The month of Ramadan is a very great month. A month full of blessings, a harvest of rewards, because in the month of Ramadan all rewards are multiplied compared to other months. Even in the month of Ramadan, there is one night whose night is better than a thousand months. Including the reward for feeding the person who is breaking the fast.

“Silence is worth worshiping, let alone glorifying,” said Ust KH. Supriyanto, S.Ag. in Pengajian Akbar with the theme of Ramadan passes, Takwa Always Ready on May 29, 2021. The event was held in conjunction with the 26th Milad series of FPSB UII and conducted with a hybrid model (online and offline) with the support of Uniicoms TV, the first online TV in UII.

“When the harvest is over, we enter Eid. The width of the nopo, the width of the bean harvest, the width of the stingray harvest. While the harvest of people who fast the month of Ramadan as mentioned in al baqoroh verse 183, the width of the harvest, Eid, increases his piety,” explained Supriyanto.

Supriyanto said in his lecture, whoever sins to the point of filling the earth, no matter how great the person’s sin, is still greater forgiveness from God. The original condition is that in the person’s mouth there is still the sentence laa ila ha illallah.

“Because the sentence lailaahaillah is the remover of sins. So get used to reading the words of Allah SWT verbally,” he added.

Meanwhile, if asked, what is a sign of obedience to God? The sign of obedience to Allah SWT is the five daily prayers, said Supriyanto. The person who will perform the five daily prayers is like in front of his house there is a deep spring. The depth of this source was so deep that it was as if he could take a bath five times a day. “As clean as what, try to take a bath five times a day, then ablution is the purifier of sins,” said Supriyanto, a scholar from Puntuk, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman, this.

If a Muslim has fulfilled the three pillars of Islam, then his obedience is fulfilled. All three are creed, prayer, and fasting. “Yes, the binding of Islam is these three. And from those three pillars, Islam is enforced. Where is zakat? Not everyone can pay zakat,” said Supriyanto. What about Hajj? Hajj can also only be performed if he is able. “Please to obey God, let’s do these three,” he said later.

Including the practice of a pious person is a person who wants to invest his property. “Sodakoh does not have to wait for the rich (alms does not have to wait to be rich first), even when it is not loose, alms are still asked,” said Supriyanto motivating. “So the alms of the poor and the rich are actually adjusted by their respective abilities.”

 

Many people want to study abroad for various reasons. But, of course, there are ups and downs. Turkey is one of the most popular countries to study, but you have to be prepared to miss Indonesia because of its food and learning atmosphere. Especially during this pandemic, which keeps people from staying at home and lying down all day. Spring weather and Eid al-Adha will make you feel at home there.

 The story became the ups and downs of Balya Ibnu Mulkan, an alumnus of Industrial Engineering at the Islamic University of Indonesia who is currently pursuing a Master of Business Administration (MBA) in Turkey. The International Communication Program of the Islamic University of Indonesia held this Ramadan light chat while hanging out waiting for the time to break the fast on Friday, May 28, 2021.

 Fasting and Eid in Turkey are very unattractive, according to Balya. Fasting atmosphere and Eid with regular days there is no change at all. Although he was grateful because the weather was not so hot in the range of 16-19 degrees Celsius, explaining the long fasting time. Fasting time is also longer than in Indonesia, which is only about 14 hours. “This year it’s only 16 hours because it’s spring . Last year, it could be 17 hours because it was summer,” said Balya. Especially during the pandemic, which requires them to only stay at home, can’t go anywhere and is closely guarded by the police.

 Food is a complicated problem for Indonesian students in Turkey. Food in Turkey is too sweet and tends to sour. Balya admits that none of the types of food that he can enjoy and fit on her tongue. Balya feels tormented about eating; once or twice is okay for him, but for a long time, it becomes very torturous. “Every time I eat, I always want to go home,” Balya confessed.

 If in Indonesia, one supervisor can accompany 30-50 students. “Here (Turkey), one lecturer only accompanies four students,” said Balya.

There is even an interesting phenomenon related to eating and studying in Turkey, which Indonesian students commonly experience. According to Balya, the length of the study period in Turkey does not depend on the student’s achievements, whether they are brilliant or not. For Indonesian students, it depends on the environment and food. 

On average, it takes two years to complete a master’s studies. But Indonesian students are faster than the usual travel time. “Usually I don’t feel at home because of the food and the environment,” said Balya.

 Apart from food, there is also a social environment and learning atmosphere. Indonesian students usually chat with each other casually and work in groups to do assignments. But not in Turkey. This very different learning culture is a challenge for Balya. The challenge is getting real because the supervisor’s assistance is rigorous. If in Indonesia, one supervisor can accompany 30-50 students. “Here (Turkey), one lecturer only supevise four students,” said Balya. 

 

 

 

 

Banyak orang menginginkan studi ke luar negeri dengan berbagi alasan. Tapi, suka duka tentu ada. Turki, salah satu negeri incaran untuk belajar, tapi kalian harus bersiap untuk kangen Indonesia karena makanan dan atmosfer belajarnya. Terlebih di masa pendemi yang memasung orang untuk tetap tinggal di rumah dan rebahan sepanjang hari. Cuaca musim semi dan Idul Adha yang akan membuat betah tinggal disana.

 

Cerita tersebut menjadi suka duka Balya Ibnu Mulkan, salah satu alumnus Teknik Industri Universitas Islam Indonesia yang kini tengah menempuh master bisnis administrasi (MBA) di Turki. Ngobrol ringan bulan ramadhan ini diselenggarakan International Program Communication Universitas Islam Indonesia sembari ngabuburit menunggu waktu berbuka puasa pada Jumat, 28 Mei 2021.

 

Berpuasa dan Lebaran di Turki sangat tidak menarik, menurut Balya. Susana puasa dan lebarannya dengan hari normal tidak ada perubahan sama sekali. Meskipun ia menyukuri karena cuaca tidak begitu panas di kisaran 16-19 derajat celsius, menjelaskan waktu puasa yang panjang. Waktu puasa pun lebih lama daripada di Indonesia yang hanya sekitar 14 jam. “Tahun ini hanya 16 jam karena sedang spring (musim semi). Kalau tahun lalu bisa 17 jam karena summer,” kata Balya. Terlebih masa pendemi yang mengharuskan mereka hanya di rumah saja, dan tiak bisa kemana-mana dijaga ketat oleh polisi.

 

Bicara soal makanan, faktor ini adalah masalah yang sangat pelik bagi mahasiswa Indonesia di Turki. Makasna di turki sangat manis cederung ke asam. Balya mengakui tak satupun jenis makanan yang dapat dia nikmati dan cocok di lidahnya. Balya merasa tersiksa soal makan, baginya sekali dua kali tidak masalah, tetapi untuk masa yang lama menjadi sangat menyiksa. “setiap kali makan, aku selalu pingin pulang rasanya,” Balya mengaku.

 Jika di Indonesia satu dosen pembimbing bisa mendampingi 30-50 mahasiswa. “Di sini (Turki), satu dosen hanya mendampingi empat mahasiswa,” ungkap Balya.

Bahkan ada fenomena menarik terkait makan dan studi di Turki yang jamak dialami mahasiswa Indonesia. menurut Balya, lamanya masa studi di Turki tidak bergantung cemerlang atau tidaknya prestasi mahasiswa, tetapi karena lingkungan dan makanan. Rata-rata untuk menamatkan studi master dibutuhkan waktu 2 tahun. Tapi mahasiswa Indonesia lebih cepat dari waktu tempuh lazim itu. “Biasanya nggak betah karena makanan dan lingkungan,” kata Balya.

 

Selain makanan, juga lingkungan sosial dan atmosfer belajar. Indonesia mahasiswa biasa saling ngobrol santai dan kerja kelompok untuk mengerjakan tugas. Tapi, di turki tidak. Kultur belajar yang sangat berbeda ini menjadi tantangan tersendiri bagi Balya. Tantangan makin nyata karena pendampingan supervisor sangat ketat. Jika di Indonesia satu dosen pembimbing bisa mendampingi 30-50 mahasiswa. “Di sini (Turki), satu dosen hanya mendampingi 4 mahasiswa,” ungkap Balya. 

 

 

 

PSDMA Nadim Ilmu Komunikasi UII kembali menggelar diskusi pada:


Hari: Kamis, 27 Mei 2021
Pukul: 14.00 wib
Zoom: http://bit.ly/diskusinadimdangdut

Diskusi kali ini turut menghadirkan @michaelhbraditya yang akan berbincang tentang:

“Membaca Generasi Ambyar: Dangdut Baru dan Problem Komunikasi.”

Catat waktu dan tanggalnya, ya!

#IlkomUII
#Nadim
#uiiyogyakarta

Masa pandemi tidak bisa dilewati dengan kerja sendiri-sendiri. Kerja-kerja yang dilakukan UII selama pandemi ini nyatanya bisa berhasil mengarungi deru deras pandemi covid-19 berkat kerukunan dan kerjasama seluruh pihak di UII.

“Di masa sulit ini, alhamdulillah kita masih bisa menikmati dan menjaga organisasi kita,” kata Suwarsono, Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (YBW UII), pada 20 Mei 2021. Menurutnya, ke depan banyak pekerjaan besar Yayasan Badan Wakaf yang harus dirampungkan. Di antaranya menyelesaikan pembangunan gedung Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Agama Islam akhir tahun ini.

Selain itu juga, katanya, YBW UII harus selesaikan pembangunan RS JIH di Purwokerto, “yang ini mustahil kami lakukan tanpa kerjasama bapak ibu sekalian. Terima kasih selama ini sudah mengarungi masa sulit ini. Resepnya, seperti yang disebut Pak Syamsudin tadi, rukun, kerja sama, sabar,” katanya. “Alhamdulillah ini telah kita miliki di lembaga kita ini,” ucapnya. Ia berterima kasih pada semua pihak (di UII) yang telah ikut berperan serta agar lembaga UII ini selamat dan tetap bertahan di tengah pandemi untuk mencapai cita-citanya. “Di masa sulit, kita masih bisa menikmati gaji dengan cukup, tunjangan hari raya, yang di tempat lain tidak, saya rasa itu yang harus kita syukuri,” paparnya kemudian.

Suwarsono mengatakan hal itu pada sambutannya di Halalbihalal daring Keluarga Besar UII bertajuk Maafkan kesalahan, Jaga Erat Tali Persaudaraan, dan Raih Kemenangan di Tengah Terpaan.

Fathul Wahid, selaku Rektor UII juga mengucapkanTerima kasih pada seluruh staf, tendik, dosen, keluarga, alumni, mahasiswa, mitra, lembaga mahasiswa dan seluruh pihak civitas akademika UII.

Ia mengajak seluruh pihak UII memaknai syawal sebagai proses kembali pada fitrah.

“Mari kita kembali pada fitrah, asal kejadian kita diciptakan sebagai manusia. Karakter awal manusia. Diantaranya adalah fitrah personal seperti tunduk, menebar damai, melakukan interaksi positif dan saling menghargai, hidup sederhana, dan lain-lain,” katanya dalam sambutan halalbihalal tersebut.

Selain fitrah personal, ia juga mengajak kembali pada fitrah sosial. Karakter saling membantu, mengajak pada kebaikan, saling bersabar, dan semua yang menguatkan kolektivitas kita sebagai manusia. Lingkupnya bisa dalam tingkat keluarga, perkumpulan, organisasi, persyarikatan, kelompok, hingga negara.

Acara dimulai dengan pembukaan oleh Mila Minhatul Maula sebagai pembawa acara, lalu dilanjutkan dengan pembacaan kalam ilahi oleh Yusril Syuaib, Qori yang juga mahasiswa dari Prodi Kimia FMIPA UII. Pada kesempatan selanjutnya sambutan disampaikan oleh Muhammad Raditya Adhyaksa, Ketua Dewan Permusyawaratan Mahasiswa UII, Achmad Tohirin, Dosen FE UII sekaligus Ketua Ikatan Pegawai UII, dan Samsudin sebagai Ketua Paguyuban Pegawai Purna Tugas UII. Halalbihalal daring juga ini mengundang Prof. Dr. KH. Habib Chirzin. Habib Chirzin aktif di International Institute of Islamic Thought dan Islamic Forum for Peace, Human Rights and Development, dan Muhammadiyah.

Further study is the struggle to build an intellectual journey. Naturally, ups and downs become daily in every process. Not infrequently, constant motivation is the key. Intellectual processes need to be passed from building to testing ideas.

Masduki, a Department of Communications lecturer, and Raden Retno Kumolohadi, UII Psychology Lecturer, are both new FPSB doctors and attended the Farewell event for Lecturers and Education Personnel of the Faculty of Psychology and Socio-Cultural Sciences, Universitas Islam Indonesia. At this event, the Dean of FPSB UII also gave a memento to Mr. Djiwanggo and Mrs. Indri, two FPSB education staff who have completed their tenure at UII so far.

At the event held on May 5, 2021, Masduki shared his experience while taking his doctorate in Munich, Germany. At first, he felt confident that he could complete his doctorate in up to three years. “I was confident when I submitted a research proposal to my supervisor. I thought this was cool,” said Masduki. Later, the five sheets of his research proposal that were considered good were asked to be revised by the supervisor. According to the supervisor, this proposal is more of an NGO program proposal. “So it’s not a proposal full of theoretical studies, I mean.”

“From there I believe, my struggle will be more than three years,” said Masduki while laughing, reminiscing about the early days. As a result, after that, Masduki had to read more and study various books. “I spent time from the library opening to closing. That was the first six months of his struggle,” he said.

Quick Recipe for Completing Doctoral Studies 

Retno Kumolohadi, another new doctor, said the recipe for completing doctoral studies was based on experience. “I think the most important thing is intention: to do something good. If that is the intention, we will get help from Allah SWT,” She said. She also greatly appreciated all employees, staff, and friends who have contributed to supporting the lecturers who are continuing their studies.

Another tip from Masduki, quoting Hegel, is that S3 is like tesis, antithesis, synthesis of Hegel’s words. “The doctoral degree person builds the thesis first. A kind of proposition. Then develops the antithesis,” He explained. “It’s like a building being beaten until it becomes strong. The process was during the antithesis building period. Now, the final process is the synthesis and I’m sure this has been completed,” He said.

On the other hand, Masduki believes that undergoing further studies is building an intellectual journey. “I also underline, I like to quote the Quran Surah Ali Imron verse 91. Inna fi kholqi fissamawati … li ulil albab. So if we take bachelor, magister, and doctoral then the end is ulil albab,” He said. “Well, we read the process. This is extraordinary,” He continued.

Ulil albab is the intellectual peak stage after Ulin Nuha. According to Masduki, ulinnuha is the level of scientists collecting knowledge, discovering and conveying it in class. “But if ulil albab is a scholar. So he is not only an intellectual explorer but also a learner, whose campus walls are not enough as a locus of devotion, but also has a dedication to the wider world,” He explained. “The ones in Gramsci are organic intellectuals. Not traditional intellectuals,” Masduki explained.

Traditional intellectuals are people who are only on campus conducting examinations, said Masduki. Intellectuals of this model think about how it impacts outside the campus.

“Hopefully we can go there. Hopefully later our friends can do the same and so that our faculty can have an international reputation,” concluded Masduki.

 

Baca artikel pertama di sini. 

Ketahui akar Anda untuk melakukan magang. Itu tergantung pada apa yang akan Anda lakukan. Akan sangat membantu jika Anda memiliki sikap yang baik daripada hanya memiliki pengetahuan. Ketika Anda berpikir kompetensi Anda tidak sebaik orang lain, itu adalah celahnya. 

“Perasaan itu juga terjadi pada saya. Kuncinya hanya mensyukuri diri sendiri. Fokus pada diri sendiri, bukan orang lain,” kata Yasser Muhammad Syaiful, Country Head ELSA, Corp, pembicara di International Program of Communication (IPC) Workshop . Workshop kali ini diberi judul “Workshop Persiapan Magang untuk Masa Depan Global” Cicil.co.id feat IPC. Workshop ini juga bekerjasama dengan Elsa Speak dan diadakan pada 5 Mei 2021. 

Pada kesempatan itu, banyak juga mahasiswa yang mengajukan pertanyaan untuk mempertajam pemahamannya. Misalnya, Nadhira Mutia, mahasiswa International Program, menanyakan tentang curriculum vitae (CV). “Bagaimana cara memberikan bukti terbaik pada CV kita?”

Yasser mengatakan bahwa tugas kita adalah memastikan HRD mengetahui siapa kita. “Bersikaplah jujur ​​dan artikulatif, berikan gambaran terbaik tentang Anda, cantumkan nomor Anda di sana. Ini menunjukkan bukti dan kredibilitas Anda,” Yasser menjawab.

Yasser juga menekankan pentingnya kegiatan ekstrakurikuler. “Pertama-tama, Anda sudah bergabung di organisasi mana pun. Catat organisasi dan peran Anda. Bikin urutannya,” kata Yasser. “Setelah itu, Anda bisa menggambarkannya. Anda harus mendeskripsikan diri Anda dan juga hasil atau pencapaian Anda di organisasi. Jelaskan apa peran Anda di sana, apa dampak Anda di sana,” tambah Yasser. Dengan menjelaskan peran kita dalam organisasi, perekrut akan tahu bagaimana kita menangani masalah dan bagaimana kita menyelesaikannya. “Mereka juga akan tahu caramu menghadapi orang.”

Menggunakan aplikasi Linkedin juga dapat membuat CV kita lebih baik. Linkedin sudah memiliki standar pengukurannya. Buat profil yang bagus di Linkedin. Yasser mengatakan bahwa CV kita di Linkedin adalah cara termudah untuk membuat profil yang baik.

Pertanyaan lain datang dari Baiq Muthia Maharani, “Apakah Anda pernah melakukan kesalahan dan kegagalan, dan bagaimana menanganinya?”

Yasser mengatakan bahwa kita sudah harus memiliki pola pikir bahwa membuat kesalahan itu tidak masalah. “Ini yang saya lakukan, saya mencatata kesalahan dan kegagalan lalu saya tempel di catatan saya. Setiap kali saya menemui kesalahan, saya tinggal memasukkannya dalam daftar dan menempelkannya di catatan tempel saya,” kata Yasser. Idenya adalah selama Anda tahu kesalahannya dan Anda bisa mencegahnya, apa sisi baiknya, dan bikin list. “Tidak apa-apa untuk membuat kesalahan, meminta maaflah, dan Anda akan dapat menemukan cara untuk memperbaikinya.”

Di sesi terakhir, Yasser mengingatkan kita bahwa yang kita perlu miliki hanyalah mendapatkan empat pola pikir ini: tahu mengapa, menjadi diri yang baru, laksanakan rencana, dan evaluasi. Jika Anda tidak memiliki keempat pola pikir ini, Anda tidak akan termotivasi untuk melakukan yang terbaik.

Studi lanjut adalah perjuangan membangun perjalanan intelektual. Wajar jika jatuh bangun menjadi makanan dalam setiap prosesnya. Tak jarang, motivasi yang ajeg menjadi kunci. Proses intelektual perlu dilewati mulai dari membangun, hingga menguji gagasan.

Masduki, dosen komunikasi UII, dan Raden Retno Kumolo, Dosen Psikologi UII, misalnya, keduanya adalah doktor baru FPSB dan hadir dalam acara Pisah Sambut Dosen dan Tenaga Kependidikan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia. Pada acara ini Dekan FPSB UII juga memberi kenang-kenangan pada Bapak Djiwanggo dan Ibu Indri, dua tenaga pendidikan FPSB yang telah merampungkan masa pengabdiannya di UII selama ini.

Pada acara yang dilaksanakan 5 Mei 2021 ini, Masduki berbagi pengalamannya selama mengambil doktor di Munich, Jerman. Mulanya, ia merasa yakin dapat menyelesaikan doktoralnya hingga tiga tahun. “Saya sudah percaya diri waktu mengajukan proposal riset pada supervisor saya. Saya merasa ini sudah keren,” kata Masduki. Belakangan, 5 lembar usulan risetnya yang sudah dirasa bagus, diminta revisi oleh supervisor. Menurut supervisor, usulan ini lebih kepada usulan program sebuah NGO. “Jadi bukan usulan yang penuh dengan kajian-kajian teoritik, maksudnya.”

“Dari situlah saya meyakini, perjuangan saya akan lebih dari 3 tahun,” kata Masduki sambil terbahak mengenang masa-masa awal. Akibatnya, setelah itu, Masduki harus lebih banyak membaca dan menelaah beragam buku. “Saya sampai menghabiskan waktu dari perpustakaan buka hingga tutup. Itu enam bulan pertama perjuangannya,” ungkapnya.

Resep Cepat Menyelesaikan Studi Doktoral

Retno Kumolo Hadi, doktor baru lainnya, mengucapkan resep menyelesaikan studi doktoral berdasarkan pengalaman. “Menurut saya yang paling penting adalah niat: mengerjakan sesuatu yang baik. Kalau niat begitu kita akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT,” ungkapnya. Ia juga memberikan penghargaan yang tinggi pada seluruh karyawan, tendik, teman-teman yang telah berkontribusi mendukung para dosen yang tengah melanjutkan studi.

Tips lain dari Masduki, mengutip Hegel, bahwa S3 itu layaknya tesa, antitesa, sintesa kata hegel. “Tahapan orang S3 itu membangun tesanya dulu. Semacam proposisi. Lalu mengembangkan antitesa,” jelasnya. “Layaknya bangunan itu dipukuli sampe jadi kuat. Proses itu di masa membangun antitesa. Nah proses akhir ini sintesisnya dan yakin ini sudah selesai,” ungkapnya.

Di sisi lain, Masduki meyakini menjalani studi lanjut adalah membangun intellectual journey. “Saya juga memberi garis bawah, saya senang mengutip Quran Surat Ali Imron ayat 91. Inna fi kholqi fissamawati…li ulil albab. Jadi kalau kita ikut S1, S2, dan S3 ya ujungnya ulil albab,” katanya. “Nah prosesnya itu kita membaca. Ini luar biasa ini,” sambungnya.

Ulil albab adalah tahapan puncak intelektual setelah Ulin Nuha. Menurut Masduki, jika ulinnuha adalah taraf ilmuwan mengumpulkan pengetahuan, penemu dan menyampaikan di kelas. “Namun kalau ulil albab itu cendekiawan. Jadi dia tidak cuma penjelajah intelektual (intellectual explorer) tapi juga pembelajar, yang dinding kampus ini tidak cukup sebagai lokus pengabdian, tetapi juga punya pengabdian pada dunia yang lebih luas,” paparnya. “Yang dalam bahasa Gramsci itu intelektual organik. Bukan intelektual tradisional,” jelas Masduki.

Intelektual tradisional adalah orang yang hanya di kampus melakukan eksaminasi, kata Masduki. Intelektual model ini memikirkan bagaimana dampak ia di luar kampus.

“Semoga kita bisa menuju ke sana. Semoga nanti kawan-kawan juga bisa begitu dan sehingga fakuktas kita bisa bereputasi internasional,” tutup Masduki.

Kunci untuk melakukan magang adalah harus mengetahui akar kita. Apa pun yang ingin Anda lakukan, apa pun yang akan Anda rasakan, itu tergantung pada Anda. Kuncinya ada pada Anda. Akan lebih baik jika Anda tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi juga sikap yang baik. Ketika Anda berpikir kompetensi Anda tidak sebaik mereka, itu adalah celahnya. 

“Perasaan itu juga terjadi pada saya. Kuncinya hanya mensyukuri diri sendiri. Fokus pada diri sendiri, bukan orang lain,” kata Yasser Muhammad Syaiful, Country Head ELSA, Corp, pembicara di International Program of Communication (IPC) Workshop . Workshop kali ini bertajuk “Workshop Persiapan Magang untuk Masa Depan Global” Cicil.co.id feat IPC. Workshop, yang diselenggarakan pada 5 Mei 2021, ini juga bekerjasama dengan Elsa Speak. 

Yasser mengatakan bahwa apa yang membuat mahasiswa menonjol dan berhasil tergantung pada empat kunci sukses, terutama dalam magang. Yang pertama adalah mengetahui faktor ‘mengapa’ dari Anda. “Sebelum melamar pekerjaan atau magang, ketahui faktor ‘why’ dari Anda. Setelah itu, Anda perlu bertransformasi menjadi diri Anda yang baru,” kata Yasser. 

Yang kedua adalah Anda harus melakukan proses tindakan nyata. Tanpa tindakan dan aksi, Anda tidak akan mencapai tujuan. “Komitmen melakukannya dengan disiplin juga menjadi kunci keberhasilan,” tambahnya kepada seluruh peserta workshop. “Dan yang terakhir adalah melakukan evaluasi. Dan ini akan memotivasi kita sebagai pribadi,” kata Yasser. Evaluasi membuat kita tahu apa yang lebih baik dan apa yang salah dalam mencapai tujuan kita. 

Emi Zulaifah, Wakil Dekan Fakultas FPSB UII, juga banyak berbagi poin dengan seluruh mahasiswa yang akan mencoba melakukan magang sebagai mahasiswa internasional. “Menurut saya magang adalah hal yang baik. Saat melakukan magang, banyak mahasiswa akan mendapatkan perspektif yang berbeda dan juga semangat dalam belajar.

“Sungguh, semangat belajar bisa dibawa kemana-mana. Anda masih sangat muda, hari semakin cerah dan itulah Anda. Dengan magang, kita akan belajar banyak,” kata Emi memotivasi mereka. 

Kedua, sebagai mahasiswa UII, menjaga integritas itu penting. “Anda akan mendapatkan pengalaman profesional, Anda harus menjaga integritas. Dan bawalah itu dengan penuh integritas ke dalam perjalanan magangmu,” kata Emi.

Kalau mau jadi pemimpin, Anda harus membuat mahasiswa memahami masyarakat dengan KKN, dan Anda akan melihat banyak ketimpangan di sana. Semua pengalaman semacam ini akan memberi para mahasiswa ide, apapun jenis masalah yang akan mereka hadapi. “Saya pikir itu sama jika Anda nanti akan magang, Anda akan melihat kenyataan. Kami percaya melakukan pemagangan akan membuka banyak peluang,” kata Emi. 

Berdasarkan Ida Nuraini Dewi, sekretaris program Program Internasional di Komunikasi, UII, mahasiswa akan magang setelah menyelesaikan ujian skripsi.

Ini adalah artikel pertama. Lanjutkan ke beirta yang kedua di sini

The key to do an internship is must to know our roots. Anything you want to do, anything you will feel, it depends on you. The key is on you. It would be best if you had not only knowledge but also a good attitude. When you think your competence is not good as theirs, it is the gap. 

“Thats feeling also happens to me. The key is just to be grateful for yourself. Focus on yourself, not another person,” said Yasser Muhammad Syaiful, Country Head ELSA, Corp, the speaker at the International Program of Communication (IPC) Workshop. The workshop title is “Workshop Internship Preparation for Global Future” Cicil.co.id feat IPC. The workshop is also in collaboration with Elsa Speak on May 5th, 2021. 

Yasser said that what makes students stand out and succeed depends on four keys to success, especially in an internship. The first is to know your ‘why.’ “Before you applying for your job or internship, know your ‘why’. After that, you need to transform into the new you,” Yasser said. 

The second is you should have to make a process of real action. Without action, Zero action will reach no goal. “Commitment to do it with discipline is also the key to success,” added him to all workshop participants. “And the last is to do evaluation. And this will motivate us as a person,” said Yasser. Evaluation makes us know what is better and what is wrong in reaching our goal. 

Emi Zulaifah, as the Vice Dean of FPSB Faculty, also shares many points with all students who will try to do an internship as international students. “I think an internship is a good thing. When doing an internship, many students will gain a different perspective and keep the spirit of learning. 

“Really, the spirit of learning you can bring it everywhere. You are still very young, the day is rising and that is you are. By internship, We are going to learn a lot,” Emi said and motivated them. 

Second, as a student of UII, it is critical to keep integrity. “You go to professional experience, you bring with the integrity. And you bring it with integrity to your internship,” Emi said.

If you want to create a leader, you should make students understand society with KKN, and you will look there is a lot of imbalance. All this kind of experience gives them ideas about the sort of problem they will face. “I think it is the same if you go to an internship, you are going to see the reality. We believe doing intership will open alot of your opportunities,” Emi said. 

Based on Ida Nuraini Dewi, program secretary of International Program at Department of Communications, UII, the student will go to internship after finishing their final defense of the undergraduate thesis.

This is the first article. Continue to the second one here