Polandia
Reading Time: 2 minutes

Deretan tugas akademik dilakoni oleh Kaprodi Ilmu Komunikasi UII selama satu bulan di Krakow, Polandia. Pada minggu-minggu terakhir Iwan Awaluddin Yusuf, PhD. setidaknya menyelesaikan beberapa tugas tersebut mulai menjadi reviewer tamu dalam simposium hingga presenter di konferensi yang digelar Krakow University of Economics.

“Tiga kegiatan akan saya ikuti selama pekan terahir ini. Simposium (sebagai reviewer tamu), Konferensi ODDEA, dan Konfernsi internasional UEK beserta 3 negara penyelenggara. Saya insyaAllah menjadi presenter di konferensi yg ketiga ini,” ujarnya menjelaskan.

21st Four-Party Scientific Conference, Krakow University of Economics yang diselenggarakan pada 27 hingga 28 Mei 2024 mengangkat tema Contemporary Economy in the face of Economic, Social and Political Crises (Economic, Managerial, Social and Legal Aspects).

Konferensi tersebut merupakan program tahunan yang digagas oleh empat universitas yakni Krakow University of Economics, State University of Trade and Economic, University of Kragujevac, dan University of Messina.

Tema tersebut beririsan dengan berbagai permasalahan pada disrupsi industri media di Indonesia terutama krisis pasca pandemi Covid-19. Dalam kesempatan itu beliau menyampaikan materi bertajuk Beyond Boundaries: The Evolving Landscape of Indonesia’s Media Industry in the New Normal.

“Karena tema besar konferensinya “ekonomi di era krisis dan new normal”, saya ambil yang nyambung dengan fokus industri media di Indonesia dengan salah satunya bahas tutupnya media cetak itu dan kebangkitan model-model bisnis baru yang terus mencari bentuk di tengah ketidakpastian,” tambahnya.

Dalam presesntasi tersebut ada empat pembahasan pokok yakni terkait lanskap industri media di Indonesia, digitalisasi dan disrupsi media, pergeseran tren media, hingga rekomendasi untuk berinovasi dalam model bisnis media.

Sebelumnya beberapa artikel dan riset yang relate dengan topik juga pernah digarap sperti artikel berjudul Bagaimana COVID-19 Menciptakan Normal Baru Bagi Media dan Jurnalis yang terbit pada laman The Conversation serta proyek bersama SAGE yakni The SAGE International Encyclopedia of Mass Media and Society yang diedit oleh Debra Merskin.

Perjalanan Kaprodi Ilmu Komunikasi UII tersebut merupakan bagian dari hibah European Union di bawah proyek the Horizon Europe Framework Programme dengan judul Overcoming Digital Divide in Europe and Southeast Asia (ODDEA).

Praktiknya, ODDEA mengirim dosen Eropa ke salah satu negara di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand) dan sebaliknya dosen Asia Tenggara dikirim ke salah satu negara Eropa (Poland, Montenegro, Slovakia).

 

Krakow
Reading Time: 3 minutes

Salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII berkesempatan terbang ke Krakow, Polandia untuk menjalankan berbagai tugas akademis. Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D. kini tengah menjalankan rangkaian program riset dan pertukaran peneliti Asia Tenggara dan Uni Eropa.

Perjalanan Kaprodi Ilmu Komunikasi UII tersebut merupakan bagian dari hibah European Union di bawah proyek the Horizon Europe Framework Programme dengan judul Overcoming Digital Divide in Europe and Southeast Asia (ODDEA).

Praktiknya, ODDEA mengirim dosen Eropa ke salah satu negara di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand) dan sebaliknya dosen Asia Tenggara dikirim ke salah satu negara Eropa (Poland, Montenegro, Slovakia).

“Di negara-negara ini kami menjadi “tamu” di kampus setempat yang ditunjuk (pengusul hibah) sebagai “rumah” berkegiatan,” jelasnya.

Yuk Intip Apa Saja yang Dilakukan Pak Iwan di Polandia?

Selama 30 hari di Krakow, selain riset dan menulis laporan yang akan dipublikasikan, beliau juga berkesempatan mengikuti beberapa konferensi dan sesekali mengajar atau diminta masuk kelas sebagai dosen tamu. Hal ini dilakukan agar para kandidat memperoleh pengalaman baru, paparan tradisi akademik, dan jejaring internasional dari kedua wilayah untuk saling memahami, berkolaborasi, dan berbagi pengetahuan.

Polandia

Berdasarkan rancangan Program ODDEA akan dijalankan selama empat tahun dengan target berbeda dan berkelanjutan dengan fokus mengatasi kesenjangan digital. Dalam pelaksanaan program para peserta dikelompokkan menjadi dua kategori: peneliti senior dan junior. Peneliti senior mengikuti program selama satu bulan, sementara peneliti junior mengikuti program selama dua hingga tiga bulan di negara mitra.

“Kebetulan saya adalah peserta tahun kedua dengan kategori pertama sehingga insyaAllah tinggal kurang lebih 10 hari menyelesaikan program ini di Polandia sebelum kembali ke Indonesia. Universitas yang menaungi saya adalah Krakow University of Economics (UEK), yang berlokasi di kota Krakow. Kota yang pernah menjadi ibukota Polandia sebelum berpindah ke Warsawa pada awal abad ke-17,” tambahnya.

Menjelajahi Berbagai Kota dan Keunikannya

Selama tiga pekan di Krakow kesempatan menjelajah berbagai kota tentu tak dilewatkan. Hal ini dilakukan untuk mendukung riset yang dilakukan. Dari perjalanan tersebut beliau mengaku menemukan pengalaman baru terkait tradisi akademik dan kehidupan ekonomi, sosial, budaya, hingga kuliner dan lansekap kota.

Tatra Mountain, Foto: Iwan Awaluddin Yusuf

“Karena melihat adalah bagian dari observasi, maka saya juga selalu menyempatkan melihat-lihat suasana dan landmark kota Krakow. Apalagi traveling menjadi kegiatan sekunder yang diajurkan di sela-sela kegiatan utama,” jelas Kaprodi Ilmu Komunikasi UII.

Sudut-sudut kota Krakow menyimpan berbagai sejarah hingga romantisme yang menarik untuk dijelajahi. Deretan kota yang sudah dijelajahi beliau antara lain Old Town, Kazimier, Salt Mine, Tyniec, dan Wawel Castle. Tak hanya menjelajah wilayah kota, blusukan ke pasar-pasar tradisional juga menjadi pilihan yang tak kalah seru, tak lupa mampir ke Islamic Center untuk Solat Jumat. Sementara pada pekan terakhir rencananya akan mengunjungi Zakopane, daerah pegunungan Tatra Mountain yang sangat terkenal di Eropa Tengah.

Pengalaman tinggal di luar negeri memang bukanlan kali pertama untuk beliau, sebelumnya hampir 4 tahun di Australia kendala bahasa bukanlah sesuatu yang sulit. Sementara bahasa Inggris bukanlah bahasa pengantar utama, warga lokal menggunakan bahasa asli Polandia yang terkenal cukup rumit.

“Berinteraksi langsung dengan warga lokal yang mayoritas berbahasa Polandia dan tidak bisa berbahasa Inggris. Sekadar informasi Bahasa Polandia konon termasuk 3 besar bahasa paling sulit dipelajari dunia. Karena ada kata ganti gender yang kompleks seperti Bahasa Arab. Inilah yang menjadikan bahasa Polandia sangat unik. Menyebut nama Krakow saja akan banyak variasi penulisannya: Krakowiak, Krakowski, Krakowska, Krakowie, Krakowia, Cracow, Cracovia,” jelasnya.

“Polandia memiliki sejuta keunikan dan keramahan yang membuat betah tinggal lama, meskipun banyak tantangannya tersendiri. Ini semua cukup berbeda dengan pengalaman saya menjalani empat tahun perjalanan studi di Australia. Meskipun sama-sama negara empat musim, Polandia memiliki banyak perbedaan dibanding Australia, terlebih Indonesia. Di luar tentu saja banyak pula kesamaan-kesamaannya dan kejutan-kejutannya,” tandasnya.

TikTok
Reading Time: 2 minutes

Artikel ilmiah berjudul Memes and Constructions of TikTok Culture in #DontPlayPlayBosku yang ditulis oleh Sumekar Tanjung, S.Sos, M.A. salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) telah terbit pada 15 Mei 2024 di Jurnal Studies in Media and Communication – RedFame.

Gagasan yang diungkapkan pada riset ini adalah, TikTok tidak hanya sekedar media sosial namun terdapat teks yang kompleks dan memetics. Selain memediasi dan memfasilitasi produksi video pendek, tetapi TikTok juga telah menjadi budaya. Sementara unggahan video di platform tersebut perharinya mencapai 35 milion menjadi kajian yang komprehensif.

Meme yang menjadi gagasan utama pada riset ini merupakan medium komunikasi sebagai bentuk ekspresi multipartisipan kreatif untuk menyampaikan identitas budaya dan politik yang mampu dinegosiasikan ternegosiasi. Namun di Bahkan TikTok telah melampaui itu, meme dikreasikan dengan secara remix atas gambar, video, audio, dan pesan. Dalam konteks budaya internet, meme menjadi artefak online yang disebarkan melalui peniruan, kompetisi, dan transformasi.

Jika sebelumnya meme hanya dianggap sebagai jokes, nyatanya meme memuat kritik sosial dan politik. Bahkan meme mampu membuat perubahan dan narasi publik baik secara langsung maupun online.

Terkait meme Don’t Play Play Bosku telah populer sejak tahun 2020 lalu, salah satu influencer Indonesia yakni Awkarin. Terlepas dari asumsi soal gaya hidup kelas atas yang dipamerkan oleh Awkarin, namun hal itu tak berarti mewakili kehidupan nyata dari influencer yang cukup berpengaruh di Indonesia.

Meme Don’t Play Play Bosku telah populer sejak 2020 lalu melalui influencer Indonesia, Awkarin.

“Dalam video pendek berdurasi 9 detik, Awkarin mengekspresikan ungkapan berbunyi, “Visi foya misi foya, visi misi foya foya. Don’t play play bosku.” Dengan dimaknai secara bebas, lelucon ini seolah mengajak pada siapapun yang menginginkan kepuasan materi, jangan membuang waktu, dan berlaku serius”.

“Kemudian “bosku” merupakan ekspresi informal. Beberapa orang di Indonesia mengatakan “siap bosku” alih-alih menjawab “OK” atau “OK boss”. Penggunaan istilah ini saat ini dapat dilekatkan kepada siapapun, tidak hanya kepada boss atau atasan tapi juga teman, orang yang lebih tua, sekedar untuk lucu-lucuan atau bercanda”.

Penelitian dilakukan dengan teknik pengambilan sampel puRposif dengan mencari tema-tema kaya informasi dan menangkap variasi analitik penting dalam fenomena. Dari 84.400 video, peneliti menyaring sampel 145 video kemudian mengambil 10 video yang mewakili dengan berbagai ketentuan memiliki kriteria yakni memiliki memperoleh likes lebih dari 50.000 likes dan 5.000 angka capaian shared. Hasil riset yang berfokus pada meme Don’t Play Play Bosku menunjukkan tiga klasifikasi tema yakni inadequacy (menjadi yang tidak memadai), metaphors and practice of playfulness (metafora praktik main-main), dan mental satire (sindiran kena mental).

“Temuan penelitian ini menegaskan bahwa konstruksi budaya TikTok pada pengguna terbentuk dari ritual bersama dalam peniruan dan replikasi. Mengkaji budaya TikTok semacam ini tidak dapat hanya mengacu pada analisis video secara tunggal, namun juga memerlukan analisis budaya TikTok sebagai platform partisipatif yang dibingkai algoritma”.

Penulis:

Sumekar Tanjung merupakan dosen Prodi Ilmu Komunikasi yang fokus dengan klaster riset Komunikasi Visual.

Studies in Media and Communication – RedFame

https://doi.org/10.11114/smc.v12i3.6842

 

Alumni
Reading Time: 2 minutes

Alumni Ilmu Komunikasi UII yang berada di wilayah Jakarta dan sekitarnya menggelar event fun football sebagai ajang silaturahmi. Event bertajuk “Datang, Tendang dan Guyub” sukses mengumpulkan 28 alumni untuk bermain sepak bola bersama pada 18 Mei 2024 di STR Mini Soccer Arena Jalan Ampera, Cilandak, Jakarta Selatan.

Momen pertemuan alumni lintas generasi ini merupakan kegiatan pertama yang dilakukan di luar Yogyakarta. Tujuannya sederhana, yakni menjalin silaturahmi sebagai kesatuan alumni Ilmu Komunikasi UII.

Ridho Alfian Alumni Ilmu Komunikasi UII Angkatan 2014 selaku Ketua Panitia berharap selain ajang silaturahmi, ia berharap momen pertemuan ini menjadi ruang saling bertukar pengalaman dan membangun relasi yang lebih solid.

“Bahwa diharapkan dengan dimulainya kegiatan ini, adek-adek dan abang-abang bisa lebih saling mengenal kembali bahwa ada keluarga Komunikasi UII di Jakarta sebagai wadah pertemanan dan bertukar pengalaman dalam konteks apapun sebagai satu kesatuan almamater Keluarga Ilmu Komunikasi UII,” ujarnya.

Kegiatan ini disambut positif salah satu alumni angkatan 2011, Ramzy Hamzah berharap kegiatan ini terus berlanjut dan menjadi pertemuan rutin.

“Ajang kegiatan ini positif, harapannya bisa dilakukan rutin 2 bulan atau 3 bulan sekali, agar bisa lebih berkembang dan merangkul banyak temen-temen Komunikasi,” tambah Ramzy.

Seperti pertandingan pada umumnya, pertandingan fun football yang berlangsung selama 120 menit berjalan seru. Format 3 team dibagi dengann acak setiap pemaiin di angkatan, ini merupakan cara juga untuk memacu jalinan awal untuk mengenal satu sama lain yang terpaut jauh angkatannya.

Keseruan tersebut juga diungkapkan Rozi Ismawanto, alumni angkatan 2015 yang baru setahun di Jakarta itu mengungkap tak menyesal karena seru dan menambah relasi.

“Ya ku suka kali agenda-agenda mini soccer ini, rasanya senang ada keluarga Ilmu Komunikasi yang sudah lama tak jumpa, saling lebih mengenal dan mampu menjalin banyak relasi di setiap angkatan, apalagi buat aku pribadi sangat senang,” ujarnya.

Rencana pengurus dan panitia kegiatan olahraga selanjutnya akan dipersiapkan lebih matang dengan konsep yang lebih menarik dengan selingan diskusi hingga cabang-cabang olahraga lainnya.

 

Academic Leader
Reading Time: 2 minutes

Salah satu dosen Prodi ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) yakni Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., MA terpilih sebagai peserta terbaik 2 Kategori Dosen Bidang Sosial Humaniora dalam Anugerah Academic Leader LLDIKTI Wilayah V pada 16 Mei 2024 di Yogyakarta.

Academic Leader (AL) merupakan bentuk anugerah dari Pendidikan Tinggi terkait Merdeka Belajar – Kampus Merdeka, dimana dosen sebagai pemimpin keilmuan yang visioner dan menginspirasi dosen muda dan mahasiswa melalui karya inovatif yang bermakna nyata baik secara akademik maupun kebermaknaan bagi pembangunan masyarakat dan bangsa.

“Kita bersyukur dari Prodi ada dosen yang mendapat apresiasi dari eksternal dalam hal ini LLDIKTI wilayah V yang menganugerahkan Academic Leader atau role model dalam pencapaian akademik,” ujar Prof. Masduki setelah menerima Anugerah Academic Leader.

Berawal dari Sekprodi Ilmu Komunikasi UII, Ratna Permata Sari, S.I.Kom, M.A. yang menunjuknya langsung untuk mewakili Prodi sebagai bentuk partisipasi.

“Bagi saya yang saya terima dari LLDIKTI tadi siang menurut saya mengejutkan karena saya berfikir hanya mengisi borang diminta oleh Pak Rektor kemudian juga Ibu Sekprodi semata-mata untuk berpartisipasi namun ternyata dinilai oleh tim dianggap menonjol (pencapaian akademik) dalam 5 tahun terakhir,” tambahnya.

Beliau menyebut jika beberapa kriteria penilaian meliputi karya-karya publikasi di jurnal, penulisan buku, hingga riset-riset dan yang paling utama adalah inovasi yang kita tekuni selama ini. Berdasarkan pengalaman Prof. Masduki, selain melakukan pekerjaan utama sebagai pengajar di kampus beliau juga melakukan berbagai pekerjaan di luar kampus yang mampu meningkatkan kompetensi.

“Jadi kalau boleh saya ceritakan bahwa apa yang saya kerjakan baik di kampus di luar kampus beberapa tahun terakhir terhubung dengan kompetensi sebagai peneliti dalam bidang media dan jurnalisme yang itu tidak semata-semata hanya mengajar di kelas tapi juga memberikan pelatihan, memberikan pengembangan untuk teman-teman dosen yang lain dalam hal publikasi dan saya terlibat dalam beberapa riset yang berkaitan dengan media dan jurnalisme yang muaranya bukan hanya publikasi tapi juga berupa draft rancangan undang-undang dan proses advokasinya hingga komisi 1 DPR itu yang disebut pengabdian masyarakat yang berdampak bagi kebijakan,” tandasnya.

Dengan adanya program apresiasi ini harapannya pada tahun-tahun selanjutnya dosen-dosen dari Prodi Ilmu Komunikasi UII bisa turut berpartisipasi dan meraih penghargaan yang sama atau lebih tinggi lagi.

“Pemilihan Pak Masduki itu langsung, karena saya berfikir beliau yang paling tepat dan itu benar-benar bertepatan pada momen Idul Fitri. Alhamdulillah beliau bersedia,” ungkap  Sekprodi Ratna Permata Sari, S.I.Kom, MA.

pelanggaran akademis
Reading Time: 3 minutes

Kasus pelanggaran akademis di tingkat universitas menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi hingga publik. Kasus ini perlu mendapat perhatian dan solusi karena merugikan pemerintah dan rakyat.

Dari investigasi yang dilakukan The Conversation Indonesia, Tempo, dan jaring.id, pelanggaran akademis yang terjadi pada tingkat universitas antara lain plagiarisme, kepengarangan yang tidak sah (ghostwriting dan paper mill), fabrikasi dan falsifikasi (pemalsuan data), pengajuan jamak, hingga konflik kepentingan penerbitan karya ilmiah yang bertujuan menguntungkan atau merugikan pihak tertentu.

Akibat palanggaran tersebut, tiga bulan pertama di tahun 2024 sebanyak 27 artikel ilmiah penulis Indonesia diretraksi atau dicabut dari laman penerbitan.

Beberapa bulan terakhir, deretan nama dosen dipecat dari institusi karena ketahuan melakukan pelanggaran akademis. Melansir dari jaring.id, pihak rektorat salah satu universitas swasta di Banten mengumumkan pencopotan Kepala Riset dan Pengabdian Masyarakat (dosen berusia 33 tahun) karena terbukti artikelnya yang dimuat pada Journal of Tourism and Attraction Vol 11 nomor 1 yang terbit tahun 2023 mencatut data dari mahasiswa Pascasarjana Universiti Malaya, Malaysia, Ghozian Aulia Perdana. Merasa dirugikan, mahasiswa tersebut mengunggah kecurangan tersebut.

Kejanggalan terjadi karena dosen berusia 33 tahun itu memiliki produktivitas tinggi dalam menghasilkan jurnal. Dalam setahun puluhan jurnal berhasil diproduksi dengan rata-rata 1-2 jurnal setiap bulannya. Kondisi ini diragukan oleh rekan sejawatnya, mengingat beban dosen cukup tinggi mulai dari mengajar, bimbingan mahasiswa, hingga pengabdian.

Tak hanya itu, melansir dari The Conversation Indonesia, pelanggaran akademik juga mewarnai perjalanan akademisi menuju guru besar. Hal ini berkaitan karena posisi guru besar adalah pencapaian jabatan akademik tertinggi yang mempengaruhi akreditasi bagi perguruan tinggi.

Sementara salah satu syarat untuk meraih gelar guru besar cukup kompleks, salah satunya adalah menerbitkan karya ilmiah dalam jurnal internasional bereputasi.

Mengapa Pelanggaran Akademis Terjadi?

Pelanggaran akademis terjadi karena berbagai faktor, mulai dari tarik menarik antara neoliberalisme, otoritarianisme, dan demokrasi pendidikan tinggi di Indonesia (Masduki dalam laman the Conversation).

Karier dosen atau akademisi bergantung pada angka kredit penilaian di mana hal ini dibentuk oleh negara melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 2023. Dalam peraturan tersebut, angka kredit dapat dicapai melalui beberapa kegiatan antara lain pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat, dan publikasi jurnal ilmiah.

Alasan kedua, terkait dengan mental akademisi Indonesia yang dianggap tak siap dengan budaya penerbitan jurnal. Dan terakhir pengaruh ekosistem akademis di Indonesia yang kurang mendukung iklim penelitian dan penulisan.

Terlepas dari beberapa alasan tersebut, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII Holy Rafika Dhona, S.I.Kom., M.A. berrgumen bahwa plagiasi berkaitan dengan praktik menyalin dalam masyarakat berbudaya tutur hingga risiko kultur meniru di kampus.

“Pelanggaran akademis itu, misalnya plagiasi punya sejarahnya. Dia punya relasi dengan kultur akademis, kultur menulis, intinya kultur pengetahuan di kampus,” ujarnya.

“Bagaimana pengetahuan/ilmu dipahami (termasuk dikomunikasikan lewat buku, diktat, modul, dan jurnal ilmiah),” tambahnya.

Kampus sebagai tempat transmisi pengetahuan menganggap mahasiswa yang sukses ketika mampu menghafal pengetahuan yang diajarkan. Sehingga menyalin isi buku dianggap penting dan hal biasa. Kasus ini terjadi pada Hamzah Ya’qub, pendiri Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS). Tahun 1973 ia mempublikasikan buku berjudul Publisistik Islam: Seni dan tekni Dakwah. Menariknya tahun 1986 bukunitu disalin dan dipublikasikan orang lain dengan judul Komunikasi Islam: Dari Zaman ke Zaman. Penulis buku kedua tidak memberikan atribusi pada Ya’qub, namun hingga kini taka da isu plagiasi terkait kemiripan dua buku tersebut. (Holy Rafika Dhona, The Conversation)

Jalan Keluar untuk Menghentikan Pelanggaran Akademis

Untuk menyelesaikan persoalan ini, dibutuhkan komitmen dari pemerintah dan perguruan tinggi. Selain itu keterlibatan berbagai pihak untuk mengangkat dan memproses secara kolektif perlu dilakukan dengan melibatkan jurnalis dan akademisi. Karena kultur di Indonesia “No viral, no justice” maka melibatkan media untuk menyebarluaskan informasi mesti dilakukan.

“Jadi pelanggaran itu tidak hanya butuh solusi adanya kode etik, perbaikan sistem kinerja dosen, tapi juga perubahan kultur,” tandasnya.

Artikel ini ditulis dalam rangka memeperingati Hari Pendidikan Nasional 2024, harapannya catatan ini selain memberikan pengetahuan terkait pelanggaran akademis juga bisa membawa setitik perubahan pada dunia akademis yang terkadang serampangan.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Kebebasan Pers
Reading Time: 2 minutes

3 Mei 2024 diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day. UNESCO merilis tema “A Press for the Planet: Journalism in the face of the Environmental Crisis” yang menyoroti jurnalisme dalam menghadapi krisis lingkungan.

Momen ini merupakan dukungan besar bagi para jurnalis di seluruh dunia dalam pemberitaan krisis lingkungan global. Pentingnya jurnalisme dan kebebasan berekspresi mampu membawa perubahan dan solusi pada kondisi ini.

Antonio Guterres selaku Sekretaris Jenderal PBB menegaskan dalam pidatonya soal kondisi lingkungan yang darurat.

“Dunia sedang mengalami keadaan darurat lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menimbulkan ancaman nyata bagi generasi sekarang dan mendatang,” ujarnya dalam kanal YouTube UNESCO.

Melalui kerja-kerja jurnalis masyarakat akan memahami penderitaan planet kita hingga memobilisasi serta diberdayakan untuk mengambil tindakan demi perubahan.

“Media lokal, nasional, dan global dapat menyoroti berita tentang krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketidakadilan lingkungan. Melalui pekerjaan mereka, masyarakat menjadi memahami penderitaan planet kita, dan dimobilisasi serta diberdayakan untuk mengambil tindakan demi perubahan,” tambahnya.

Kebebasan pers menjadi kunci utama dalam membawa lingkungan semakin baik. Sementara kondisi dan keselamatan jurnalis tak selalu menguntungkan.

“Tidak mengherankan jika sejumlah orang, perusahaan, dan lembaga berpengaruh tidak melakukan apa pun untuk menghalangi jurnalis lingkungan melakukan pekerjaannya. Kebebasan media sedang terkepung. Dan jurnalisme lingkungan hidup adalah profesi yang semakin berbahaya. Sejumlah jurnalis yang meliput pertambangan ilegal, pembalakan liar, perburuan liar, dan isu-isu lingkungan lainnya telah dibunuh dalam beberapa dekade terakhir. Dalam sebagian besar kasus, tidak ada seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban,” tambahnya.

Data dari UNESCO menyebutkan selama lima belas tahun terakhir tercatat 750 serangan terjadi kepada jurnalis dan kantor berita yang melaporkan isu-isu lingkungan hidup. Ironisnya proses hukum juga disalahgunakan untuk menyensor, membungkam, menahan, dan melecehkan jurnalis lingkungan.

Rekomendasi Buku Jurnalisme Lingkungan

Salah satu rekomendasi buku yang layak dibaca dan mendukung riset dalam kajian ini adalah buku berjuduk Jurnalisme Warga, Radio Publik dan Pemberitaan Bencana yang digarap oleh beberapa dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Muyazin Nazaruddin, S.Sos., M.A, dan Dr. Zaki Habibi., M.Comms. yang bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI), serta Jalin Merapi.

Buku ini menjelaskan terkait ketidakpastian informasi pasca bencana erupsi Gunung Merapi. Masifnya informasi pasca bencana membawa banyak media penyiaran berlomba-lomba mengeksploitasi dampak bencana yang justru menimbulkan keresahan masyarakat. Kondisi tersebut menandakan pentingnya media alternatif yang memberitakan bencana untuk memberi perspektif yang berbeda.

Dari isu tersebut, penulis menagaskan bahwa praktik jurnalistik yang dilakukan merupakan jurnalisme alternatif dengan argument memegang beberapa prinsip, yakni prinsip dasar pemberitaan bencana yakni akurasi, prinsip kemanusiaan atau berangkat dengan perspektif korban dan warga setempat, prinsip komitmen menuju rehabilitasi, serta prinsip control atas bantuan bencana.

Selain buku tersebut ada pula buku yang berkaitan dengan isu lingkungan, bencana, kebebasan pers seperti Jurnalisme di Cincin Api: Tak Ada Berita Seharga Nyawa, Mengatur Kebebasan Pers, Komunikasi Lingkungan: Penanganan Kasus-kasus Lingkungan Melalui Strategi Komunikasi, dan Komunikasi Bencana.

Selengkapnya dapat diakses melalui laman https://communication.uii.ac.id/nadim/

Atau dapat mengunjungi ruang NADIM dan membaca langsung koleksi buku-bukunya.

Dosen Ilmu Komunikasi

Bagi mahasiswa yang tertarik dengan kajian Jurnalisme dan Media dapat memantau beberapa riset yang dilakukan oleh beberapa dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII. Berikut daftar nama dosen beserta daftar klaster riset.

https://communication.uii.ac.id/dosen/#top

 

Kunjungan
Reading Time: 2 minutes

Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menerima kunjungan dari SMK Islam PB. Soedirman 1 Jakarta pada Kamis, 2 Mei 2024 di Auditorium FPSB.

Sebanyak 81 siswa dari program keahlian Desain Komunikasi Visual (DKV) bersama 11 guru pendamping bertandang ke Yogyakarta untuk memberikan pengalaman dan pengetahuan terkait dunia perkuliahan. Prodi Ilmu Komunikasi UII dipilih karena jurusan ini memiliki irisan dengan program keahlian DKV.

Kepala Sekolah SMK Islam PB Soedirman 1, Sugiarti, M.Pd. menjelaskan bahwa para siswa mengunjungi beberapa kampus di luar Jakarta, selain untuk wawasan akademik juga bertujuan untuk mengasah kemandirian siswa. Menurutnya, banyak dari siswa-siswanya yang tak ingin jauh dari Kota Jakarta.

Kedatangan tersebut disambut gembira oleh pihak Prodi Ilmu Komunikasi UII, Ratna Permata Sari, S.I.Kom, M.A. selaku sekretaris program yang kemudian memberikan gambaran terkait dunia perkuliahan di jurusan Ilmu Komunikasi UII.

Sharing session

Beliau menyebutkan berbagai aktivitas mahasiswa mulai kegiatan akademik hingga non akademik seperti berbagai organisasi dan komunitas yang ada di Prodi Ilmu Komunikasi UII. Untuk mendukung aktivitas tersebut tersedia fasilitas mulai dari laboratorium Fotografi dan Multimedia, Lab TV & Podcast, ruang produksi Ikonisia TV, hingga PDMA Nadim.

“Sebenarnya di Ilmu Komunikasi ada beberapa laboratorium tapi ada di Gedung yang beda. DI sini adalah dedung fakultas lebih banyak ruangan kelas kalau di gedung komunikasi sebagai kantor administrasi dan laboratorium, mohon maaf kami belum bisa mengajak karena gedungnya agak kecil, jadi kalau datang sebanyak ini jadi kita menunggu menjadi mahasiswa UII saja,” ucapnya dengan penuh tawa kepada para siswa.

Selain menawarkan program regular, sejak tahun 2018 Prodi Ilmu Komunikasi UII juga mendirikan International Program Communication (IPC). Kelas berbahasa Inggris ini memiliki berbagai program unggulan dengan skala internasional mulai dari student exchange, Passage to Asean, dan berbagai program lainnya.

“Ilmu Komunikasi UII tidak hanya punya program regular, tapi juga punya International Program Communication (IPC) yang sudah berdiri pada tahun 2018, saat ini hampir tiga angkatan lulus,” ujar Ida Nuraini Dewi Kodrat Ningsih, S.I.Kom., M.A. selaku sekretaris IPC.

“Program rutin kita adalah P2A atau Passage to ASEAN. Itu adalah program di bawah naungan Asosiasi Passage to ASEAN yang dulu sekretariatnya ada di Thailand sekarang di Vietnam. Tujuannya adalah memberi kesempatan kepada mahasiswa antar negara di ASEAN untuk saling belajar culture bahkan edukasi dalam konteks akademik,” tambahnya lagi.

Kunjungan tersebut berlangsung seru dengan antusiasme dari para siswa. Kegiatan ditutup dengan berbagai games serta foto bersama antara jajaran Prodi Ilmu Komunikasi UII dan pihak SMK Islam PB Soedirman 1 Jakarta.

Kuliah umum
Reading Time: 2 minutes

Media Sosial dan Masa Depan Kemanusiaan menjadi tajuk pada pelaksanaan Kuliah Umum Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (UII) pada 27 April 2024. Topik ini dipilih karena memiliki urgensi bagi kehidupan di masa mendatang. Secara sadar atau tidak, media sosial telah mengubah banyak hal termasuk dalam preferensi seseorang terhadap apapun termasuk politik.

Materi kuliah umum ini disampaikan oleh Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yang fokus pada kajian Media Policy, Comparative Media System, Public Media and Journalism, serta Media Activism.

Sebelum kuliah umum dimulai Prof. Dr. Jaka Nugraha, S.Si., M.Si. sebagai Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset pada sambutannya menyampaikan terkait bagaimana media sosial tak cukup diimani dampak positifnya saja. Melainkan juga bagaimana berfikir kritis terhadap perkembangan teknologi digital dan bagaimana menyelesaiakan berbagai persoalan yang terjadi.

Sementara itu, sudah saatnya bagi tugas institusi pendidikan untuk terus memberi wadah saling belajar dan membuka diri demi masa depan kemanusiaan yang lebih baik

“Begitu dahsyatnya perpecahan polemik yang terjadi di media sosial masing-masing karena sudah terkungkung oleh sudut pandang masing-masing. Tentunya kita di dunia akademik ini harus membuka diri, membuka pemikiran kita bahwa suatu masalah bisa dilihat dari berbagai sisi,” ujarnya saat membuka Kuliah Umum Pascarjana, di Ruang Teatrikal Lantai 2, Gedung Kuliah Umum Dr. Sardjito UII.

Dipandu oleh Dr. Herman Felani, S.S., M.A. kuliah umum itu dimulai dengan statement yang cukup menggugah mahasiswa.

“Orang mengakses media sosial itu seperti dopamine, ngeposting sesuatu nunggu di-like, dikomen kalau engga nanti dia engga bahagia akhirnya generasi milenial banyak yang stres. Kalau begini masa depan kemanusiaan apakah bisa terwujud dengan sesuai harapan kita?” ujarnya.

Menjawab keresahan tersebut Prof. Masduki menyempaikan materi Media Sosial dan Dehumanisasi. Secara umum beliau menjelaskan dua perspektif terkait media sosial yakni digital optimist yang memandang perkembangan ini adalah peluang besar yang bisa dimanfaatkan secara maksimal. Kedua digital pesimis, bagaimana sebagai subjek pengguna tak hanya percaya dengan peluang namun percaya bahwa manusia adalah objek yang dimanfaatkan oleh platform.

Lebih dalam, beliau memaparkan bagaimana media sosial dalam kehidupan sosial politik mampu mengubah persepsi seseorang secara masif. Terbukti pada sepuluh tahun terakhir, akibat media sosial politik di Indonesia sangat mudah dinormalisasi.

“Medsos bukan penyubur demokrasi saat ini tapi pengubur demokrasi,” ujarnya.

Situasi mencekam terjadi di media sosial pada tahun 2017 terkait polarisasi politik pilkada DKI, hingga normalisasi politik dinasti Jokowi pada Pemilu 2024.

“Terjadi di Indonesia terjadi fabrikasi terhadap slogan Gemoy. Orang yang tadinya keras, militer, tiba-tiba di medsos isinya joget-joget dan anda suka mungkin bukan anda tapi keluarga kita jadi ini disinformasi,” ujarnya

“Saya enggak bicara politiknya, tapi media sosial membuat kita menormalkan yang tidak normal. Mungkin pak Jokowi tidak keliru sekali tapi orang yang berbisnis dengan media sosial, free rider orang ikut meramaikan begitu asal dia bisa klaim subcribernya berapa, viewersnya berapa akhirnya dapat duit,” tambahnya.

Demi masa depan manusia yang lebih baik, ada tiga solusi yang dirangkum oleh Prof. Masduki, pertama pendekatan regulasi ala Eropa: digital service act, digital citizenship act, publisher right, anti disinformation act; kedua, pendekatan akademik mendorong fakultas hukum dan sosbud atau isipol untuk mengkaji digital transformation and human right issues; ketiga pendekatan kultural: literasi digital dalam spirit kedaulatan digital.

Selengkapnya: https://www.youtube.com/watch?v=Y1aiZkuG8Z8

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Hari buruh
Reading Time: 2 minutes

Tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh atau May Day, segala ketidakadilan terkait kesejahteraan akan disuarakan diberbagai penjuru negeri untuk masa depan yang lebih baik. Dua tuntutan utama yang disuarakan oleh para teman-teman buruh pada 1 Mei 2024 di Istana Negara dan Gelora Bung Karno adalah pencabutan Omnibus Law UU Cipta Kerja dan Outsourcing dengan upah murah.

Merujuk pada UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, buruh diartikan sebagai setiap orang yang bekerja menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Menariknya menjadi buruh adalah kondisi objektif atau status sosial buruh tidak ditentukan berdasarkan merasa atau tidak, sadar atau tidak. Padahal sejatinya entah posisi manajer atau kepala cabang suatu perusahaan ia tetaplah buruh karena mendapat upah dari tempatnya bekerja.

Beranjak dari definisi buruh, istilah digital labour mungkin tak terlalu terdengar nyaring namun hal ini penting untuk diketahui banyak pihak. Menurut International Labour Organization (ILO), digital labour merupakan seseorang yang bekerja di bidang ekonomi platform berbasis web dengan tipe pekerjaan yang sangat terbuka kepada semua orang dan tersebar secara geografis atau crowdwork.

Ada masalah layaknya gunung es yang dialami oleh digital labour, artikel yang ditulis oleh Christian Fuch dan Sebastian Sevignani dari University of Wetminster UK pada laman trippleC menyebutkan argumen terkait konsep ekonomi politik dalam internet yang merujuk model akumulasi modal yang dominan dari platform internet perusahaan didasarkan pada eksploitasi tenaga kerja tak berbayar dari pengguna yang terlibat dalam pembuatan konten dan penggunaan blog, situs jejaring sosial, dan platform global.

Bagi kita pengguna Instagram, Facebook, WhatsApp, YouTube, Google, dan lainnya akan menciptakan keuntungan bagi pemilik platform. Kegiatan tersebut menciptakan komoditas data yang akan dijual kepada klien periklanan.

Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si. dosen Ilmu Komunikasi UII memberikan contoh terkait kreator konten di Indonesia, sejatinya mereka bukanlah pengusaha melainkan buruh platform.

“Dalam teori ekonomi politik media kita mengenal istilah digital labour, jadi kita bukan pelaku digital, bukan pengusaha digital tapi buruh digital,” jelasnya pada sesi Kuliah Umum Pascasarjana UII, 27 April 2024.

“Contoh kecil podcast Deddy Corbuzier, per paket itu berapa juta incomenya minimal Rp 350 juta revenuenya. Tapi pernahkah anda tahu keuntungan bahwa yang diraih itu hanya 10 persen dari keuntungan yang sesungguhnya. Sisanya milik owner platform,” tambahnya.

Kita sebagai pengguna menjadi objek atau angka algoritma yang menguntungkan bagi pemilik platform.

“Jadi sebenarnya konten kreator yang dijual bukan kontennya tapi jumlah viewersnya, jumlah subscriber, bahkan jumlah likesnya bisa dijual. Jadi sebenarnya Anda ini tidak dipedulikan mau dicerdaskan atau engga yang penting please subscribe, like, and comment hanya itu yang mereka mau dari Anda,” ujarnya lagi.

Lantas, bagaimana menciptakan kondisi yang adil?

Jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar tentu sangat menguntungkan pemilik platform global. Sementara, negara Indonesia tak mendapat pemasukan ataupun pajak atas bisnis tersebut. Selain itu data yang kita tautkan tanpa persetujuan akan dijual, artinya pengguna turut menjadi asset untuk kepentingan pemilik platform.

Prof. Masduki menyebutkan masyarakat Indonesia dapat mendorong pemerintah agar memaksa pemilik platform global agar mendirikan kantor di Indonesia dan membayar pajak agar kondisi ini juga adil untuk negara.

Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh insan pers di Indonesia beberapa waktu lalu adalah adalah mendorong pengesahan Publisher Rights, dalam aturan tersebut platform digital global mau tidak mau harus memberi keuntungan secara adil karena yang terjadi selama ini platform digital selalu mengagregasi berita-berita siber dari media online di Indonesia.

Menurutmu langkah apalagi yang perlu dilakukan oleh Indonesia agar kondisi ini sama-sama menguntungkan, Comms?

 

Penulis: Meigitaria Sanita