Teatime #5: Adaptasi Bahasa, Makanan, dan Pertemanan di Luar Negeri

Reading Time: 2 minutes

Lanjutan dari Teatime #5: Lika-Liku Menjadi Mahasiswa di Luar Negeri (1)

Menurutnya, hal terberat selama beradaptasi di luar negeri adalah dari segi pertemanan. Saat tahun pertama masih terkendala pada bahasa, ia merasa tidak bisa banyak mengobrol. Selama perkuliahan pun Sorlihah mengaku hanya bisa diam saja. Namun, semakin lama tingal di Indonesia, ia mulai merasa betah karena telah memiliki teman akrab. Termasuk teman-teman dari Thailand yang juga berkuliah di UII.

“Kebetulan waktu itu ada teman yang mulai ngajak ngobrol, jadi bukan cuma aku yang berusaha beradaptasi di lingkungan baru. Mereka juga ada yang mau beradaptasi dengan mengobrol. Lama-lama jadi banyak teman yang mau bantu, terutama saat semester tiga,” ujarnya.

Sorlihah juga membagikan pengalamannya saat beradaptasi dengan makanan di Indonesia. Ia berkata bahwa beradaptasi dalam hal makanan tak kalah sukar, terutama nasi. Nasi di Indonesia yang cenderung lebih lembek berbeda dengan nasi di Thailand.

Makanan di Thailand yang kebanyakan asin dan pedas pun berbeda dengan makanan di Jogja yang manis. Meski awalnya kesulitan memilih makanan yang sesuai selera, Sorlihah mulai menemukan makanan di Indonesia yang ia sukai. Ketika ditanya oleh Annisa Putri Jiany, selaku pembawa acara, tentang makanan Jogja yang pertama kali disukai Sorlihah, ia mengaku bahwa menu ayam kecap dan seblak adalah makanan favoritnya.

Hal di Indonesia yang membuatnya tak berhenti kagum adalah pendidikan pondoknya. “Anak-anak pondok di sini (Indonesia) keren banget. Mereka bisa menguasai banyak bahasa, terutama bahasa inggris dan arab,” ujarnya dengan antusias. Sorlihah sendiri di samping kuliah, juga tinggal di pondok yang disediakan kampus: Pondok Pesantren UII. Kuliah pondok yang diikuti Sorlehah tidak jauh berbeda dengan rutinitas pondok pada umumnya, ada pembelajaran agama dan bahasa yang diadakan diluar jam perkuliahan. Meski rutinitas itu membuat jadwalnya semakin padat, Sorlihah tetap mengikuti kurikulum yang berlaku dengan hati ringan hingga kelulusan.

UII memiliki peraturan bagi mahasiswa asing yang berkuliah dan mendapat beasiswa di UII. Mereka harus untuk tinggal di Pondok Pesantren UII. Angkatan Sorlihah pada saat itu adalah angkatan pertama diberlakukannya peraturan tersebut. Namun, seiring banyaknya mahasiswa asing yang masuk di UII, peraturan tersebut berangsur berubah. “Kalau untuk angkatan bawahku sekarang ini udah nggak wajib di pondok lagi. Karena banyak teman-teman dari Thailand yang kesulitan mengikuti kurikulum pondok. Jadi, sekarang mereka bisa bebas memilih tinggal di luar pondok,” jelasnya.

“Apa tips dan trik dari Sorlihah buat kuliah ke luar negeri?” tanya Jiany, nama panggilan akrab pembaca acara. Sorlihah mengatakan hal pertama yang paling penting adalah niat.  Perlu untuk menyiapkan hati, dan menguatkan niat. Menurutnya, niat yang kuat akan membuat diri tidak mudah menyerah dan mundur ketika ada masalah.

Kedua adalah riset, mencari tahu tentang budaya dan bahasa negara yang akan dituju. Seperti makanan di negara tujuan, apa saja yang perlu diurus ketika berangkat, dan sebagainya. “Aku juga tanya ke saudaraku tentang Indonesia itu bagaimana. Jogja itu bagaimana. Saudaraku juga memberitahu tentang budaya salaman dan bahasa. Kalau bahasa nggak beda jauh, jadi nggak terlalu panik,” ungkap Sorlihah.

Pungkasan, Sorlihah menyampaikan pesan untuk teman-teman yang ingin kuliah di luar negeri, “Jangan cepat menyerah, setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan hambanya.”

——

 

Penulis: Fitriana Ramadhany (Mahasiswa Komunikasi UII, Magang di International Program of COmmunication Science Department UII)

Penunting: A. Pambudi W.