Reading Time: < 1 minute

Diskusi Forum Amir Efendi Siregar yang diselenggarakan Pusat Studi dan Dokumentasi (PSDMA) NADIM Ilmu Komunikasi UII kali ini, Sabtu 14 November 2020, membahas sejarah pers mahasiswa Indonesia. Jika mau melihat persma dari sudut media, mungkin persma hanyalah satu bagian kecil yang turut mewartakan peristiwa-peristiwa saja. Apalagi di jaman sekarang yag kita dapat dengan mudah mencari dan menerima berita apapun lewat gawai.

Tapi 2 atau 3 dekade lalu, pers mahasiswa memiliki peran yang startegis di ranah baik sosial maupun politik. Wisnu Prasetya Utomo, dosen Departemen Fisipol UGM,merunut sejarah pers mahasiswa dalam diskusi Forum AES kali ini. Wisnu menjabarkan bagaimana persma mahasiswa membawa semangat yang tak terbebani oleh berbagai kepentingan politik. Hal ini penting sebagai jawaban akan tekanan politik pada masa kekuasaan orde baru kala itu.

Diawali dengan pemaparan artikel Daniel Dhakidae, seorang Kepala Litbang kompas 1977, yang saat itu resah dengan kondisi pers umum yang penuh dengan tekanan politik bahkan banyak media umum yang dibredel. Meskipun belum secara eksplisit menyebut persma dalam artikel yang dimuat di Jurnal Prisma tahun 1977 itu, Dhakidae menyatakan adanya kebutuhan pers alternatif dalam upaya menyuarakan kepentingan publik.

Kegelisahan Dhakidae yang ditulis di Jurnal Prisma berjudul Cagar Alam Kebebasan Pers akhirnya terjawab dengan berkembangnya Persma. Persma ini seperti hidup seperti tanpa beban. Persma tidak takut dibredel, tidak takut tekanan politik, ataupun tekanan ekonomi politik lainnya dalam menyuarakan kondisi politik orde baru.

Reading Time: 2 minutes

Responds to the Discussion  Amir Efendi Siregar Forum held by the NADIM Center for Communication Studies dan Alternative Media Documentation (PSDMA) UII Communication Science this time, Saturday, November 14, 2020, discussed the history of the Indonesian student press. If you want to look at the student press from the point of view of the media, maybe the student press is just a small part that contributes to reporting events. Especially in this day and age where we can easily find and receive any news through our devices.

But 2 or 3 decades ago, the student press had a strategic role in both social and political spheres. Wisnu Prasetya Utomo, lecturer at the Faculty of Social and Political Sciences UGM, traced the history of the student press in the AES Forum discussion this time. Wisnu explained how the student press brings enthusiasm that is not burdened by various political interests. This was important in response to political pressure during the reign of the New Order at that time.

It begins with the presentation of the article by Daniel Dhakidae, a Head of Research and Development for Kompas in 1977, who at that time was unsettled by the condition of the general press which was full of political pressure and even many public media were banned. Although he had not explicitly mentioned the press in the article published in the Prisma Journal in 1977, Dhakidae stated the need for an alternative press in an effort to voice the public interest.

Finally, Dhakidae’s anxiety which was written in the Prisma Journal entitled Press Freedom Nature Reserve was finally answered by the development of student press. student press was like life without a burden. Student press was not afraid of being banned, was not afraid of political pressure, or other political economy pressures in voicing the political conditions of the New Order.

 

Reading Time: 3 minutes

Death is a sure thing even though it is mysterious. In the situation of the Covid 19 outbreak, death due to covid is a disgrace. Even in some areas there are those who do not want to accept corpses to be buried in these graves.

There were also residents who seized their brother’s body because they were not willing to be buried in a procession according to the covid-19 funeral protocol. There is even a phenomenon of death which is also tragic. A woman in Chicago, United States who was murdered by her lover because of shortness of breath. After that he shot himself dead for fear of the stigma of corona in society.

Prof. Dr. Deddy Mulyana, MA said, in the phenomenon of death due to Covid 19, there is a social construction that says dying because of Covid 19 is a disgrace. “Social reality is also influenced by social construction,” explained Deddy in #NgajiKomikasi with the theme Phenomenology Wisdom of the Covid-19 Pandemic on (11/11).

Besides Deddy Mulyana, Ridwan Hamid, Lc, MPI, MA were also present as speakers and moderated by Dr. Subhan Afifi, M.Si., Communication Lecturer at UII strategic communication research cluster.

The #NgajiKomunikasi which was first organized by the Communication Science Study Program of the Islamic University of Indonesia, was also broadcast live via the YouTube channel Uniicoms TV.

Deddy Mulyana said that death, which means being left behind by someone forever, is indeed painful. “Moreover, bearing disgrace as a consequence of social stigma is also more painful,” he added.

Then what is phenomenology?

“Phenomenology is a meaning, in this case it is the meaning of death. Now, to get out of social construction, suggested Edmund Husserl,” said Deddy in the Zoom Conference, “one needs to investigate again about the nature of reality by getting rid of the conception of meaning something.”

According to him, this suggestion is indeed grandiose. “Because Husserl does not provide practical guidelines for doing so,” argued Mulyana.

The meaning of phenomenology kneels Alfed Schutz that someone will interpret events after they have passed. Phenomenology can also be defined as the meaning of reality.

What is meant by what he said earlier by reality. Reality consists of various dimensions: everyday reality, scientific reality, post-truth, daydreaming, imagination, dreams, madness, the realm of the grave, and the realm of the spirit. “Everyday reality is the most dominant, but there are other realms that affect a person’s real life.”

In the phenomenology of death, “death is like dramaturgy, like theater. The aim is to please the audience. There is a front stage and a backstage,” Mulyana explained.

If you want to investigate further, scientifically all biological deaths are no longer breathing, loss of heartbeat. it’s a scientific phenomenon, he said. The Hindu version defines death as a transition to reincarnation. whereas in Islam and Christianity, it means the door to immortality. “But socially, every death can be different in each region. Some are wrapped in sadness, some are wrapped in joy and celebrations, some are prayed for,” he later explained.

Therefore Ali ibn Abu Talib told Kumail that if the dead person in the grave could speak, he would say that the best provision is piety. “And the grave is a place to accommodate charity. And we only realize after death,” he concluded.

So, according to Ridwan Hamid, the next speaker, it is the preparation before facing death that is important. It is important for humans to be aware of and implement and understand the foundation of life curriculum. The foundation that needs to be understood is the Koran, the Apostolate, death and resurrection, reckoning, also understanding the concepts of heaven and hell.

Then, Ridwan continued, understanding the surrounding nature, the story of the past people, and also understanding humans and monitoring the unseen. It is also necessary to understand sunnatut Tadaafu ‘which means that in life there is a conflict between what is true and what is false.

 

Reading Time: 2 minutes

Kematian itu hal yang pasti meskipun misterius. Dalam situasi wabah covid 19, kematian karena covid menjadi aib. Bahkan di beberapa wilayah ada yang tidak mau menerima jenazah mayat untuk dikuburkan di makam tersebut.

Ada juga warga yang merebut jenazah saudaranya karena tidak rela dimakamkan dengan prosesi sesuai protokol pemakaman covid-19. Bahkan ada fenomena kematian yang juga tragis. Seorang perempuan di Chicago Amerika Serikat yang dibunuh kekasihnya karena sesak napas. Setelah itu ia menembak mati dirinya karena takut akan stigma corona di masyarakat.

Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A mengatakan, dalam fenomena kematian karena covid 19 ini, terjadi konstruksi sosial bahwa mati karena covid 19 adalah aib. “Realitas sosial itu juga dipengaruhi oleh konstruksi sosial,” jelas Deddy dalam #NgajiKomunikasi bertema Fenomenologi Hikmah Pandemi Covid-19 pada (11/ 11).

Selain Deddy Mulyana, hadir juga Ridwan Hamid, Lc, M.P.I., M.A sebagai pembicara serta dimoderatori oleh Dr. Subhan Afifi, M.Si., Dosen Komunikasi UII klaster riset komunikasi strategis.

#NgajiKomunikasi yang diselenggarakan perdana oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, ini juga disiarkan secara langsung lewat saluran youtube Uniicoms TV.

Deddy Mulyana mengatakan kematian yang artinya adalah ditinggal oleh seseorang selamanya itu memang menyakitkan. “Apalagi dengan menyandang aib sebagai konsekuensi stigma sosial juga lebih menyakitkan,” imbuhnya.

Lalu apa itu fenomenologi?

“Fenomenologi adalah sebuah pemaknaan, dalam hal ini adalah pemaknaan kematian. Nah, untuk keluar dari kontruksi sosial, saran Edmund Husserl,” kata Deddy dalam Zoom Conference, “seseorang perlu untuk menelisik lagi soal hakikat realitasnya dengan menyingkirkan konsepsi dalam memaknai sesuatu.”

Menurutnya, hal saran ini memang muluk. “Karena Husserl ini tidak memberikan panduan praktis untuk melakukannya,” sanggah Mulyana.

Pemaknaan Fenomenologi merutut Alfed Schutz bawa seseorang akan memaknai peristiwa setelah peristiwa berlalu. Fenomenologi juga dapat diartikan pemaknaan tentang realitas.

Apa yang dimaksud dengan yang ia sebut tadi dengan realitas. Realitas terdiri dari berbagai dimensi: realitas sehari-hari, realitas ilmiah, pasca kebenaran, melamun, imajinasi, mimpi, kegilaan, alam kubur, dan alam ruh. “Realitas sehari-hari itu emang paling dominan, tapi ada alam lain yang mempengaruhi kehidupan nyata seseorang.”

Dalam fenomonologi kematian, “kematian ini seperti dramaturgi, seperti teater. Yang bertujuan untuk menyenangkan khalayak. Ada panggung depan dan panggung belakang,” jelas Mulyana.

Jika ingin ditelisik lebih jauh, secara ilmiah semua kematian secara biologis adalah tidak lagi bernafas, hilang detak jantung. itu Fenomena ilmiah, katanya. Versi hindu memaknai kematian sebagai transisi menuju reinkarnasi. sedangkan dalam islam dan kristen, ia dimaknai pintu menuju keabadian. “Tapi secara sosial, setiap kematian bisa berbeda di tiap daerah. Ada yang dibalut kesedihan, ada yag dibalut kegembiraan dan dirayakan, ada yang didoakan,” jelasnya kemudian.

Oleh karena itu Ali bin Abu Thalib mengatakan kepada Kumail bahwa jika orang mati di kuburan itu bisa bicara, ia akan berkata bahwa bekal paling baik adalah takwa. “dan kuburan adalah tempat menampung amal. Dan kita baru menyadari setelah mati,” tutupnya.

Maka, menurut Ridwan Hamid, pembicara berikutnya, persiapan sebelum menghadapi kematian itulah yang penting. Penting untuk manusia sadar dan menjalankan dan memahami kurikulum pondasi kehidupan. Pondasi yang perlu dipahami itu adalah Alquran, Kerasulan, kematian dan kebangkitan, hisab, juga memahami konsep surga dan neraka.

Lalu, Ridwan melanjutkan, memahami alam sekitar, kisah umat terdahulu, dan juga memahami manusia beserta pengawasan terhadap yang ghaib. Juga perlu memahami sunnatut Tadaafu’ yang artinya bahwa dalam kehidupan ada pertentangan antara yang benar dan yang batil.

Reading Time: 3 minutes

Menjadi reviewer Jurnal punya tips yang gampang-gampang susah. Ia harus jeli memberi penilaian, sekaligus tertib prosedur Open Journal System (OJS). Jika tidak, tentu proses peningkatan mutu lewat akreditasi Arjuna terindeks di level nasional lewat indeks Sinta (Science and Technology Index) akan jauh dari capaian. Reviewer, managing editor, dan Editor in Chief menjadi garda terakhir penjaga kualitas substansi dan manajemen penerbitan jurnal sehingga menjadi terindeks Sinta.

“Jika substansi terbitan sudah tidak bisa lagi diubah, anda bisa saja menaikkan nilai kualitas jurnal dari sisi manajemen jurnal,” ungkap Prof. Rajab Ritonga, salah satu pembicara dalam Silaturahmi dan Workshop Review Jurnal pada 11 November 2020. “Jika sudah begitu, tentu tingkat indeks Sinta anda bisa saja lompat langsung ke Sinta 2,” katanya menambahkan. Acara workshop yang diadakan oleh Unit Jurnal dan Publikasi Karya Ilmiah Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) ini menghadirkan Profesor Rajab Ritonga dari Univ. Moestopo Beragama, Jakarta, sebagai pembicara kunci bersama Dr. Fuad Nashori, Associate Profesor di Jurusan Psikologi FPSB UII. Sekira lebih dari 40 pengelola jurnal baik dari Jurnal Komunikasi, Jurnal Intervensi Psikologi, Jurnal Psikologika, dan Asian Journal of Media and Communication, hadir berdiskusi dan bertukar pengalaman.

Menurut Rajab, mengatakan lewat aplikasi Zoom Meeting, Jurnal Komunikasi yang dikelola Prodi Ilmu Komunikasi UII sudah layak untuk re-akreditasi. Beberapa syarat kunci sudah terpenuhi. Sisanya tinggal membenahi di tingkat pengelolaan jurnal lewat Open Journal System (OJS). Empat syarat jurnal terakreditasi Sinta oleh Kemenristek BRIN sudah terpenuhi. Misalnya empat syarat tersebut adalah Terbit rutin lewat OJS, terbit minimal lima naskah secara konsisten selama 2 tahun berturut-turut, ada pengenal objek digital atau biasa disebut DOI (Digital Object Identifier), dan memiliki E-ISSN.

Tidak hanya itu, ada syarat lain, yaitu naskah haruslah merupakan hasil penelitian, disunting dan diulas oleh reviewer dengan baik, dan menggunakan bahasa yang baik. “Ini baru syarat dasar,” kata Rajab. Syarat lainnya adalah meningkatkan nilai Sinta dengan benahi sisi pengelolaan. Misal editor yang berasal dari beragam kampus (tidak hanya di pulau jawa), pengelola punya tulisan indeks Scopus, terbit rutin dan tidak terlambat, hingga mengelola proses kerja di OJS dengan konsisten dan rapi.

Sampai saat ini, Jurnal Komunikasi UII telah memiliki editor dari dalam dan luar UII. Jurnal ini juga telah memiliki editor dari luar pulau Jawa, yag notabene jurnal-jurnal di kampus pulau jawa masih didominasi editor dari pulau jawa sendiri. “Kalau editor dan reviewernya berasal dari kampus ang beragam, dan bekerja secara disiplin, pastinya mudah naik level,” kata Rajab. Apalagi jika ada reviewer internasional, untuk jurnal berbahas inggris (internasional).

Bagaimana Meraih Standar Jurnal dengan Level Sinta 2 sesungguhnya?

Workshop ini tak hanya menyegarkan ingatan para pengelola jurnal soal tertib pengelolaan jurnal, melainkan juga menyelaraskan standar agar mudah meraih standar indeks SINTA bahkan di SINTA 2. Rajab Ritonga yang juga adalah Assesor Akreditasi Jurnal Nasional turut berbagi dan menilai kecukupan Jurnal-jurnal di FPSB UII dengan standar KemenristekBRIN.

Beberapa pertanyaan muncul. Misalnya dari Narayana Mahendra dan Puji Rianto. Keduanya merupakan pengelola Jurnal Komunikasi UII. Narayana bertanya soal standar pengelolaan jurnal di SINTA 4 apakah berbeda dengan jurnal yang telah mencapai indeks Sinta 2? Selama ini, pengalaman pengelolaan jurnal di Jurnal Komunikasi utamanya, terkesan ketat. “Bahkan karena kita tidak sempat menyelaraskan soal Sinta itu, jadi kita menetapkan kualitas yang maksimal saja dari sisi substansi,” kata Puji Rianto menambahkan.

Menurut Fuad Nashori,tentu level Sinta suatu jurnal memengaruhi tingkat kemudahan menembus editor jurnal. Meski begitu, sah-sah saja jika pengelola jurnal memiliki standar kualitas yang tinggi. “Tentu pengelola jurnal tetap siap dengan resiko tinggi atau rendahnya atensi dan apresiasi dari penulis jika standar kualitasnya seperti itu,” jawab Fuad menutup sesi.

Rajab Ritonga juga berbagi dan menilai kualitas Jurnal Komunikasi UII. Menurutnya, kunci dari meningkatkan level jurnal menjadi Sinta 3 bahkan 2 adalah konsitensi menjaga mutu substansi naskah dan manajemen jurnal yang ketat. “Bahkan kalau beberapa orang bilang sulit mencapai Sinta 2 atau 1, anda bisa saja melakukan lompatan dengan merombak terbitan dengan bahasa inggris, mengundang penulis, reviewer dan editor dari internasional, dan konsisten, tentu anda bisa meraih scopus. Jika sudah scopus, anda bisa otomatis Sinta 1,” tantang Rajab Ritonga pada seluruh pengelola jurnal di FPSB UII.

 

Reading Time: 2 minutes

Bagaimana menjaga mutu Jurnal dengan konsisten? Bagaimana menegakkan standar Akreditasi Sinta 2 dan 3 pada tugas reviewer dan Editor Jurnal? Apakah mungkin jurnal sinta 5 naik langsung sinta 2?

Unit Jurnal dan Publikasi Karya Ilmiah Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) berusaha menjawab tanya itu dengan mengadakan Workshop Review Jurnal. Kegiatan ini dihadiri kurang lebih 40 reviewer dan editor jurnal di lingkungan FPSB UII. Selain untuk menyambung silaturahmi, workshop juga dilakukan untuk meningkatkan wawasan pengelola jurnal.

Fuad Nashori, sebagai pemateri, mengatakan mutu sebuah naskah ada di tangan reviewer juga. Reviewer harus menyadari bahwa ia adalah penjaga pengembangan ilmu dan perkembangan karir keilmuwan. Tak hanya itu, reviewer jurnal juga harus.”bersikap terbuka terhadap perkembangan gaya penulisan jurnal,” kata Fuad di tengah sesi.

Disiplin dalam OJS juga penting, kata Rajab. Ini kunci meningkatkan nilai dalam akreditasi Jurnal. Pasalnya, semua terekam secara digital dan daring. Maka tidak bisa pengelola jurnal terlambat menerbitkan jurnal lebih dari tenggat. “Kalau bisa dikebut dilembur, karena nilainya bisa berkurang,” kata Rajab. Belum lagi, jika jurnal terindikasi naskahnya plagiat, nilainya bisa turun 15 poin dari penilaian assesor.  Maka harus siapkan Journal Publishing Agreement sebagai bentuk penyataan keaslian naskah jurnal.

Pengelola jurnal yang hadir adalah beberapa dari Jurnal Intervensi Psikologi, Jurnal Komunikasi, Jurnal Psikologika, Asian Journal of Media and Communication dan Jurnal Intervensi Psikologi.  Rabu (11/11) menjadi pilihan pelaksanaan pelatihan ini dengan aplikasi Zoom Meeting.  Pertemuan Zoom ini menghadirkan Dr. Fuad Nashori, Associate Profesor di Jurusan Psikologi FPSB UII.

Pembicara lain yang hadir berbagi adalah assesor akreditasi ARJUNA SInta dari Kemeristek BRIN, Profesor Rajab Ritonga dari Univ. Moestopo Beragama yang juga adalah pengelola Jurnal ISKI. Mutu jurnal sangat tergantung oleh disiplin managing editor dan editor in chief. Managing Editor adalah orang yang memastikan deadline dipenuhi oleh author, reviewer, dan seluruh pengelola sehingga naskah terbit tepat waktu. Ia juga mengawal perbaikan dan pergerakan naskah dalam Open Journal System (OJS). Tentu tidak mudah.

Prof. Rajab Ritonga mengatakan jika tugas managing editor ini berjalan lancar, hasilnya akreditasi jurnal bisa meningkat. Tak jarang ada yang awalnya sinta 5, bisa naik jadi Sinta 3 atau 4 bahkan 2. “Bahkan ada jurnal otomotif di kampus magelang itu bisa  otomatis sinta 1 akreditasinya karena sudah scopus dan spesifik sekali,” ungkap Rajab menjawab pertanyaan peserta. “Banyak yang tidak bisa Sinta 1 karena memang sulit. Tapi kalau sudah dapat scopus, tentu otomatis.” katanya mendorong para pengelola jurnal.

 

 

Reading Time: 2 minutes

Amir Effendi Siregar (AES) adalah pendiri Prodi Ilmu Komunikasi UII. Ia adalah pejuang, aktivis, memperjuangkan demokratisasi media di indonesia. Ia adalah role model praktisi, akademisi, dan aktivis.

“Sesuatu yang agak sulit ditemukan karena berada di tiga wilayah berbeda,” kata Puji Rianto dalam diskusi ilmiah Forum Amir Effendi Siregar (Forum AES) yang disiarkan langsung di Channel Youtube Uniicoms TV, Prodi Ilmu Komunikasi UII, pada 7 November 2020.

Bagaimana Puji memetakan pemikiran AES?

Ia membaca karya-karya utama AES lalu dikelompokkan dalam tema-tema pokok yang relevan. Puji kemudian mencari benang merah demi menemukan ide atau gagasan dasar AES.

Profil AES pernah yang disebut Puji pernah berada di tiga wilayah berbeda adalah pernah menjadi Sekjend SPS, Anggota Dewan Pers, Pendiri serta Ketua PR2media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media), dan di level praktisi juga pendiri majalah Wartaekonomi.

Puji menjejak atas pemikiran Bang Amir, panggilan akrab AES, adalah pemikiran yang kental akan Sosialisme Demokrasi. Baik dalam pemikiran soal isu kenegaraan maupun demokratisasi media.

Puji ingin menegaskan, bahwa sejak AES menjadi aktivis pers mahasiswa, ia telah menuangka gagasannya dalam membicarakan persoalan kebangsaan. Menurut Puji, itu tertuang misalnya dalam buku ‘Pers Mahasiswa, Patah Tumbuh Hilang Berganti’ yang ia tulis menjadi Skripsi. AES menulis, “Sejak kemerdekaan republik INdonesia, sistem politik indonesia selalu bergeser dari langgam libertarian ke authoriarian dan sebaliknya,” kata puji membaca bagian dari buku AES.

“Indikator sebuah negara yang demokratis,” lanjut Puji, “adalah terdapatnya jaminan kemerdekaan berekspresi (freedom of expression), kebebasan berbicara, dan kemerdekaan pers,” kata Puji.

Inilah peta garis besar pemikiran Bang Amir yang tertuang dalam bukunya ‘Menegakkan Demokratisasi Penyiaran’ ini. Buku ini adalah buku yang ia siapkan dan disampaikan sebagai saksi ahli dalam Sidang Mahkamah Konstitusi pada Perkara No. 78/PUU-Ix/2011 tanggal 15 Februari 2012 tentang pengujian Undang-undang 32/ 2002 tentang penyiaran terhadap UUD RI 1945

Visi AES, ungkap Puji, adalah visi sosdem (Sosialisme Demokrasi) AES untuk media. “Diversity (keberagaman) penting, tanpa adanya jaminan terhadap diversity of voices, diversity of content, dan diversity of ownership ini maka akan membuka peluang munculnya otoritarianisme baru. ototrianisme kapital, dan oligopoli oleh segelintir orang atas nama freedom dan dengan sendirinya membunuh demokrasi,” jelas Puji Rianto, yang juga adalah ahli riset khayalak dan regulasi media dan komunikasi di Komunikasi UII.

Puji menjelaskan, karya-karya AES dan PR2media hampir selalu mensyaratkan keberagaman dan secara bersamaan menolak sentralisasi dan konsentrasi. “Bahkan beliau (AES) menolak judul yang singkat dan padat kalau tidak bisa memastikan adanya demokrasi, adanya keberagaman,” kenang Puji.

Maka dari itulah, “buku PR2media selalu ada sub judulnya, itu untuk memastikan bahwa konsep demokrasi muncul,” katanya. Itu juga untuk memastikan bahwa oligopoli adalah sebuah hal yang bahaya, “dan keberagaman adalah suatu hal yang diperjuangkan itu muncul di sana,” papar Puji mengenang hari-hari bersama Bang Amir ketika menggarap buku-buku PR2Media.

 

—————-

 

Reading Time: 2 minutes

Amir Effendi Siregar (AES) is the founder of UII Communication Studies Study Program. He is a fighter, activist, fighting for the democratization of the media in Indonesia. He is a role model for practitioners, schoolars, and activists at once.

“Something that is rather difficult to find because it is located in three different regions,” said Puji Rianto in a scientific discussion at the Amir Effendi Siregar Forum (AES Forum) which was broadcast live on the Youtube Channel of Uniicoms TV, UII Communication Science Study Program, on November 7, 2020.

How Puji mapped AES thinking?

He read the main works of AES and then grouped them into relevant main themes. Puji then looks for a common thread in order to find the basic idea or idea of ​​AES.

AES profile, which Puji mentioned, has been in three different regions, being Secretary General of SPS, Member of the Press Council, Founder and Chair of PR2media (Regulatory Monitor and Media Regulator), and at the practitioner level he was also the founder of Warta Ekonomi magazine.

Praise is tracing the thoughts of Bang Amir, the nickname of AES, is a thought that is thick with Democratic Socialism. Both in thinking about state issues and in democratizing the media.

Puji wants to emphasize that since AES has become a student press activist, he has drawn his ideas in discussing national issues. According to Puji, this was stated for example in the book ‘Student Press, Broken Tumbuh Hilang Changing’ which he wrote as a thesis. AES wrote, “Since the independence of the Republic of Indonesia, the Indonesian political system has always shifted from libertarian to authoriarian and vice versa,” said Puji reading part of the AES book.

“The indicator of a democratic country,” Puji continued, “is the guarantee of freedom of expression, freedom of speech and freedom of the press,” said Puji.

This is an outline map of Bang Amir’s thoughts which is contained in his book ‘Menegakan Democratization of Broadcasting’. This book is a book that he prepared and presented as an expert witness in the Constitutional Court Session on Case No. 78 / PUU-Ix / 2011 dated February 15, 2012 concerning the review of Lawconcerning broadcasting of the 1945 Indonesian Constitution.

32/2002AES vision, said Puji, is AES ‘sosdem (Democratic Socialism) vision for the media. “Diversity is important, without the guarantee of diversity of voices, diversity of content, and diversity of ownership, it will open up opportunities for the emergence of new authoritarianism, capital autocraticism and oligopoly by a few people in the name of freedom and by itself kills democracy,” explained Puji Rianto, who is also an expert on imaginary research and media and communication regulation at UII Communications.

Puji explained that the works of AES and PR2media almost always require diversity and at the same time reject centralization and concentration. “In fact, he (AES) rejected a short and concise title if he could not ensure democracy and diversity,” recalled Puji.

Therefore, “the PR2media book always has subtitles, it is to ensure that the concept of democracy emerges,” he said. That is also to ensure that oligopoly is a dangerous thing, “and diversity is something that is being fought for, it appears there,” said Puji reminiscing about the days with Bang Amir while working on PR2Media books.

Reading Time: < 1 minute

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 16)

Topik:

Melacak Jejak Pemikiran Amir Effendi Siregar (AES): Dari Pers Mahasiswa Hingga Sosialisme Demokrasi Media

 

Pembicara:

Puji Rianto

Staf Pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, dan telah menjadi murid Amir Effendi Siregar (AES) sejak kuliah S1 di FISIPOL UGM hingga terlibat penuh dalam membantu AES mendirikan dan menggerakkan PR2Media. Lembaga nirlaba yang menaruh perhatian pada demokrasi media melalui penelitian, pendidikan, dan advokasi regulasi media, yang menjamin freedom dan keberagaman.

Jadwal

Sabtu, 7 November 2020
Pukul 09:30 WIB
Via Zoom

atau tonton di:

Registrasi:

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by PSDMA Nadim Komunikasi UII (@nadimkomunikasiuii) on

Reading Time: 2 minutes

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia mengadakan:

Ngaji Komunikasi “Fenomenologi Hikmah Pandemi Covid-19”

Pada Rabu, 4 November 2020 jam 13.00-14.45 WIB Via Zoom Meeting  (http://bit.ly/PengajianIlkom)

Bersama Prof Dr Deddy Mulyana MA dan Ustadz Ridwan Hamidi, Lc, M.P.I, MA

***************************************************************************************************

Bagi Muslim, setiap kondisi yang dihadapi, baik baginya. Syukur dan sabar selalu menjadi sikap hidup positifnya. Termasuk dalam menghadapi musibah. Selalu ada hikmah dari setiap musibah yang ditakdirkan Allah Ta’ala terjadi di muka bumi. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda :

 

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

 

Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim).

 

Musibah menjadi ujian untuk orang-orang beriman agar tetap berada dalam kesabaran, tidak putus asa dari rahmat Allah dan tetap konsisten dalam beragama, termasuk menjadi semakin taat dan takut kepada Allah Ta’ala, sebagaimana firmanNya :

 

وَمَا نُرْسِلُ بِالآيَاتِ إِلا تَخْوِيفًا

 

Dan tidaklah Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti.” (QS. Al-Israa: 59)

 

Menarik untuk mengkaji bagaimana hikmah Covid-19 dari sisi Fenomenologi komunikasi. Fenomenologi Komunikasi mengamati gejala sosial yang muncul dari setiap proses komunikasi yang terjadi di tengah masyarakat. Termasuk mempelajari suatu fenomena dengan cara dan keunikan dari sisi orang-orang yang diamati. Bagaimana fenomenologi pengalaman orang-orang yang menghadapi kondisi terpapar Covid-19, mengatasi situasi ketakutan, mengelola optimisme untuk sembuh dan bangkit, hingga fenomenologi kematian karena Covid-19 ?

 

Prof Dr.Deddy Mulyana, MA sebagai guru besar komunikasi yang banyak melakukan penelitian Komunikasi Antarbudaya dan Komunikasi Kesehatan dengan perspektif Fenomenologi InsyaAllah akan berbagi hasil refleksi dan penelitian terbaru terkait Covid-19.

 

Dari perspektif Islam, penting untuk dikaji bagaimana Islam memandang musibah, apa hikmah yang bisa didapatkan dari musibah, bagaimana sikap yang tepat menghadapi musibah, bagaimana Pandemi Covid-19 bisa dijadikan sebagai momentum yang tepat untuk muhasabah (introspeksi diri), zikrul maut (mengingat kematian) dan muraqabah (merasa dekat dan diawasi  Allah Ta’ala).

 

Ustadz Ridwan Hamidi, Lc, M.P.I, MA diharapkan dapat memberikan pencerahan dan taushiyah tentang hikmah Covid-19 dalam perspektif Islam.

***************************************************************************************************

Berikut Dokumentasi