Nico Carpentier, Hubungan Media dengan Demokrasi hingga ‘Political Struggle’

Nico Carpentier merupakan Extraordinary Professor dari Charles University yang ditunjuk menjadi keynote speaker dalam perhelatan The 7th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) 2024 dalam tema Hybrid pada 28 Agustus 2024 di Auditorium FPSB UII.

Pada kesempatan itu Nico menjelaskan bagaimana hubungan media dengan demokrasi yang menjadi perjuangan politik atau political strunggle. Materi tersebut dipaparkan sesuai dengan konteks hybrid pada 7th CCCMS 2024.

“What I wanted to talk about is very much in line with the main theme of the conference, hybridity. Although I might once in a while translate it as a discussion on contingency, which is for me, quite close to the logics of hybridity,” ujar Nico membuka presentasinya.

(“Apa yang ingin saya bicarakan sangat sesuai dengan tema utama konferensi ini, yaitu hibriditas. Meskipun sesekali saya mungkin akan menerjemahkannya sebagai diskusi tentang kontingensi, yang bagi saya cukup dekat dengan logika hibriditas,”)

Baginya, demokrasi dalam konteks hybrid merupakan kontruksi sosial yang selalu mengikuti kondisi politik dan budaya suatu negara. Sementara, media memiliki peran ganda. Mulai dari ruang untuk menegosiasikan hingga perdebatan bagi elit politik, kritik masyarakat dan media itu sendiri, namun juga menjadi kekuatan perjuangan politik.

“And I will come back to the 2011 book, rest assured, but this is important for me. But I will also start by talking a bit about the discursive material, because that theoretical model, that (ontology?) will allow me to put emphasis on the role of hybridity and contingency. It’s actually a main theoretical framework that I can use to emphasize the importance of hybridity and contingency, together with, and that’s also in the title, the notion of political struggle. Because I would like to emphasize that when we start thinking about the relationship of media and democracy, we need to think about this issue from the perspective of political struggle,” tambahnya.

(“Dan saya akan kembali ke buku tahun 2011, yakinlah, tapi ini penting bagi saya. Tetapi saya juga akan memulai dengan berbicara sedikit tentang materi diskursif, karena model teoritis itu, (ontologi?) akan memungkinkan saya untuk menekankan peran hibriditas dan kontingensi. Itu sebenarnya adalah kerangka teori utama yang dapat saya gunakan untuk menekankan pentingnya hibriditas dan kontingensi, bersama dengan, dan itu juga ada di dalam judul, gagasan tentang perjuangan politik. Karena saya ingin menekankan bahwa ketika kita mulai berpikir tentang hubungan media dan demokrasi, kita perlu memikirkan masalah ini dari perspektif perjuangan politik,”)

Dalam perjuangan politik, peran berbagai pihak bisa jadi sangat besar, berbahaya, dan tak terduga. Jika elit politik bisa saja mengendalikan peran media, peran masyarakat juga demikian.

“In many cases, high level of democracy being more ethical, high citizen participation even high dangerous in some cases,” ungkapnya.

(“Dalam banyak kasus, tingkat demokrasi yang tinggi menjadi lebih etis, partisipasi warga yang tinggi bahkan berbahaya dalam beberapa kasus,”)

Fenomena tersebut kerap terjadi dalam dunia politik di Indonesia terutama, maka sudah selayaknya jurnalis bekerja atas dasar kebenaran. Bukan ikut turut sebagai buzzer politik untuk melanggengkan salah satu pihak yang ingn berkuasa.

“The journalists have power on it. But we have to point it that we ask them (journalists) not as journalist but deeply for community responsibilities,” tegasnya.

(“Para jurnalis memiliki kekuatan di dalamnya. Namun kami harus menekankan bahwa kami meminta mereka (jurnalis) bukan sebagai jurnalis, tetapi lebih kepada tanggung jawab kepada masyarakat,”)

Nico mengaku sangat bersyukur hadir dalam 7th CCCMS 2024 karena akan mendapatkan berbagai perspektif dan insight dari para presenter yang hadir dari berbagai negara.

“My pleasure to be able to listen to you. Because that’s obviously what conferences are about, is to create dialogues between many different voices. And it’s good to hear that people from many different countries have been, so thanks for making this possible,” ujaranya dalam sesi perkenalan.

(“Senang sekali bisa mendengarkan Anda. Karena memang itulah tujuan dari konferensi ini, yaitu untuk menciptakan dialog di antara banyak suara yang berbeda. Dan senang mendengar bahwa orang-orang dari berbagai negara telah hadir, jadi terima kasih karena telah membuat hal ini menjadi mungkin,”)

Penulis: Meigitaria Sanita

Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D

Pertama, saya ingin memberikan selamat kepada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia yang terus menjaga dedikasikan dalam menyelenggarakan the 6th Conference on Communication, Culture, and Media Studies (CCCMS 2022) ini, mulai enam tahun lalu.

Konferensi sangat penting untuk mempresentasikan temuan-temuan penting riset dan menguatkan komunitas akademik. Bagi saya, konferensi merupakan ritual akademik yang akan menguatkan eksistensi sebuah disiplin.

Tema yang diangkat dalam CCMS 2022 ini, visualizing the crisis, bagi saya,  sangat penting dan menarik. Dua kata kuncinya, visualisasi dan krisis, sangat relevan untuk saat ini.

Kini, visualisasi data sudah menjadi bagian keseharaian kita dalam mengosumsi informasi. Kita mengosumsi informasi dari visualisasi yang muncul di beragam media, termasuk koran/majalah, televisi, dan Internet.

Sudah lama dipercaya bahwa kita akan mencerna informasi lebih cepat jika ditayangkan dalam bentuk visual dan kita akan cenderung mengingatkan lebih lama. Visualisasi seakan sudah menjadi mantra baru dalam presentasi data.

 Dalam sambutan pembuka ringkas ini, saya ingin mengundang untuk memberikan perhatian kepada sisi lain visualisasi. Seperti halnya teknologi yang lain, visualisasi juga hadir dengan sisi baik dan buruknya. Seringkali, sebagian besar perhatian kita berikan kepada sisi positifnya. Kali ini, saya ingin mengajak untuk menengok sisi negatifnya.

Tentu, ini bukan untuk menyebar pesimisme, tetapi justru saya ingin memberikan ajakan untuk menghindari jebakan berpikir naif, dan di saat yang sama, melengkapi cerita visualisasi menjadi lebih utuh.

 

Kecohan visualisasi

Ada beberapa kecohan (fallacies) dalam interpretasi terhadap visualisasi data. Mari kita ambil sebuah contoh.

Silakan amati peta dunia dua dimensi. Bandingkan ukuran benua Australia yang terletak di sisi kanan bawah peta, dan pulau Greenland, bagian negara Denmark, yang terletak di sisi kiri atas peta.

Berdasar amatan visual, tampaknya tidak sulit untuk bersepakat jika ukuran Greenland tiga kali lebih besar dibandingkan dengan Australia. Tetapi fakta di lapangan tidak demikian halnya. Faktanya justru sebaliknya. Ukuran Australia lebih besat tidak kali lipat dibandingkan dengan Greenland.

Mengapa demikian? Sebagian dari kita mungkin lupa jika proyeksi Mercator dalam menjadikan peta di atas globe menjadi dua dimensi telah menjadikan wilayah yang mendekati kutub menjadi tergambar lebih besar. Sementara itu, wilayah yang berada di sepanjang garis khatulistiwa berukuran proporsional. Negara-negara Eropa, misalnya menjadi terlihat lebih besar.

Tanpa pemahaman yang baik soal beragam proyeksi dalam membuat peta dua dimensi, maka kita sangat mungkin menjadi “salah” dalam membaca peta dunia.

Sebagai sebuah artefak visual, peta dapat menjadi senjata imperialisme, seperti halnya senjata dan kapal perang. Ketika peta digunakan untuk mendukung kolonialisme, dan wilayah jajahan diklaim di atas dahulu sebelum betul-betul ditaklukkan, maka peta telah mendahului imperium, wilayah kekuasaan. Peta, karenanya, mempunyai hubungan yang kuat dengan pengetahuan, yang akhirnya dengan kekuasaan. Inilah kekuatan visualisasi.

 

Manipulasi persepsi

Dalam visualisasi, persepsi kita dapat dimanipulasi dengan beragam cara, termasuk misalnya, mengabaikan nilai basis dan memanipulasi sumbu y dalam diagram kartesian,  menggunakan diagram yang salah, dan memilih data secara selektif dengan pertimbangan tertentu.

Sebagai contoh, perbedaan kedua seri data menjadi tidak berbeda ketika diagram batang hanya diambil puncaknya dan menjadikan sumbu y tidak mulai dari angka nol. Atau, kecenderungan data yang menurun bisa diubah menjadi menaik hanya dengan memilih beberapa titik data yang menguntungkan. Semuanya bisa mengarah kepada interpretasi yang salah.

Kita bisa jadi merasa kesulitan membayangkan visualisasi paragraf di atas. Ini sekaligus menjadi bukti kekuatan visualisasi yang tidak mudah digantikan dengan teks.

Karenanya, selain dapat membantu kita dalam memahami informasi dengan lebih baik, kita harus sadar bahwa visualisasi, di saat yang sama, juga bisa digunakan sebagai kakas atau alat bantu untuk kebohongan melalui manipulasi persepsi.

Jangan-jangan, tanpa sadar, kita juga sering membuat interpretasi yang salah dari visualisasi data, yang dibuat baik tanpa pengetahuan yang cukup, atau yang lebih menakutkan, karena didasari niat yang “jahat” untuk mengecoh.

Elaborasi ringan dari poin-poin dalam sambutan pembuka (yang diindonesiakan) pada The 6th Conference on Communication, Culture, and Media Studies (CCCMS 2022), yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia pada 14 Juni 2022.

 

===============

 

Sebelumnya, Tulisan ini pernah terbit lebih dahulu di Pojok Rektor dan dimuat kembali untuk kepentingan edukasi dalam bingkai Rubrik Communication on Media: Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam sebaran konten Media Massa.

Untuk menjalin kerja sama yang baik dalam bidang keilmuan, khususnya dalam bidang penelitian komunikasi ruang dan lingkungan, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB), Universitas Islam Indonesia (UII), menyelenggarakan Konferensi Internasional yang kelima kalinya, pada Senin (15/4). Kegiatan dilangsungkan di Auditorium FPSB lantai 3 bertajuk “5th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) 2019” dengan tema “Communication Space and Environmental”

Konferensi internasional yang berlangsung selama 3 hari yaitu pada tanggal 14-16 April 2019 ini diisi dengan berbagai macam agenda. Hari pertama dilaksanakan pre-conference, sedangkan hari kedua dilaksanakan pembukaan konferensi dan penyampaian materi oleh pembicara kunci. Selanjutnya, pada hari terakhir diisi dengan sesi paralel lanjutan serta workshop bertajuk “How to Prepare Article for an International Journal”.

Wakil Dekan 2 FPSB UII, Dr. Phil. Emi Zulaifah., M.Sc dalam sambutannya mengucapkan selamat datang kepada para peserta yang datang dari berbagai negara, serta menyampaikan harapan agar kegiatan ini dapat meningkatkan semagat kolaborasi guna menciptakan kemaslahatan bersama.

“Tradisi kolaborasi interdisiplin ilmu sudah berlangsung sejak kampus ini berdiri pada 1945. Hal ini didasari oleh kesadaran bapak pendiri bangsa melalui dunia pendidikan, salah satunya membangun universitas ini (UII”, Jelasnya.

Senada, ketua panitia penyelenggara Holy Rafika Dhona., S.I.Kom., M.A menyebutkan terdapat lebih dari 100 abstrak yang terkumpul dengan 50 peserta yang hadir tak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari Malaysia, Filipina, Arab Saudi, dan Australia.

Sementara, Prof. Kati Lindstrom dari Institut Teknologi Kerajaan KTH Swedia dan Universitas Tartu Estonia, sebagai pembicara kunci pada konferensi tersebut, memaparkan materinya tentang “Perils of Celebratory Framing or Why History and Semiotics Matter For Biodiversity Communication”.

Ia menjelaskan keanekaragaman hayati saat ini, digambarkan melalui 3 bentuk, yaitu makanan (beras), hutan dan air, yang kemudian dikomunikasikan melalui pengadilan budaya, dan infrastruktur pariwisata. Sebagai bagian dari lingkungan, untuk melindunginya, tidak hanya terkait dengan praktek ilmu pengetahuan tetapi juga terkait pada nilai dan narasi budaya.

Ia menambahkan terdapat tiga warisan budaya yang menarasikan tentang lingkungan. Pertama bahwa kepedulian lingkungan yang kompleks terkadang direduksi menjadi narasi masa lalu, sederhana, dan menggugah. Kedua, representasi berlebihan terhadap lingkungan telah membentuk bias terhadap fenomena lain. Dan yang terakhir, tanggapan terhadap perubahan lingkungan, tergantung pada seberapa baik perubahan ini, sesuai dengan narasi menarik yang telah ada sebelumnya.

Untuk itu, ia menyebutkan diperlukan kebijakan yang baik dan tidak bertumpu pada nilai-nilai penguasa dalam menjaga lingkungan. Sehingga kebijakan tidak hanya dari perspektif lanskap hidup atau organisme yang dilindungi. Kebijakan cenderung bergantung pada konstruksi naratif yang kuat seperti alam dan budaya, diri dan lainnya, daripada perbedaan yang bermakna untuk kehidupan individu. (DD/ESP)

Yogyakarta-Komunikasi strategis menjadi perhatian pada program pemberdayaan masyarakat sekarang ini dalam platform pembangunan. Dengan kata lain komunikasi strategis diharapkan  mampu mendorong masyarakat supaya turut serta berpartisipasi dalam menentukan keputusan publik.  Meskipun begitu masih bermunculan berbagai dinamika terhadap isu ini. Beberapa pertanyaan seperti: ‘Apakah komunikasi strategis mempromosikan pemberdayaan? Serta apa saja menjadi tantangan, dorongan, dan peluang terhadap aktor, media, dan publik tentang komunikasi strategis?’  menjadi hal yang perlu didislusikan lagi bersama-sama.

Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia kembali menggelar 4th Conference on Communication, Culture and Media Studies 2017 (4th CCCMS2017) untuk mendiskusikan hal tersebut ke dalam suatu forum ilmiah. Switch ON: Rethinking Strategic Communication for Empowerment menjadi tema 4th CCCMS20117  dan tepat untuk mendiskusikan fenomena ini. Turut mengundang Prof. Dato’ Sri Dr. Syed Arabi Bin Syed Abdullah Idid (International Islamic University Malaysia) dan  Prof. Dr. Parichart Sthapitanonda ( Chulalongkorn University Thailand) sebagai plenary speaker dalam konferensi ini.

4thCCCMS 2017 digelar pada tanggal 10-11 Oktober 2017 di Gedung DR. Soekiman Wirjosandjojo. Terdapat enam kelas panel dengan tema di antaranya CSR & Community, Identity & Popular Culture, Communication & Islam, Marketing Communication & Branding, Organizational Communication,  dan Culture Communication. Konferensi ini merupakan kegiatan rutin yang digelar setiap tahun oleh Program Studi Ilmu Komunikasi UII yang bertujuan menciptakan forum terbuka bagi mahasiswa sarjana, mahasiswa pascasarjana, komisaris komunikasi & media dan pihak terkait lainnya untuk berbagi gagasan, penelitian, atau pengalaman.

Penulis: Risky Wahyudi

Prosiding Conference on Communication, Culture, and Media Studies 2014: Indonesia in New Wave, ISBN : 978-602-71722-0-2

Download