Prodi Ilmu Komunikasi Kembali Gelar Konferensi Internasional

Reading Time: 2 minutes

Untuk menjalin kerja sama yang baik dalam bidang keilmuan, khususnya dalam bidang penelitian komunikasi ruang dan lingkungan, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB), Universitas Islam Indonesia (UII), menyelenggarakan Konferensi Internasional yang kelima kalinya, pada Senin (15/4). Kegiatan dilangsungkan di Auditorium FPSB lantai 3 bertajuk “5th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) 2019” dengan tema “Communication Space and Environmental”

Konferensi internasional yang berlangsung selama 3 hari yaitu pada tanggal 14-16 April 2019 ini diisi dengan berbagai macam agenda. Hari pertama dilaksanakan pre-conference, sedangkan hari kedua dilaksanakan pembukaan konferensi dan penyampaian materi oleh pembicara kunci. Selanjutnya, pada hari terakhir diisi dengan sesi paralel lanjutan serta workshop bertajuk “How to Prepare Article for an International Journal”.

Wakil Dekan 2 FPSB UII, Dr. Phil. Emi Zulaifah., M.Sc dalam sambutannya mengucapkan selamat datang kepada para peserta yang datang dari berbagai negara, serta menyampaikan harapan agar kegiatan ini dapat meningkatkan semagat kolaborasi guna menciptakan kemaslahatan bersama.

“Tradisi kolaborasi interdisiplin ilmu sudah berlangsung sejak kampus ini berdiri pada 1945. Hal ini didasari oleh kesadaran bapak pendiri bangsa melalui dunia pendidikan, salah satunya membangun universitas ini (UII”, Jelasnya.

Senada, ketua panitia penyelenggara Holy Rafika Dhona., S.I.Kom., M.A menyebutkan terdapat lebih dari 100 abstrak yang terkumpul dengan 50 peserta yang hadir tak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari Malaysia, Filipina, Arab Saudi, dan Australia.

Sementara, Prof. Kati Lindstrom dari Institut Teknologi Kerajaan KTH Swedia dan Universitas Tartu Estonia, sebagai pembicara kunci pada konferensi tersebut, memaparkan materinya tentang “Perils of Celebratory Framing or Why History and Semiotics Matter For Biodiversity Communication”.

Ia menjelaskan keanekaragaman hayati saat ini, digambarkan melalui 3 bentuk, yaitu makanan (beras), hutan dan air, yang kemudian dikomunikasikan melalui pengadilan budaya, dan infrastruktur pariwisata. Sebagai bagian dari lingkungan, untuk melindunginya, tidak hanya terkait dengan praktek ilmu pengetahuan tetapi juga terkait pada nilai dan narasi budaya.

Ia menambahkan terdapat tiga warisan budaya yang menarasikan tentang lingkungan. Pertama bahwa kepedulian lingkungan yang kompleks terkadang direduksi menjadi narasi masa lalu, sederhana, dan menggugah. Kedua, representasi berlebihan terhadap lingkungan telah membentuk bias terhadap fenomena lain. Dan yang terakhir, tanggapan terhadap perubahan lingkungan, tergantung pada seberapa baik perubahan ini, sesuai dengan narasi menarik yang telah ada sebelumnya.

Untuk itu, ia menyebutkan diperlukan kebijakan yang baik dan tidak bertumpu pada nilai-nilai penguasa dalam menjaga lingkungan. Sehingga kebijakan tidak hanya dari perspektif lanskap hidup atau organisme yang dilindungi. Kebijakan cenderung bergantung pada konstruksi naratif yang kuat seperti alam dan budaya, diri dan lainnya, daripada perbedaan yang bermakna untuk kehidupan individu. (DD/ESP)