Komunikasi Pemberdayaan

Penulis:

Mutia Dewi

ISBN  978-623-91438-4-8

Penerbit Komunikasi UII

Program Studi Ilmu Komunikasi

Universitas Islam Indonesia

====================

Isu mengenai pengembangan dan pemberdayaan masyarakat semakin menguat seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengambil peran lebih pada setiap aspek pembangunan. Sebagai upaya pembangunan alternatif, pemberdayaan masyarakat atau pembangunan berbasis komunitas menjadi bagian dari strategi untuk mengembangkan, merekonstruksi serta memperbaiki struktur masyarakat agar lebih berdaya. Oleh sebab itu, pembangunan berbasis manusia menjadi alternatif pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf hidup seluruh masyarakat.

Oleh karena itu, pembangunan berbasis manusia atau dikenal dengan pembangunan berbasis masyarakat menjadi konsep baru yang tak terelakkan lagi. Meski konsep ini sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru karena telah dimunculkan oleh Korten pada tahun 1984, namun kekuatan konsep ini mulai diterapkan di penghujung tahun 1990-an.

Persoalan berikutnya adalah, bagaimana menjalankan pembangunan berbasis pada masyarakat tersebut? Mengutip pernyataan Aubrey Fisher, tidak ada persoalan dari waktu ke waktu yang tidak melibatkan aspek komunikasi, termasuk keberhasilan program pemberdayaan masyarakat. Komunikasi menjadi aspek sentral dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dalam perkembangan dan fleksibilitasnya komunikasi menjadi bagian yang terpenting dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. oleh karena itu buku ini hadir untuk mencoba memberikan konsep mengenai komunikasi pemberdayaan dan alternative-alternatif model-model komunikasi pemberdayaannya.

KOMUNIKASI PEMASARAN TERPADU

(SEJARAH DAN PERKEMBANGAN)

Penulis:

Mutia dewi

 

ISBN  978-623-91438-5-5

 

 

Perkembangan teknologi dan internet tidak saja akan mengubah aturan main bisnis atau perusahaan namun juga mengubah cara perusahaan dalam menjual produknya. Internet menawarkan segala hal, bahkan informasi apapun yang ingin diketahui oleh konsumen. Mulai dari berita singkat, analisis yang mendalam, informasi produk baik dalam bentuk gambar, suara, tulisan atau bahkan gabungan dari ketiganya. Tidak hanya itu teknologi internet telah memberi ruang bagi terciptanya interaksi layaknya kita hidup di dunia nyata.

Menyikapi perubahan lingkungan bisnis yang sarat dengan ketidakpastian, menjadikan disiplin ilmu pemasaran harus meresponnya dengan cepat pula. Pemasaran tidak bisa lagi dipandang sebagai aktivitas yang dilakukan mandiri, melainkan sebagai sebuah proses bisnis yang strategis. Tujuannya jelas, agara perusahaan dapat bertahan dan mampu memenangkan kompetisi pasar.

Semenjak lahirnya konsep komunikasi pemasaran dengan menguatkan keterpaduannya, konsep ini terus menjadi perhatian. Tidak saja menjadi praktik dalam dunia bisnis, Komunikasi Pemasaran Terpadu menjadi perhatian bagi kalangan akademisi. Jika melihat kebelakang, Komunikasi Pemasaran Terpadu sendiri telah tumbuh menjadi konsep sejak tahun 1980-an, akan tetapi belum banyak dikenal secara luas. Kalangan profesional dan bisnis masih menjalankan kegiatan pemasaran secara mandiri. Mereka masih memandang bahwa periklanan harus dibedakan dengan public relations maupun sales promotion dan elemen lainnya. Sehingga dalam rangka mengimplementasikannya tidak bisa disejajarkan dan saling berkaitan.

Komunikasi dan Pemasaran menjadi dua konsep penting yang saling melengkapi. Buku ini akan memberikan pengetahuan mengenai sejarah kemunculan komunikasi pemasaran terpadu. Diawali dengan membahas mengenai konsep terpadu dan mengapa harus terpadu. Dan dilanjut pada bab berikutnya mengenai pemikiran dari masing-masing tokoh Komunikasi Pemasaran Terpadu. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Penulis:

Puji Hariyanti, Ghassani Nur Sabrina, Indriani Adinda Lestari, Nora Fajriyanti

 

KOMUNIKASI DAKWAH MILENIAL

ISBN 978-623-91438-6-2

Penerbit: Komunikasi UII

@2019

Dakwah dengan media sosial memungkinkan pengguna untuk
melakukan penyebaran (share) konten dakwah dengan cepat, dalam waktu
singkat, kepada banyak pengguna lain. Karena karakteristik media sosial
adalah khalayaknya yang aktif menyebarkan konten sekaligus
mengembangkannya dengan memberikan komentar baik berupa opini,
data, maupun fakta baru.

Dakwah yang melibatkan banyak orang sebagai produsen konten-konten
dakwah sekaligus menjadi konsumen dan menyebarkannya
memunculkan fenomena dakwah baru yaitu dakwah partisipatif sebagai
bagian dari budaya partisipatif yang muncul dari interaksi di media sosial.
Dalam komunikasi dakwah partisipatif seorang pengguna bisa berperan
sebagai komunikator dan komunikan dakwah, yang saling bertukar pesan
berisi informasi seputar ajaran Islam dan kegiatan dakwah di berbagai
daerah di Indonesia.

Seiring pesatnya perkembangan media sosial, banyak bermunculan
komunitas dakwah online. Komunitas-komunitas ini diinisiasi oleh generasi
muda muslim yang peduli dengan dakwah di masyarakat. Mereka
memanfaatkan jejaring persahabatan online untuk perekrutan, koordinasi
dan komunikasi anggota komunitas.

 

 

On July 23, 2020, International Program of Communication Science Universitas Islam Indonesia (UII) and Uniicoms TV invited Professor Chen and Dr. Masduki in The Annual Globalization Workshop (AGW) with the theme “The Future Globalization.” This workshop is the inaugural workshop program organized by the International Program of Communication UII. The theme raised in this inaugural workshop is to preparing students to encounter the globalization era after the covid-19 pandemic that swept across all parts of the world. The annual workshop that was held live, through google meet, was attended by a number of lecturers and students of IP Communication Science UII. The workshop was also attended by students from various countries such as students from Universiti Utara Malaysia.

Assoc. Prof. Dr. Huey Rong Chen as the first guest was an associate professor in the Department of Journalism, Chinese Culture University, Taiwan. And Dr. rer soc. Masduki, M.Si., M.A as the second guest is a senior lecturer in UII. The both speakers will deliver topics about globalization and reflectivity of globalization in seeking dialogical transformation after the pandemic. The workshop was also guided by Herman Felani from Department of Communication Science, Universitas Islam Indonesia.

In the first hour, the workshop was filled with an explanation of Covid-19 pandemic vs globalization delivered by Dr. rer soc. Masduki, M.Si., M.A. He began his presentation by presenting a question about how globalization was during this pandemic when the world is temporary closed. As a communication observer, he explained that Covid-19 has multiple code besides health issue. When we talk about Covid-19 in Indonesia during the last three months, he believes that it is related to at least four different topics. Politics of communication blunders, contestation of economic recovery, disruption of lifestyle as end of mobility, and revisiting the notion of ‘globalization’ as way of life.

Through the explanation, he trying to correlate Covid-19 with the politics of communication blunders and contestation of economic recovery. He also paid attention to the disruption of lifestyle as end of mobility between Indonesia and other countries, or between a particular province in Indonesia to the other province. Referring to the words of Jan Blommaert, a sociologist who said that Covid-19 is a good example of globalization process.

Masduki agreed that Covid-19 was a challenging topic to explain how globalization became a way of life. He explained from an economic perspective, that in summary, globalization can also be saved by worldwide movement throughout economic financial communication and threat integration. Moreover, he said that globalization should be about the transmission of ideas values and meaning across the world. And in some cases, it also about the decline of the nation like identity as Islamic religious people.

——————–

Author and Reporter: Fitriana Ramadhany, Student internship of Department of Communication Science, UII. Batch 2016

Editor: A. Pambudi W

Pada tanggal 23 Juli 2020, Program Internasional Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Uniicoms TV mengundang Profesor Chen dan Dr. Rer. Soc. Masduki dalam The Annual Globalization Workshop (AGW) dengan tema “The Future Globalization.” Workshop ini merupakan program workshop perdana yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi UII Program Internasional. Tema yang diangkat dalam workshop perdana ini adalah mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi era globalisasi pasca pandemi covid-19 yang melanda seluruh belahan dunia. Workshop tahunan yang digelar secara langsung melalui google meet ini diikuti oleh sejumlah dosen dan mahasiswa IP Ilmu Komunikasi UII. Workshop tersebut juga dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai negara seperti mahasiswa dari Universiti Utara Malaysia.

Assoc. Prof. Dr. Huey Rong Chen sebagai tamu pertama adalah seorang associate professor di Department of Journalism, Chinese Culture University, Taiwan. Dan Dr. rer soc. Masduki, M.Si., MA sebagai tamu kedua merupakan dosen senior di UII. Kedua pembicara akan menyampaikan topik tentang globalisasi dan reflektifitas globalisasi dalam mengupayakan transformasi dialogis pasca pandemi. Workshop juga dipandu oleh Herman Felani dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia.

Pada satu jam pertama, workshop diisi dengan penjelasan pandemi Covid-19 vs globalisasi yang disampaikan oleh Dr. rer soc. Masduki, M.Si., MA Mengawali presentasinya dengan menyampaikan pertanyaan tentang bagaimana globalisasi pada masa pandemi ini ketika dunia tertutup sementara. Sebagai pengamat komunikasi, ia menjelaskan Covid-19 memiliki banyak kode selain masalah kesehatan. Ketika kita membicarakan Covid-19 di Indonesia selama tiga bulan terakhir, dia yakin setidaknya ada empat topik yang berbeda. Politik blunder komunikasi, kontestasi pemulihan ekonomi, terganggunya gaya hidup sebagai ujung mobilitas, dan peninjauan kembali gagasan ‘globalisasi’ sebagai cara hidup.

Lebih dari itu, menurutnya, globalisasi seharusnya bicara tentang transmisi nilai dan makna gagasan ke seluruh dunia.

Melalui penjelasan tersebut, ia mencoba menghubungkan Covid-19 dengan blunder politik komunikasi dan kontestasi pemulihan ekonomi. Ia juga memperhatikan terganggunya gaya hidup sebagai ujung dari mobilitas antara Indonesia dengan negara lain, atau antara provinsi tertentu di Indonesia dengan provinsi lain. Mengacu pada perkataan Jan Blommaert, sosiolog yang mengatakan bahwa Covid-19 adalah contoh yang baik dari proses globalisasi.

Masduki setuju bahwa Covid-19 adalah topik yang menantang untuk menjelaskan bagaimana globalisasi menjadi gaya hidup. Ia menjelaskan dari perspektif ekonomi, bahwa secara ringkas, globalisasi juga dapat diselamatkan oleh pergerakan dunia melalui komunikasi keuangan ekonomi dan ancaman integrasi. Lebih dari itu, menurutnya, globalisasi seharusnya bicara tentang transmisi nilai dan makna gagasan ke seluruh dunia. Dan dalam beberapa kasus, juga tentang kemunduran bangsa seperti identitas umat beragama Islam.

——————–

Penulis dan Reporter: Fitriana Ramadhany, Mahasiswa magang Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Angkatan 2016

Editor: A. Pambudi W

Teatime 6th edition will invite:

Krisal Putra (student of communication Science Department, batch 2016).

The next International Program of Communication’s Teatime

Theme:
“Student’s Academic” Writing Experiences

Live On Instagram

Schedule

Friday, August, 7th, 2020
Start at 4pm (UTC+7)

Keep update on IGTV
@ip.communication.uii
@krisaljustin

 

View this post on Instagram

 

A post shared by IP COMMUNICATION UII (@ip.communication.uii) on

0Days0Hours0Minutes

Forum Amir Effendi Siregar menggelar:

Bincang sejarah komunikasi seri 5

Topik:

Membaca Ulang Sistem Penyiaran Indonesia: Dari Era Kolonial Belanda hingga Pasca Suharto

Pembicara:

Dr. rer. soc. Masduki

Masduki mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi UII sejak 2004-sekarang. Menulis buku: Penyiaran Indonesia: Dari Otoriter ke Liberal (2007). Karya disertasinya pada University of Munich, Jerman (2019), Public Service Broadcasting and Post-Authoritarian Indonesia akan diterbitkan oleh Palgrave McMillan (Springer Nature, London) akhir tahun ini

 

Jadwal

Sabtu, 8 Agustus 2020
Pukul 10:00 WIB
Via Zoom

Registrasi:

 

continued posts from: Teatime #5: The Twists and Turns of Becoming Overseas Students (1)

According to her, the hardest thing when adapting abroad is in terms of friendship. When the first year was still constrained by language, she felt unable to talk much. During the lecture, Sorlihah admitted that she could only remain silent. However, the longer stay in Indonesia, she began to feel at home. It just because she already has a close friend. Including friends from Thailand who also studied at UII.

“It so happened that at that time there were friends who started inviting chat, so it wasn’t just me who tried to adapt in the new environment. They also want to adapt to chatting. Eventually there will be many friends who want to help, especially during the third semester,” she said.

Sorlihah also shared her experiences when adapting to food in Indonesia. She said that adapting to food was no less difficult, especially rice. Rice in Indonesia which tends to be softer is different from rice in Thailand.

The food in Thailand which is mostly salty and spicy is different from the food in Jogja which is sweet. Although initially having difficulty choosing food that suits her taste, Sorlihah began to find food in Indonesia that she liked. When asked by Annisa Putri Jiany, as the master of ceremonies, about Jogja’s food that was first liked by Sorlihah, she admitted that the chicken soy sauce and seblak menu was her favorite food.

The thing in Indonesia that made her not impressed was the education of her Pesantren (boarding school for higher education). “The boarding school’s girl here (Indonesia) are so cool. They can master many languages, especially English and Arabic,” she said enthusiastically.

Sorlihah herself, aside from her studies, also lives in a dormitory provided by the campus: dormitory of Islamic Boarding School of UII. The boarding school lecture that Sorlehah attended was not much different from the routine of the pesantren in general. There was religious and language learning that was held outside of formal class. Although the routine made her schedule even more solid, Sorlihah continued to follow the applicable curriculum with a light heart until graduation.

The university has a rule for foreign students studying at UII, that they are required to live in the campus boarding school. However, as the number of foreign students entering UII, the regulation has gradually changed. “For Year 2016 and below, now it is no longer compulsory in Islamic boarding schools. Because many friends from Thailand who had difficulty following the boarding school curriculum. So, now they can freely choose to live outside the boarding school,” she explained.

“What is the tips and tricks from Sorlihah for studying abroad?” asked Jiany, the host’s nickname.

Sorlihah said the first most important thing was intention. Need to prepare the heart, and strengthen the intention. According to her, a strong intention will make yourself not easily give up and back down when there are problems.

Second is research, finding out about the culture and language of the country to be addressed. Like food in the destination country, anything that needs to be taken care of when leaving, and so on. “I also asked my siblings about Indonesia. How is Jogja? My siblings also told me about shake hands and language culture. If the language is not much different, so don’t panic too much,” Sorlihah said.

At least, Sorlihah conveyed a message to friends who wanted to study abroad, “Don’t give up quickly, every difficulty there must be ease. God will not give trials beyond the ability of his servant.”

—–

Writer: Fitriana Ramadhany (Student of Communication Major of UII, Internship at International Program of COmmunication Science Department UII)

Editor: A. Pambudi W

On July 24, 2020, Sorlihah Pohleh was present as a speaker at the Teatime talk show. In this fifth episode, the event theme was “Being International Student and How to Conquer the World.” Sorlihah, who is from Pattani, Thailand, is an alumni of the Communication Science Department of Universitas Islam Indonesia. She was speaking live on Instagram of International Program of Communications Science Department (@ip.communication.uii).  This 2015 class year student shared her experience as a foreign student at UII and how she adapted to the new environment.

Studying abroad is one of Sorlihah’s dreams. Initially she did not think of choosing to study in Indonesia. At that time Sorlihah had become a student at Fatoni University (FTU) Thailand. She got information about scholarships to study abroad from one of his lecturers. Coincidentally there is a scholarship offer from UII that is just running an international scholarship program.

Sorlihah finally ventured to try. She followed the advice to register for a scholarship at UII. At first she was hesitant in choosing a major in economics or communication major. However, because the communication department was one of the rare majors in Thailand, the lecturer again suggested her to choose Communication Major. In addition, her decision to choose UII was due to the good campus environment and culture. The implementation of Islamic culture in UII such as prayer in congregation, similar to the culture in Pattani, Thailand. She feels safer and adaptable.

Pattani area is identical with Malay. Malay language is their daily language. Pattani’s location in the southern part of Thailand makes people there use Thai language less frequently. This made Sorlihah could learn Bahasa easily. Despite, the Malay language is not much different from the Indonesian language. In addition, she also tried to be active when gathering with friends so she could quickly master Indonesian and was no longer constrained by language.

Sorlihah claimed not to have encountered so many obstacles while living in Indonesia. It was because of the friendliness of Indonesians, especially Jogja’s people. “I just enjoy what is in Indonesia. Because Indonesians are friendly, so it’s not difficult to adapt and deal with people,” she explained in the Instagram live program.

Staying away from parents certainly changes a lot of things. Such as having to manage their own expenses and face the homesick. She said that she would usually get a homesick when there is a problem or think of an allowance. Even so, she can quickly overcome it by meeting friends from Thai who are both struggling.

She sticks to her mother’s advice. Sorlihah should became more determined to try new things while in Indonesia, “To deal with new things, I remember my mother’s word to just try it first. Try it first to know whether it’s good or not. So later we can deduce which is good and not.”

Continue to the next Article: Teatime 5: How to adapt to food, friends, and language obstacle

——–

Writer: Fitriana Ramadhany (Student of Communication Major of UII, Internship at International Program of COmmunication Science Department UII)

Editor: A. Pambudi W

Lanjutan dari Teatime #5: Lika-Liku Menjadi Mahasiswa di Luar Negeri (1)

Menurutnya, hal terberat selama beradaptasi di luar negeri adalah dari segi pertemanan. Saat tahun pertama masih terkendala pada bahasa, ia merasa tidak bisa banyak mengobrol. Selama perkuliahan pun Sorlihah mengaku hanya bisa diam saja. Namun, semakin lama tingal di Indonesia, ia mulai merasa betah karena telah memiliki teman akrab. Termasuk teman-teman dari Thailand yang juga berkuliah di UII.

“Kebetulan waktu itu ada teman yang mulai ngajak ngobrol, jadi bukan cuma aku yang berusaha beradaptasi di lingkungan baru. Mereka juga ada yang mau beradaptasi dengan mengobrol. Lama-lama jadi banyak teman yang mau bantu, terutama saat semester tiga,” ujarnya.

Sorlihah juga membagikan pengalamannya saat beradaptasi dengan makanan di Indonesia. Ia berkata bahwa beradaptasi dalam hal makanan tak kalah sukar, terutama nasi. Nasi di Indonesia yang cenderung lebih lembek berbeda dengan nasi di Thailand.

Makanan di Thailand yang kebanyakan asin dan pedas pun berbeda dengan makanan di Jogja yang manis. Meski awalnya kesulitan memilih makanan yang sesuai selera, Sorlihah mulai menemukan makanan di Indonesia yang ia sukai. Ketika ditanya oleh Annisa Putri Jiany, selaku pembawa acara, tentang makanan Jogja yang pertama kali disukai Sorlihah, ia mengaku bahwa menu ayam kecap dan seblak adalah makanan favoritnya.

Hal di Indonesia yang membuatnya tak berhenti kagum adalah pendidikan pondoknya. “Anak-anak pondok di sini (Indonesia) keren banget. Mereka bisa menguasai banyak bahasa, terutama bahasa inggris dan arab,” ujarnya dengan antusias. Sorlihah sendiri di samping kuliah, juga tinggal di pondok yang disediakan kampus: Pondok Pesantren UII. Kuliah pondok yang diikuti Sorlehah tidak jauh berbeda dengan rutinitas pondok pada umumnya, ada pembelajaran agama dan bahasa yang diadakan diluar jam perkuliahan. Meski rutinitas itu membuat jadwalnya semakin padat, Sorlihah tetap mengikuti kurikulum yang berlaku dengan hati ringan hingga kelulusan.

UII memiliki peraturan bagi mahasiswa asing yang berkuliah dan mendapat beasiswa di UII. Mereka harus untuk tinggal di Pondok Pesantren UII. Angkatan Sorlihah pada saat itu adalah angkatan pertama diberlakukannya peraturan tersebut. Namun, seiring banyaknya mahasiswa asing yang masuk di UII, peraturan tersebut berangsur berubah. “Kalau untuk angkatan bawahku sekarang ini udah nggak wajib di pondok lagi. Karena banyak teman-teman dari Thailand yang kesulitan mengikuti kurikulum pondok. Jadi, sekarang mereka bisa bebas memilih tinggal di luar pondok,” jelasnya.

“Apa tips dan trik dari Sorlihah buat kuliah ke luar negeri?” tanya Jiany, nama panggilan akrab pembaca acara. Sorlihah mengatakan hal pertama yang paling penting adalah niat.  Perlu untuk menyiapkan hati, dan menguatkan niat. Menurutnya, niat yang kuat akan membuat diri tidak mudah menyerah dan mundur ketika ada masalah.

Kedua adalah riset, mencari tahu tentang budaya dan bahasa negara yang akan dituju. Seperti makanan di negara tujuan, apa saja yang perlu diurus ketika berangkat, dan sebagainya. “Aku juga tanya ke saudaraku tentang Indonesia itu bagaimana. Jogja itu bagaimana. Saudaraku juga memberitahu tentang budaya salaman dan bahasa. Kalau bahasa nggak beda jauh, jadi nggak terlalu panik,” ungkap Sorlihah.

Pungkasan, Sorlihah menyampaikan pesan untuk teman-teman yang ingin kuliah di luar negeri, “Jangan cepat menyerah, setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan hambanya.”

——

 

Penulis: Fitriana Ramadhany (Mahasiswa Komunikasi UII, Magang di International Program of COmmunication Science Department UII)

Penunting: A. Pambudi W.