Reading Time: < 1 minute

Masduki juga bercerita soal sulitnya melakukan ibadah di Jerman ketimbang di Indonesia. Ini kaitannya dengan cuaca dan muslim yang memang jadi minoritas. Menurutnya, paling sulit itu melaksanakan rukun islam yang ketiga: Puasa dengan harinya panjang dan panasnya ekstrim, ”Puasa itu paling berat, karena di Jerman itu subuhnya jam 3 lebih sedikit dan buka puasanya jam 10 malam,” ungkap Masduki.

Soal ibadah haji yang dijalani Masduki berangkat langsung dari Jerman, memang muncul banyak pertanyaan dari kolega dan teman. Masduki menjelaskan, memang ibadah haji dari eropa lebih mudah, daftar tunggunya lebih cepat. “tapi memang agak lebih mahal,” katanya. Namun jangan dikira anda bisa sekadar travelling ke Jerman lalu bisa langsung berangkat haji. “Syaratnya harus punya visa tinggal minimal 1 tahun, dan itu tentu hanya mereka yang bekerja menetap atau studi lanjut,” cerita Masduki berdasar pengalamannya beberapa waktu lalu.

Bagi Masduki, pasti sulit juga mencari masjid. Masjid di Jerman tak seperti di Indonesia yang kalau azan berkumandang terdengar atau bisa dilihat dari kubahnya saja. Masjid tak tampak fisiknya dan hanya terlihat di Google Map. Tidak ada azan lewat pengeras suara. Bentuk fisiknya menyerupai gedung atau rumah biasa. Jika sudah membuka pintunya, barulah terhampar ruang seperti masjid. “Kalau di Inggris malah disamarkan menjadi Islamic Centre,” paparnya lagi.

Selain makanan yang pastinya tak semua halal, adapatasi dengan cuaca akstrim kini akibat perubahan iklim juga jadi masalah. Contohnya saat menjalani puasa tadi. Adaptasi dnegan lingkungan yang sama sekali baru macam ini memang perlu strategi dan daya tahan. Masduki banyak terbantu dengan misalnya workshop orientasi kota, berjejaring dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia di luar negeri, dan juga banyak bertanya pada pembimbing. Meski begitu, ia juga banyak terbantu juga dengan orang-orang jerman yang ternyata lebih punya banyak perhatian pada indonesia, misal pada seninya, budayanya, dan lain- lain.

Tulisan pertama baca di sini

Reading Time: 3 minutes

Bagaimana belajar hingga adaptasi dengan cuaca dan makanan di negeri orang?

Cekrak-cekrek! Suara kamera DSLR dan bunyi kamera ponsel menyeruak di ruang meeting Hotel Eastparc. Seorang doktor baru dari Komunikasi UII baru saja berpose bersama Ketua Prodi Komunikasi UII, sambil mengangkat kaos bertuliskan komunikAsi, sebuah kaos yang sengaja dibuat paska raihan akreditasi A kembali oleh progam studi ini. Ini jadi sebuah kabar baik beruntun buat komunikasi UII: dapat akreditasi A lagi, dan doktor dari Jerman sekaligus. Ya, Masduki, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, sudah rampung memertahankan disertasinya berjudul Public Service Broadcasting in Post-Authoritarian Indonesia di depan penguji pada 18 Juli 2019. “Ujian di Jerman ujian doctorralnya sederhana, tenang, dan tidak mewah. Tak seperti Indonesia dan Belanda yang punya tradisi yang dibangun dengan ujian sakral, mewah dan ramai,” kata Masduki.

Masduki, dalam kesempatan pada Rapat Koordinasi Kerja prodi pada 9 Agustus 2019, bercerita banyak hal yang dapat kita pelajari dari perjalanan akademiknya di Jerman selama tiga tahun ini. Pembelajaran-pembelajaran muncul bahkan dari hal-hal yang tidak biasa dihadapi di Indonesia, terutama di Yogyakarta. Misalnya dari perbandingan kultur antara Jerman (eropa) dan Indonesia.

Indonesia, misalnya, masih fokus pada hal-hal yang sifatnya material. Orang masih sibuk urus bagaimana makan, bagaimana keamanan harta benda, bagaimana rumah dan lain sebagainya. Sedangkan, ”Orang-orang Jerman bahkan sudah Post-Material,” kata Masduki. Misalnya orang-orang Jerman sudah bicara soal berbagi dengan orang lain. Maka tak heran bila banyak pengungsi dari syria, afganistan, dan lain-lain yang disambut dengan “Welcome Refugee”.

Pembicaraan tentang kebebasan berpendapat, rasa kepedulian sosial, dan post-religius sudah jadi bahasan utama di Jerman. Post-religius menganggap agama itu pribadi. Gereja hanya jadi tempat wisata orang non eropa. “Sudah tidak ada jamaahnya kecuali datang kalau mau nikah di gereja,” tambahnya.

Tapi intinya, kata Masduki, tradisi akademik di universitas kelas dunia seperti Institute of Communication Studies & Media Research (IfKW), Ludwig Maximilians University of Munich (LMU Munich) memang berbeda. Misalnya cara mahasiswa interaksi dengan dosen. “Mahasiswa di Jerman, kalau ibaratnya ini gelas, dia dianggap sudah ada isi 70 – 80 persen isi gelasnya,” kata Masduki. Di sana dosen kasih reading dan di kelas akan ditanyakan dan proses diskusi berlangsung di sana, jelas Masduki. Posisinya saat itu mahasiswa sudah siap semua. Masduki menjelaskan dosen memeberikan tugas review paper dan penulisan lain maka tak heran bila perpustakaan penuh untuk baca dan kirim tugas.

Belum lagi ada segudang workshop yang sayang untuk dilewatkan dengan sistem registrasi yang ramah lingkungan: pendaftaran online. Misalnya bagi mahasiswa asing ada workshop orientasi kota, atau ada juga workshop academic writing (pelatihan penulisan akademik) untuk menulis karya tulis akademik baik tesis maupun disertasi.

Masduki berpesan, “Kalau mau membangun jaringan (di dunia akademisi komunikasi) maka rajin dan aktiflah di International Communication Association (ICA) dan International Association for Media and Communication Research (IAMCR),” kata Masduki. Para forum itu, anda akan banyak bertemu dengan tokoh-tokoh pemikir di dunia komunikasi yang sering kita baca bukunya sebagai rujukan. Misalnya, kata Masduki, ia bisa bertemu Graham Murdoch, penulis buku Handbook Ekonomi Politik Komunikasi di forum-forum itu. Pada forum internasional itu, bagi sivitas akademika yang berminat melanjutkan studi, bisa berdiskusi dengan banyak profesor soal tema kajian yang diangkat. “Di sana banyak profesor yang sering hadir di tidak ikut jadi presenter konferensi, justru untuk melihat perkembangan studi ilmu komunikasi dunia kekinian, nah anda bisa pendekatan dengan profesor itu di sini,” ceritanya. Cara ini justru lebih besar peluangnya untuk mendapatkan pendampingan dari profesor yang diinginkan ketika akan studi lanjut di luar negeri. Cara ini lebih manjur ketimbang mengirim proposal disertasi secara acak ke sembarang profesor dengan harapan mereka tertarik dengan ide kita, katanya lagi.

Jika beruntung, rajin menulis paper, dan rajin berjejaring, anda bisa juga ikut konferensi di beberapa negara secara gratis sekaligus wisata. Paparan Masduki bukan semata isapan jempol. Ia misalnya bisa ikut konferensi tentang Kebebasan Pers sambil pulang kampung, dibiayai pulang pergi. “Waktu itu ada World Press Freedom Day di Jakarta, panitianya tertarik dengan paper saya, ya sudah saya katanya dibiayai ke indonesia. Lho saya pulang kampung gratis, nih?” tanyanya pada panitia yang sejurus kemudian diiyakan. Bukan hanya ke Indonesia, tapi juga ke konferensi beberapa negara lain.

Meski begitu, menurut Masduki, tak selamanya setiap penerima beasiswa bisa seperti ini. Banyak juga peraturan dari pemberi beasiswa yang ketat dan membuat penerima jadi tak bisa bergerak bebas selain fokus pada studinya. Maka perlu kiranya pencari beasiswa jeli memilih dan memilah pemberi beasiswa. Beasiswa dengan studi ke Jerman banyak sekali kata Masduki. Beragam jenisnya dan kriterianya. Misalnya anda bisa mencoba beasiswa IGSP (Indonesia Germany Scholarship Program) sebuah beasiswa dari Jerman untuk orang Indonesia lewat pemerintah Indonesia. Ada juga DAAD (The German Academic Exchange Service), hans shiedel (beasiswa studi dan riset) , Friedrich-Ebert-Stiftung, atau juga dari lembaga seperti Friedrich Naumann Stiftung.

Bagaimana dengan kehidupan sehari-hari di eropa? Baca lanjutannya di sini

 

 

Reading Time: 4 minutes

How to study to adapt to the academic tradition, weather, and food in other countries?

Click, Snap! The sound of a Digital SLR camera and the sound of a smartphone camera burst in the Eastparc Hotel meeting room. A new philosopy of doctor from UII’s Communication Department  has just posed with the Head of the Communication Department of UII, while raising a T-shirt that reads “Communication” with a big “A”, a t-shirt that was intentionally made after achieving A accreditation of this department. This is a successive good news for Communication Department: We get A accreditation (again), and a doctor from university at Germany at the same time. Yeah, Masduki, a lecturer in the Communication Deparment at UII, has finished defending his dissertation entitled Public Service Broadcasting in Post-Authoritarian Indonesia in front of examiners on July 18, 2019. “The German examination is simple, calm and not luxurious. Unlike Indonesia and the Netherlands, which has a tradition built with sacred, luxurious and lively tests, ” said Masduki.

Masduki, share the stoy of him at Coordination Meeting of Communication Department, on August 9, 2019, that He told us many things that we can learn from his academic journey in Germany for three years. Learning arises even from things that are not commonly faced in Indonesia, especially in Jogjakarta. For example from the comparison of cultures between Germany (Europe) and Indonesia.

Indonesia, for example, still focuses on material matters. People are still busy taking care of how to eat, how to secure property, how to house and so forth. Meanwhile, “The Germans are even Post-Material,” said Masduki. For example, Germans have talked about sharing with others. So no wonder that many refugees from Syria, Afghanistan, and others were welcomed with a “Welcome Refugee”.

Talks about freedom of opinion, social concern, and post-religious have become the main topics in Germany. Post-religious considers religion personal. The church is only a tourist spot for non-Europeans. “There is no congregation except to come if you want to get married in the church,” he added.

But the point is, said Masduki, academic traditions at world-class universities such as the Institute of Communication Studies & Media Research (IfKW), Ludwig Maximilians University of Munich (LMU Munich) are indeed different. For example the way students interact with lecturers. “Students in Germany, if this is like a glass, it is assumed that 70-80 percent of the contents are already filled,” said Masduki. Lecturers always give a book reading and it will be asked in the classroom and the discussion process takes place there, explained Masduki. At that time the students were already supposed ready. Masduki explained that the lecturer gave paper review and other writing assignments so it was not surprising that the library was full of reader and students that want to send assignments.

Not to mention there are a myriad of workshops that are a pity to pass up with an environmentally friendly registration system: online registration. For example for foreign students there is a city orientation workshop, or there is also an academic writing workshop to write academic papers both theses and dissertations.

Masduki advised, “If you want to build a network (in the world of communication academics), be diligent and active in the International Communication Association (ICA) and the International Association for Media and Communication Research (IAMCR),” said Masduki. The forum, you will meet a lot of thinkers in the world of communication that we often read his book as a reference. For example, said Masduki, he could meet Graham Murdoch, author of the Political Communication Handbook at the forums. At the international forum, academicians who are interested in continuing their studies can discuss with many professors the theme of the study. “There are many professors who are often present at not participating as conference presenters, instead to see the development of communication studies in the contemporary world, now you can approach with the professor here,” he said. This method is even more likely to get assistance from the desired professor when going to study abroad. This method is more effective than sending random dissertation proposals to any professor in the hope that they are interested in our ideas, he said again.

If lucky, diligently writing papers, and diligently networking, you can also participate in conferences in several countries for free as well as travel. Masduki’s exposure is not merely a figment. For example, he could take part in a conference on Freedom of the Press while returning home, financed to and from home. “At that time there was a World Press Freedom Day in Jakarta, the committee was interested in my paper, yes, I said it was funded to Indonesia. So I go home for free, right?” He asked the committee, which was agreed with a moment later. Not only to Indonesia, but also to conferences in several other countries.

 

Even so, according to Masduki, not every scholarship recipient can always be like this. There are also many regulations from scholarship providers that are strict and make recipients unable to move freely apart from focusing on their studies. So it is necessary for observant scholarship seekers to choose and sort out scholarship providers. Masduki said many scholarships for studying in Germany. Various types and criteria. For example, you can try the IGSP (Indonesia Germany Scholarship Program) scholarship from Germany for Indonesians through the Indonesian government. There are also DAAD (The German Academic Exchange Service), Hans Shiedel (scholarship study and research), Friedrich-Ebert-Stiftung, or also from institutions such as Friedrich Naumann Stiftung.

Continue this story by click the next writing

Reading Time: < 1 minute

Apa saja yang bisa mahasiswa lakukan bersama tim di International Program (IP) Komunikasi UII?

Jika anda belum banyak tahu soal program internasional di Komunikasi UII, kini saatnya berkenalan. Mari menyelami seluk beluk International Program yang berdiri pada 2018 ini. Hal pertama yang bisa anda lakukan dalam program studi ini misalnya melakukan beragam proyek pengembangan skill, karakter, dan pengalaman internasional kerangka proyek perjalanan dan kompetisi internasional P2A (Passage to Asean) seperti tahun-tahun sebelumnya. (link)

Anda juga dapat melakukan pertukaran pengetahuan dalam kelas-kelas kuliah dengan bahasa inggris. Proses pembelajaran day to day dengan menggunakan bahasa inggris memungkinkan terbentuknya suasana akademik yang kondusif. Kondusif dalam arti memperkuat soft skill kepemimpinan di masa depan dengan beragam program penguatan karakter. Beberapa program ke depan juga akan dilaksanakan melibatkan mahasiswa sebagai pusat pembelajaran seperti program magang internasional dan program pemberdayaan komunitas internasional.

Sebagai mahasiswa Program internasional, anda memiliki kebebasan akademik untuk melakukan studi dan penelitian pada beragam tema kajian pada 6 klaster. 6 Klaster itu seperti Komunikasi Geografi, Komunikasi Visual, Jurnalisme, Public Relation, Komunikasi Pemberdayaan, dan Regulasi dan Kebijakan Komunikasi.

Selama 4 tahun, atau sekira 8 semester, anda akan menjalani 144 SKS yang dibagi sekira 20-24 SKS selama 4 tahun masa kuliah. Dari 20-24 SKS jika dipilah bisa mencakup 6-8 mata kuliah per semester. Anda bisa memilih 4 peminatan khusus juga seperti Jurnalisme, Public Relation, Media Kreatif, dan yang terakhir Kajian Media. Pada semester ke-7 mahasiswa dapat menguji kemampuannya mengaplikasikan teorinya dalam kerja akademis seperti membuat karya tulis akademik atau proyek tugas akhir seperti produksi film dokumenter, foto, produksi program berita, atau produksi media kreatif yang lain.

 

Reading Time: < 1 minute

What can students do in the International Program (IP) of Communication Department?


If you don’t know much about the international program at Communication Department of UII, now it’s time to get acquainted. Let’s dive into details of the International Program, which was established in 2018. The first thing you can do in this program is for example to conduct various skills development projects, characters, and international experience in the framework of a P2A (Passage to Asean) international travel and competition project as in previous years. (link)

You can also exchange knowledge in lecture classes with English. The day to day learning process using English allows the formation of a conducive academic atmosphere. Conducive in the sense of strengthening the soft leadership skills of the future with a variety of character strengthening programs. Some future programs will also be implemented involving students as centers of learning such as international internships and international community empowerment programs.

As an international program student, you have the academic freedom to conduct studies and research on a variety of study themes in 6 clusters. 6 Clusters such as Geographic Communication, Visual Communication, Journalism, Public Relations, Empowerment Communication, and Regulation and Communication Policy.

For 4 years duration, or approximately 8 semesters, you will undergo 144 credits (points) divided into approximately 20-24 credits for 4 years of courses. From 20-24 (credits) points if sorted, it can cover 6-8 courses per semester. You can choose 4 special interests as well as Journalism, Public Relations, Creative Media, and finally Media Studies. In the 7th semester students can test their ability to apply their theories in academic work such as making academic papers or final project projects such as documentary film production, photos, news program production, or other creative media productions.

Reading Time: 2 minutes

After more than a year of the funeral of Amir Effendi Siregar, the family of Communication Departmennt conducted a ceremony and sprinkling flowers at Amir Effendi Siregar’s cemetery. Bang Amir, Amir Effendi Siregar’s nickname. is a founder figure of Communication Department of UII. This activity which was held on August 2, 2019, was participated by staff, Uniicoms TV crew, Lecturers, and Staff of the Nadim, The Center for Alternative Media Documentation and Studies (PSDMA) of Communication Department.

Through a trip from the Universitas Islam Indonesia (UII) to the west, all of Communication Departement’s family arrived at Bang Amir’s cemetery at the Government Public Cemetery in Sleman. The procession began with each audience sprinkling flowers on Bang Amir’s grave. After that, a joint prayer was conducted led by Anang Hermawan, one of the lecturers in the first batch of this department.

“Bang Amir was a former founder of Communication Science/ Communcication Department and emphasized that this department must be exist at UII,” said Anang Hermawan. He also preached and expressed his gratitude at the Bang Amir tomb that Bang Amir’s struggle had now, at least, been fruitful, one of which was by achieving grade A on accreditation test again.

“Pak Anang is filled with tears, he remembers his struggle and we all build the vision of this department,” said Puji Hariyanti, current Head of the Communication Department. According to Anang, all of Communications Department’s Family must respect the struggle of the founders, the teachers who preceded us, reflected on, and continued Bang Amir’s ideals.

Bang Amir is a figure who fought for the UII’s Communication Department in the 2004s who was also very influential for the establishment of this department. He also emphasized and conceptualized the UII’s Communication Department which had the concentration/ specialization on Media Management studies, the only one in Indonesia at that time. Bang Amir pioneered it with Anang Hermawan, Masduki, and several lecturers in the first generation at that time. Up and down, helter-skelter to make network, it can even make this office like a second home,”We used to make reports and student activities, we had to stay overnight, until that’s the struggle,” said Topari, one of the former staff at that time, who has now a career as a teacher in a state school in Gunung Kidul.

“We hope we can continue his ideals. In order to commemorate our founders, yesterday it was accredited as well, we think it is necessary to remember our founders,” Anang said on the middle of ceremony.

Reading Time: 2 minutes

Setelah lebih dari satu tahun wafatnya Bang Amir Effendi Siregar, dan juga bersamaan dengan telah diraihnya Akreditasi A Prodi Komunikasi UII, keluarga Prodi Komunikasi UII melakukan takziah dan tabur bunga di makam Amir Effendi Siregar. Bang Amir, panggilan akrab Amir Effendi Siregar. adalah satu tokoh pendiri Komunikasi UII. Kegiatan tabur bunga yang diadakan pada 2 Agustus 2019, ini diikuti oleh staf program studi, kru Uniicoms TV, Dosen, dan Staf Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) NADIM Komunikasi UII.

Melalui perjalanan dari kompleks Universitas Islam Indonesia (UII) ke arah barat, sampailah seluruh warga akademik Komunikasi UII ke tempat peristirahatan terakhir Bang Amir di TPU Pemakaman Umum Pemda Sleman. Prosesi dimulai dengan setiap hadirin menaburkan bunga ke atas makam Bang Amir. Setelah itu, doa bersama dilakukan dengan dipimpin Anang Hermawan, salah satu dosen di angkatan pertama Prodi ini.

“Bang amir itu dulu tokoh salah satu pendiri Prodi Ilmu Komunikasi dan yang menekankan prodi ini harus ada di UII,” kata Anang Hermawan. Ia juga mengabarkan dan mengucapkan syukur di pusara Bang Amir bahwa perjuangan Bang Amir kini telah, setidaknya, berbuah salah satunya dengan diraihnya akreditasi A kembali.

“Pak Anang berkaca-kaca, ia ingat perjuangannya dan kita semua membangun visi Prodi ini,” kata Puji Hariyanti, Ketua Prodi Komunikasi UII saat ini. Menurut Anang, seluruh warga akademik Komunikasi UII harus menghargai perjuangan para pendiri, para guru yang mendahului kita, refleksi, dan meneruskan cita-cita Bang Amir.

Bang Amir merupakan sosok yang memperjuangkan Prodi Komunikasi UII di era 2004 yang juga sangat berpengaruh bagi berdirinya prodi ini. Ia juga yang menegaskan dan mengonsep Prodi Komunikasi UII memiliki konsentrasi studi Manajemen Media, satu-satunya di Indonesia, saat itu. Bang Amir merintisnya bersama Anang Hermawan, Masduki, dan beberapa dosen di angkatan pertama saat itu. Jatuh bangun, pontang panting berjejaring, bahkan bisa sampai Prodi ini jadi seperti rumah kedua, “Dulu kita sampai bikin laporan dan kegiatan mahasiswa, itu sampai menginap, sampai begitu perjuangannya,” kata Topari, salah satu staf Program Studi saat itu, yang kini telah berkarir menjadi guru di sekolah negeri di Gunung Kidul.

“Kami berharap kami bisa meneruskan cita-cita beliau. Dalam rangka mengenang para pendiri kita, kemarin sudah akreditasi juga, kami pikir perlu mengenang para pendiri kita,” kata Anang di sela-sela tabur bunga.

Reading Time: 2 minutes

“Habis ini kita akan nyobain kuliner unik dan khas surabaya yang lain, ikuti kami terusnya,” begitu kata Annisa Putri Jiani dan Nurul Diva Kautsar presenter program Rasa-rasa, program acara yang baru dari Uniicoms TV, sebuah TV daring di Universitas Islam Indonesia. Kalimat-kalimat ajakan itulah yang kini sehari-hari selalu mengemuka berulang di ruang studio editing Uniicoms TV di Prodi Ilmu Komunikasi UII. Rencananya, tayangan ini akan diluncurkan di Channel Uniicoms TV menyambut mahasiswa baru. Saat ini Uniicoms TV dikelola oleh Laboratorium Prodi Ilmu Komunikasi UII yang diisi oleh tenaga-tenaga tim prodi Ilmu Komunikasi UII, relawan, dan kru yang muda, kreatif, energik.

Rata-rata kru dan pegiatnya adalah anak-anak muda yang punya begitu ragam ide khas milenial. Namun bedanya, anak-anak muda di Uniicoms TV tak sekadar milenial, populer, dan muda, melainkan punya visi mulia dalam tiap sajian kreatifnya: empowering and inspiring. Ya, bersama menjadi berdaya dan inspirasi. Maka tentu program apapun yang diproduksi adalah hasil kreasi yang mengajak khalayaknya berdaya dan menginspirasi.

Meskipun acara kuliner seperti ini sudah populer dan banyak, Nurul Diva, Digital Public Relation Uniicoms TV, yakin model acara kuliner yang kali ini justru kuat dengan misi yang mulia: empowering and inspiring. Nurul yang juga adalah presenter acara kuliner ini mengatakan Uniicoms TV mengajak kaum muda untuk tidak lupa akar budaya dan tradisinya lewat program acara kuliner yang diberi nama “Rasa-Rasa”. Menurutnya, sudah saatnya ada program TV alternatif, di tengah merebaknya acara TV yang tidak mendidik, yang juga mempertahankan warisan budaya tradisional pada generasi muda kekinian. “Sepengamatanku, uniknya yang makan di sini anak mudanya sedikit,” kata Nurul menjelaskan keadaan warung-warung yang dikunjungi untuk masuk dalam program.

Pada kesempatan episode pertama ini, Tim Uniicoms TV mengangkat kuliner-kuliner yang khas dan yang tidak biasa di Surabaya seperti Lontong Balap dengan lentho, Rawon Pak Gendut, hingga Rawon Kalkulator. Rawon kalkulator misalnya, adalah salah satu tempat wisata kuliner yang membuat khalayaknya terhenyak dengan cara uniknya di warungnya, kata Nurul Diva, dari lokasi produksi di Surabaya pada 27 Juli 2019. Simak keunikannya di saluran Uniicoms TV.

Reading Time: 2 minutes

“After this we will try other unique and extraordinary culinary of Surabaya, come on follow us,” said Annisa Putri Jiani and Nurul Diva Kautsar, host of Rasa-Rasa Program, a new program from Uniicoms TV, an online TV at the Universitas Islam Indonesia. Those persuasive sentences that are now everyday are always repeated repeatedly in the Uniicoms TV editing studio at Communication Science Department. The plan is, this show will be launched on Channel Uniicoms TV to welcomes new students. At present, Uniicoms TV is managed by the Communication Science Department Laboratory which is staffed by Communication Science Department teams, volunteers, and young, creative, energetic crews.

The average crew and activists are young people who have a variety of typical millennial ideas. But the difference is, young people at Uniicoms TV are not just millennial, popular, and young, but have a noble vision in each of their creative serving: empowering and inspiring. Yes, together to be empowered and inspiring. So naturally any program that is produced is the creation that invites the audience to be empowered and inspire.

Although culinary shows like this are already popular and many, Nurul Diva, Uniicoms TV’s Digital Public Relations, believes the culinary model nowadays is strong with a noble mission: empowering and inspiring. Nurul, who is also the presenter of the culinary program, said Uniicoms TV invites young people not to forget their cultural roots and traditions through a culinary program called “Rasa-Rasa”. According to him, it is time for an alternative TV program, in the midst of the spread of TV shows that do not educate, which also maintain traditional cultural heritage in today’s young generation. “In my view, the unique thing about eating here is that young man are few,” Nurul said, explaining the food stalls visited on the program.

On the occasion of this first episode, the Uniicoms TV Team brought up unique and unusual culinary in Surabaya such as Lontong Race with lentho, Rawon Pak Gendut, to Rawon Calculator. Rawon calculator, for example, is one of the culinary attractions that makes its audience stunned by its unique way in its warung, said Nurul Diva, from a production location in Surabaya on July 27, 2019. Check out its uniqueness on the Uniicoms Online TV channel.

 

Reading Time: 2 minutes

Jika anda merasa bosan dengan tayangan televisi yang kurang mendidik, maka sudah saatnya mencoba beralih ke saluran TV daring Uniicoms TV. Kini Uniicoms TV akan meluncurkan tayangan baru khas anak mudanya yang diproduksi oleh kru dari beragam program studi di Universitas Islam Indonesia. Setelah sukses dengan ribuan view Web Series-nya Ramadhan lalu, Uniicoms TV coba memproduksi program acara yang diberi tajuk: ‘Mata Lensa’.

Mata Lensa adalah program dengan konsep anak muda yang dipandu oleh Host yang melakukan perjalanan lengkap dengan kamera untuk mengabadikan momen yang ditemuinya. Tayangan Mata Lensa selain edukatif, juga menghibur karena dikemas dengan segar, khas anak muda, dan lokasi perjalanan yang dipilih adalah lokasi-lokasi yang punya nilai edukasi, pemberdayaan, dan inspirasi, kata Nurul Diva, Digital Public Relation Uniicoms TV, pada Juni lalu.

Program pada episode pertama ini mengajak kamu penonton muda untuk menyelami seluk beluk festival yang terhitung sangat lawas di Yogyakarta. Ya festival kuna itu adalah Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) yang selalu dihelat tahunan sejak 1989. Tak banyak yang tahu jika festival yang dirindukan orang yang pernah dan hidup di Yogyakarta ini dilaksanakan bersamaan dengan peresmian proyek orde Soeharto yaitu Monumen Jogja Kembali. Uniicoms TV membawa penontonnya ikut hadir menyelami festival kuna rasa baru ini di pertengahan 2019. Mata Lensa menyajikan seluk beluk kebudayaan khas Yogyakarta dengan perspektif anak muda.

Bagi penikmat lawas FKY, jangan heran jika pada sajian program episode pertama ini menemui kejanggalan. Pasalnya, tahun ini FKY berubah nama. Sebelumnya, ‘K’ pada singkatan FKY adalah ‘Kesenian’, sedangkan sejak 2019 berubah menjadi ‘Kebudayaan’ yang tentu saja cakupannya menjadi lebih luas, tak sekadar perhelatan seni, tapi seluruh tujuh unsur budaya: nilai-nilai pengetahuan & teknologi, benda, budaya, seni, adat, bahasa, dan yang kini sudah banyak digerus era digital: tradisi luhur.

Sebagai indentitas budaya dan seni di Yogyakarta, FKY tak bisa dilepaskan dari kolaborasi seniman, relawan, masyarakat, dan beragam industri kreatif lokal di Yogyakarta. Apalagi FKY tahun ini mengusung tema ‘Mulanira’ yang berarti permulaan sebuah kreasi dalam balutan ruang, ragam, dan interaksi, semakin jelas menguatkan Yogya sebagai identitas Yogya sebagai pusat kebudayaan nasional.

Selain mengambil momen puncak FKY 2019, produksi program ini secara teknis juga memanfaatkan kesempatan sebelum kru-kru Uniicoms TV berhadapan dengan Ujian Akhir Semester, kata Nurul Diva yang pada kesempatan kali ini sebagai pengarah program. Uniicoms TV sebagai TV yang berbasis kampus dan diisi kru mahasiswa yang tidak hanya terdiri dari Prodi Ilmu Komunikasi UII ini pastinya harus memertimbangkan faktor-faktor akademik juga. Meski begitu, sebagai sebuah kawan candradimuka, Uniicoms TV berharap program ini punya misi akan menjadi sebuah ajang mengasah kepekaan seni dengan: olah karya dan olah rasa yang memberdaya dan menginspirasi mahasiswa dan niscaya: seluruh sivitas akademika UII. Tonton Mata Lensa di saluran TV daring – Uniicoms TV.