Reading Time: 2 minutes

Penjenamaan (branding) dan pemasaran (marketing) produk lokal adalah kunci penjualan sukses pada masa pandemi. Covid-19 memang telah memukul usaha mikro kecil menengah. Namun selain itu, kolaborasi adalah trik baru ketimbang pusing dengan kompetisi.

“Saya nggak melihat kesamaan produk sebagai persaingan. Saya menganjurkan untuk rajin memantau di lokasi-lokasi distribusi. Meskipun di lokasi distribusi banyak produk yang sejenis, saya berpikir tidak jamannya lagi kompetisi tapi kolaborasi,” kata Dwi Karti Handayani, pendiri UMKM Wedang Uwuh, dengan jenama Den Bagus pada 12 Juni 2021, sebagai kegiatan tugas dalam mata kuliah manajemen project komunikasi komersil.

Dwi Karti menjadi pembicara dalam Webinar branding dan marketing produk di masa pandemi, bersama den bagus dan eight project. Eight Project adalah salah satu kreasi mahasiswa yang mengambil mata kuliah itu. Para mahasiswa ini mengambil nama kelompok Eight Project.

“Siapa tahu kalau kita tak dapat memenuhi permintaan ekspor, kita bisa memenuhinya dengan kolaborasi produk lain sejenis,” imbuh Dwi Karti. Menurut Dwi Karti, “Kalau saya ini uniknya di kemasan. Nah baru nanti kalau orang sudah repeat order baru kita bicara loyalitas pelanggan.”

Acara ini menggunakan teknik flash sale. Flash Sale mendorong pemirsa melakukan pembelian langsung sekaligus mendapat potongan harga.

Flash sale denbagus dan den ayu khusus pada produk-produk dengan karakteristik tertentu. Sebut saja seperti jahe merah yang khasiatnya lebih tinggi, dan jahe emprit yang lebih pedas.

Selain itu ada pula produk olahan yang lebih populer di masa pandemi adalah wedang uwuh jakute. Jakute adalah kependekan dari jahe kunir temulawak atau biasa disebut empon-empon. Gabungan dari manfaat empon-empon.

“Ini yang paling banyak dicari pembeli. Ada teman yang produknya dicari pembeli Prancis,” kata Dwi Karti. “Produk kita sudah banyak dikenal luar negeri. Ada wedang mengkudu. Ibu saya dulu konsumsi ini backpainnya (sakit punggung) pulih,” tambahnya memberi kesaksian.

Menurut Dwi Karti, produk lokal ini penting dan bermutu tinggi. Misalnya, produk mengkudu Den ayu sudah tidak bau. Ia dikemas instan. Produk serupa juga ada produk wedang khas untuk rosela merah. “Kemasan instan dan wrapping, dipress kemasannya sehingga tidak mudah rusak,” imbuhnya.

Reading Time: 2 minutes

Becoming an inspiring speaker or preacher must start from changing habits. If you still have the habit of “followers,” it is undoubtedly difficult to become a reliable speaker. People with habits and mental “followers” tend to like lying down, lazy, unproductive. Meanwhile, people with a “viewer” mentality are always curious, don’t make changes, and follow the environment but don’t know what they want.

“Reliable speakers must start to build mental “climbers.” Mental climbers usually have strong discipline, adaptation, and optimism,” said Risma Kusumanendra, one of the speakers on Friday (11/6/2021) in the oral Da’wah training “Inspiring Public Speaker.” The training raised the theme of realizing enthusiastic preachers, interesting, fun, and inspiring communication.

Risma quotes Professor Carol Dweck in The New Psychology of Success, and there are two mindsets of a successful person. The first is the “fixed” mindset. This mindset assumes no opportunity at all to learn and grow. Everything remains. In comparison, the second mindset is a growth mindset which is a fixed mindset. This mindset assumes that everything can develop over time, and everything can be learned.

For Risma, three soft skills are needed to be a preacher: “Integrity, namely honesty, morals, personal values. The second is communication skills such as speaking, writing, presenting, and listening. Then the third is having good manners and ethics.”

This training is oral da’wah training for educators in the UII FPSB environment. Apart from Risma, other presenters who inspired were Kiki F. Wijaya, a motivator and soft skill trainer. Kiki discusses techniques for managing persuasion, overcoming stage fright, and the characters of inspirational preachers.

from left to right: Farhan Dean’s student staff, Parjono Security guard, Risma CRISTAL, Zarkoni, Widodo HP, Edi Sutapa, Aris Budiono (Chairman of the Organizing Committee). 5 best practices for FPSB UII 2021 oral da’wah training

On this occasion, the training does not only revolve around the theory. There is also a direct practice of creating da’wah content. Each participant practiced preaching. Including practice in front of the camera so that participants are invited to be creative in packaging da’wah.

At the end of the training, the committee and presenters selected five participants considered strong characters and seeds of preachers. In turn, these five participants will have their videos taken as propaganda video content.

The five selected participants were Farhan from the FPSB dean of student affairs, Parjono from the Security Unit Division, Zarkoni from the Communications Department, Widodo HP from the Faculty Staff, Edi Sutapa from the faculty staff. These are the five best practices for the 2021 FPSB UII oral da’wah training who will have the opportunity to create digital da’wah content.

Photo: Widodo HP

 

Reading Time: 2 minutes

Menjadi pembicara atau pendakwah yang menginspirasi harus dimulai dari mengubah kebiasaan. Bila masih memiliki kebiasaan “follower” tentu sulit menjadi pembicara handal. Orang dengan kebiasaan dan mental “follower” cenderung suka rebahan, malas, tidak produktif. Sedangkan orang dengan mental “viewer” justru selalu kepo, tidak melakukan perubahan, dan mengikuti lingkungan tetapi tidak tahu mau seperti apa.

“Pembicara handal harus mulai membangun mental “climbers.” Mental climbers biasanya memiliki disiplin kuat, adaptasi, dan optimisme,” kata Risma Kusumanendra, salah satu pembicara pada Jumat (11/6/2021) dalam pelatihan Dakwah lisan “Inspiring Public Speaker.” Pelatihan kali ini mengangkat tema mewujudkan pendakwah yang antusias, Komunikasi yang menarik, Menyenangkan, dan Penuh Inspirasi.

Risma mengutip Profesor Carol Dweck, dalam The New Psychology of Success, ada dua pola pola pikir (mindset) seorang yang sukses. Pertama, adalah pola pikir “fixed”. Pola pikir ini menganggap tidak ada kesempatan sama sekali untuk belajar dan tumbuh. Semuanya tetap. Sedangkan pola pikir kedua, adalah pola pikir growth yang merupakan dari pola pikir fixed. Mindset ini menganggap semua dapat berkembang dari waktu ke waktu dan segalanya dapat dipelajari.

Bagi Risma, ada tiga soft skill yang dibutuhkan menjadi pendakwah seperti, “Integritas yaitu kejujuran, moral, nilai-nilai personal. Yang kedua adalah keterampilan komunikasi seperti kemampuan bicara, tertulis, mempresentasi kan, dan mendengarkan. Lalu yang ketiga adalah memiliki sopan santun dan etika.”

Pelatihan ini adalah pelatihan dakwah lisan untuk tenaga pendidik di lingkungan FPSB UII. Selain Risma, pemateri lain yang hadir memberi inspirasi adalah Kiki F. Wijaya, motivator dan soft skill trainer. Kiki membahas mengenai teknik mengelola persuasi, mengatasi demam panggung, dan karakter-karakter da’i inspiratif.

dari kiri ke kanan: Farhan Staf kemahasiswaan dekanat, Parjono Satpam, Risma CRISTAL, Zarkoni, Widodo HP, Edi Sutapa, Aris Budiono (Ketua Panitia Penyelenggara). 5 tendik terbaik pelatihan dakwah lisan FPSB UII 2021

Pada kesempatan ini, pelatihan tidak hanya berputar pada teori, ada pula praktik langsung membuat konten dakwah. Tiap peserta berlatih berdakwah. Termasuk praktik di depan kamera sehingga peserta diajak kreatif dalam mengemas dakwah.

Di akhir pelatihan, panitia dan pemateri memilih lima peserta yang dianggap memiliki karakter dan bibit pembicara pendakwah yang kuat. Pada gilirannya kelima peserta ini akan diambil videonya sebagai konten video dakwah.

Kelima tendik peserta terpilih tersebut adalah Farhan dari kemahasiswaan dekanat FPSB, Parjono dari Divisi Satuan Pengamanan, Zarkoni dari Prodi Komunikasi, Widodo HP dari Dekanat, Edi Sutapa Dekanat. Mereka inilah lima tendik terbaik pelatihan dakwah lisan FPSB UII 2021 yang akan mendapatkan kesempatan membuat konten dakwah digital.

Foto: Widodo HP

Reading Time: 2 minutes

The Ambyar generation is closely related to the famous indonesian keroncong dangdut singer named Didi Kempot. The popularity of Didi Kempot has occurred in recent years. It has changed the image of dangdut music which is considered “villager.” Nowadays dangdut changed into a genre that is popular across generations and across segments. This is Didi Kempot’s second popularity after the popularity of his first era in the 80-90s.

Didi Kempot, nicknamed the Godfather of Broken Heart, has songs that generally have a broken heart theme. Even so, the feeling of heartbreak can actually be enjoyed and can be celebrated by dancing. Didi Kempot also took part in popularizing the word “ambyar” to represent feelings of heartbreak.

“Didi Kempot was the first to link how ‘ambyar’ is to represent us: pieces, a broken heart, a heart that hurts to tell stories,” said Michael HB Raditya, speaker in the discussion “Reading the Ambyar Generation: New Dangdut and Communication Problems” on Thursday, 27 May 2021. Nadim Communications UII, the Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA), held this discussion online and broadcast live by Uniicoms TV (the first online TV at UII).

New Dangdut and Its Problems

The popularity of Didi Kempot’s songs with the theme of heartbreak made many young dangdut singers follow this style and gave birth to what Michael calls “New Dangdut.”

According to Michael, the characteristics of the new dangdut are the dominating broken heart lyrics. Not to mention that they also have the awareness to make their own music. In addition, other characteristics are the charm of young people who continue to be built, as well as the making of simple but powerful video clips.

“But there are two problems in the new dangdut. First, this is pop music, the opposite of pop music is boredom. How is the sustainability of this new dangdut,” said Michael.

“Whether the dangdut era will continue or will it be temporary, and secondly, there is no new innovation in the new dangdut itself,” said Michael, who is the founder of the Dangdut Studies Center and also a musician at the dangdut band named Jarang Pulang.

The new dangdut has changed a lot of dangdut music culture. Male singers are becoming more common, and also audiences are free to cry while listening to heartbreak songs. Music are also widely distributed digitally. The image of dangdut has also changed. It is changed from music that is considered “village” to contemporary music that can be enjoyed by anyone. Instantly shifting the popularity of old dangdut a la Rhoma, Meggy Z, to a new wave of ‘ambyar’ dangdut. It is now contemporary and identically to Didi Kempot’s style: Congdut/ Keroncong Dangdut.

 

 

Reading Time: 2 minutes

Inclusive schools, schools with teachers, students, curriculum, facilities, activities as well as a friendly vision and mission for students with various tendencies and talents. Many schools of this kind have been abandoned, and even tend to be forgotten by separating students with special needs in Special Schools (SLB), and non-special needs in public schools. There are various kinds of school readiness to realize inclusive schools; a school that is friendly to every child’s diversity and uniqueness.

This discussion about reconnecting inclusive communication spaces is a series of community service activities initiated by Holy Rafika Dhona, MA lecturer in Communication Studies at the Indonesian Islamic University FPSB in the Geography and Environmental Communication Research cluster. This discussion invited Ana Rukma Dewi from ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center) an online information centre and early childhood service, Saturday 5 June 2021.

The discussion entitled ‘Reconnection 2021: the introduction of inclusive schools and their practice in Indonesia’ re-considered an inclusive learning space for all people who had been cut off by the separation of learning spaces for children with special needs (disabled) and without special needs ( non-ABK). “The room is a shared construction including a study room for ABK. So far, inclusive schools have been mere slogans,” said Dhona.

To see how long the school system is not inclusive to make it easier for participants to understand schooling practices in Indonesia, participants are invited to play. This game simulation is to set special requirements for participants who are allowed to take part in the game in the zoom breakroom room. The game begins by selecting participants who use wifi, use no cellphones, and have ID cards outside Jogja.

Those who do not meet these criteria will be eliminated. Many participants cannot enter because they use internet package quotas, use cellphones, and have Jogja ID cards. Participants who were unable to enter the breakroom were very sad and curious about what was happening there. That’s the school simulation that happened.

Schooling practices that have been said to be inclusive so far are still far from ideal. There are many provisions that must be prepared seriously by all parties, both the government, the school’s vision and mission, teachers, activities, as well as school facilities and infrastructure. In addition, it is also important to take into account the readiness of parents and students. “Are parents and other students prepared for the possible consequences side-by-side in inclusive schools?” said Ana.

The Event Further Get in This Info.

 

Reading Time: 2 minutes

Every worship is not just a ritual. Worship that is ritualistic has an important mission, namely the formation of noble character, morality and Akhlakul karimah. Like a tree, a ritual is a trunk that will branch and bear sweet fruit in the form of morals that manifests itself in social solidarity.

The theme of social solidarity was raised during the Syawalan Online which was held by the Family of the Faculty of Psychology and Socio-Cultural (FPSB) of the Islamic University of Indonesia (UII) on Saturday, June 5, 2021. This online Syawalan present KH Dr. Tulus Musthofa, Lc., MA was attended by all teaching staff of FPSB UII education staff, also by representatives of parents of FPSB UII students.

Mustafa emphasized that the main purpose of sending the Prophet Muhammad in the world was to perfect morals. Noble morality is the main thing as a tree has roots, there are branches, leaves, finally fruit. While the will and the main stem are rituals such as prayer, fasting, zakat, and hajj. While the fruit has a noble character. “Behind the ritual there is prayer, there are values ​​of leadership, sensitivity to questions, discipline, faith, and so on. Behind fasting there is sincerity, self-control, introspection, and so on,” said Mustafa.

To measure ourselves whether we already have noble character or not is to check ourselves whether we are able to act and do good reflexively or not. People who have been able to behave and act well, reflexively, have good morals in them. Mustafa refers to Imam Ghozali to define what morality is. Derived from the word khuluk, namely the nature embedded in the soul that encourages the birth of change easily, lightly, without consideration and deep thoughts.

Noble morality can be formed in a process that is not short. According to Mustafa, there are three processes that must be followed.

The first process is to rid oneself of lust. This is not easy because every human being is given lust by Allah swt, but humans must be able to control it to eliminate his lust even though the desire is still in him.

The second process is self-education. This process is definitely not easy because educating yourself requires high consistency. Not just once or twice, but continuously. The third is a positive atmosphere or environment. A positive environment will make it easier for someone to behave and get used to life in a certain way.

Social solidarity can be grown with these three processes. Social solidarity is not only done during the holy month. But the holy month should be a trigger to foster social solidarity. “Prophet Muhammad SAW was the most generous person. And during Ramadan, his generosity is like a strong wind,” Mustafa said.

“Philanthropy can be with material possessions. But what if I have no possessions? It can be by helping other people’s work with energy. What if you still can’t use energy? You can invite kindness. But what about uneducated? If so, don’t do anything bad. It’s already sodakoh/ islamic philanthropy,” said Mustafa explaining the types of philanthropy.

Charity is not only by providing assistance and care for orphans, the elderly, widows, and special needs. Concern for these three categories is primary. But solidarity in the form of freeing servants, feeding the hungry, defending the oppressed, and supporting people with special needs are also essential. “It’s not my group that people don’t pay attention to the problems of the people,” said Mustafa following the Sunnah of Rasulullah.

 

Reading Time: 2 minutes

Generasi Ambyar memiliki keterkaitan erat dengan penyanyi dangdut keroncong kenamaan bernama Didi Kempot. Popularitas Didi Kempot yang terjadi di beberapa tahun akhir ini telah mengubah citra musik dangdut yang dianggap “kampungan” menjadi genre yang populer lintas-generasi dan lintas segmentasi. Ini menjadi popularitas kedua Didi Kempot setelah popularitas era pertamanya pada era 80-90an.

Didi Kempot yang dijuluki Godfather of Broken Heart memiliki lagu-lagu yang umumnya bertemakan patah-hati. Meski begitu, perasaan patah hati tersebut justru dapat dinikmati dan dapat dirayakan dengan berjoget. Didi Kempot pun ikut andil dalam mempopulerkan kata “ambyar” untuk mewakili perasaan patah hati.

“Didi Kempot ini yang pertama kali menautkan bagaimana ‘ambyar’ itu untuk mewakili kita.: serpihan-serpihan, hati yang pecah, hati yang tersakiti untuk menceritakan,” ujar Michael HB Raditya, pembicara dalam diskusi “Membaca Generasi Ambyar: Dangdut Baru dan Problem Komunikasi” pada Kamis, 27 mei 2021. Diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII, ini dilaksanakan secara daring dan disiarkan langsung oleh Uniicoms TV (TV Daring pertama di UII).

Dangdut Baru dan Masalahnya

Kepopuleran kembali lagu-lagu Didi Kempot yang bertemakan patah hati membuat banyak penyanyi-penyanyi muda dangdut mengikuti gaya tersebut dan melahirkan apa yang Michael sebut sebagai “Dangdut Baru.”

Ciri-ciri khas dangdut baru menurut Michael di antaranya adalah lirik patah hati yang mendominasi. Belum lagi mereka pdangdut baru juga memiliki kesadaran untuk membuat musik sendiri. Selain itu, ciri lain adalah pesona anak muda yang terus dibangun, serta pembuatan video klip yang sederhana namun berdaya.

“Namun terdapat dua masalah di dangdut baru. Pertama, ini adalah musik pop, lawannya musik pop adalah kebosanan. Bagaimana keberlanjutan dangdut baru ini,” Papar Michael. “Apakah era dangdut akan terus berlanjut atau akan hanya sementara, dan kedua, belum adanya inovasi baru di dangdut baru itu sendiri,” ujar Michael yang merupakan pendiri Dangdut Studies Center dan juga pemain musik di Orkes Melayu Jarang Pulang.

Dangdut baru telah banyak mengubah beberapa budaya musik dangdut. Contohnya, penyanyi laki-laki menjadi lebih umum, penonton yang bebas menangis sambil mendengarkan lagu-lagu patah hati, serta distribusi musik secara digital. Citra dangdut pun telah berubah dari musik yang dianggap “kampungan” menjadi musik kekinian yang dapat dinikmati siapa saja. Seketika menggeser popularitas dangdut lawas ala Rhoma, Meggy Z, dan menjadi gelombang baru dangdut ‘ambyar’ yang kekinian dan khas Didi Kempot.

 

Reading Time: 2 minutes

Sekolah Inklusi, sekolah dengan guru, murid, kurikulum, fasilitas, kegiatan juga visi misi yang ramah bagi murid yang beragam kencenderungan dan bakat. Sekolah semacam ini sudah banyak ditinggalkan, bahkan cenderung dilupakan dengan memisah murid dengan kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB), dan non kebutuhan khusus (non ABK) di sekolah umum. Ada berbagai macam kesiapan sekolah untuk mewujudkan sekolah inklusi; sekolah yang ramah pada setiap keragaman dan keunikan anak.

Diskusi tentang mengkoneksikan kebali ruang komunasi inklusi ini adalah sebuah rangkaian kegiatan pengabdian masyarakat yang inisiasi oleh Holy Rafika Dhona, MA dosen Ilmu Komunikasi FPSB Universitas Islam Indonesia di kluster Riset Geography and Enviromental Communication . Diskusi ini mengundang Ana Rukma Dewi dari ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center) sebuah pusan informasi da layanan anak usia dini, Sabtu 5 Juni 2021 secara daring.

Diskusi dengan tajuk ‘Rekoneksi 2021: pengenalan sekolah inklusi dan praktiknya di Indonesia’ ini kembali kemngkonsikan ruang belajar yang inklusi bagi semua orang yang selama ini sempat terputus dengan ada pemisahan ruang belajar bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus (difabel) dan tanpa kebutuhan khusus (non ABK).  “Ruang adalah kontrsuksi bersama termasuk juga ruang belajar untuk ABK. Sekolah inklusi selama ini sebatas slogan belaka, ”kata Dhona.

Untuk melihat betapa selama sistem sekolah tidak inklusi untuk memudahkan peserta memahami praktik persekolahan di Indonesia, peserta diajak untuk bermaian. Simulasi permainan ini adalah dengan menetapkan persyaratan khus bagi peserta yang boleh mengikuti permainan di ruang breakroom zoom. Permainan dimulai dengan menyeleksi peserta yag memakai pakai wifi, pakai bukan hape, ber KTP di luar jogja.

Mereka yang tidak masuk kriteria tersebut akan tereliminasi. Banyak peserta yang tidak bisa masuk karena menggunakan kuota paket internet, menggunakan ponsel, dan ber-KTP Jogja. Peserta yang tidak dapat masuk ruang breakroom sangat sedih dan penasaran dengan apa yang terjadi di sana. Begitulah simulasi persekolahan yang terjadi.

Praktik persekolahan yang selama ini dikatakan inklusi juga masih jauh ideal. Banyak ketentuan yang harus disiapkan secara serius oleh semua pihak, baik pemerintah, visi-misi sekolah, guru, kegiatan, juga fasilitas dan sarana prasarana sekolah. Selain itu juga penting untuk diperhitungkan kesiapannya juga adalah orang tua dan murid. “Apakah orang tua dan murid lain siap dengan konsekuesi yang mungkin muncul berdampingan di sekolah inklusi?” ungkap Ana.

Reading Time: 2 minutes

Setiap ibadah tidak semata ritual. Ibadah yang sifatnya ritualpun punya misi penting yaitu pembentukan akhlak mulia, akhlakul karimah. Ibarat pohon, ritual adalah batang yang akan bercabang dan berbuah manis berupa akhlak yang mengejawantah salah satunya pada solidaritas sosial.

Tema solidaritas sosial ini mengemuka saat Syawalan Daring yang diadakan oleh Keluaga Besar Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) pada Sabtu, 5 Juni 2021. Syawalan daring ini menghadirkan K.H. Dr. Tulus Musthofa, Lc., MA dihadiri oleh seluruh staf pengajaran tenaga kependidikan FPSB UII, juga oleh wakilorangtua mahasiswa FPSB UII.

Mustafa menegaskan tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad di dunia adalah untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak mulia adalah hal pokok sebagaimana Pohon ada akar, ada dahan, daun, akhirnya buah. Sedangkan akan dan batang utamanya adalah ritual seperti sholat, puasa, zakat, dan haji. Sadangkan buahnya adalah akhak mulia. “Di balik ritual ada sholat, ada nilai kepemimpian, sensititas soal, disiplin, keimanan, dan lain-lain. Di balik puasan ada ikhlas, pengendalian diri, mawas diri, dan sebagainya,” ungkap Mustafa.

Untuk mengukur diri apakah kita sudah memiliki akhlak mulia atau belum adalah dengan mencek diri apakah kita sudah mampu bersikap dan berbuat baik secara reflek atau belum. Orang yang sudah mampu bersikap dan bertindak baik secara reflek atinya dalam dirinya sudah tertanam akhlak yang baik. Mustafa merujuk Imam Ghozali unruk mendefiniskan apa itu akhlak. Berasal dari kata khuluk yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong lahirnya peruabahan dengan mudah, ringan, tanpa pertimbangan dan pikiran mendalam.

Akhlak Mulia dapat terbentuk dengan proses yang tidak sebentar. Menurut Mustafa, ada tiga proses yang harus dilakui. Proses pertama adalah membersihkan diri dari nafsu. Hal ini tidaklah mudah karena setiap manusia diberi nafsu oleh Allah swt, tetapi manusia harus mampu mengendalikannya untuk menghilangkan nafsunya meskipun keinginannya masih ada dalam dirinya.

Proses kedua adalah mendidik diri (self education). Dalam proses ini pastilah tidak mudah karena mendidik diri butuh konsistensi yang tinggi. Bukan hanya sekali dua kali saja, tapi terus menerus. Ketiga adalah atmofer atau lingkungan positif. Lingkungan hidup positif akan mempermudah seseorang untuk berrsikap dan membiasakan hidup dengan cara tertentu.

“Bukan termasuk golonganku orang yang tidak perhatian pada pada persoalan-persoalan umat,” kata Mustafa mengikuti sunah Rasululah.

Solidaritas sosial dapat ditumbuhkan dengan tiga proset tersebut. Solidaritas sosial tak hanya dilakukan saat bulan suci saja. Tapi bulan suci harusnya menjadi pemicu untuk menumbuhkan solidaritas sosial. “nabi muhammad SAW itu orang yang paling dermawan. Dan ketika Ramadhan, kedermawanan beliau seperi angin kencang,” kata Mustafa.

“Kedermawanan bisa dengan harta benda. Tapi bagaimana jika saya tidak punya harta? Bisa dengan membantu pekerjaan orng lain dengan tenaga. Bagaimana jika masih tak bisa menggunakan tenaga? Bisa dengan mengajak kebaikan. Tapi bagaimana tak berilmu? Jika sudah begitu, jangan berbuat buruk. Itu sudah sodakoh,” kata Mustafa menjelaskan jenis-jenis sodakoh.

Bersodakoh tak hanya dengan memberikan bantuan dan kepedulian tehadap menyantuni yatim, jompo, janda, kebutuhan khusus.  Kepedulian pada tiga kategori ini adalah utama. Tapi solidaritas dalam bentuk memerdekakan hamba, memberi makan yang lapar, membela yang terhimpit, menyantuni orang berkebutuhan khusus juga pokok. “Bukan termasuk golonganku orang yang tidak perhatian pada pada persoalan-persoalan umat,” kata Mustafa mengikuti sunah Rasululah.

Reading Time: 2 minutes

Di sebuah sekolah inklusi ada desain universal yang harus matang disiapkan. Desain ini harus juga diimani oleh semua pihak yang terlibat dalam proses belajar mengajar. Tak hanya guru melainkan juga orang dewasa lain. Desain itu biasa disebut Universal Design for Learning (UDL).

UDL adalah sebuah kerangka berpikir yang memungkinkan orang dewasa menyediakan beragam pilihan kepada anak. “Anak bisa terlibat memilih cara menyerap informasi dan mengekspesikan hasil belajarnya,” kata Ana Rukma Dewi dari ECCD-RC (Early Childhood Care and Development Resource Center), sebuah pusat informasi dan layanan anak usia dini, yang berbicara pada Sabtu, 5 Juni 2021 secara daring. Menurut Ana, cara pandang UDL ini harus memungkinkan tiga aspek pembelajaran yaitu Minat & Atensi, Penyerapan Informasi, dan Ekspresi.

Dalam aspek ‘minat dan atensi’, orang dewa dipercaya mampu merangsang motivasi dan mempertahankan antuasme siswa dalam beajar. Selain itu,dalam perpekttif UDL ini orang dewasa harus bisa mengenali minat dan kekuatan (potensi) anak.

Dalam aspek penyerapan informasi, orang dewasa dituntut untuk memeberikan informasi dan materi dengan berbagai cara agar siswa mampu memahaminya dengan mudah. Orang dewasa juga wajib untuk menyediakan bergam media belajar yang disesuaikan dengan gaya belajar anak.

Sedangkan dalam aspek ekspresi, orang dewasa harus mampu menawarkan berbagai pilihan dan dukungan agar setiap siswa dapat menciptakan, mempelajari, dan berbagi informasi sesuai dengan gaya dan ekpresi siswa. Orang dewasa juga harus menyediagam beragam metode penialain yang juga disesuaikan dengan ekspresi siswa.

Informasi dan materi dibuat dengan berbagai cara agar siswa mampu memahaminya dengan mudah. Orang dewasa juga wajib untuk menyediakan beragam media belajar yang disesuaikan dengan gaya belajar anak.

Holy Rafika Dhona, MA, Dosen Komunikasi UII, dan beberapa mahasiswa klaster riset ini menggelar diskusi ini sebagai rangkaian event pemberdayaan masyarakat dalam empat tema diskusi. Diskusi kali ini adalah diskusi yang pertama. Momen diskusi bersama Ana dari ECCDRC ini merupakan bagian dari implementasi kluster Riset Komunikasi UII yaitu klaster Geography and Environmental Communication.

Diskusi dengan tajuk ‘Rekoneksi 2021: pengenalan sekolah inklusi dan praktiknya di Indonesia’ ini berusaha mendiskusikan kembali ruang-ruang belajar bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Apakah ia sudah ideal, apakah masih sebatas jargon. “Ruang adalah konstruksi bersama termasuk juga ruang belajar untuk ABK. Sekolah inklusi selama ini sebatas slogan belaka, ”kata Dhona.