujurannya, kesederhanaanya, dan banyak hal terpuji lainnya yang patut dicontoh oleh generasi muda,”

Ari Yusuf Amir, Sekjen IKA UII sekaligus Pengacara Senior

“Selama saya di Mahkamah Agung saya tidak pernah mendengar ada cattab atau pengaduan tentang Artidjo Alkostar. Yang sangat mengagumkan, integritas sosok Artidjo Alkostar terjaga hingga akhir hayatnya,”

Prof. Dr. Syarifuddin, Ketua Mahkamah Agung RI

“Beliau sosok yang sangat menjaga apa yang ia sebut sebagai akal sehat atau sukma agar tidak tercemar dari segala hal kotor atau godaan. Dan beliau tidak hanya berkata tapi benar-benar mencontohkan. Hal itu dibuktikan saat beliau menjabat sebagai Hakim Agung,”

Prof. Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia

Artidjo Alkostar adalah pahlawan penegakan hukum di Indonesia, atas integritasnya, dipercaya menjadi Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta pada Agustus 2021 menerima anugerah gelar Bintang Mahaputera Adipradana dari Presiden Joko Widodo, dan teranyar penghargaan Lifetime Achievement dari Metro TV dalam ajang People of The Year 2021.

Itulah rentetan catatan sejarah di UII, mereka adalah pahlawan yang membawa perubahan besar tak hanya untuk UII namun juga negara.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Semangka
Reading Time: 4 minutes

Seruan membela Palestina atas tindak kejahatan kemanusiaan oleh Israel yang terjadi di sepanjang jalur Gaza terus menggema. Seruan ini diekspresikan lewat ilustrasi buah semangka yang menjadi simbol Palestina tak henti-hentinya menghiasi media sosial.

Media sosial menjadi ruang ekspresi dan advokasi yang dilakukan oleh berbagai pihak di Indonesia untuk mendukung pembebasan Palestina. Tak hanya itu, baru saja Aksi Damai Bela Palestina digelar di Monumen Nasional (Monas) pada Minggu, 5 November 2023.

Ilustrasi buah semangka menjadi properti yang melengkapi aksi damai dari pagi hingga siang. Mulai dari masyarakat, influencer, hingga publik figur turun ke jalan dengan mengibarkan poster ilustrasi buah semangka.

Deretan petinggi negeri turut hadir, seperti Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, hingga Muhadjir Effendi selaku Menko PMK turut hadir dalam gelaran aksi damai tersebut. Secara tegas Indonesia mendeklarasikan dukungan pembebasan Palestina.

“Atas nama pemerintah Indonesia, kami ingin menegaskan kembali dukungan Indonesia pada perjuangan bangsa Palestina,” ujar Menlu Retno Marsudi, dikutip pada laman Kompas.com.

Senada dengan Menlu, Yaqut Cholil Qoumas menegaskan jika membela Palestiana adalah bentuk membela kemanusiaan.

“Posisi Indonesia jelas. Kita akan berdiri bersama Palestina. Membela rakyat Palestina adalah membela kemanusiaan,” ujarnya dikutip dalam laman resmi Kemenag RI.

Sejak 7 Oktober 2023, Hamas atau Harrakat al-Muqawwamatul Islamiyah memulai gerakan sebagai tanda eskalasi antara Palestina dan Israel sejak keterlibatan perang pada tahun 2021 yang berlangsung selama 11 hari. Gerakan yang dilakukan Hamas merupakan bentuk respon atas kekejaman Israel selama beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan update terkini (6 November 2023) dilansir dari laman Aljazeera, korban tewas di jalur Gaza terus meningkat setidaknya 9.770 warga Palestina meninggal dalam serangan Israel dan 1.400 orang Israel tewas atas serangan Hamas sejak 7 Oktober lalu.

Makna dan Sejarah Buah Semangka untuk Palestina

Mengulik sejarah tentang simbol buah semangka yang digunakan untuk menyerukan pembelaan terhadap Palestina dari tragedi kemanusiaan sebenarnya telah terjadi sejak 1967. Mengutip dari laman media Time, hal ini dilakukan perang enam hari pasca Israel menguasai jalur Gaza.

Di tahun 2023, kejadian berulang pada bulan Januari Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir memberikan perintah kepada polisi untuk menyita bendera Palestina. Disusul pemungutan suara atas rancangan undang-undang yang melarang orang-orang mengibarkan bendera Palestina di kantor pemerintahan termasuk universitas pada bulan Juni lalu.

Berdasarkan penuturan dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Muzayin Nazaruddin, S.Sos., MA yang mengkaji lebih dalam terkait ilmu semiotik dan komunikasi, buah semangka dipilih karena memiliki nilai historis. Tak hanya itu, pada tahun 1967 pihak Israel juga melarang pengibaran bendera Palestina. Mereka menganggap mengibarkan bendera Palestina di ruang publik adalah tindakan kriminal.

“Semangka (dan sendok) adalah simbol perlawanan Palestina. Tentu, keduanya punya kisah historis masing-masing mengapa menjadi simbol perlawanan Palestina. Semangka menjadi simbol perlawanan sejak 1960-an ketika Perang Enam Hari 1967 terjadi dan Israel melarang pengibaran bendera Palestina karena dikhawatirkan bisa mengobarkan semangat nasionalisme Arab-Palestina,” tuturnya.

Tak sekedar warna buah semangka yang mewakili bendera Palestina, buah ini ternyata juga berkaitan dengan aspek kedaulatan pangan. Semangka merupakan varietas yang tumbuh subur di Palestina. Mengutip dari Tempo, selama masa Intifada tahun 1987-1993, Israel melarang petani Palestina menanam semangka yang dikenal dengan Jadu’i. hal ini dilakukan demi menekan pemberontakan mengingat sumber perekonomian terbesar dari bidang pertanian.

“Semangka dipilih karena kesamaan warna dengan bendera Palestina. Tentu saja, pilihan itu historis dan kontekstual, warga Palestina memilih semangka karena memang buah itu tumbuh subur di negara mereka. Kebetulan semangka, ketika dibelah, memiliki paduan warna yang sama dengan bendera negara Palestina,” tambah Muzayin.

Kampanye Semangka di Media Sosial

Saat ini ilustrasi semangka telah menjadi bagian dari kampanye di berbagai media, termasuk media sosial hingga media masa. Beberapa laman berita online nasional seperti Republika dan Detik dengan lugas menyisipkan ilustrasi semangka pada logo portalnya.

Begitupun dengan para influencer di tanah air yang terus menerus menerus membagikan ilustrasi dan emoticon semangka di akun media sosialnya untuk sebagai bentuk advokasi pembebasan Palestina.

Meski di Indonesia sebenarnya tak ada larangan mengunggah bendera Palestina, simbol semangka digunakan untuk menghindari sensor dunia maya.

“Dalam invasi Israel di tahun 2023 ini, semangka kembali menjadi simbol yang populer karena bisa menghindari sensor ‘dunia maya’. Yang menarik adalah ketika penggunaan simbol semangka itu mengglobal, orang dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, menggunakan semangka sebagai bentuk dukungan dan simpati mereka pada penduduk Palestina. Bukankah mereka, yang di luar Palestina, bisa dengan bebas mengibarkan bendera Palestina ketika berunjuk rasa? Mengapa mereka memilih semangka?,” ujarnya.

Secara umum, menyerukan aksi dengan mengibarkan bendera saat berdemonstrasi atau melakukan berbagai gerakan perlawanan adalah pilihan yang tampak gagah dan patriotik. Bendera dikibarkan dengan gagah, dengan semangat kuat membela bendera itu sendiri.

Namun, lebih dari itu semangka adalah pilihan yang berbeda. Jika bendera hanya menunjukkan perang antara negara, semangka adalah tentang kejahatan kemanusiaan.

“Sementara, pilihan semangka menunjukkan hal yang sangat berbeda. Yang terjadi bukanlah perang dua negara, “dua bendera”, yang sama-sama kuat, yang sama-sama mengibarkan bendera dengan gagah, yang memperjuangkan klaimnya masing-masing. Yang terjadi adalah “kejahatan kemanusiaan” dari satu negara yang mengibarkan bendera mereka dengan pongah, terhadap negara lain yang bahkan untuk mengibarkan bendera mereka pun tidak boleh,” jelasnya.

Dengan mengkampanyekan ilustrasi ini, masyarakat global diingatkan untuk terus membuka mata betapa pilu dan terkoyaknya kondisi Palestina saat ini.

“Semangka adalah simbol perlawanan yang ‘pilu’ dan ‘terkoyak’. Ketika masyarakat global memilih simbol itu, kita sebenarnya tengah mendefinisikan apa yang tengah terjadi, kemanusiaan yang tercabik dan kepiluan karena ketidakmampuan, bahkan warga global sekalipun, untuk segera menghentikan itu,” tandasnya.

Media sebagai ruang ekspresi dan advokasi pembebasan untuk Palestina. Secara tidak langsung masyarakat global yang memposting ilustrasi semangka di media sosial secara berulang telah melakukan propaganda untuk membela mereka yang tertindas.

Bagaimana dengan dirimu Comms, sudahkah turut mengkampanyekan semangka di media sosial sebagai bentuk aksi kemanusiaan?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Konferensi
Reading Time: 4 minutes

Dua pengajar dari Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) bulan lalu berkesempatan mempresentasikan hasil risetnya di Sydney, Australia. Konferensi bertajuk “Indonesia Council Open Conference (ICOC) 2023” yang diselenggarakan oleh The Sydney Southeast Asia Centre at the University of Sydney and Humanitarian and Development Studies at Western Sydney University pada 25-27 September 2023.

Tema yang dipilih dalam ICOC 2023 adalah “Indonesia 25 Years On”, tema ini dipilih untuk menandai seperempat abad penolakan otoritarianisme di Indonesia setelah lengsernya Presiden Suharto pada Mei 1998.

Riset-riset yang dilakukan oleh para akademisi di berbagai disiplin ini diharapkan mampu menjawab kondisi Indonesia masa kini setelah jutaan orang turun ke jalan melakukan protes atas kekacauan ekonomi dan sosial masa itu.

Dua dosen yang berkesempatan mempresentasikan hasil risetnya adalah Dr. Herman Felani Tandjung, S.S., MA dan Dr. Subhan Afifi, S.Sos., M.Si.

Setidaknya ada tiga riset dari Prodi Ilmu Komunikasi UII yang dipresentasikan pada ICOC 2023, riset-riset tersebut antara lain “From Agriculture to Tourism: The Race of  Villages in the Magelang area to become tourist attractions”,Digital Health Communication in Indonesia: Opportunities and Challenges”, dan “Sousveillance and New Social Control in Digital Democracy in the Present Indonesia”.

  1. From Agriculture to Tourism

Artikel berjudul “From Agriculture to Tourism: The Race of Villages in the Magelang Area to Become Tourist Attractions” merupakan hasil riset yang dilakukan oleh Dr. Herman Felani Tandjung.

“Banyak desa di Magelang berlomba lomba untuk menjadi desa wisata yang justru menimbulkan masalah lingkungan dan benturan budaya beberapa warga lebih memilih bekerja di wisata dan meninggalkan dunia pertanian,” ungkap Dr. Herman saat menjelaskan hasil risetnya.

Konferensi

The Sydney Southeast Asia Centre at the University of Sydney and Humanitarian and Development Studies at Western Sydney University

Abstrak:

Dalam satu dekade terakhir, penggunaan media sosial yang masif telah mempengaruhi cara desa berinteraksi dengan dengan orang-orang dari daerah perkotaan. Banyak tempat yang dulunya terpencil dan kurang terpengaruh oleh masyarakat perkotaan, kini telah membuka diri terhadap orang luar, yang sering kali dibentuk oleh eksposur di media sosial. Desa-desa di Magelang, Jawa Tengah kini bertransformasi dari desa-desa pertanian menjadi ‘Desa Wisata’ untuk sebagai tempat wisata. Pergeseran ini didorong oleh pemerintah melalui kebijakan top down untuk meningkatkan ekonomi melalui ekonomi kreatif dan pariwisata. Namun, upaya untuk ikut berlomba mencapai status mencapai status ‘Desa Wisata’ tidak diimbangi dengan pembangunan manusia dan peningkatan pembangunan manusia dan perbaikan infrastruktur. Penelitian ini bertujuan untuk membahas perjuangan desa-desa di Magelang untuk menjadi wisata dan kesenjangan yang perlu diatasi.

“ICOC 2023 yang mempertemukan para akademisi dan peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang mempunyai minat terhadap Indonesia. Tema ICOC 2023 adalah Indonesia 25 Years On. Dalam ICOC ini saya berkesempatan mempresentasikan hasil riset tersebut,” tambahnya.

  1. Digital Health Communication in Indonesia

Riset berjudul “Digital Health Communication in Indonesia: Opportunities and Challenges” merupakan riset kolaboratif yang dilakukan oleh Dr. Subhan Afifi bersama Puji Rianto, S.I.P, MA yang berhalangan hadir dalam konferensi tersebut.

Konferensi

The Sydney Southeast Asia Centre at the University of Sydney and Humanitarian and Development Studies at Western Sydney University

Abstrak:

Setelah reformasi 1998, pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen untuk memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Kementerian Kesehatan telah membuat prioritas untuk merumuskan kebijakan dan strategi komunikasi kesehatan yang bertujuan untuk mempengaruhi perilaku kesehatan individu dan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan, strategi, dan implementasi komunikasi kesehatan digital di Indonesia, dengan fokus pada identifikasi peluang dan tantangan. Untuk mencapai tujuan tersebut, studi ini mengumpulkan data melalui analisis dokumen dan media komunikasi kesehatan digital yang diproduksi oleh Kementerian Kesehatan, dan wawancara mendalam mendalam dengan para pemangku kepentingan komunikasi kesehatan di Indonesia. Secara khusus, studi ini mengidentifikasi kebijakan dan strategi komunikasi kesehatan yang dirumuskan, karakteristik media dan konten komunikasi media dan konten komunikasi digital yang dikembangkan, menilai tingkat partisipasi masyarakat dan menyoroti hambatan dalam mengimplementasikan strategi komunikasi kesehatan digital yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia.

  1. Sousveillance and New Social Control in Digita; Democracy in the Present Indonesia

Riset ini juga dilakukan oleh Dr. Subhan Afifi bersama Puji Rianto, S.I.P, MA. Fokus riset ini adalah ketidakpercayaan publik terhadap polisi dan melihat bentuk sousveillance dalam konteks demokrasi digital.

Abstrak:

Tagar #percumalaporpolisi, yang berarti “percuma melapor ke polisi” menjadi menjadi trending topic di media sosial baru-baru ini. Tagar ini telah menjadi simbol gerakan di kalangan netizen Indonesia dalam melawan institusi kepolisian yang korup. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk-bentuk sousveillance dalam konteks demokrasi digital di Indonesia dan untuk mengidentifikasi sejauh mana dalam mengoreksi pelanggaran hukum dan menegakkan hukum. Melalui penelitian kuantitatif, penelitian ini penelitian ini mencoba untuk mengajukan investigasi mendalam tentang praktik sousveillance dalam demokrasi digital di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa tidak semua praktik tersebut berhasil membuat perubahan yang lebih baik. Namun, ada harapan yang berkembang untuk kontrol akar rumput dalam demokrasi Indonesia yang sedang mengalami kemerosotan. Studi ini juga menemukan beberapa faktor yang saling terkait yang menentukan efektivitas sousveillance seperti indikator media antar-agensi, kepentingan yang terlibat, aktor dan pihak yang berpengaruh dalam pengawasan.

“Alhamdulillah, melalui ICOC 2023 kami berkesempatan mempublikasikan hasil penelitian, sekaligus mengembangkan jejaring kerjasama dan kolaborasi riset secara internasional. Semoga memberikan kemanfaatan yang besar untuk semua. Terimakasih untuk Prodi Ilmu Komunikasi yang sudah memfasilitasi kegiatan ini. Jazakumullah khairan,” pungkas Dr. Subhan Afifi.

Naruto
Reading Time: 5 minutes

Setelah deklarasi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam perhelatan pesta politik 2024 pemberitaan di berbagai platform dipenuhi dengan informasi seputar kandidat.

Informasi semakin beragam dan unik dalam membungkus berita terkait capres dan cawapres Pemilu 2024. Berbagai media pemberitaan membagikannya ke media sosial termasuk Instagram. Berita-berita unik tersebut menyajikan informasi terkait Gen Z yang mendominasi pemilih di Pemilu 2024, seputar zodiak, hingga Konoha.

Dengan informasi yang unik tersebut, nampaknya musim politik kali ini akan semakin menarik dan banyak obrolan canda tawa bagi pengguna media sosial.

Jika tak berubah pesta politik di Indonesia akan digelar pada 14 Februari 2024. Tercatat ada tiga pasang kandidat yang maju untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Nama-nama tersebut antara lain Prabowo Subianto bersama Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo bersama Mahfud MD, dan Anies Baswedan bersama Muhaimin Iskandar.

Menariknya, beberapa media tak hanya mewartakan kapasitas dan visi misi para calon kandidat, melainkan banyak informasi yang dibalut dengan guyonan, mitos, hingga cocoklogi seperti istilah Konoha.

Lantas mengapa muncul hal unik yang mungkin tak terjadi pada musim politik di tahun-tahun sebelumnya?

Benarkah Gen Z Mendominasi dalam Pemilu 2024?

Istilah Gen Z sering muncul pada musim politik kali ini, berbagai media menyebutkan jika jumlah pemilih pada Pemilu 2024 akan didominasi mereka. Benarkah demikian?

Mengutip dari Databoks Katadata, jumlah pemilih dalam Pemilu 2024 didominasi oleh Gen Z dan Milenial. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilu 2024 yang jumlahnya sebanyak 204.807.222 pemilih.

Sebenarnya jumlah pemilih paling banyak adalah Milenial yakni 66,8 juta pemilih, disusul Generasi X 57,5 juta pemilih, dan ketiga Gen Z yang mencapai 46,8 juta pemilih. Sementara pemilih Baby Boomer sebanyak 28,1 juta, terakhir Pre-Boomer 3,6 juta pemilih.

Namun, mengapa Gen Z dianggap mendominasi? Sebenarnya batasan antara tahun kelahiran Gen Z awal dengan Milenial generasi akhir agak sedikit rancu. Jika Kemendikbud menyebut Gen Z adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1997-2012, berbeda dengan data KPU yang menyebut Gen Z adalah mereka yang lahir pada 1995 hingga 2000an.

Ada penggabungan jumlah Gen Z dan Milenial sehingga dianggap menjadi pemilih paling banyak atau mendominasi di Pemilu 2024.

Ditambah karakteristik dalam menggunakan media sosial antara Milenial akhir dan Gen Z tak jauh berbeda. Gen Z menggunakan media sosial untuk mencari berbagai informasi termasuk berita terkini. GWI, Lembaga market research USA menyebut jika Gen Z menggunakan media sosial untuk mencari jawaban. Mereka lebih memilih TikTok dan Instagram daripada Google untuk mendapatkan informasi dan saran.

Melansir dari IDN Research Institute, menyebutkan 5 topik yang paling banyak dibaca dan dicari oleh Gen Z di media digital adalah News and Politics sebanyak 20%, Entertainment 18%, Sports 11%, Education 8%, dan Music 8%.

Dengan dominasi pemilih Gen Z dan Milenial pada musim politik kali ini, tak hanya orasi kandidat yang merebut hati mereka melainkan pemeberitaan juga mengikuti preferensi Gen Z dan Milenial.

Pemberitaan Unik di Media Sosial

Pemberitaan unik turut menghiasi media sosial, beberapa media mempublikasikan berita tentang zodiak masing-masing kandidat hingga negeri Konoha yang diidentikkan dengan Indonesia.

Dalam media online Mojok.co, pihaknya membagikan informasi unik di akun Instagram dengan judul “Seberapa Cocok Capres dan Cawapres Dilihat dari Zodiaknya?”, dalam unggahan itu menyebutkan jika Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar merupakan pasangan Taurus dan Libra analisis Mojok menyebutkan “Saling melengkapi dan dapat mengambil keputusan bersama. Taurus dan Libra juga dapat saling mengandalkandan kepercayaan antara keduanya sangat baik”.

Selanjutnya, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD adalah pasangan Scorpio dan Taurus. Mojok menuliskan “Scorpio dan Taurus punya kedekatan yang alami saling tarik menarik. Scorpio dan Taurus akan saling menghargai prioritas masing-masing”.

Terakhir, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka adalah pasangan Libra dengan Libra. Analisisnya menyebut “sesama Libra dapat menjadi pasangan yang serasi dan bertahan lama. Mereka saling menghargai dan dapat saling memahami satu sama lain”.

Tak hanya analisis saja, Mojok juga membagikan karakter zodiak masing-masing capres dan cawapres mulai seperti tidak menyukai konflik, ambisius, hingga tidak mudah menerima hal baru.

Unggahan pada 25 Oktober 2023 itu telah disukai lebih dari 2.700 pengguna Instagram, serta lebih cari 170 komentar.

Berbagai komentar justru menganggap hal ini bukan sebagai hal buruk melainkan guyonan yang menghibur.

“Persetan dengan rekam jejak dan program kerja, tidak menutup kemungkinan akan ada yang memilih berdasar zodiak,” tulis akun @pra_diptajati.

“Besok tambahin menurut Shio, golongan darah, weton, MBTI+data menurut ramalan tarot. Lumayan biar para fans berantemnya tambah seru,” tulis akun @antonying.

Ternyata, sehari sebelumnya media online Tempo.co juga mengunggah konten yang sama pada akun Instagram resminya dengan judul “Zodiak Capres-Cawapres di Pemilu 2024”. Unggahan itu disukai lebih dari 6.600 pengguna Instagram, dengan lebih dari 500 komentar.

Tak terlalu menuai kontra, netizen justru menganggap informasi ini lebih menghibur dan diterima tanpa banyak adu mulut di kolom komentar antar pendukung.

“Mungkin maksud Tempo, zodiak lebih masuk akal dibanding janji-janji politikus,” tulis akun @rima_julianii.

“Seger banget postingannya min, sukak sering-sering dong,” tulis @emilapalau.

“Si paling romantis dan paling setia mendominasi bursa Presiden tahun ini,” tambah akuan @garryrudolf_.

Beranjak dari informasi zodiak, hal menarik lain adalah soal cocoklogi antara Indonesia dengan Konoha. Lantas mengapa Indonesia disebut Konoha?

Menurut artikel yang dipublish oleh Tempo 21 Februari 2023, negara Indonesia disebut sebagai Konoha karena adanya banyak kesamaan antara Indonesia dengan Konoha. Konoha merupakan desa fiksi dalam serial anime Naruto Shippuden. Kemiripan ini meliputi masyarakat yang beragam hingga jumlah pemimpinnya. Disebutkan jika Konoha memiliki 7 orang pemimpin yang disebut Hokage, kemudian tujuh karakteristik Hokage itu dicocoklogikan dengan para presiden Indonesia. Tak heran jika kali ini Presiden Jokowi diibaratkan sebagai Naruto, sementara Gibran dianggap sebagai Boruto. Selengkapnya https://dunia.tempo.co/read/1694022/kenapa-indonesia-disebut-negara-konoha-ini-alasannya.

Baru-baru ini Kumparan, juga memproduksi konten dalam Instagramnya “Ada Apa Antara Gibran & Naruto?”, dalam unggahan dengan format video reel itu Gibran diwawancarai dengan pertanyaan “suka nonton Naruto?” Gibran menjawab “suka tapi sudah tamat” selanjutnya ditanya terkait ketertarikannya dengan Naruto hingga penjelasan keterkaitan Indonesia dengan Konoha.

Konten itu telah ditonton 701 ribu, dengan 32 ribu likes, 997 komentar, hingga lebih dari 5 ribu kali dibagikan oleh pengguna Instagram.

Menurtut salah satu Gen Z generasi awal yakni Annisa Putri Jiany yang mengikuti sering mencari informasi politik di Instagram dan TikTok menyebut jika pengemasan kumparan dalam menceritakan Gibran cukup menarik.

“Gibran mencalonkan diri, menyampaikan visi misi ke depan selaras. Kumparan, ngulik Gibran dari hobi anime konten kampanye. Pengemasan promosi dan kampanye dengan wawancaranya menarik dari TikTok. Termasuk Ganjar. Twitter, TikTok, Instagram juga banyak yang menarik,” ujarnya.

Media kurang Akurat Membaca Target?

Konten unik memang menarik dan terbukti ramai dihiasi reaksi dari pengguna media sosial. Namun, jika memang tujuannya menyasar pada Gen Z nampaknya perlu analisis lebih kritis.

Fakta di atas menyebut jika Gen Z menempati posisi ketiga, sementara posisi kedua justru ditempati oleh Generasi X. Sementara media justru berlomba-lomba menyajikan berita yang dikhususkan kepada Gen Z.

Salah satu dosen Ilmu Komunikasi UII, Puji Rianto, S.IP, MA., yang fokus mendalami kajian Komunikasi Politik menyebut jika pemberitaan mesti mempertimbangan analisis kritis agar mampu memproduksi berita yang akurat.

“Saya kira karena ini analisis pemberitaan mesti ada analisis kritisnya. Misal, kenapa media menyasar dan mengangkat tema zodiak dalam pilpres? Apa ini menyesuaikan pembaca? Lalu, bagaimana bisa wacana Gen Z dianggap dominan padahal nyatanya tidak? Media kurang akurat?,” ujar Puji Rianto.

Terlepas dari siapapun capres dan cawapres Indonesia 2024, jika memang benar menggaet masa dari Gen Z maka perlu lebih tahu detail tentang perspektif mereka dalam segi politik.

Hasil riset dengan judul “Gen-Z Perspective on Politics: High Interest, Uniformed, and Urging Political” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JISIP), Vol. 11 No. 3 Tahun 2022 yang ditulis oleh Patricia Robin dkk, menyebutkan beberapa poin penting terkait Gen Z yang mendominasi populasi Indonesia.

Ada tiga temuan menarik, pertama, Gen-Z sangat tertarik dengan politik tetapi merasa kurang informasi. Kedua, Gen-Z melihat keberadaan partai politik secara negatif karena banyaknya kasus korupsi. Ketiga, Gen-Z mendesak adanya pendidikan politik.

Dari uraian di atas kira-kira hal menarik apalagi yang akan menjadi pemberitaan media digital menyambut pesta politik 2024 Comms?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Esai
Reading Time: 3 minutes

Salah satu kemampuan yang wajib dimiliki mahasiswa adalah membuat artikel ilmiah hingga esai. Tak jarang beberapa mata kuliah khususnya bidang humaniora mewajibkan mahasiswa membuat esai dalam penilaian akhir.

Mengutip dari Merriam Webster Dictionary, esai merupakan komposisi sastra analitik atau interpretatif yang membahas topik tertentu dengan suduk pandnag terbatas.

Artinya dalam membuat esai poin penting yang wajib diketahui mahasiswa bukan hanya soal topik yang dijelaskan melainkan bagaimana cara menjelaskan suatu topik. Menjelaskan dengan argumentatif dan subjektif penulis.

Pengetahuan dan kemampuan menulis esai sangat dibutuhkan, mengingat dengan pesatnya perkembangan artificial intelligence (AI) yang banyak dimanfaatkan mahasiswa untuk berbuat sedikit nakal dalam menyelesaikannya.

Meski sering terlewat dalam sistem pendeteksi plagiasi, pembuatan esai menggunakan AI ternyata sangat mudah terdeteksi. Hal ini dapat dibaca dari karakter penulisan esai.

Salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Dian Dwi Anisa, S.Pd., MA, menyebut tujuan membuat esai bagi mahasiswa adalah untuk mengukur kemampuan logic mahasiswa dalam menangkap suatu isu.

Dosen yang mengampu mata kuliah Penulisan Kreatif itu juga menyebut esai merupakan bentuk kerja individu yang dapat melatih kemampuan dasar dalam menulis pada mahasiswa seperti menempatkan dan membedakan struktur kalimat mulai dari subjek, objek, dan keterangan.

“Untuk mengetahui dan mengukur logika berpikir mahasiswa dalam merespon isu, serta melatih kemampuan dasar dalam menulis,” ujarnya.

Kultur menulis di Prodi Komunikasi UII sengaja dibentuk sejak awal semester agar terbiasa mengembangkan argumen dengan mengkombinasi data dan fakta. Tujuannya tentu untuk meminimalisir berbagai bentuk plagiarisme.

Tercatat dalam tiga tahun terakhir, ada dua karya dari Prodi Ilmu Komunikasi yang diplagiat oleh institusi pendidikan lain. Tentu hal ini sangat meresahkan bagi penulis utama. Hal ini disampaikan oleh dosen Prodi Ilmu Komunikasi yakni Narayana Mahendra Prastya, S.Sos., MA, beberapa waktu lalu.

Artikelnya yang berjudul “Pemanfaatan Situs Web Resmi Lembaga Pendidikan sebagai Sumber Berita oleh Wartawan Surat Kabar Lokal di Yogyakarta” dalam publikasi Jurnal The Messenger Volume 9, No.2, 2017 diplagiat oleh mahasiswa dari Universitas lain dengan judul “Pemanfaatan Web Resmi Perguruan Tinggi sebagai Sumber Berita oleh Wartawan Media Massa Lokal” yang dipublikasikan pada Jurnal Gunahumas, Vol 2, No 1, 2019.

Mengetahui karya dicuri, Narayana mengambil tindakan protes dan menyertakan bukti kepada penerbit.

“Saya mengirimkan email protes kepada pengeola jurnal Gunahumas dan penulis. Pada email itu saya lampirkan artikel saya dan artikel peniru,” ujarnya.

Atas protes tersebut ia mendapat balasan permintaan maaf dari pelaku, dan take down artikel kepada pihak penerbit. Artikel berhasil di take down pada Juli 2021.

Kasus terbaru juga menimpa Nadia Wasta Utami, S.I.Kom, MA, tugas akhir mahasiswa bimbingannya Vania Taufik Rahmani yang berjudul “Analisis E-Customer Relationship Manamgement BPJS Kesehatan Republik Indonesia pada Mada Pandemi Covid-19 dalam Menjaga Loyalitas Pelanggan”.

Karya tersebut diplagiat oleh AL dan MC dengan judul “Analisis E-Customer Relationship Manamgement BPJS Kesehatan Republik Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19 dalam Menjaga Loyalitas Pelanggan” dan dipublikasikan di Jurnal ResPublica Vol.1, No 3, Maret 2023.

Kasus-kasus plagiarisme seperti di atas diharapkan tidak dilakukan oleh mahasiswa maupun civitas akademika di Prodi Ilmu Komunikasi UII. Untuk menghindari hal demikian perlu dibangun kultur kejujuran sejak dini. Salah satunya intensitas berlatih menulis esai. Namun banyak kendala yang dialami mahasiswa sehingga menganggap menulis esai sangat sulit.

Untuk memudahkan, berikut beberapa tips menulis esai yang dikutip dari laman resmi Students The University of Melbourne.

Tips Menulis Esai

  1. Analisis Topik untuk Memulai Awalan yang Menarik

Esai berisi argumen dan tanggapan, hal pertama yang wajib dilakukan adalah menganalisis topik. Pastikan mahasiswa mengetahui secara detail topik yang akan dijelaskan.

Cara menganalisis dengan cara riset kecil seperti membaca data, jurnal, dan berbagai referensi lainnya. Data dan hasil riset tersebut dapat disajikan menjadi fakta pembuka yang menggugah dan menarik di awal tulisan.

  1. Menentukan Argumen

Menentukan argumen artinya menjelaskan perspektif kita terhadap topik yang disajikan dalam menjawab pertanyaan. Argumen harus diimbangi dengan fakta empiris, sehingga dapat menyajikan dalam bentuk kalimat secara spesifik.

Pastikan sebelum menjawab dengan argumen masukkan konflik, contohnya topik darurat sampah di Yogyakarta. Uraikan secara menarik dan detail fenomena tersebut sehingga mudah menentukan argumen.

  1. Membuat Susunan Koheren

Hal ini menjadi hal dasar yang wajib diketahu, dalam esai terdiri dari pendahuluan, isi, dan kesimpulan. Pastikan untuk menyusun secara koheren.

Pendahuluan bersisi konteks esai, isi adalah pengembangan argumen serta uraian kasus dengan berbagai bukti, sementara kesimpulan biasanya berisi tawaran solusi.

  1. Menuliskan dengan Jelas

Tuliskan kalimat secara jelas dengan poin-poin yang tepat. Pastikan untuk membaca ulang atau editing cermat dan lakukan berulang agar tak ada kalimat yang ambigu.

  1. Megutip Sumber yang Kredibel

Cantumkan dan periksa sumber yang valid dan kredibel. Pastikan bahwa kutipan akurat dan lengkap. Penting bagi mahasiswa untuk membaca Teknik mengutip sumber referensi seperti jurnal, website, hingga buku.

Demikian beberapa tips menulis esai tanpa pusing harus bergantung dengan AI. Yuk, terapkan tips-tips tersebut ya Comms.

 

Kuliah umum
Reading Time: 3 minutes

Gen Z adalah generasi yang menjadi masyarakat digital sejak dini, mereka terbiasa dengan akses informasi cepat. Meski dimudahkan, Gen Z dituntut untuk menjadi sosok yang mampu berinovasi dan berprestasi di tengah persaingan yang sangat ketat.

Selain menghadapi persaingan yang ketat, Gen Z kerap mendapat judgement negatif seperti dianggap baperan, tak mampu bekerja sama, hingga anggapan lemah dalam kemampuan resiliensi.

Dalam data yang dipublikasikan oleh GWI, salah satu lembaga market research di USA, disebut bahwa 72 persen Gen Z sangat membatasi diri dengan urusan pekerjaan hingga menganut budaya soft life. Sementara data dari IDN Research Institute, 67 persen Gen Z di Indonesia ternyata bersedia bekerja lembur dan tak masalah dengan sistem hustle culture. Artinya, tak semua Gen Z di Indonesia merepresentasikan judgement negatif di atas.

Di tengah persaingan yang ketat di era disrupsi tentu banyak tantangan yang akan dihadapi oleh Gen Z untuk menyiapkan masa depan cemerlang. Mengutip KBBI, disrupsi adalah sesuatu hal yang tercabut dari akarnya, interupsi pada sebuah proses atau kegiatan yang telah berlangsung secara berkesinambuangan.

Era disrupsi salah satunya terjadi karena perkembangan teknologi digital, sehingga inovasi masif dilakukan dalam segi industri secara global. Ditambah saat ini seluruh masyarakat dunia dihadapkan dengan istilah Society 5.0 atau masyarakat super cerdas yang akan bekerja dan berkaitan dengan Artificial Intelligence (AI).

Era disrupsi berkaitan erat dengan tujuan Society 5.0, di mana masyarakat yang berpusat pada manusia berperan sebagai penyeimbang kemajuan ekonomi melalui penyelesaian berbagai masalah sosial dengan sistem digital. Banyak pihak menyebut bahwa era disrupsi ini adalah tantangan dan proyek kerja yang akan dilakukan oleh Gen Z karena dianggap sebagai generasi yang memiliki passion tinggi terhadap dunia digital.

Hal ini didukung dengan karakter Gen Z yang memanfaatkan media sosial dengan cara yang unik. Dari hasil riset GWI, 3 dari 10 Gen Z menggunakan media sosial sebagai platform mencari inspirasi dan jawaban. Bahkan setengah dari Gen Z memilih TikTok dan Instagram untuk mendapatkan informasi dibandingkan Google. Informasi tersebut mulai dari tren kecantikan hingga keuangan.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) melaksanakan Studium Generale dengan tema Berani Berinovasi di Era Disrupsi pada 21 Oktober 2023 di Auditorium Lantai 5 FIAI UII dengan menghadirkan dua pembicara yakni Indra Dwi Prasetyo (The Most Outstanding Youth 2022 Kemenpora RI, Blue Ocean Strategy Fellowship, Co Chair of Y20 Indonesia 2022) dan Muhammad Arrozi (Head of Public Relations Kompas Gramedia sekaligus Alumnus Ilmu Komunikasi UII).

Inovasi dan Berprestasi di Era Disrupsi

Lantas apa yang mesti dilakukan oleh Gen Z agar mampu melakukan inovasi dan berprestasi di era disrupsi?

Muhammad Arrozi dalam kesempatan itu menyampaikan materi terkait Purpose Driven Transformation in Disruption. Ia turut menyampaikan banyak hal soal pengalaman perusahaan tempatnya bekerja untuk bertahan di era disrupsi. Kompas Gramedia, yang berdiri tahun 1965 dengan nama awal Majalah Intisari, melalui berbagai disrupsi hingga kini.

Pihaknya sadar, media massa saat ini kerap diidentikkan dengan media sosial seperti Instagram dan TikTok, karena Gen Z saat ini lebih banyak mencari informasi ke platform-platform tersebut.

“Media massa saat ini tidak diidentifikasi media pers tapi media dianggap sama dengan platform digital,” tandasnya.

Mengalami jungkir balik di industri media, ada satu hal yang konsisten dilakukan Kompas yakni kembali ke tujuan awal untuk bertahan atau sustaining purpose.

Persistence akan banyak trial eror dalam strategi yang kami coba agar tetap pada sustaining purpose yang kami miliki. Tujuan menjadi sangat penting,” ujar Muhammad Arrozi.

Selanjutnya, Indra Dwi Prasetyo menyampaikan materi dengan judul Muda, Beda & Berbahaya. Dalam pembahasan itu ia banyak menyampaikan cara-cara yang bisa dilakukan Gen Z untuk bertahan di era yang tidak nyambung.

Ia memberikan tips agar Gen Z mampu survive meski tak memiliki banyak priviledge dengan memanfaatkan media sosial yang dimiliki. Namun sebelum beranjak, salah satu yang perlu disiapkan adalah mindset dalam diri sendiri.

“Mindset adalah a mental attitude: how we interpreted something. Paradigma bahwa mahasiswa harus pintar itu kuno. Bukan harus berprestasi, kalau ngandalin IQ, saya tidak akan seperti ini. Ada hal lain yang harus dilakukan,” ujarnya.

Daripada merenungi tingkat kecerdasan dan priviledge yang tak kita miliki, ia menyampaikan bahwa Gen Z harus memiliki keinginan growth mindset yang mengimani bahwa kecerdasan itu bertumbuh, aktif dan responsif terhadap kritik, fokus pada proses, menikmati pembelajaran, dan menjadikan kegagalan sebagai peluang.

Ada tiga tips yang dibagikan oleh Indra dalam menutup diskusi tersebut. Untuk menjadi Gen Z yang mampu berinovasi dan berprestasi yakni membaca buku, membuat sistem dan memaksa diri kita untuk melakukan hal baru, dan travelling untuk mendapat pengalaman dan pengetahuan baru.

Itulah beberapa insight terkait Studium Generale 2023. Lantas apa rencanamu ke depan, Comms?

AWG
Reading Time: 4 minutes

Letak geografis negara Indonesia selama ini dianggap keuntungan luar biasa. Selalu dikagumi dan disanjung dengan kata-kata cantik, indah, dan menakjubkan karena laut dan gunungnya yang  menyimpan sumber daya dan selalu estetik dalam potret yang bertebaran di media.

Namun, ada hal yang luput tentang keindahan Indonesia. Seolah terbuai dengan keindahan, Indonesia ternyata negara rawan bencana mulai dari gempa bumi, tsunami, erupsi, hingga banjir.

Berdasarkan riset bertajuk World Risk Report 2022 yang dirilis oleh Bündnis Entwicklung Hilft bersama Institute for International Law of Peace and Armed Conflict (IFHV) of the Ruhr-University Bochum menyebut bahwa Indonesia merupakan negara paling berisiko terkena bencana kedua di dunia dengan skor World Risk Index (WRI) sebesar 43,50 poin.

Dalam laporan tersebut terdapat 193 negara berisiko terkena bencana di dunia, posisi pertama adalah Filipina dengan skor WRI 46,86 poin, disusul Indonesia. Selengkapnya dapat diakses melalui https://reliefweb.int/report/world/worldriskreport-2023-disaster-risk-and-diversity.

Setidaknya ada lima indikator mengapa Indonesia masuk dalam negara kedua paling rawan bencana di dunia yakni paparan (exposure), kerentanan (vulnerability), kerawanan (susceptibility), kurangnya kapasitas mengatasi masalah (lack of coping capacities), kurangnya kapsitas adaptasi (lack of adaptive capacities).

Peliknya persoalan bencana di Indonesia seolah tak banyak dilirik, terbukti dengan minimnya edukasi dan literasi kebencanaan di ranah pendidikan. Melihat keresahan ini, International Program Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar workshop bertajuk “The 4th Annual Workshop on Globalization 2023: Media and Disaster Journalism, Comparing Indonesian and Japanese Experiences” pada 19 Oktober 2023 di Perpustakaan Pusat UII.

Annual Workshop on Globalization (AWG) ini merupakan workshop tahunan yang digelar oleh International Program Prodi Ilmu Komunikasi UII. Dalam diskusi yang dipandu oleh Dr. Zaki Habibi hadir tiga pembicara yakni Yoshimi Nishi, Professor and Researcher in The Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University, Jepang. Pembicara kedua adalah Ahmad Arif, General Chairman of Disaster Journalist for Indonesia and Kompas Journalist. Ketiga, Muzayin Nazaruddin, Researcher on Disaster and Enviromental Communication, Universitas Islam Indonesia.

AWG

Annual Workshop Globalization, foto bersama pembicara dan mahasiswa
Foto: Rizka Aulia Ramadhani

Comparing Indonesian and Japanese Experiences

Membandingan Indonesia dan Jepang dalam segi pengalaman bencana menjadi inti pembahasan AWG kali ini. Jika Indonesia masih terperangkap dalam eksploitasi tangisan kehilangan akibat bencana di media, ternyata Jepang lebih memberikan edukasi cara bangkit hingga antisipasi bencana susulan dalam berita di media lokal dan nasional.

Yoshimi Nishi menyampaikan materi terkait “Collective Memory and Inheritance of Disaster Experience in Jepang”, ia menjelaskan konsep mitigasi bencana, komunikasi bencana yang dibangun pemerintah di Jepang, hingga Memorial Day yang terus disampaikan dalam sistem pendidikan di Jepang agar semua siswa dari generasi memahami negaranya adalah tempat rawan bencana sehingga mampu beradaptasi dan bangkit dari bencana.

Salah satu komunikasi dan edukasi dibangun melalui film dan drama series. Tahun 2016 ada Your Name atau dalam bahasa Jepang Kimi no Na Wa, Shin Godzilla (2016), Crimson Fat (1976), Oshin (1983-1984), dan banyak lainnya.

Film sengaja dijadikan media edukasi bagi masyarakat Jepang, bahkan mereka memiliki kalimat ampuh yakni “sonae” “kakugo” yang berarti kesiapsiagaan.

Disaster film is strategy disaster management. From costume to culture, sonae kakugo,” ucap Yoshimi Nishi.

Ia menjelaskan terkait cerita yang dibangun melalui berbagai cara dan upaya mampu membangkitkan kesiapsiagaan masyarakat di Jepang dalam menghadapi bencana besar seperti tsunami maupun gempa.

Your body moves without you even thinking abaout it, culture transmitted acrros generations. Stories can experience events you have never experienced before,” imbuhnya.

Jika di Jepang masyarakat telah siap dan beradaptasi dengan bencana, lain halnya dengan Indonesia. Ahmad Arif yang telah malang melintang di dunia media menyampaikan materi terkait “Lesson from Aceh Tsunami 2004 in Japan 2011: Disaster Similiarities, Differences in Media Responses” menyebut bahwa media di Indonesia masih terperangkap dalam eksploitasi kesedihan bencana.

Dari pengalaman meliput kedua bencana, Ahmad Arif membuka materi dengan membandingkan data kedua bencana yang berkekuatan sama, gempa tsunami di Aceh berkekuatan Mw 9,1 memakan korban 126.915 orang meninggal, 37.063 dinyatakan hilang. Sementara di Sendai, Japan dengan kekuatan gempa tsunami Mw 9,1 dengan korban meninggal 15.883 meninggal dan 2.681 korban hilang.

Angka-angka itu menjadi fakta bahwa Indonesia masih minim kapasitas dalam mengatasi dan adaptasi bencana. Banyak faktor yang membuat Indonesia tertinggal jauh dalam menghadapi bencana karena budaya dan kebiasaan masyarakat.

“Indonesia tertinggal dari Jepang, agak susah meniru karena berbagai faktor mulai dari budaya, antropologi, dan sejarah,” terang Ahmad Arif.

Minimnya pengetahuan mitigasi bencana semakin diperparah dengan karakter media di Indonesia. Dari riset yang dilakukan oleh Ahmad Arif ada perbedaan mencolok dalam segi peliputan. Bencana tsunami Aceh 2004 seolah terputus karena akses dan informasi terputus sehingga foto kejadian itu diketahui di hari kedua. Sementara pada tsunami Sendai 2011, informasi langsung diketahui di hari yang sama karena media di Jepang telah mengantisipasi peristiwa yang akan terjadi.

“Foto tsunami Aceh baru diketahui di hari kedua, foto yang dicantumkan pada hari pertama itu tsunami di India. Berbeda dengan di media Jepang yakni Yomiuri Shimbun, media di sana sudah mengantisipasi peristiwa ini (bencana) akan terjadi,” jelasnya.

Ditambah fokus media di Indonesia adalah fokus memotret tragedi dengan konten yang sama dengan gambar kerusakan, orang menangis, dan gambar korban. Sementara di Jepang lebih fokus pada proses recovery.

Terakhir materi terkait “Media and Disasters: Indonesian Experiences (Some Early Reflections)” yang disampaikan oleh Muzayin Nazaruddin yang telah aktif mendalami kajian komunikasi bencana.

Pada awal penyampaian materi, ia melempar pertanyaan terkait bencana tsunami Aceh kepada audiens. Ia menanyakan apakah para mahasiswa yang lahir pada tahun sekitar tahun 2004 tahu informasi terkait bencana tersebut. Menariknya, mahasiswa menjawab mereka mengetahui dari media dan cerita orang tua namun tidak dari sekolah atau institusi pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa minim edukasi mitigasi bencana di bangku sekolah.

Akibat eksploitasi media Indonesia terhadap tragedi bencana, berdampak pada korban bencana yang mudah mendapat informasi hoaks.

The media landscape has dramatically changed more effective for risk communication, its mean more hoax, more rumors,” pungkas Muzayin Nazarudin.

Muzayin memberikan lima tawaran untuk menghadapi dan merespons bencana di Indonesia antara lain mengintegrasikan kebijakan redaksi dengan kebijakan pengurangan risiko bencana yang lebih komprehensif dengan kebijakan pengurangan risiko bencana.

Kedua, transformasi dari “bencana sebagai peristiwa media” menjadi “jurnalisme pengurangan risiko bencana” lebih “pengurangan risiko bencana” komitmen yang lebih besar terhadap PRB, terkait komunikasi risiko, peringatan dini, dan pendidikan bencana.

Ketiga, peningkatan keterampilan jurnalis secara terus menerus terkait dengan isu-isu risiko dan terkait dengan isu-isu risiko dan bencana.

Keempat, media arus utama media lama harus  menjadi sumber yang berwibawa dan terpercaya, mengklarifikasi rumor, dan menyajikan berita yang akurat.

Terakhir, mengedukasi masyarakat tentang keterampilan pengecekan fakta keterampilan literasi media, terutama dalam isu risiko dan bencana kolaborasi dengan pemangku kepentingan yang relevan.

Itulah catatan terkait perbandingan pengalaman mengatasi bencana antara Indonesia dan Jepang. Bagaimana Indonesia ke depan ya Comms? Apakah media di Indonesia akan berhenti menyoroti tragedi dan beralih pada proses recovery seperti media di Jepang?

Perpus
Reading Time: 2 minutes

Jika menilik data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), secara umum jenjang sarjana didominasi oleh Gen Z. Hal ini didasarkan pada rentang usia Gen Z di tahun 2023 yakni 11 hingga 26 tahun.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aktivitas Gen Z saat ini paling banyak adalah menempuh pendidikan hingga menyiapkan karier. Namun, bagi Gen Z yang menjadi mahasiswa semester akhir tentu kesibukan utamanya adalah menyusun skripsi.

Kira-kira topik apa yang menarik digali oleh Gen Z sebagai bahan penelitian skripsi atau tugas akhir? Salah satu caranya adalah dengan mencari isu yang tepat dan menarik bagi Gen Z dan tentu harus relate dengan kehidupan yang tengah dijalani.

Social issues atau isu-isu sosial menjadi sangat menarik digali oleh Gen Z mengingat karakternya yang cukup unik.

Melansir dari laman Oxford Royale, terdapat tujuh karakter unik yang dimiliki oleh Gen Z. Ciri khas tersebut antara lain Gen Z adalah penduduk asli digital, Gen Z merasa dunia yang ditinggali tidak aman, Gen Z cenderung menerima, Gen Z sangat aware dengan kesehatan, Gen Z menghargai privasi, Gen Z juga memiliki jiwa entrepreneur karena khawatir akan masa depan, hingga mampu menempatkan diri setelah menjadi dewasa.

Jika dikaitkan dengan karakter unik tersebut, berikut beberapa social issues yang berkaitan dengan Gen Z dilansir dari laman The Annie E. Casey Foundation (AECF), salah satu lembaga sosial di Amerika Serikat yang fokus menangani isu keluarga, ekonomi, dan anak.

5 Social Issues yang Relate untuk Skripsi Gen Z

  1. Isu Health Care

Health care atau perawatan kesehatan termasuk menjadi masalah utama bagi Gen Z. Riset-riset yang dapat digali antara lain terkait rencana asuransi, efisiensi layanan kesehatan, dan banyak isu lainnya.

Selain itu tren menggunakan layanan kesehatan online ternyata menjadi habit bagi Gen Z. Perusahaan Fierce Healthcare di Amerika menyebut, Gen Z lebih nyaman berbagi informasi pribadi secara virtual.

  1. Mental Health

Data dari American Psycological Association menunjukkan 35 persen Gen Z yang disurvei melaporkan kondisi kesehatan mental memburuk selama pandemi Covid-19. Kesehatan mental Gen Z yang memburuk terjadi karena beberapa alasan termasuk karena berita-berita buruk di dunia. Tentu isu ini dapat digali dalam perspektif kajian Ilmu Komunikasi

  1. Pendidikan Tinggi

Gen Z juga sangat memperhatikan isu pendidikan tinggi. Tak hanya berpendidikan tinggi, Gen Z juga harus memperoleh keterampilan karier. Tumbuh di era digital, wajib bagi gen Z untuk bekerja secara kreatif, praktis, dan melek teknologi. Untuk itu duduk diam mendengarkan dosen dalam kelas saja tampaknya tak akan cukup. Isu ini juga berkaitan dengan ekonomi dan masa depan karier. Isu ini cukup menarik jika dikaji dengan perspektif Ilmu Komunikasi.

  1. Racial Equality

Racial Equality atau kesetaraan ras menjadi masalah sosial utama bagi Gen Z. Tak heran jika Gen Z sangat menyadari kesenjangan antar ras dan etnis. Mereka lebih positif memandang keberagaman dibanding dengan generasi sebelumnya. Melihat keberagaman di Indonesia, tentu isu ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam dengan berbagai perspektif ilmu, termasuk kajian Komunikasi.

  1. Lingkungan

Gen Z sangat peduli dengan lingkungan. Ancaman perubahan iklim adalah bahaya bencana yang akan berdampak besar dalam kehidupan.

Menurut survei First Insight, Inc., platform analisis prediktif ini menemukan bahwa 73 persen responden Gen Z tidak keberatan membayar lebih mahal untuk produk yang berkelanjutan. Tak hanya itu, akhir-akhir ini kajian Komunikasi lingkungan juga menjadi isu yang diseriusi oleh prodi Ilmu Komunikasi UII, bahkan ada beberapa dosen yang fokus dengan riset tersebut.

Itulah beberapa social issues yang relate dengan kehidupan Gen Z dan cocok menjadi bahan skripsi. Bagaimana menurutmu Comms, tertarik dengan isu apa?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Foto
Reading Time: 2 minutes

Akreditasi kerap menjadi pertimbangan calon mahasiswa dalam menentukan perguruan tinggi tujuan pasca lulus dari jenjang sebelumnya.

Bahkan akreditasi menempati persentase tertinggi sebagai alasan mahasiswa memilih perguruan tinggi. Hal ini dibuktikan dalam riset yang dipublikasikan pada Jurnal Penjaminan Mutu Volume 4 Nomor 2 terkait peran akreditasi dalam menarik minat mahasiswa memilih perguruan tinggi yang ditulis oleh Prama Widayat dari Universitas Lancang Kuning Pekanbaru.

Dalam riset tersebut, mahasiswa dibedakan berdasarkan kelas regular dan kelas karyawan. Mahasiswa kelas regular menempatkan akreditasi di posisi pertama dari 10 indikator dengan presentase 36,36 persen. Sementara mahasiswa kelas karyawan menempatkan akreditasi di posisi kedua dari 10 indikator dengan presentase 26,67 persen.

Jika melihat data di atas, artinya akreditasi menjadi sangat penting bagi setiap institusi. Lantas apa pengertian akreditasi dan perbedaan-perbedaan setiap akreditasi?

Melansir dari laman Jendela Kemdikbud, akreditasi adalah kegiatan penilaian yang menentukan kelayakan dari sebuah perguruan tinggi dan prodi. Bisa dikatakan akreditasi merupakan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi.

Teranyar, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dalam peluncuran Merdeka Belajar Episode ke-26 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Riset dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi menyebut bahwa penyerdahanaan akreditasi serta pengajuan ulang akreditasi.

Baru saja Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) meraih akreditasi Unggul berdasarkan Surat Keputusan Direktur Dewan Eksekutif BAN-PT No. 3917/SK/BAN-PT/Ak.KP/S/X/2023. Keputusan ini ditetapkan sejak tanggal 3 Oktober 2023 sampai dengan 16 Juli 2024.

Sesuai dengan kebijakan Merdeka Belajar Episode ke-26, akreditasi yang diraih Prodi Ilmu Komunikasi UII yang ditetapkan oleh BAN-PT tetap berlaku selama lima tahun dan akan diperbaharui secara otomatis seluruh peringkat. Perguruan tinggi juga diperbolehkan mengusulkan ulang kepada BAN-PT sebelum waktu lima tahun berakhir, paling cepat dua tahun dengan kewajiban melakukan tracer study setiap tahunnya.

Perbedaan Akreditasi A dengan Unggul

Beberapa tingkatan nilai akreditasi yang diterbitkan oleh BAN-PT antara lain A, B, C. Namun, BAN-PT juga mengeluarkan predikat dengan sebutan Unggul, Baik Sekali, dan Baik. Lantas mana yang paling tinggi dari ketentuan di atas?

Berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh BAN-PT, akreditasi A menunjukkan nilai akreditasi antara 361-400 poin. Akreditasi B menunjukkan nilai akreditasi antara 301-360 poin. Terakhir akreditasi C dengan nilai akreditasui antara 200-300 poin.

Artinya, bagi perguruan tinggi yang memiliki nilai akreditasi di bawah 200 poin akan mendapat istilah “Belum Terakreditasi”.

Terkait predikat dalam akreditasi, predikat Unggul diberikan BAN-PT kepada perguruan tinggi yang mendapat nilai akreditasi A dan memenuhi syarat masuk predikat Unggul atau strata tertinggi dalam akreditasi.

Selanjutnya predikat Baik Sekali, diberikan ole BAN-PT kepada perguruan tinggi yang mendapat nilai akreditasi A namun belum memenuhi seluruh syarat predikat Unggul.

Terakhir predikat Baik, diberikan kepadapa perguruan tinggi yang mencapai nilai akreditasi B dengan nilai akreditasi di atas 200 poin.

Sementara perbedaan akreditasi A dengan Unggul adalah, setiap perguruan tinggi yang meraih predikat Unggul sudah pasti meraih nilai akreditasi A. Namun, perguruan tinggi yang mendapat nilai akreditasi A belum tentu mencapai predikat Unggul.

Pencapaian nilai dan predikat akreditasi diukur dengan berbagai indikator antara lain kurikulum pendidikan, standar sarana dan prasarana pendidikan, sistem tata kelola akademik, kualitas SDM, hingga pencapaian tri dharma.

Itulah informasi terkait akreditasi yang perlu mahasiswa ketahui. Bagaimana Comms apakah sudah tercerahkan tentang akreditasi sebuah perguruan tinggi?