Podcast

Podcast menjadi konten digital yang diminati anak muda di Indonesia. Pendengarnya didominasi oleh Gen Z dan Milenial. Selain isu yang dibicarakan menarik, podcast dapat diakses dan didengarkan sembari melakukan aktivitas secara multitasking. Paling sering podcast diakses ketika dalam perjalanan, saat bekerja, ataupun ketika menulis.

Konten-konten yang ada pada podcast memiliki berbagai genre, dari politik hingga komedi. Hal ini membuat podcast menjadi konten alternatif yang digemari karena menyajikan diskusi dari berbagai sudut pandang yang ringan namun mendalam. Hal ini terbukti dari jumlah pendengarnya yang selalu meningkat.

Rincian terkait pendengar podcast di Indonesia yang dirilis oleh Databoks Katadata tahun 2021enyebut 22,1 persen pendengar berusia 15-19 tahun, 22,2 persen berusia 20-24 tahun, 19,9 persen usia 25-29 tahun, 15,7 persen berusia 30-34 tahun, usia 35-39 tahun sebanyak 11,8 persen, dan 40-44 tahun sekitar 8,4 persen. Dari data tersebut artinya semakin menurun seiring bertambahnya usia.

Lantas apa itu podcast? Podcast adalah produksi audio digital yang diunggah pada platform online (paling sering website) untuk dibagikan dengan orang lain. Audio tersebut dapat diakses langsung melalui smartphone maupun perangkat komputer lainnya. Istilah podcast berasal dari broadcasting dan ipod. Memahami podcasting tentu berkaitan dengan konten audio dan berbeda dari format video yang memperkenalkan istilah vodcasting. Meski demikian podcasting dapat merujuk pada audio dan video untuk pemahaman yang komprehensif. (Hutabarat, 2020)

Indonesia Masuk Sebagai 10 Negara yang Paling Banyak Mendengar Podcast

Salah satu platform audio lokal non musik, Noice termasuk yang populer di Indonesia. Melansir dari laman Antara, Noice telah digunakan lebih dari lima juta pengguna di Indonesia. Mengenai konten-konten yang diproduksi tak diragukan lagi, mulai dari kondisi perpolitikan di Indonesia, cerita horor, hingga cerita sehari-hari yang sangat relate dengan pendengar.

“Podcast audio berupaya untuk menghadirkan screenless moment yang menyenangkan bagi semua pendengar,” Ujar Niken Sasmaya CEO Noice pada Antara.

Produksi Podcast cukup menjanjikan, laporan dari We Are Social 2024, jumlah pengguna internet global yang mendengar podcast sebesar 20,6 persen. Dari jumlah tersebut Indonesia menempati posisi kedua yakni sebesar 38,2 persen, posisi teratas negara Brasil yakni 39,7 persen.

Tiga podcast yang paling populer di Indonesia antara laian Curhat Bang Denny Sumargo, Mata Najwa, dan Close the Door. (Databoks Katadata)

Tertarik Mendengarkan Podcast?

Tak sekedar hiburan, banyak informasi yang akan didapatkan pendengar ketika mengkses konten pada podcast. Riset menunjukkan podcast memiliki dampak yang besar pada dunia pendidikan. Pertama menjadi sumber pengajaran yang inovatif bagi pengajar, kedua mampu membantu proses pembelajaran baik di dalam maupun luar kelas, dan terakhir meningkatkan kesiapan dan persiapan calon pengajar.

Selain dalam segi pendidikan, podcast sangat menguntungkan bagi para pengiklan. Edison Research merilis The Podcast Consumer 2024 menyebut selama satu dekade jumlah pendengar podcast meningkat empat kali lipat. Pendengar podcast adalah audiens yang berpendidikan dan memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas. 56 persen pendengar podcast bulanan memiliki pendapatan rumah tangga tahunan lebih dari $ 75 ribu, dibandingkan dengan 48 persen populasi AS, dan 49 persen pendengar podcast bulanan berpendidikan tinggi dibandingkan dengan 44 persen populasi AS.

Bagaimana menurutmu terkait fakta-fakta terkait podcast, tertarik untuk turut mendengar dan meramaikan produksi konten podcast Comms?

EMKP

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII, Muzayin Nazaruddin, memperoleh grant riset untuk dua tahun (2024-2026) dari British Museum. Riset yang didanai sebagai bagian dari Projek Endangered Material Knowledge Program (EMKP) tersebut berjudul “Documenting the Endangered ‘Pet Uno’, ‘Canang Ceureukeh’, and ‘Alee Tunjang’ as Indigenous Forest and Farm Culture in Post-Conflict and Post-Tsunami Aceh, Indonesia”

Penelitian ini juga melibatkan dosen dan staf Prodi Ilmu Komunikasi antara lain Zaki Habibi, Risky Wahyudi, Marjito Iskandar Tri Gunawan, dan Anugrah Pambudi Wicaksono. Selain itu, projek ini juga berkolaborasi dengan peneliti dari Aceh, yaitu Ade Ikhsan Kamil (Prodi Antropologi Universitas Malikussaleh) dan Marzuki (peneliti independen, Aceh Selatan). Projek riset ini dilakukan dengan pendekatan etnografi visual, mengandalkan teknik wawancara mendalam semi-terstruktur, obrolan informal, observasi semi partisipan, serta perekaman foto dan video.

EMKP

Tim peneliti berpose bersama Utoh Amad, Aceh Utara

Pada proyek ini, Muzayin dan tim akan meneliti dan mendokumentasikan tradisi memanen madu hutan secara alami di Buloh Seuma, Aceh Selatan, yang terancam punah karena pembukaan hutan dan modernisasi. Ritual ini merupakan tradisi khas masyarakat Buloh Seuma, Aceh Selatan, yang biasa dilakukan pada malam hari dan tanpa bantuan penerangan apapun. Panen madu ini dilakukan di sarang lebah yang ada di pohon Rubek, dengan alat-alat tradisional yang dibuat dari kayu, bambu, dan bahan-bahan lainnya yang didapat dari hutan. Tradisi ini didahului dengan ritual tertentu yang menunjukkan bagaimana para pemanen berkomunikasi dengan meminta izin kepada pohon Rubek dan lebah untuk memanen madu.

Selain di Aceh Selatan, Muzayin dan tim juga akan bekerja di Aceh Utara untuk mendokumentasikan seni musik yang hampir punah di Aceh Utara, yaitu Canang Ceureukeh dan Alee Tunjang. Di lokasi ini, projek riset difokuskan di Desa Paya Teungoh, tempat tinggal Utoh Amad, seorang maestro pembuat alat musik tradisional Aceh seperti Canang Ceureukeh, Alee Tunjang, dan Rapai. Di masa lalu, Canang Ceureukeh dan Alee Tunjang merupakan alat musik pengisi waktu luang, khususnya selepas panen padi. Tradisi memainkan alat musik ini mulai tidak dilakukan ketika Aceh mengalami konflik panjang. Selepas konflik, tradisi ini tidak pernah dilakukan lagi karena para petani sudah menggunakan teknologi modern untuk proses penanaman dan pemanenan padi. Penggunaan teknologi modern ini berimbas pada hilangnya tradisi-tradisi lokal yang mengiringi proses budidaya padi, termasuk hilangnya tradisi memainkan Canang Ceureukeh dan Alee Tunjang.

Detail informasi terkait riset ini dapat diakses melalui link berikut:

https://www.emkp.org/documenting-the-endangered-pet-uno-canang-ceureukeh-and-alee-tunjang-as-indigenous-forest-and-agriculture-rituals-in-aceh-indonesia/.

Puspita Bahari

Dua tahun terakhir Prodi Ilmu Komunikasi UII telah melakukan berbagai pendampingan dan kerja sama dengan nelayan perempuan Morodemak dan Timbulsloko, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Banjir rob telah mengepung wilayah tersebut, akibatnya berbagai masalah terjadi baik dari aspek ekonomi dan sosial.

Bermula dari pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh dua dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yakni Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom dan Ratna Permata Sari, S.I.Kom., MA pada tahun 2023. Beberapa program pendampingan seperti pemasaran digital serta parenting diberikan kepada masyarakat di sana. Proses untuk memasuki daerah tersebut tak lepas dari campur tangan komunitas Puspita Bahari.

Untuk menguatkan kerja sama, Prodi Ilmu Komunikasi UII bertandang ke Demak pada 25 Septeber 2024 untuk melakukan penandatanganan Implementasi Aktivitas (IA) denga Puspita Bahari, komunitas nelayan perempuan.

Diwakili oleh Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom, penandatanganan tersebut dilakukan bersamaan dengan festival ‘Perempuan Merajut Gerakan Krisis Iklim’ di Panggung Kesenian Tembiring, Demak Jawa Tengah. Bertandangnya rombongan Prodi Ilmu Komunikasi UII juga turut memeriahkan festival tersebut, film garapan Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom, serta Marjito Iskandar Tri Gunawan, M.I.Kom selaku staf laboran yang berjudul Sweat Dripping in the Ripples of the River juga dipertontonkan kepada publik.

“Kerjasama dengan Komunitas Puspita Bahari di Demak di mulai dari kegiatan pengabdian masyarakat dosen-dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII di komunitas perempuan nelayan di pesisir Demak. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan film dokumenter tentang kehidupan perempuan nelayan di daerah Tambak Polo dan Timbulsloko, Demak. Prodi Ilmu Komunikasi UII juga pernah menyalurkan bantuan UIIPeduli Banjir Demak saat bencana banjir melanda kawasan tersebut. Berdasarkan kegiatan-kegiatan bersama yang semakin intensif, maka Prodi Ilmu Komunikasi ingin memformalkan kerja sama dengan Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari,” ujarnya.

Peran Puspita Bahari bagi nelayan perempuan begitu besar di Morodemak dan Timbulsloko. Maka dari itu penguatan kerja sama antara Prodi Ilmu Komunikasi UII dilakukan untuk melakukan kerja-kerja pemberdayaan berkelanjutan. Hal ini selaras dengan kegiatan yang dilakoni oleh Puspita Bahari, Masnuah selaku pengurus menyebut jika kerja-kerja yang dilakukan berkaitan dengan pengorganisasian serta edukasi.

“Selam aini Puspita Bahari melakukan kerja-kerja pengorganisasian, edukasi, pemberdayaan ekonomi, pendampingan kasus kekerasan serta advokasi kebijakan (pengakuan identitas nelayan perempuan),” ujar Masnuah.

Screening Film

Krisis iklim sudah selayaknya mendapat perhatian serius dari masyarakat dan negara. Tak hanya berdampak pada lingkungan, nyatanya krisis iklim memiliki pengaruh besar terhadap perempuan. Masalah ini digagas secara serius pada momen festival bertajuk ‘Perempuan Merajut Gerakan Krisis Iklim’ di Panggung Kesenian Tembiring, Demak Jawa Tengah pada 25 September 2024.

Memasuki area festival, pengunjung akan disambut aroma menyengat khas pesisir. Deretan hasil tangkapan dari perempuan nelayan menjadi daya tarik pengunjung yang datang.

Rangkaian agenda yang cukup padat menjadi ruang pertemuan antara perempuan nelayan, pemangku kebijakan, dan publik. Di tengah-tengah diskusi, salah satu film garapan Prodi Ilmu Komunikasi UII dipertontonkan. Film dokumenter berjudul Sweat Dripping in the Ripples of the River mengangkat kisah seorang perempuan nelayan dari Tambak Polo, Demak. Kisah hidup yang dilakoni Bu Umro dalam film itu menjadi contoh bagaimana seorang perempuan turut andil besar dalam merawat lingkungan dari krisis iklim.

Dalam sesi tersebut, staf laboran Prodi Ilmu Komunikasi Marjito Iskandar Tri Gunawan, M.I.Kom., menyampaikan film ini berhasil digarap setelah melewati berbagai proses pendekatan. Salah satu rekanan yang turut andil adalah komunitas Puspita Bahari.

“Awal mula pembuatan film dokumenter ini kami berangkat dari kegiatan pendampingan terkait parenting pengasuhan anak dan bekerjasama dengan Puspita Bahari tentang pemasaran digital. Selain itu kami coba untuk belajar yang lain yaitu membuat film dokumenter,” ujarnya dalam membuka sesi.

Setelah memberi pengantar, film diputar. Para pengunjung menyaksikan, kisah Bu Umro yang berjuang sebagai kepala keluarga demi pemenuhan ekonomi. Dalam sesi itu, Bu Umro diundang untuk menceritakan bagaimana kondisinya akibat krisis iklim di pesisir Pantai Utara.

Apresiasi layak diberikan, ia memburu tangkapan dengan cara yang ramah lingkungan yakni menggunakan alat bernama bubu. Selain merekam perjuangan nelayan perempuan, film ini menunjukkan kepedulian lingkungan, tanpa merusak bibit-bibit kepiting dan ikan yang masih kecil.

Selain memproduksi sebuah karya, harapan dari Prodi Ilmu Komunikasi UII atas film ini mampu membuka mata banyak pihak. Bahwa kondisi masyarakat di pesisir Demak yang terdampak banjir rob begitu sulit, baik dari sisi ekonomi maupun sosial.

“Kami bersyukur pesan film ini nanti akan bisa sampai pada penonton di Australia dan Samarinda,” tambahnya.

Film ini terpilih dalam Program Akuisisi Pengetahuan Lokal BRIN peiode 1 tahun 2024, selain itu juga masuk dalam daftar pemutaran ReelOzInd yakni Australia Indonesia Short Film Festival yang akan dilakukan pada 24 Oktober 2024 di Samarinda dan Australia.

Sebanarnya Prodi Ilmu Komunikasi UII telah menggarap beberapa film dokumenter yang mengangkat persoalan-persoalan di pesisir pantura terutama kabupaten Demak. Selain film Sweat Dripping in the Ripples of the River, lebih awal film The Independence Day, Between Tears and Laughter telah masuk dalam nominasi film dokumenter pendek terbaik dalam Festival Film Indonesia 2023.

Bermula dari dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom dan Ratna Permata Sari, S.I.Kom., MA yang melakukan pemberdayaan di lokasi tersebut harapannya melalui berbagai program dampak banjir rob di pesisir Pantai Utara mendapat perhatian serius dari berbagai pihak.

Very Demure

Pengguna aktif TikTok dan Instagram satu bulan ke belakang pasti beberapa kali terpapar dengan istilah very demure dan very mindful yang kerap diungkapkan beberapa influencer. Sontak istilah ini juga menjadi tren bagi masyarakat digital lainnya.

Lantas mengapa very demure dan very mindful bisa muncul, dan apa artinya?

Dari berbagai sumber yang telah beredar, ungkapan very demure dan very mindful pertama kali diunggah content creator TikTok Jools Lebron. Ia memberikan saran kepada para followersnya untuk bertindak very demure dan very mindful dalam situasi apapun.

“I’m very modest, I’m very mindful,” ucapnya.

“The way I came to the interview is the way I go to the job. A lot of you girls go to the interview looking like Marge Simpson and go to the job looking like Patty and Selma. Not demure,” ujarnya menambahi.

Konten yang diunggah menggunakan akun joolieannie di TikTok itu telah ditonton lebih dari 50 juta kali. Sedikit informasi tentang konteks yang dibicarakan oleh Jools Lebron terkait standar feminitas yang dilontarkan oleh publik kepada dirinya yang memilih menjadi sosok transgender. Jika biasanya transgender tampil dengan style yang menarik perhatian, berbeda dengan dirinya yang ingin tampil lebih sederhana.

Menariknya di Indonesia istilah very demure dan very mindful digunakan dalam berbagai konteks, termasuk promosi berbagai produk. Salah satunya influencer bernama Gita Savitri Devi atau akrab dengan sapaan gitasav mengungkap “How see I do my skincare, very mindful, very demure. I don’t do 10 step skincare routine, nobody got time for that I keep it very efficient very mindful. And you see the products I use these products they don’t over claim in fact, I formulate then myself. I don’t incorporate random ingredients jus for marketing sake I’m being very intentional very thoughtful again very demure,” ucapnya mempromosikan produk skincare miliknya.

Arti Very Demure dan Very Mindful dalam Bahasa Indonesia

Very demure merupakan kata sifat atau dalam bahasa Inggris adjective yang menggambarkan kalem, sopan, penuh kehati-hatian, dan pemalu. Dalam Dictionary Cambridge, demure diperuntukan bagi perempuan yang tenang dan berperilaku baik. Misalnya She gave him a demure smile.

Sementara very mindful yang biasa kita dengar dalam konteks kesehatan mental yang merupakan kata sifat yang penuh perhatian atau sadar. Berhati-hati untuk tidak melupakan sesuatu. I’m trying to be more mindful and I think it helps me with stress. Dictionary Cambridge.

Mengapa Langsung Viral di Media Sosial, Apakah ini Bentuk Sindiran?

Selain kultur media sosial yang sangat dinamis, ada pesan-pesan implisit yang ingin disampaikan oleh content creator. Jika memahami konteks yang disampaikan oleh Jools Lebron di awal, ia seolah ingin berkata satir. Satir atau ejekan ditunjukkan untuk menyatakan sindiran terhadap kondisi seseorang. “A lot of you girls go to the interview looking like Marge Simpson and go to the job looking like Patty and Selma. Not demure.”

Patty dan Selma yang disebutkan merupakan dua tokoh fiksi komedi animasi Amerika The Simpsons. Keduanya adalah seorang saudara kembar identik yang berpenampilan feminim khas dengan aksesoris yang menarik, perokok, dan bersuara berat layaknya laki-laki.

Melansir dalam laman The Guardian, Jools Lebron sengaja menggunakan very demure dan very mindful untuk mengungkapkan dengan satir atas penampilannya yang feminim. Hal tersebut bisa menjadi sindiran dan bahan candaan untuk Gen Z terkait bagaimana cara membuat konten flexing. “It also reads as a spoof on Gen Z’s obsession with quiet luxury, the trend where wealth is flexed via a whisper, not a scream.”

Namun, karena budaya yang berbeda penggunaan very demure dan very mindful di Indonesia terutama lebih banyak digunakan untuk berbagai kebutuhan mulai dari promosi sebuah produk, hingga konten-konten ringan daily life.

Lantas bagaimana menurutmu comss?

CCCMS

Rangkaian agenda pada 7th Conference on Communication and Media Studies (CCCMS) menghadirkan beberapa workshop unik sebelum forum akademik itu berlangsung. Konferensi internasional yang diinisiasi oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII menyuguhkan beberapa workshop gratis untuk para presenter.

Menariknya workshop-workshop itu tak melulu berbau akademik yang memusingkan, melainkan kegiatan unik yang memicu ide-ide baru. Ada empat workshop dalam program pre-konferensi antara lain Urban Walking, Photobook and Design Thingking, Environmental Communication, dan Writing Class for International Journal.

Semua workshop dilaksanakan di hari yang sama yakni 27 Agustus 2024. Peserta berhak memilih dan bergabung pada salah satu workshop dan bertemu dengan fasilitator professional.

Urban Walking

Tak sekedar jalan-jalan, Urban Walking yang difasilitatori olerh Dr. Zaki Habibi menekankan pada sensory method selama proses perjalanan melintasi jalanan utama Yogyakarta. Mengawali titik di Tugu Golong Gilig sekitar Tugu Yogyakarta pada pukul 08:00 WIB, perjalanan dilakukan dengan menyusuri situs UNESCO World Heritage: mulai dari jalan Margo Utomo, Mangkubumi, melewati rel kereta, kemudian berakhir di Jalan Malioboro. Perjalanan sepanjang 2,5 kilometer itu usai pukul 12.00 WIB.

Workshop ini diikuti oleh peserta dari berbagai negara mulai dari Indonesia, India, Cina, dan Taiwan. Dr. Zaki mengajak peserta untuk mengamati hal-hal yang dilalui selama perjalanan dari hasil pandangan mata, suara, bau, sentuhan, dan rasa. Peserta diminta untuk membuat sensory mapping yang mendokumentasikan perjalanan tersebut serta hal-hal apa saja yang menarik perhatian. Sesampainya di area Jalan Malioboro, Dr. Zaki meminta peserta menggambar situasi jalan sesuai dengan yang menjadi perhatian peserta misalnya kombinasi antara modernitas dan tradisionalitas di jalanan Yogyakarta.

Salah satu peserta asal Indonesia yakni Lutviah menyebut jika workshop ini memberinya wawasan soal metode baru yang mendukung pekerjaannya sebagai peneliti.

“Sebagai peneliti sosial, menurut saya workshop Urban Walking dan Sensory Method ini sangat menarik karena workshop ini menawarkan pendekatan baru dalam penelitian sosial. Workshop ini melatih saya untuk melakukan pengamatan mendalam tentang hal-hal yang terjadi di sekitar saya dengan menggunakan seluruh panca indera yang saya miliki. Dari proses tersebut, saya mampu menemukan hal-hal menarik yang sebelumnya tidak pernah saya perhatikan, misalnya perpaduan antara modernitas dan tradisionalitas di jalanan kota Yogyakarta. Kemampuan observasi mendalam seperti ini menurut saya penting untuk dapat menangkap fenomena-fenomena sosial, khususnya fenomena komunikasi, serta menganalisis implikasinya terhadap masyarakat,” ujar Lutvia salah satu peserta workshop.

Photobook and Design Thingking: An Introduction

Workshop ini menggandeng Gueari Galeri yang merupakan publisher buku foto dari Indonesia. Bertajuk Photobook and Design Thinking: An Introduction workshop ini fokus dengan hasil jepretan peserta yang nantinya akan diubah menjadi buku foto.

Salah satu peserta yang aktif dalam menekuni hobi journaling, Sri Rahmawati tertarik untuk menerbitkan buku foto.

“Aku ingin bisa nerbitin buku foto archive, mungkin tentang academic journey-ku atau hal-hal simpel lain. Aku tuh suka ngumpulin kaya tiket kereta atau kalau aku makan sama orang yg spesial, aku bakal simpan nota-nya, mungkin hal-hal kaya gitu suatu hari bisa kujadikan buku foto,” pungkas Rahma.

Fasilitator dari Gueari Galeri, Caron Toshiko dan Andi Ari Setiadi, menyebutkan kegiatan ini merupakan pengantar kepada peserta untuk mengenal buku foto sebagai salah satu cara mengekspresikan diri.

“Kami melihat fotografi itu salah satu medium nonverbal yang bisa digunakan semua orang untuk menggali banyak hal dengan cara yang mudah dan menarik,” ujar Caron.

“Ada cerita, ada kegelisahan, atau ada kemarahan, bahkan dan foto bisa menjadi medium untuk mengeluarkan itu semua,” jelas Ari.

Environmental Communication

Tak sekedar workshop yang berhenti dalam waktu satu hari, program ini mengajak peserta untuk melakukan proyek panjang yang berkelanjutan.

Muzayin Nazaruddin, M.A selaku fasilitator workshop menginisiasi proyek tersebut untuk peserta  yang tertarik berkontribusi dalam sebuah buku yang disunting (dalam Bahasa Indonesia) tentang komunikasi lingkungan dan humaniora lingkungan. T

Topik-topik yang akan dibahas dalam buku ini meliputi risk and disaster communication, environmental crises, human-animal relations, nature-culture tensions, local ecological knowledge, environmental activism, dan tema-tema lain yang terkait.

Menyadari kompleksitas antara manusia, teknologi, dan alam saling berkontribusi dalam membentuk realitas dunia maka workshop ini tentu akan memunculkan banyak hal yang mengusik.

Workshop ini juga menghadirkan Achmad Choirudin dari Insist Press untuk membicarakan rencana penerbitan buku bertopik komunikasi lingkungan.

Writing Class for International Journal

Workshop Writing Class for International Journal yang difasilitatori oleh Prof. Masduki nampaknya menjadi program favorit. Puluhan akademisi dari berbagai negara antusias dan responsive selama workship berlangsung.

Peserta diajak untuk lebih mengenal area riset yang diminati dan mendapatkan tips-tips berharga mengenai pemilihan jurnal yang tepat serta teknik penulisan yang efektif. Nico Carpentier dari Charles University yang juga menjadi Keynote Speaker dalam konferensi ini turut bergabung dan memberikan feedback.

You have to start writing, create narrative about your publication and connect your journals to one line expertise.” ujarnya.

Melalui Writing Class ini, diharapkan para peserta dapat meningkatkan kualitas penulisan ilmiah dan memperluas jaringan kerjasama di bidang penelitian. Acara ini juga menjadi bukti bahwa CCCMS terus berkomitmen untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di bidang komunikasi.

Di akhir acara, Prof. Masduki menutup sesinya dengan kalimat yang pamungkas “Consistency! It is to make advance move for your academic journey!”

Literasi

Data yang dirilis We Are Social menunjukkan jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 139 juta identitas per Januari 2024. Akses media sosial dan internet paling dominan melalui smartphone, sementara 36,99 persen pemiliknya adalah anak-anak berusia kurang dari 15 tahun (Data BPS 2023).

Lantas dengan usia anak-anak menuju remaja, apakah mereka sudah memahami pentingnya perlindungan identitas di dunia digital?

Salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Puji Hariyanti berkesempatan melakukan pengabdian di MTSN 7 Pakem dengan memberikan literasi bertajuk “Lindungi Identitas Anak dengan Cakap Digital” kepada 160 siswa kelas 7. Tak dapat dipungkiri, jika hampir seluruh siswa jenjang menengah pertama memiliki smartphone pribadi. Selain berkomunikasi, smartphone juga menjadi media hiburan seperti bermain game online hingga bermedia sosial.

Literasi diawali dengan diskusi terkait kebiasaan para siswa dengan smartphone pribadinya, tak sedikit yang menyebut menggunakannya untuk bermain Mobile Legend, mengunggah konnten di TikTok dan Instagram, menonton anime serta kegiatan lainnya.

Menariknya, para siswa mengaku jika mereka tak benar-benar menggunakan identitas aslinya demi melancarkan akses terhadap aplikasi-aplikasi yang mamatok persyaratan usia di atas 17 tahun.

Mendapati hal ini, Puji Hariyanti menjelaskan risiko-risiko kebocoran identitas digital mulai dari risiko saat download aplikasi, saat upload konten, hingga bagaimana algoritma bekerja karena seluruh aktivitas online yang kita lakukan ternyata dipantau oleh platform global yang ada dalam smartphone.

“Algoritma itu mencatat apa yang kita cari di Google, kalau kalian mencari anime nanti ada rekomendasi anime juga entah di platform (media sosial) lainnya,” ujar Puji.

Sementara, beliau juga mengingatkan untuk menyimpan dengan aman data-data pribadi yang berkaitan dengan akun. Dan data apa saja yang tak boleh dibagikan di media sosial.

Diskusi semakin responsif, ketika para siswa penasaran dengan cara kerja algoritma di smartphone mereka. Sebagian dari mereka tertarik mendiskusikan bagaimana cara menghapus data yang telah mereka lakukan sebelumnya.

“Bagaimana menghapus jejak digital? Posting yang baik-baik, harus bijak apa yang kalian cari dan lakukan itu terekam,” tambahnya.

Di akhir sesi, risiko cyberbullying juga sempat dibahas. Cyberbullying adalah perilaku yang tidak baik di dunia digital, bagaimana seseorang sengaja menyakiti atau mengganggu orang lain.

“Jika identitas pribadimu bocor, mereka bisa memanfaatkannya dengan cara tidak baik misalnya mencoba melecehkan hingga melakukan penipuan,” ungkap Puji Hariyanti.

“Memanggil teman dengan kata kasar di game termasuk cyberbullying,” tambahnya.

Menutup sesi tersebut, beberapa pesan disampaikan agar para siswa aware dengan identitas pribadinya. Karena bahaya kerusakan identitas digital akan berpengaruh terhadap pendidikan dan masa depan.

“Kita hidup di dunia digital dan main HP, kalian harus hati-hati jangan mengunggah foto maupun video yang aneh-aneh (tak pantas),” tandasnya mengakhiri diskusi.

Nico Carpentier, Hubungan Media dengan Demokrasi hingga ‘Political Struggle’

Nico Carpentier merupakan Extraordinary Professor dari Charles University yang ditunjuk menjadi keynote speaker dalam perhelatan The 7th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) 2024 dalam tema Hybrid pada 28 Agustus 2024 di Auditorium FPSB UII.

Pada kesempatan itu Nico menjelaskan bagaimana hubungan media dengan demokrasi yang menjadi perjuangan politik atau political strunggle. Materi tersebut dipaparkan sesuai dengan konteks hybrid pada 7th CCCMS 2024.

“What I wanted to talk about is very much in line with the main theme of the conference, hybridity. Although I might once in a while translate it as a discussion on contingency, which is for me, quite close to the logics of hybridity,” ujar Nico membuka presentasinya.

(“Apa yang ingin saya bicarakan sangat sesuai dengan tema utama konferensi ini, yaitu hibriditas. Meskipun sesekali saya mungkin akan menerjemahkannya sebagai diskusi tentang kontingensi, yang bagi saya cukup dekat dengan logika hibriditas,”)

Baginya, demokrasi dalam konteks hybrid merupakan kontruksi sosial yang selalu mengikuti kondisi politik dan budaya suatu negara. Sementara, media memiliki peran ganda. Mulai dari ruang untuk menegosiasikan hingga perdebatan bagi elit politik, kritik masyarakat dan media itu sendiri, namun juga menjadi kekuatan perjuangan politik.

“And I will come back to the 2011 book, rest assured, but this is important for me. But I will also start by talking a bit about the discursive material, because that theoretical model, that (ontology?) will allow me to put emphasis on the role of hybridity and contingency. It’s actually a main theoretical framework that I can use to emphasize the importance of hybridity and contingency, together with, and that’s also in the title, the notion of political struggle. Because I would like to emphasize that when we start thinking about the relationship of media and democracy, we need to think about this issue from the perspective of political struggle,” tambahnya.

(“Dan saya akan kembali ke buku tahun 2011, yakinlah, tapi ini penting bagi saya. Tetapi saya juga akan memulai dengan berbicara sedikit tentang materi diskursif, karena model teoritis itu, (ontologi?) akan memungkinkan saya untuk menekankan peran hibriditas dan kontingensi. Itu sebenarnya adalah kerangka teori utama yang dapat saya gunakan untuk menekankan pentingnya hibriditas dan kontingensi, bersama dengan, dan itu juga ada di dalam judul, gagasan tentang perjuangan politik. Karena saya ingin menekankan bahwa ketika kita mulai berpikir tentang hubungan media dan demokrasi, kita perlu memikirkan masalah ini dari perspektif perjuangan politik,”)

Dalam perjuangan politik, peran berbagai pihak bisa jadi sangat besar, berbahaya, dan tak terduga. Jika elit politik bisa saja mengendalikan peran media, peran masyarakat juga demikian.

“In many cases, high level of democracy being more ethical, high citizen participation even high dangerous in some cases,” ungkapnya.

(“Dalam banyak kasus, tingkat demokrasi yang tinggi menjadi lebih etis, partisipasi warga yang tinggi bahkan berbahaya dalam beberapa kasus,”)

Fenomena tersebut kerap terjadi dalam dunia politik di Indonesia terutama, maka sudah selayaknya jurnalis bekerja atas dasar kebenaran. Bukan ikut turut sebagai buzzer politik untuk melanggengkan salah satu pihak yang ingn berkuasa.

“The journalists have power on it. But we have to point it that we ask them (journalists) not as journalist but deeply for community responsibilities,” tegasnya.

(“Para jurnalis memiliki kekuatan di dalamnya. Namun kami harus menekankan bahwa kami meminta mereka (jurnalis) bukan sebagai jurnalis, tetapi lebih kepada tanggung jawab kepada masyarakat,”)

Nico mengaku sangat bersyukur hadir dalam 7th CCCMS 2024 karena akan mendapatkan berbagai perspektif dan insight dari para presenter yang hadir dari berbagai negara.

“My pleasure to be able to listen to you. Because that’s obviously what conferences are about, is to create dialogues between many different voices. And it’s good to hear that people from many different countries have been, so thanks for making this possible,” ujaranya dalam sesi perkenalan.

(“Senang sekali bisa mendengarkan Anda. Karena memang itulah tujuan dari konferensi ini, yaitu untuk menciptakan dialog di antara banyak suara yang berbeda. Dan senang mendengar bahwa orang-orang dari berbagai negara telah hadir, jadi terima kasih karena telah membuat hal ini menjadi mungkin,”)

Penulis: Meigitaria Sanita

Communicating Space and Place in Cultural Hybridity

Panel bertajuk Communicating Space and Place in Cultural Hybridity pada 7th CCCMS 2024 yang dipandu oleh Holy Rafika Dhona, salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, pada 28 Agustus 2024 menggali lebih dalam terkait bagaimana mengkomunikasikan ruang dalam budaya hybrid.

Salah satu paper menarik milik Natalia Grincheva dari LASALLE, University of Arts Singapore dengan judul “Smart & Creative Environments? Exploring the Role of Arts Data in Sustainability of Smart Cities” mengeksplorasi bagaimana data seni yang dihasilkan oleh organisasi budaya dapat diintegrasikan dalam tata kelola smart city secara berkelanjutan dengan pendekatan kultural.

Natalia membandingan konsep smart city yang diusung Singapura dengan beberapa negara seperti Melbourne, New York City, dan London. Hasilnya adalah Singapura dan Melbourne belum menemukan refensi secara eksplisit terkait kebijakan di dalamnya. Berbeda dengan NYC yang jelas fokus pada smart environment dan London yakni smart living.

Beberapa pertanyaan yang digali dalam riset tersebut berkisar soal kebijakan yang mempertanyakan apakah seni dan budaya memberikan kontribusi yang berarti pada pengembangan smart city. Bahkan keterlibatan pemerintah dalam memberikan insentif dan dukungan yang berarti serta organisasi budaya yang mungkin akan menawarkan meaningful space untuk masyarakat kota.

Presenter kedua ada Josephine Choi Hio Ian, dari Hong Kong dengan papernya yang berjudul “Cultural Space and Place in China’s Smart Cities”. Riset tersebut mengeksplorasi kebijakan dan praktik di wilayah Greater Bay Area terkait smart city dengan mengimplementasikan proyek-proyek budaya. Riset ini juga menggali teknologi pada smart infrastructure seperti proyek taman budaya OCT-LOFT Creative di Shenzhen dan Distrik Budaya Kowloon Barat di Hong Kong.

Sementara penemuan Josephin menyebut bahwa data tentang aplikasi pintar dalam industri budaya di Hong Kong dan Shenzhen dalam rencana wilayah Teluk masih belum tersedia. Dampak dari penggabungan budaya dan pengembangan Smart City di wilayah teluk yang lebih luas belum dieksplorasi. Terakhir soal kebijakan dan praktiknya belum dieksplorasi secara luas.

Selain dua presentasi terkait smart city dan budaya, ada dua presentasi lain yakni oleh Andrea Miconi, IULM University dengan judul “Values and Fears of the Europeans; A Media Theory Perspective”. Secara spesifik menjelaskan hasil proyek Horizon 2020 project EUMEPLAT – European Media Platforms yang menilai eksternalitas positif dan negatif untuk budaya Eropa.

Panelis terakhir adalah Martriana Ponimin Said, Universitas Pancasila Jakarta dengan papernya berjudul “Life is a Game: Scrabble Club Community in Inland Village”. Riset ini menunjukkan peran penting komunitas scrabble di desa pedalaman dalam meningkatkan kualitas diri masyarakatnya. Tantangannya adalah bagaimana lingkungan yang hibrida yang belajar bahasa asing namun tetap mempertahankan budaya tradisional. Studi ini berada di Kampoeng Inggris Borneo. []

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Budaya pop dan fandom kpop serta film

Budaya pop selalu memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Pada satu sisi masyarakat terpengaruh dengan berbagai produk budaya pop di sisi lain, budaya pop juga memengaruhi kehidupan masyarakat.

Hal tersebut membuat budaya pop menjadi satu topik yang menarik untuk didiskusikan secara akademik. Inilah yang menjadi spirit dalam salah satu diskusi panel dalam 7th CCCMS 2024 yang bertajuk “Pop Culture and Hybrid Media”.

Sesi tersebut berlangsung pada Rabu siang 28 Agustus 2024 dan dimoderatori oleh Khumaid Akhyat Sulkhan, dosen program studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia. Ada tiga presenter dalam forum tersebut, termasuk Sulkhan sendiri. Presenter pertama bernama Rina Sari Kusuma dari Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan topik “Xkwavers as Third Space: Hybrid Identities of Hallyu-Muslim Community Fans”. Ia membicarakan fandom Korea muslim di Indonesia yang kemudian menggunakan konten-konten K-Pop sebagai sarana dakwah.

Presenter kedua bernama Dimas Ramadhiansyah dari Universitas Airlangga, Surabaya, dengan judul topik ““I had Post-Concert”: A Netnographic Study of Lucy Fans Community Dynamic in a WhatsApp Group Post LUCY We Are Lading Jakarta 2024 Concert”. Topik ini mendalami praktik konsumsi fandom salah satu grup musik Korea.

Kemudian, panel terakhir presentasi dari Sulkhan dengan topik presentasi berjudul “Understanding the Dark History of 1965 in Horror Films: A Study of Representation in the Film “Malam Para Jahanam””. Ia membahas tentang bagaimana sejarah tragedi 1965 diwacanakan dalam film horor.

Setelah semua presenter memaparkan topik masing-masing, acara dilanjutkan dengan tanya jawab. Tampak para peserta aktif memberikan pertanyaan dan masukkan kepada para presenter hingga sesi berakhir.

Penulis: Khumaid Akhyat Sulkhan