Komunikasi Profetik: Islam sebagai Sistem Pengetahuan

diskusi Komunikasi profetik
Reading Time: 2 minutes

Akhir tahun 2020 lalu, Holy Rafika Dhona menulis ssebuah buku yang diterbitkan oleh UII press. Dalam buku yang berjudul Komunikasi Profetik ‘Perspektif Profetika Islam ini, Holy banyak merujuk pada Kuntowijoyo yang juga melihat islam sebagai sebuah konsep ilmu pengetahuan ketimbang bangunan religiusitas semata.

Menurut Holy, Kuntowijoyo sebenarnya hanya mencoba menjelaskan bagaimana mengimplementasikan paradigma profetik itu. “Ya itu Kunto menjelaskan metode profetik dengan dua itu: sintetik analitik dan struktural transendental. Lalu saya tambahkan dialektika historis karena melihat tentu Kunto sebagai sejarawan menggunakan itu,” jelasnya. Holy Rafika Dhona mengatakan hal tersebut dalam Bedah Bukunya pada Minggu (17/1) secara daring dalam Forum Alumni KBM (Kajian Budaya dan Media).

Dari sini, Holy ingin menekankan bahwa ia lebih menambahkan bagaimana komunikasi profetik dijadikan sebagai alat perlawanan kaum yang lemah, dan membela mustad’af (kaum lemah atau kelompok rentan).

Holy berusaha mentranslate istilah profetik ke hal yang sifatnya komunikasi. “Islam itu sistem pengetahuan, kemudian kita perlu mengembangkannya, dan dia menamankannya sebagai perspektif profetik. Kata Kunto,” jelas Holy menerangkan soal perspektif Profetik ala Kuntowijoyo.

“Saya kini sedang menyusun sejarah wacana mengenai kenapa muncul komunikasi islam. Misalnya bila membahas tokoh Harjani Hefni. Menurut saya, model logic-nya mengimpor seluruhnya yang ada di Mesir sana kemudian diterjemahkan ke Indonesia. Jadi muncul komunikasi islam itu. Kalau Prof Iswandi ambilnya dari Kuntowijoyo. Lalu ada yang membedakan Komunikasi Islam, Komunikasi Dakwah, dan lain-lain. Terminologi ini dari Prof. Iswandi saya ambil,” kata Holy.

Muhammad Heychael, Dosen Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, juga merupakan salah satu pembedah buku dalam forum tersebut, mengatakan bahwa buku ini mampu keluar dari jebakan islamisasi pengetahuan yang sangat dikotomis ditahun 80-an, terlepas dari kekurangan metodologi dan praksis. “Islamisasi pengetahuan ini adalah ada semacam penandaan bahwa yang ini islam dan yang ini tidak. Dan ini muncul dari inferioritas globalisasi. Dan ini akhirnya tidak substantif,” kata Heychael berpendapat.

Alih-alih menandai, apa yang perlu disumbangkan islam pada wacana itu, “Menurut saya ini jadi penting sehingga kita tidak menjadi normatif. Jadi tidak sibuk menandai ini sekular dan islami, lalu tetapi tidak memunculkan substansi hal yang baru. Dan Holy berhasil keluar dari jebakan itu,” Heychael menambahkan.

Menurut Heychael, buku yang ditulis Holy dalam buku ini barulah bagian awal yang menjabarkan prinsipnya saja. Ia memberikan pandangan untuk menjabarkan buku ini dengan perspektif baru sebagaimana Kuntowijoyo, misalnya tentang bagaimana konsep komunikasi profetik digunakan dalam jurnalisme atau ranah lain.

“Apa yag ditulis Holy belum selesai. Dialognya belum selesai. Kita mungkin saja bisa menawarkan perspektif baru dari yang sebelumnya. Kan kunto itu perspektif teologi pembebasan. Misal kita ambil dari jurnalisme. Bagaimana jurnalisme menggunakan ini (komunikasi profetik). Bagaimana konsep keberpihakannya, bagaimana konsep keadilannya. Nah Holy baru menggambarkan prinsipnya,” terangnya.