Membicarakan foto bagus dan tidak, bisa jadi setiap orang tidak akan mencapai titik temu yang presisi. Masalah subjektifitas kekuasaan jari pencet rana kamera selalu ada. Dalam fotografi, subjektifitas juga dapat berubah: berproses dari waktu ke waktu seiring proses pikiran dan sensor tubuh.

Bagaimana pikiran dan tubuh berproses dan mendisipinkan diri dalam proses membuat karya fotografi itu disampaikan oleh Zaki Habibi, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, dalam rangkaian acara Diskusi dan Pameran Foto DOC-Camp hasil kerjasama antara PSDMA Nadim Prodi Ilmu Komunikasi UII dan Klik18, klub Fotografi di Ilmu Komunikasi UII, pada 22 september 2022. Zaki adalah peneliti kajian kultur urban dan visual sekaligus penikmat dan praktisi fotografi. Pameran foto ini telah berlangsung sejak 20 hingga 23 September 2022.

Dalam pameran foto yang bertajuk Islam dan Transformasi, Zaki mengatakan bahwa diskusi foto ini menjadi ruang apresiasi sekaligus ruang refleksi atas kerja keras, pemikiran, dan keteguhan anggota Klik18. “Mengapresiasi karya teman-teman yang sudah menghadirkan karyanya. Tak lepas dari kerja, upaya, pemikiran, dan kerja keras, yang berproses sejak Doc-Camp pertama diadakan sejak 2018,” kata Zaki Habibi membuka sesi materinya.

Pikiran dan Tubuh yang Berproses

Dalam diskusi ini, Zaki Habibi bercerita tentang bagaimana subjektifitas, kepekaan, dan sensifitas berproses dalam pemikiran dan tubuh seseorang. Ia memulai dari pengalamannya saat ia mengawali studi di kota kecil di Swedia, Lund. Ia mengajak hadirin diskusi untuk membayangkan bagaimana orang Indonesia yang berkulit berwarna dan berbadan relatif kecil di antara orang bule. Terlebih ia adalah orang yang pertama kali menapakkan kaki di kota itu. Pandangan mata orang setempat pastilah tertuju padanya. Asing.

Di hari jumat pertamanya, sebagai seorang muslim ia harus jumatan. Ia pun pergi ke sebuah masjid. Betapa herannya dia, ternyata masjid yang ia bayangkan dengan kubah, dan ornamen khas lainnya, lebih pantas dikatakan sebagai ruko. Dan kecil pula. Ia pun memotret kejanggalan itu.

Setelah berminggu-minggu tinggal di sana, dan ratusan jumat dia datangi tempat itu, “masjid yang ruko” di sana sudah tidak lagi membuatnya asing. Ia kini bisa datang dengan lebih dekat dan intens dengan melihat beberapa sisi tempat itu. Bisa makin dalam berinteraksi dengan orang lain. Bisa menggali cerita tentang imigran dari Gaza. “Saya lama-lama bisa mengobrol dengan banyak orang termasuk imigran gaza, tentang bagaimana dia datang, tentang siapa saja yang datang bersamanya, tentang siapa yang harus dia lindungi, siapa saja orang yang ia tinggalkan atau terpaksa ia tinggal.“

“Ya saya pergi dengan anak dan saudara saya, dan istriku dah tenggelam saat ke sini. Begitulah,” kata Zaki menceritakan bagaimana temannya bercerita dengan nada datar tetapi ada kesedihan mendalam yang ditahan bertahun-tahun. Seorang fotografer akan mamu menangkap sensor-sensor indrawi bahkan batin lewat foto. Dan subjektifitas ini akan bersatu dengan disiplin tubuh jika sudah terlatih selama bertahun-tahun.

Zaki menggambarkan bagaimana subjektifitas itu dibentuk, dan bagaimana subjektifitas tidaklah netral. Dari hal yang paling sederhana, Zaki menggambarkan bagaiman seseorang berswafoto atau selfi. “Kita nggak netral di depan kamera kita. Kita aja foto selfi milih angle. Sisi mana kita terlihat fotogenik,” kata Zaki.

Foto bukanlah sekadar sebuah gambar beku yang tidak bergerak dan terbatas dalam bingkai. Sebuah foto bisa mengajak penikmatnya untuk melihat kondisi susah dan bahagia. Bahkan foto bisa mengadirkan aroma busuk dari sampah yang menggunung di Tempat pembuangan Akhir (TPA) Piyungan.

Dalam dalam rangkaian acara Diskusi dan Pameran Foto DOC-Camp hasil kerjasama antara PSDMA Nadim Prodi Ilmu Komunikasi UII dan Klik18, Zaki Habibi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menjadi salah satu pemantik diskusi foto yang bertema “Islam dan Transformasi” itu. Dalam diskusi yang memamerkan 12 tema foto cerita itu, Zaki menyampaikan bagaimana sebuah foto mampu menyalakan beragam sensor indrawi manusia mulai dari rasa, bau, bahkan, nuansa batiniah.

“Melihat satu foto, kita akan dibawa untuk merasakan aroma busuk tumpukan sampah setinggi gunung,” ungkap Zaki menceritakan suasana TPA Piyungan.

Zaki juga kembali memceritakan bagaiamana ia berproses mengenali masjid di Swedia yang apada awalnya ia merasa asing. Tetapi setelah lama, ia mulai mengenal tempat dan bahkan bercakap dengan salah seorang pengunjung masjid lain yang juga merupakan imigran Gaza, yang istrinya tenggelam dalam perjalanannya mencari mencari suaka. “Foto juga bisa menghidupkan sensor batin tentang kesedihan yang tertahan.” Imbuh Zaki.

Untuk bisa menangkap gambar-gambar yang menghidupkan sensori dalam tubuh, juga dibutuhkan pengalaman sensori manusia di belakang kamera itu sendiri. Fotografer itu sendiri butuh menggali pengalaman dan pengamatan yang jeli untuk waktu yang tidak sedikit. “Bisa jadi kita cuma nongkrong saja selama berminggu-minggu di situ, tanpa menghasilkan foto,” kata Zaki.

Zaki mengapresiasi pameran foto Doc-Camp ini sembari mengutip catatan kuratorial dari perwakilan kurator, Risky Wahyudi, tersebut yang telah mampu menghadirkan rupa islam bukan sebagai perkara normatif tentang ajaran-ajaran kebaikan. Tapi justru karena melihat dari ragam dan perpektif berbeda. “Butuh kepekaan sensoris dan kepekaan sosial untuk membuahkan karya fotografi yang bukan sekadar persoalan normatif tapi juga solutif. Bukan sekadar tentang ajaran islamnya tetapi lebih pada bagaimana Islam hadir di berbagai sendi-sendi kehidupan masyarakat kita,” kata Zaki mengutip pernyataan kuratorial tersebut.

“Cerita detil dalam foto ini akan menyimpan dan menampilkan kekayaan tubuh dan pikiran untuk membuat kita memperkaya sisi lain dari sekadar cerita normatif,” kata Zaki.

The official Doc-Camp photo story exhibition and discussion were held from 20 to 23 September 2022. In the first Photo Discussion, Nadim (the center of media alternative studies) presented Boy Harjanto as a speaker to dissect 12 photo story themes from UII students across the globe. From across the class and department. Boy said in addition to technical photography, the photo exhibition of the participants has tried to raise various themes. Even so, there are some assessments from him.

He judged that some photographers were still not brave enough to experiment with photo techniques with a fairly high difficulty level. “For example, using panning, slow motion, zooming, rotation, and other technique,” said Boy Harjanto in a Photo Discussion by Participants of the 2022 Doc-Camp Photo Exhibition; this discussion is a result of the collaboration between PSDMA Nadim Communication UII and Klik18 that held on September 20, 2022. Boy gave an assessment and dissects the photos of the participants while also showing examples of his works that capture the moment of Iqra’s printing around Kotagede or freezing the routine activities of Ramadan in Jogokariyan with various experiments of high-level photography techniques.

Therefore, in addition to considering the technical aspects of photography and photo experimentation, photo story photographers must also consider what Boy calls the storyline exposure technique. A photo story is a technique of telling stories through photos. So photo story photographers must be able to play smart with photos and storylines.

“In terms of storyline presentation, Doc-Camp photographers, some of them have focused on making story photos according to the plans made,” Boy explained. “Although there are also participants who are less focused on the plans that have been made previously,” said Boy. For example, there is a team that creates another storyline in the photo of the story itself.

This Doc-camp Photo Story class combines student photographers from across generations, departments, faculties and multi genders with various themes. So, not all photographers are dominated by men. “This class is divided into two groups with different durations. Doc-camp 2019 resulted in the production of seven photo story titles that were done individually and in groups. Then Doc Camp in 2022 produced five photo story productions. Personally and also the majority are made in groups,” said Boy. In total, 12 story photos have been produced by all participants with various themes. For example, the theme of Islamic traditions at the Ancient Kraton Pathok Negoro Mosque in Plosokuning, the anti-mainstream recitation of Ngaji Filsafat (a religious recitation that study of Philosophy as the material) at the Sudirman Mosque, Biker Subuhan (Subuh bikers), to portraits of a pesantren with deaf majority students in Sleman.

At the end of the event, Naufal Syahrofi, Chairman of Klik18 (UII Communications student also the head of the student photo community), gave a memento from the Department of Communications, UII, to Boy T. Harjanto, their speaker and mentor during the process of making and producing photo stories in 2022. Boy has accompanied the participants from the training process, planning, sequencing, to photo curation and exhibitions.

(Featured Photos by Nabiel Marazieq)

Gunawan Marjito, speaking on behalf Doc-Camp initiators, talk about the idea of Doc-Camp as a students media development program with high-quality standard driven by a lot of mentors from staff and lecturers of The Department of Communications, UII since 2018 (Photo by Desyatri Parawahyu)

After being delayed because of two years of the Covid-19 pandemic, the exhibition of seven photo story themes from the Photographer who received the Doc-Camp (Doctrine-Media Camp) scholarship in 2019 was also successful. This time, the exhibition also collaborates with 16 participants of the 2022 Doc-Camp, a collaboration with a communication student community that focuses on the world of photography at UII, namely Klik18. Klik18 contributed five photo story themes to this exhibition.

The aspiration to see the face of Islam 20 years after reform has existed since 2018. “We, Mas Muzayin, Ali MInanto (both are Communication Lecturers at UII), and I have a dream to take a picture of what Islam looks like after 20 years of reform. Then we made training to make films, photos, videos, and feature writings,” recalls M. Iskandar Tri Gunawan about the first release of Doc-Camp. Initially, Doc-Camp was two activities with two names to be merged: Doctrine (documentary training) and Media Camp in 2018. According to Iskandar, in 2019, these two student development programs were merged into one name with the same passion for becoming Doc-Camp 2019 At Doc-Camp 2019, the theme raised is no longer about Islam 20 years after the reformation but Islam and transformation: depict the cities and villages, said Iskandar at the opening of the 2022 Doc-Camp Photo Discussion and Exhibition on September 20, 2022, at the Mini Theater of Department of Communications, UII.

Several years of creating a series of training called Doctrine in 2018, Media Camp in 2018, and Doc-Camp in 2019. “The year 2020-2021 is a vacuum due to the pandemic. Until finally, we invited our friends to collaborate with Klik18 for a joint exhibition,” said Iskandar, a Laboratory Assistant in the Communication Department at the Universitas Islam Indonesia, at the opening of a photo discussion entitled Islam and Transformation on September 20, 2022.

Pause and Reflection Space

The time lag for activities is two to three years because the pandemic provides an important time marker. “The existence of this event also manifests the results of that process. The process of providing space for creativity, space for expression, and encouraging dialogue with clubs from other campuses,” said Zaki Habibi, one of the lecturers of the UII Communication Department, giving a speech representing the UII Department of Communications. According to Zaki, the 2022 Doc-Camp photo exhibition and discussion in collaboration with PSDMA Nadim Communication UII and Klik18 is a space to reflect on photos and Islam after a break due to the Covid-19 pandemic.

“This stage is an appreciation for Klik18, mentors, the Department of Communications of UII crew and all of you. Our waist is stiff because he’s been lying down for two years,” joked Zaki, a Communication Lecturer at UII specializing in Urban and Visual Culture studies.

Photos are like a pandemic. Zaki explained that photos are part of frozen moments, space and time to give pause. Pause for a moment to read the visual space. Pause, take a little time to take a break from the constant flow of routine, to reflect.

Zaki Habibi, a representative of the Communications Department of UII, gave a speech at the Opening of the Doc-Camp 2022 Photo Discussion and Exhibition on September 20, 2022. According to him, this exhibition is the result of a pause and reflection during the two years of the Covid-19 pandemic (Photo by Desyatri Parawahyu)

 

Here in this exhibition, reading photography and reading society in terms of content. “It seems that our friends see Islam as not narrow, not only Islam with theology and rituals,” said Zaki.

Through photographs, Zaki said, it can be seen in our society that Islam is not limited to theological, ritualistic, and spiritual teachings. “But we can see Islam which is more cultural, which interacts with the community,” said Zaki in his speech

. “We must be able to read it with glasses that are beyond the symbol of worship.”

On many other sides of culture, photography can take a moment to pause to see the world stopped in the frame. The hallmark of photography is that it freezes the moment, freezes space and time to stop for a moment, giving us pause to reflect together.” the lid.

The next session was filled with material on Photo Editing from Boy Tri Harjanto, a training companion since 2018. Boy is a photographer for the European Press Agency (EPA) Photo, he provides both technical and conceptual input on several photos exhibited at this photo exhibition with the theme of Islam and Transformation.

*Featured Photo by Nabiel Marazieq

Pameran dan Diskusi foto cerita Doc-Camp resmi digelar dari 20 hingga 23 September 2022. Dalam Diskusi Foto pertama, Nadim Komunikasi UII menghadirkan Boy Harjanto sebagai pembicara untuk membedah 12 tema foto story dari para mahasiswa UII lintas angkatan dan jurusan. Boy mengatakan, selain teknis foto, para peserta pameran foto sudah mencoba mengangkat tema-tema yang beragam. Meski begitu ada beberapa penilaian darinya.

Beberapa fotografer ia nilai masih kurang berani untuk bereksperimen dengan menggunakan teknik-teknik foto yang mempunyai tingkat kesulitan cukup tinggi. “Misalnya panning, slow motion, zooming, rotation, dll,” ungkap Boy Harjanto dalam Diskusi Foto karya Peserta Pameran Foto Doc-Camp 2022 hasil kerjasama PSDMA Nadim Komunikasi UII dan Klik18 pada 20 September 2022. Boy memberi penilaian dan membedah karya foto para peserta sambil juga menunjukkan contoh-contoh karyanya yang mengabadikan momen percetakan Iqra di seputaran kotagede atau membekukan kegiatan rutin ramadhan di Jogokariyan dengan beragam eksperimen teknik fotografi tingkat tinggi.

Oleh karena itu, para fotografer foto cerita, selain harus memertimbangkan aspek teknis fotografi dan eksperimen foto, ia juga harus mempertimbangkan apa yang disebut Boy dengan teknik pemaparan alur cerita. Foto cerita sebenarnya adalah teknik bercerita lewat foto. Maka fotografer foto story harus bisa bermain cerdas dengan foto sekaligus alur cerita.

“Dari segi pemaparan alur cerita, para fotografer Doc-Camp, beberapa sudah ada yang fokus untuk membuat foto cerita sesuai dengan perencanaan yang dibuat,” kata Boy menjelaskan. “Meski ada juga peserta yang kurang fokus dengan perencanaan yang sudah dibuat sebelumnya,” papar Boy. Misalnya ada tim yang membuat alur cerita lain di dalam foto cerita itu sendiri.

Kelas Foto Cerita Doc-camp ini adalah gabungan dari fotografer mahasiswa dari lintas angkatan, lintas jurusan, fakultas dan multigender serta beragam tema. Jadi, tak semua fotografer didominasi laki-laki justru. “Kelas ini di bagi menjadi dua kelompok dengan durasi waktu yang berbeda. Doc-camp 2019 menghasilkan produksi foto cerita sebanyak tujuh judul yang dikerjakan secara personal dan kelompok. Lalu Doc Camp pada 2022 menghasilkan produksi foto cerita sebanyak lima Judul baik yang di kerjakan ada yang secara personal dan juga mayoritas dibuat dengan berkelompok,” papar Boy. Total ada 12 foto cerita yang telah diproduksi oleh seluruh peserta dengan beragam tema. Misalnya tema corak islam di Masjid Pathok Negoro di Plosokuning, pengajian antimainstream Ngaji Filsafat di Masjid Jenderal Sudirman, Biker subuhan, hingga potret pesantren dengan santri mayoritas tunarungu di Sleman.

Di akhir acara, Naufal Syahrofi, Ketua Klik18 (komunitas foto mahasiswa Komunikasi UII), memberikan kenang-kenangan dari Prodi Komunikasi UII, pada Boy T. Harjanto, pembicara sekaligus mentor mereka selama proses pembuatan dan produksi foto cerita di 2022 ini. Boy telah mendampingi para peserta mulai dari proses pelatihan, perencanaan, sequencing, hingga kurasi foto dan pameran.

The theme of photo stories about Islam is now easier to pick up. In addition to the theme being quite universal, the subjects taken for the subject of the photo story are quite common because the majority of Indonesians are Muslims with various backgrounds. Both male and female students can have no difficulty assembling a story through the shutter and lens of a photo story.

“The growth of Islam in the archipelago is also significant, both in big cities and in villages, making it easier to take Islamic issues in photos story,” said Boy T. Harjanto, a photographer from EPA (European Press Agency) Photo, which became the main speaker in the Discussion and Photo Exhibition of Doc-Camp 2022 stories in collaboration with the Nadim Communication Center for Alternative Media Studies and Documentation UII and Klik18. Boy sees photo exhibitions with Islamic themes that are currently very easy to take because they are also abundant in variety besides being universal.

On this occasion, on September 20, 2022, Boy was appointed by the Doc-Camp 2022 committee to be the reviewer of 12 photographic works of photographers from UII students. Nizli Nailunni’mah the moderator of this evening’s discussions said, all photographers are here and share their experience of making the photo stories. Many of them face obstacles while taking pictures, particularly a refusal from the subject. According to Boy, from the photography aspect, the 7 themes of the photo stories from the early Doc-Camp participants had the opportunity to find momentum and photo events to be more flexible and explore photos more. “The 2019 Doc-Camp participants have quite a bit of time, so it is possible for the participants to produce better photo repetitions than the 2022 Doc-Camp participants,” said Boy judging from the photographic aspect.

Meanwhile, Doc-Camp 2022 participants experienced limited time, and the tight schedule of lectures and campus committees made it difficult for them to take photos again. Although the hunting period is also entering the exam holiday period, not every team has the opportunity to take photos again, so it is difficult to get better photos.

According to Boy, the photos from participants’ stories, in terms of taking photos, the basic technique of taking photos is quite good, “although there are still some technical errors, such as lack of focus and under and overexposure,” added Boy.

Dozens of participants attended this discussion. Both from the student community and clubs at UII to several photo communities and photo lovers from outside UII. In addition to discussions, a photo exhibition has also been held from 20-23 September 2022 with 12 photo themes and more than 150 photo frames exhibited at the UII Library with the Kimpulan Temple as the background. Visitors to the photo exhibition recorded more than 300 participants from inside and outside UII, such as Unriyo Yogyakarta, Fotka, Lens Club Sanata Dharma, Semarang student photo community, and others.

(Featured Photo by Nabiel Marazieq and Galih Abimanyu: featuring Nizli as the moderator (left) and Boy as the speaker (right))

A Souvenir was given to Our Keynote Speaker, Boy Harjanto (Left), by Naufal Syahrofi (right), The Head of the Committee of this Discussion and Photo Exhibition on 20 September 2022 (Photo by Desyatri Parawahyu)

 

Setelah terkendala dua tahun lebih Pandemi Covid-19, akhirnya pameran karya tujuh tema foto story dari Fotografer penerima beasiswa Doc-Camp (Doctrine-Media Camp) 2019 berhasil juga terlaksana. Uniknya, kali ini pameran juga berkolaborasi dengan 16 peserta Doc-Camp 2022 buah kerjasama dengan komunitas mahasiswa komunikasi yang fokus pada dunia fotografi di UII yaitu Klik18. Klik18 menyumbang lima tema foto cerita pada perhelatan pameran ini.

Cita-cita untuk melihat wajah Islam 20 tahun pasca reformasi sudah sudah ada sejak 2018 lalu. “Kami, tepatnya Mas Muzayin, Ali MInanto (keduanya adalah Dosen Komunikasi UII) dan Saya punya angan-angan untuk memotet bagaimana wajah Islam pasca 20 tahun reformasi. Lalu kami membuat pelatihan membuat film, foto, video, dan tulisan feature,” kenang M. Iskandar Tri Gunawan tentang mula-mula Doc-Camp dirilis. Mulanya, Doc-Camp adalah dua kegiatan dengan dua nama yang akan digabung: Doctrine (documentary training) dan Media Camp pada 2018. Menurut Iskandar, pada 2019, kedua program pengembangan mahasiswa ini dilebur menjadi satu nama dengan semangat yang serupa menjadi Doc-Camp 2019.  Pada Doc-Camp 2019, tema yang diangkat tidak lagi soal Islam 20 tahun pasca reformasi, melainkan islam dan transfromasi: membaca kota dan mendaras desa, kata Iskandar di pembukaan Diskusi dan Pameran Foto Doc-Camp 2022 pada 20 September 2022 di Mini Theathre Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Beberapa tahun membuat rangkaian pelatihan yang dinamai Doctrine di tahun 2018, Media Camp di 2018, dan Doc-Camp di 2019. “Tahun 2020-2021 kosong terjeda pandemi. Hingga akhirnya kami mengundang kerjasama dengan temen-teman Klik18 untuk pameran bareng,”Ujar Iskandar selaku Laboran di Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dalam pembukaan acara diskusi foto yang bertajuk Islam dan Transformasi pada 20 September 2022.

Jeda dan Ruang Berefleksi

Jeda waktu aktifitas dua hingga tiga tahun karena pandemi memberikan penanda waktu yang penting. “Adanya acara ini juga adalah salah satu wujud dari hasil proses itu. Proses memberi ruang untuk berkreasi, ruang berekspresi, dan mendorong berdialog dengan klub dari kampus lain,” sambut Zaki Habibi, salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII memberi sambutan mewakili dari Prodi Komunikasi UII. Menurut Zaki, pameran dan diskusi foto Doc-Camp 2022 hasil kerjasama dengan PSDMA Nadim Komunikasi UII dan Klik18 adalah ruang untuk berefleksi atas foto dan islam kini setelah istirahat akibat pandemi Covid-19.

“Panggung ini adalah apresisi untuk klik18, para mentor, kru Prodi Komunikasi UII dan Anda semua. ini pinggangnya kaku karena dua tahun ini rebahan,” Kelakar Zaki, yang juga adalah Dosen Komunikasi UII spesialis kajian Urban dan Visual Culture.

Foto sama halnya dengan pandemi. Zaki menjelaskan foto adalah bagian dari momen, ruang dan waktu yang dibekukan untuk memberi jeda. Jeda sejenak untuk membaca ruang visual. Jeda, ambil sedikit waktu untuk berhenti sejenak dari arus rutinitas yang terus menerus, untuk berefleksi.

Zaki Habibi, perwakilan Prodi Komunikasi UII, memberi sambutan dalam Pembukaan Diskusi dan Pameran Foto Doc-Camp 2022 pada 20 September 2022. Menurutnya, pameran ini adalah hasil dari jeda dan refleksi selama dua tahun pandemi Covid-19 (Foto oleh Nabiel Marazieq)

Di sini, dalam pameran ini, membaca fotografi dan membaca masyarakat dalam ranah isi. “Kayaknya teman kita melihat Islam ini tidak sempit, tidak hanya Islam yang teologi dan ritual,” kata Zaki.

Lewat foto-foto, kata Zaki, dapat dilihat di masyarakat kita bahwa Islam tidak sebatas pada ajaran yang sifat nya teologis, ritual, dan spiritual. “Tapi kita bisa lihat Islam yang lebih kultural, yang berinteraksi dengan masyarakat,“ kata Zaki dalam sambutannya

“Kita harus bisa membacanya dengan kacamata yang beyond the simbol of ibadah.”

Banyak sisi lain dari kultur, fotografi itu mampu mengambil jeda sejenak untuk melihat dunia yang dihentikan dalam frame. Ciri khas fotografi adalah membekukan momen, membekukan ruang dan waktu untuk berhenti sejenak memberikan kita jeda untuk berefleksi bersama.” tutupnya.

Sesi selanjutnya diisi dengan materi Bedah Karya Foto dari Boy Tri Harjanto, pendamping pelatihan sejak 2018. Boy adalah fotografer European Press Agency (EPA) Photo, ia memberi masukan baik teknis dan konsep pada sejumlah foto yang dipamerkan di Pameran foto bertema Islam dan Tranformasi kali ini.

 

Tema foto cerita tentang Islam kini lebih mudah diangkat. Selain tema tersebut cukup universal, subjek yang diambil untuk
subjek foto cerita cukup banyak ditemui karena mayoritas warga Indonesia adalah muslim dengan beragam latar belakang. Baik mahasiswa, laki perempuan, bisa tak punya kesulitan merangkai cerita lewat rana dan lensa menjadi sebuah foto cerita.

“Pertumbuhan Islam di Nusantara juga signifikan baik yang terjadi di kota-kota besar ataupun di desa-desa membuat kemudahan mengambil isu Islam dalam foto cerita semakin tinggi,” kata Boy T. Harjanto, fotografer dari EPA (European Press Agency) Photo, yang menjadi pembicara utama dalam Diskusi dan Pameran Foto Cerita Doc-Camp 2022 hasil kerjasama Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif Nadim Komunikasi UII dan Klik18. Boy melihat pameran foto dengan mengangkat tema islam saat ini sangat mudah diambil karena selain universal juga ragamnya berlimpah.

Pada kesempatan ini, pada 20 September 2022, Boy didapuk oleh panitia Doc-Camp 2022, menjadi pembedah 12 karya foto cerita para fotografer dari mahasiswa se-UII. Menurut Boy, dari aspek fotografi, 7 tema foto cerita dari peserta Doc-Camp awal ini, punya kesempatan menemukan momentum dan peristiwa foto lebih fleksibel dan lebih bisa mengeksplorasi foto. “Peserta Doc-Camp 2019 punya waktu agak panjang, sehingga sangat memungkinkan peserta untuk melakukan produksi pengulangan foto yang lebih baik ketimbang peserta Doc-Camp 2022,” kata Boy menilai dari aspek fotografis.

Sedangkan peserta Doc-Camp 2022 mengalami keterbatasan waktu dan padatnya jadwal kuliah dan kepanitiaan kampus
mengakibatkan mereka kesulitan mengambil foto ulang. Meskipun sebenarnya masa hunting juga memasuki masa libur ujian, tak sepenuhnya tiap tim punya kesempatan untuk mengambil foto ulang sehingga sulit mendapatkan foto lebih baik.

Menurut Boy, foto-foto cerita para peserta ini, dari segi pengambilan foto, secara teknik dasar pengambilan foto sudah cukup baik, “meski masih ada beberapa kesalahan teknis, seperti kurang fokus dan ada yang under dan over exposure,” tambah Boy.

Acara Diskusi ini dihadiri oleh puluhan peserta. Baik dari komunitas mahasiswa dan klub di UII, hingga beberapa komunitas foto dan penikmat foto dari luar UII. Selain diskusi, pameran foto juga telah diadakan dari 20-23 September 2022 dengan 12 tema foto dan lebih dari 150 pigura foto yang dipamerkan di Perpustakaan UII yang berlatar Candi Kimpulan. Pengunjung pameran foto tercatat lebih dari 300 peserta baik dari dalam dan luar UII, misalnya dari Unriyo Yogyakarta, Fotka, Lens Club Sanata Dharma, Komunitas foto mahasiswa Semarang, dan lain-lain.

Halo, Kami mengundang seluruh mahasiswa Komunikasi UII, terutama di peminata Jurnalistik, Media Kreatif, dan Kajian Media, Silakan hadir pada kesempatan istimewa diskusi soal berbagi pengalaman liputan jurnalis di wilayah perang. Acara tersebut bisa dilihat pada detil seperti sebagai berikut:

Judul:

Berbagi Cerita bersama Wartawan Kompas di Komunikasi UII: Liputan Perang di Ukraina

Kamis, 15 September 2022

Pukul 09.00-11.00 WIB

Jadwal:

Mini Theatre (RAV/ Ruang Audio Visual)

Lantai 3, Gedung Unit 18, Komunikasi UII (Seberang Gedung Rektorat UII)

Pembicara:

Harry Susilo (Wartawan KOMPAS)

Moderator:

Dr. rer. soc. Masduki (Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII)

Mari ikuti Remaja Berdaya dengan Media – Training of Trainer untuk Mahasiswa Komunikasi UII. Mahasiswa Komunikasi di UII silakan mendaftar untuk menjadi peserta pelatihan menjadi trainer. Mahasiswa akan menjadi berlatih menjadi fasilitator pemberdayaan komunitas.

Mahasiswa akan mendapatkan Beberapa manfaat mengikuti kegiatan ini. Pertama, misalnya adalah 30 peserta terpilih akan mengikuti pelatihan di Kampus, Prodi Ilmu Komunikasi UII, secara gratis. Jumlah hari pelatihan berlangsung 4 hari bersama pemateri yang disediakan oleh Prodi Komunikasi UII.

Kedua, 10 peserta akan diseleksi untuk mengikuti kegiatan selama 10 hari di Sekon, Timor Tengah, Utara NTT. Seluruh akomodasi, konsumsi, dan transportasi lokal (kecuali tiket pesawat PP) akan ditanggung oleh Prodi Ilmu Komunikasi UII.

Silakan mendaftar ke tautan berikut:

 

INfo lebih lanjut silakan lihat keterangan dalam gambar di tautan ini