Tag Archive for: Media

Ask the Expert: Opini Bisa kena Pasal? Ancaman Nyata di Balik Revisi UU TNI

Ramai-ramai penolakan revisi UU TNI terus bergulir. Teranyar, deretan media nasional melaporkan beberapa mahasiswa meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hasil revisinya.

Laporan dari Tempo tentang Aktor, Modus, dan Motif Revisi Undang-Undang TNI pada 23 Maret 2025 menyebut jika Presiden RI, Prabowo Subianto telah lama (sejak 2023 sebelum menjabat Menteri Pertahanan) ingin merombak UU TNI dengan tujuan memperluas peran tentara.

Masyarakat khawatir UU TNI kembali seperti Orde Baru soal dwifungsi ABRI. Sementara motif pokok revisi UU TNI adalah perbaikan pertahanan. Beberapa perubahan antara lain penambahan bidang operasi militer selain perang, penambahan jabatan sipil oleh TNI aktif, dan perpanjangan batas pensiun.

Ketakutan lain tentu soal lumpuhnya demokrasi, kewenangan TNI tentu akan mengancam kebebasan publik dalam menyuarakan opini dan kritik termasuk di ruang digital. Dalam sesi Ask the Expert, gagasan menarik terkait Opini Bisa kena Pasal? Ancaman Nyata di Balik Revisi UU TNI dibahas oleh salah satu dosen Ilmu Komunikasi UII yakni Puji Rianto, S.IP., M.A yang mendalami kajian Regulasi dan Kebijakan Media – Kajian Khalayak.

Opini Bisa kena Pasal? Ancaman Nyata di Balik Revisi UU TNI

  1. Apa sebenarnya yang berubah dari UU TNI dari sebelumnya?

Concern itu kan salah satunya adalah perluasan peran TNI atau dalam konteks undang-undang itu adalah lembaga-lembaga yang bisa diduduki oleh TNI. Yang ini menimbulkan keresahan di kalangan sipil karena dikhawatirkan kembali ke era Orde Baru, kembalinya ke dwifungsi ABRI.

  1. Lantas jika demikian, apa dampaknya terhadap masyarakat khususnya kebebasan beropini di ruang publik termasuk media digital?

Dampak sesungguhnya dari undang-undang ini masih harus diuji, karena undang-undang ini kan masih pada tahap disahkan.

Sebetulnya bukan pada undang-undangnya. tetapi mental TNI di dalam menghormati hak-hak sipil warga negara, terutama di bidang komunikasi itu yang penting. Kecenderungannya sebetulnya ada undang-undang atau tidak, spirit otoritarianisme itu pelan-pelan mulai kembali. Jadi ada undang-undang atau tidak undang-undang, kalau kultur otoritarian ini kembali itu buruk bagi demokrasi.

  1. Apakah opini kritis terhadap lembaga negara, termasuk TNI, masih bisa dianggap sebagai bagian dari komunikasi politik yang sehat di masyarakat?

Ini saya kritik saya terhadap seluruh pejabat yang mengatakan demokrasi itu gaduh. Segala sesuatu itu harus diperdebatkan dengan menggunakan rasio (rasionalitas). Karena dengan perdebatan rasio itulah kita akan menemukan cara yang paling bagus. Karena kalau kita berdebat secara rasional itu pasti gaduh. Karena setiap orang punya perspektif, punya pendekatan.

Nanti kita akan menemukan pada akhirnya argumen mana yang paling masuk akal, argumen mana yang paling kuat Itulah yang kemudian kita akan ambil. Tanpa ada adu argument maka kebijakan itu akan diambil oleh satu kelompok atau satu pihak.

Di dalam masyarakat yang sangat plural dan komplek itu tidak bagus. Oleh karena itu, di dalam masyarakat itu harus ada perdebatan. Nah, oleh karena itu, concern kita sebetulnya adalah pada apakah ruang publik ini, public sphere itu masih tetap dijaga. Hampir semua penelitian tentang demokrasi di Indonesia dan demokrasi di lingkup global memang mengalami penurunan.

Mungkin di Indonesia penurunan jauh lebih cepat. karena apa? Institusionalisasi demokrasinya bermasalah.

Jadi kita

Misalnya, lolosnya KUHP yang punya potensi untuk melanggar kontitusi karena mengambat kebebasan perpendapat warga negara. Undang-undang ITE yang sudah sangat lama, meskipun kemudian direvisi tetapi tetap saja spiritnya Punya potensi untuk membungkam kebebasan perpendapat.

  1. Dalam ilmu komunikasi, kita belajar soal framing dan agenda setting. Apakah UU ini bisa memengaruhi cara media membingkai isu-isu terkait TNI?

Kalau revisi undang-undang itu kemudian dimaknai oleh TNI untuk masuk terlalu jauh dalam kehidupan sipil demokrasi, masuk ke kampus, menekan kampus-kampus, baik kerjasamanya lebih luas dengan tentara, maka, kekhawatiran bahwa dia akan menciptakan cara orang berkomunikasi, cara orang membingkai, iya, jelas itu. Karena akan menimbulkan efek ketakutan.

Di dalam militer dan masyarakat sipil, kultur di dalam militer itu kan sebenarnya kontradiksi interminis dengan demokrasi. Kalau kultur militer masuk ke sipil, tidak bagus. Apalagi dalam satu masyarakat yang komplek, yang segala sesuatu harus diperdebakan secara rasional, secara demokratis, di mana segala macam perspektif bisa muncul di situ, maka kultur TNI yang komando itu tidak kompatibel dengan sipil, apalagi di dalam masyarakat kampus. Yang mensyaratkan kebebasan akademik.

  1. Bagaimana mahasiswa komunikasi bisa tetap vokal dan kritis tanpa harus takut terkena pasal, terutama ketika menyampaikan opini di ruang digital?

Pertama ketika kita beropini di ruang digital, maka kita akan perhatikan aturan di ruang digital. Salah satunya adalah undang-undang ITI, informasi dan transaksi elektronik. Dan ini sudah banyak korbanya, ya kan? Terutama kasus-kasus pencemaran nama baik.

Saran saya kepada mahasiswa, Pertama adalah mahasiswa itu wajib kritis karena anda punya kemerdekaan berfikir.

Kedua adalah, sampaikan fakta, sampaikan data. Kalau anda menyampaikan fakta dan data, maka kecil kemungkinan bahwa anda akan kena undang-undang ITI. Anda tidak akan dituduh menyebarkan hoax, menyebarkan misinformasi atau disinformasi. Kalau nanti ada orang menuduh anda melakukan misinformasi sementara anda menyebarkan data atau menyampaikan fakta, menyampaikan informasi yang benar, faktual, tinggal diuji di pengadilan. Siapa yang berbohong.

Lalu yang ketiga, selalu mengupdate ilmu pengetahuan. karena data kita baca dengan ilmu pengetahuan. dengan melakukan ini, insyaallah, mahasiswa itu akan tetap bisa kritis.

Itulah gagasan terkait RUU TNI, bagaimana pendapatmu Comms?

AWG

It was recorded that throughout 2024 the number of reports of sexual violence cases collected by the Ministry of PPPA reached 23,294 cases. Of these, women are the most victims with a percentage reaching 86 per cent. (Data up to 20 November 2024)

Ironically, gender-based violence does not stop at that issue. The media has a big role, one of which is by publishing articles whose language actually complicates and normalizes gender-based violence (GBV).

Numbers and facts cannot be underestimated, to respond to gender-based violence (GBV) the International Program Communication (IPC) held The5th Annual Workshop on Globalization 2024 which took the topic Voices for Change ‘Media’s Role in Ending Gender-Based Violence’ on 19 November 2024 at Main Library UII.

This topic explores the intersection of globalization, feminism, and media in shaping gender-based violence (GBV) and its impact on women’s empowerment.

How Media’s Role in Ending Gender-based Violence?

Interestingly, this workshop did not only present perspectives from women’s voices, but also from men’s voices. The three speakers presented included Dr. Katrin Bandel (Faculty member of the Department of Cultural Studies, Sanata Dharma University, International Scholar with expertise in media and gender studies), Indiah Wahyu Andari (Director of Rifka Annisa Women’s Crisis Center, a gender specialist with expertise in gender-based violence), and Iwan Awaluddin Yuyuf, Ph.D. (Faculty member of the Department of Communications, Universitas Islam Indonesia, an expert on media and gender studies).

Dr. Katrin Bandel delivered a presentation on ‘Sexual Violence Narratives in the Mass Media and in Fiction’. She explained how the narratives in the media are more likely to tell things that do not consider the trauma of victims to be unbalanced.

Sexual violence is an experience that ruins the victim’s life, it is also tough to tell. However, at the same time, the media actually makes news that explores the profile of the perpetrator and compares his condition with the victim. Until the public is led to sympathize with the future of the perpetrator if they receive severe punishment.

“But even therapeutic or feminist narratives can become problematic, if they are normalized, so that a rape victim not fitting into the narrative feels marginalized and not represented,” she said.

In addition, rape culture normalizes rape and sexual violence through the assumption that it is normal for men to be very aggressive and unable to control their desires. Unfortunately, another habit is victim blaming for the victim’s appearance, accusing the victim as a provocateur for the perpetrator’s actions.

This statement is supported by research conducted by Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D, the media in Indonesia in publishing GBV news often journalists use titles that are not in accordance with the context.

‘The problem starts with the use of words. Double victimization’ he said.

In the context of sexual violence against child victims, the choice of words that should use the phrase ‘rape and sexual abuse’ instead chooses ‘planning sex’. In the choice of words, children who should be positioned as victims instead seem to be sexual subjects.

By giving various examples of inappropriate word choice, he said that the position of journalists as important figures in the media should be a fair figure.

‘Journalists as mindful users of language, fix the misused word,’ he said again.

Indiah Wahyu Andari, a professional who has been helping GBV victims for years, said that the role of the media is very large. One of them is through GBV preventive campaigns.

She shared three stages of prevention, first primary prevention which refers to activities to do before sexual violence occurs through stopping conditions that support sexual violence and promoting positive behaviors to prevent sexual violence.

Then there is secondary prevention, which is the immediate response after sexual violence occurs to prevent and address both short-term and long-term impacts on victims through things like reporting, case handling, and recovery.

Finally, tertiary prevention is activities to prevent the recurrence of violence. Building structures, norms, and social practices that prevent the risk of recurrence of violence.

The hope is that the workshop will be able to offer a global perspective. The dual role of the media in perpetuating and overcoming violence against women, and the important role of feminist activism in shaping media narratives and promoting women’s empowerment.

Pagar api jurnalisme

Idealnya kegiatan jurnalistik harus terpisah dengan persoalan bisnis. Peran jurnalis menjadi menjadi faktor terbesar dalam sebuah produk jurnlistik yang disampaikan kepada publik. Sayangnya, pagar api jurnalistik (firewall) telah runtuh dari dalam.

Catatan dari Nanang Krisdinanto, dosen Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) dalam bukunya yang berjudul Runtuh dari Dalam, Serangan Komersialisasi terhadap Pagar Api jurnalistik di Indonesia menjadi topik diskusi yang dihelat oleh Program Studi Ilmu Komunikasi UII bersama Sekolah Jurnalisme SK Trimurti, dan AJI Yogyakarta pada 4 November 2024 di UII.

Prof. Masduki, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII membuka diskusi dengan melontarkan pernyataan terkait bagaimana jurnalis bekerja dalam memproduksi berita.

“Harus free from economy interest, bebas dari persoalan bisnis. Dilema di antara profesional jurnalis, pimred, editor,” ujarnya.

“Jurnalis itu manusia biasa yang dipengaruhi banyak faktor di dalam dia bekerja (status kerja, gaji yang diterima, struktur lingkungan redaksi) mempengaruhi sebuah berita yang dia tulis.” Tambahnya lagi.

Pagar Api yang telah Runtuh

Nanang Krisdinanto sebagai penulis memaparkan hasil penemuannya bahwa ruang lingkup jurnalistik tak memiliki batasan konkret akibat kondisi ekonomi dan politik.

“Apa yang saya cemaskan sampai hari ini tidak menunjukkan gejala menurun tapi semakin meningkat eskalasinya. Sehingga pada akhir buku ini kesimpulannya adalah, bisnis media itu memang hidup di Indonesia tapi yang saya khawatirkan jurnalismenya mungkin sudah mati atau bahkan terancam mati,” ungkapnya.

“Garis pagar api antara redaksi dan bisnis sudah tidak dihormati lagi,” tambahnya.

Praktik-praktik penerabasan pagar api sebenarnya telah terjadi sejak tahun 90an, namun hal ini semakin parah selama masa pandemi Covid-19, semua bisnis semakin sulit termasuk pendapatan media dan iklan. Kondisi tersebut berakibat pada berita yang dihasilkan oleh jurnalis. Melalui berbagai proses di ruang redaksi yang sedemikian dimanipulative karena berbagai kepentingan (iklan).

“Itu tidak hanya disumbang dari kekuatan besar di luar (ekonomi dan politik) tapi juga dari dalam dari para jurnalis itu sendiri yang mengalami perubahan signifikan dalam cara mereka memandang jurnalisme,” jelasnya.

Temuan tersebut diamini oleh Nugroho Nurcahyo, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Jogja yang turut menjadi pembicara. Bergelut dengan industri media lokal, ia mengungkap bobroknya ruang redaksi yang telah kaburnya batasan berita dan advertorial.

“Omong kosong kalau orang bilang 80 persen media itu hidup dari iklan. Dan yang dibayangkan iklan display misal satu iklan satu halaman itu hampir tidak mungkin dilakukan. Dari perusahaan media komunikasi yang meminta untuk advertorial itu pagar apinya mungkin konten promosi, ada juga yang dikode adv itu enggak cukup bagi mereka,” jelasnya.

“Mereka inginnya ini menjadi konten berita yang belakangan hari disebut brand content. Sialnya kalau di daerah, media belum dipercaya oleh privat sector mereka masih pakai konsultan media di Jakarta dan placementnya di media-media nasional dan banyak media nasional sudah berekspansi di sini mencari ekosistem bisnis yang lebih visible dalam tanda kutip bisa membayar SDM lebih rendah dengan kualitas yang sama di ibu kota,” tandasnya.

Fakta-fakta yang dikemukakan oleh Nugroho Nurcahyo menegaskan bahwa selain runtuhnya pagar api dari dalam, juga persaingan bisnis media tidak imbang antara media lokal dan nasional.

Buku yang diterbitkan Marjin Kiri tersebut membahas detail bagaimana pagar api jurnalistik sebagai salah satu filosofi dasar jurnalisme atau sekat yang membatasi redaksi dan bisnis demi menjaga independensi atau objektivitas praktik jurnalisme tengah diruntuhkan secara terang-terangan oleh desakan komersialisasi dalam industri media massa.

International conference

Salah satu mahasiswa International Program (IP) Ilmu Komunikasi UII, Muhammad Fathurrahman Prima Sakti telah bergabung pada forum internasional bertajuk International Youth Inclusive Symposium and Leadership Camp (IYISLC) 2024, di Kuala Lumpur, Malaysia pada 29 Agustus hingga 1 September 2024.

Perhelatan IYISLC 2024 mengambil tema Space for All: Promoting Inclusive Youth Leadership, dalam kesempatan tersebut Sakti menyampaikan risetnya terkait gender dalam media di Indonesia ‘Analysis of Gender Equality in The Perspective of Javanese Culture at Kedaulatan Rakyat and Harian Jogja’.

Kesetaraan gender dan inklusi sosial di Indonesia dalam riset tersebut disuarakan agar mampu memberikan pemahaman yang lebih luas. Sementara hasil diskusi nantinya akan menghasilkan pemikiran bahkan kebijakan yang inovatif dalam mengentaskan persoalan-persoalan yang terjadi.

“Menuntaskan problem representasi merupakan perjalanan panjang yang perlu dilakukan dengan pendekatan interdisipliner yang holistik. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman komprehensif terkait fenomena sosial yang kompleks, membantu proses identifikasi akar masalah, dan menghadirkan solusi yang inovatif. Dalam upaya ini, partisipasi intelektual muda amat diperlukan,” ujar Sakti.

Forum internasional tersebut diikuti oleh pemuda anggota ASEAN dengan segmentasi usia 15-25 tahun yang tertarik dalam bidang riset, pendidikan, pengabdian masyarakat, dan kebijakan publik.

Tak hanya mendiskusikan hasil risetnya, para delegasi mengikuti berbagai rangkaian kegiatan mulai dari coaching clinik, focus group discussion, hingga terjun langsung dalam kegiatan pengabdian masyarakat di Sekolah Lingkungan – Refugee Camp Kuala Lumpur.

Pengalamannya dalam forum internasional memberikan banyak insight, selain bertemu teman baru dan menjalin relasi dari berbagai negara, ia juga mendapat perspektif yang luas dan segar.

Sebagai pemuda Sakti juga memberikan pesan sederhana untuk teman-teman lainnya, terkait bagaimana mengtaskan tanggung jawab serta bagaimana mengambil peluang.

“Finished what you already started. So, start it right now and grab what you want,” pungkasnya.

Nico Carpentier, Hubungan Media dengan Demokrasi hingga ‘Political Struggle’

Nico Carpentier merupakan Extraordinary Professor dari Charles University yang ditunjuk menjadi keynote speaker dalam perhelatan The 7th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS) 2024 dalam tema Hybrid pada 28 Agustus 2024 di Auditorium FPSB UII.

Pada kesempatan itu Nico menjelaskan bagaimana hubungan media dengan demokrasi yang menjadi perjuangan politik atau political strunggle. Materi tersebut dipaparkan sesuai dengan konteks hybrid pada 7th CCCMS 2024.

“What I wanted to talk about is very much in line with the main theme of the conference, hybridity. Although I might once in a while translate it as a discussion on contingency, which is for me, quite close to the logics of hybridity,” ujar Nico membuka presentasinya.

(“Apa yang ingin saya bicarakan sangat sesuai dengan tema utama konferensi ini, yaitu hibriditas. Meskipun sesekali saya mungkin akan menerjemahkannya sebagai diskusi tentang kontingensi, yang bagi saya cukup dekat dengan logika hibriditas,”)

Baginya, demokrasi dalam konteks hybrid merupakan kontruksi sosial yang selalu mengikuti kondisi politik dan budaya suatu negara. Sementara, media memiliki peran ganda. Mulai dari ruang untuk menegosiasikan hingga perdebatan bagi elit politik, kritik masyarakat dan media itu sendiri, namun juga menjadi kekuatan perjuangan politik.

“And I will come back to the 2011 book, rest assured, but this is important for me. But I will also start by talking a bit about the discursive material, because that theoretical model, that (ontology?) will allow me to put emphasis on the role of hybridity and contingency. It’s actually a main theoretical framework that I can use to emphasize the importance of hybridity and contingency, together with, and that’s also in the title, the notion of political struggle. Because I would like to emphasize that when we start thinking about the relationship of media and democracy, we need to think about this issue from the perspective of political struggle,” tambahnya.

(“Dan saya akan kembali ke buku tahun 2011, yakinlah, tapi ini penting bagi saya. Tetapi saya juga akan memulai dengan berbicara sedikit tentang materi diskursif, karena model teoritis itu, (ontologi?) akan memungkinkan saya untuk menekankan peran hibriditas dan kontingensi. Itu sebenarnya adalah kerangka teori utama yang dapat saya gunakan untuk menekankan pentingnya hibriditas dan kontingensi, bersama dengan, dan itu juga ada di dalam judul, gagasan tentang perjuangan politik. Karena saya ingin menekankan bahwa ketika kita mulai berpikir tentang hubungan media dan demokrasi, kita perlu memikirkan masalah ini dari perspektif perjuangan politik,”)

Dalam perjuangan politik, peran berbagai pihak bisa jadi sangat besar, berbahaya, dan tak terduga. Jika elit politik bisa saja mengendalikan peran media, peran masyarakat juga demikian.

“In many cases, high level of democracy being more ethical, high citizen participation even high dangerous in some cases,” ungkapnya.

(“Dalam banyak kasus, tingkat demokrasi yang tinggi menjadi lebih etis, partisipasi warga yang tinggi bahkan berbahaya dalam beberapa kasus,”)

Fenomena tersebut kerap terjadi dalam dunia politik di Indonesia terutama, maka sudah selayaknya jurnalis bekerja atas dasar kebenaran. Bukan ikut turut sebagai buzzer politik untuk melanggengkan salah satu pihak yang ingn berkuasa.

“The journalists have power on it. But we have to point it that we ask them (journalists) not as journalist but deeply for community responsibilities,” tegasnya.

(“Para jurnalis memiliki kekuatan di dalamnya. Namun kami harus menekankan bahwa kami meminta mereka (jurnalis) bukan sebagai jurnalis, tetapi lebih kepada tanggung jawab kepada masyarakat,”)

Nico mengaku sangat bersyukur hadir dalam 7th CCCMS 2024 karena akan mendapatkan berbagai perspektif dan insight dari para presenter yang hadir dari berbagai negara.

“My pleasure to be able to listen to you. Because that’s obviously what conferences are about, is to create dialogues between many different voices. And it’s good to hear that people from many different countries have been, so thanks for making this possible,” ujaranya dalam sesi perkenalan.

(“Senang sekali bisa mendengarkan Anda. Karena memang itulah tujuan dari konferensi ini, yaitu untuk menciptakan dialog di antara banyak suara yang berbeda. Dan senang mendengar bahwa orang-orang dari berbagai negara telah hadir, jadi terima kasih karena telah membuat hal ini menjadi mungkin,”)

Penulis: Meigitaria Sanita

Pidato pengukuhan

Berbagai gagasan disampaikan oleh Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., MA dalam rapat terbuka pengukuhan jabatan tertinggi “Profesor” pada 25 Juni 2024 di Auditorium Kahar Mudzakir UII, Yogyakarta. Pidatonya bertajuk Kebebasan Akademik dan Resiliensi Otoritarianisme di Indonesia mengungkap banyak fenomena tak ideal dalam dunia akademik.

Beliau merupakan profesor bidang Ilmu Media dan Jurnalisme yang telah menerima gelar Guru Besar pada September tahun lalu. Riset-risetnya soal jurnalisme, demokrasi, hingga kebijakan dikemas dalam pidato 30 menit.

Secara umum pidato pengukuhan profesor hari itu menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait, mengapa perguruan tinggi absen dalam advokasi pelanggaran HAM? Siapa sejatinya akademisi? Serta apa makna perguruan tinggi dalam kehidupan sosial yang mengarah pada kerja-kerja kepublikan?

Toxic University

Kalimat toxic university menjadi bagian awal yang menggambarkan bentuk tak ideal dalam kerja dan fungsi perguruan tinggi di Indonesia. Kata tersebut mengindikasikan soal lingkungan tak sehat yang merugikan.

Toxic university terjadi karena fenomena resiliensi otoritarianisme, salah satu buku yang cukup provokatif ditulis oleh Mary Evans berjudul Killing Thingking, dilanjutkan penulis Peter Fleming yang menulis Dark Academia. Sementara yang cukup fenomenal adalah riset berjudul Educated acquiescence: how academia sustains authoritarianism in China.

“Bagaimana (pembahasan riset) sebetulnya para akdemisi yang harusnya menjadi agen pencerahan untuk pemberdayaan justru menjadi bagian yang melestarikan otoritarianisme politik,” ucap Prof. Masduki.

Salah satu contoh yang sangat eksplisit terjadi misalnya bagaimana konferensi komunikasi menjadi ruang ekonomi dan politik bukan kepentingan akademik. Studi-studi komunikasi di Indonesia mengalami dark academia, mengalami jalur kgelapan.

Contoh lain dari toxic university adalah persaingan melalui segi kuantitas terkait rangking hingga publikasi tertentu yang berdampak pada remunisasi dalam setiap kerjanya.

“Universitas mengalami toxic university orang-orang di dalamnya dan para pemimpinnya mengalami zombie leadership jadi fisiknya ada tapi jiwanya nyaris tidak ada. Jadi ada badan yang bergerak tanpa rasionalitas. Sementara para dosen digambarkan sebagai academic rockstar, jadi biasanya dipuja-puja karena punya ranking-ranking tertentu. sekarang ada perlombaan indeks scopusnya berapa kemudian remunisasi yang dilihat angka-angka membuat orang seperti rockstar penyanyi suara keras tapi menghibur saja tapi tidak punya makna-makna yang lebih relate dengan kehidupan sosial yang lebih holistic,” jelasnya.

Resiliensi Otoritarianisme dan Kondisi struktural

Indonesia sebagai negara yang sempat mengimani sistem otoriter telah menganut sistem demokrasi. Sayangnya praktinya tak cukup melegakan. Salah satu tuntutan bersikap netral kepada dosen-dosen berstatus PNS justru langkahnya dalam sosial advokasi terkungkung.

“Apalagi dosen yang pegawai negeri (Status PNS) harus memiliki kepatuhan punya netralitas tapi itu artinya bukan berada netral tapi menjaga jarak dengan penyintas atau korban-korban,” jelasnya.

Selain kondisi tersebut, beban administrasi yang dibebankan membuat para akademisi absen dari berbagai peran kemanusiaan.

“Perguruan tinggi academia boro-boro memperhatikan isu pelanggaran HAM justru kita mengalami penyibukan luar biasa untuk urusan-urusan domestic pelaporan-pelaporan sebagaianya,” tambahnya.

Ditambah kebijakan dan regulasi yang diterapkan cenderung berujung ketidakpastian. Demokrasi di Indonesia seolah menjadi bingkai hibrida neoliberal. Artinya pendidikan tinggi bermula dari kebijakan semi publik disertai kontrol birokrasi yang terpusat di Kementerian.

“Sebenarnya membonceng kebijakan-kebijakan neoliberalisasi perguruan tinggi belakangan ini. perubahan menjadi BHMN ada perubahan kontraktual menjadi dosen yang tadinya tetap menjadi musiman dan sekarang ini yang paling rumit tidak ada yang tahu kapan kita bisa menjadi guru besar, kapan kita bisa naik Lektor Kepala karena ada kondisi peraturan jabatan fungsional bisa berubah setiap dua tahun dan menimbulkan ketidakpastian terhadap karier akademik dosen (fenomena neoliberalisasi),” tambahnya.

Akibatnya penyeragaman terhadap budaya kerja dilakukan demi menjaga stabilitas politik penguasa. Dosen dipaksa melakukan tumpukan kerja domestik administratif.

“Dibalik ini semua ada politik otoriter yang tumbuh subur menjaga engineering stability. Menjaga stabilitas politik otoriter dengan menjadikan perguruan tingginya menganut pola kerja-kerja liberal. Rangkingnya tinggi, dosennya sibuk melakukan tugas-tugas domestik.” tambahnya.

Jika di Indonesia akademisi ruang geraknya terbatas, berbeda dengan akademisi di Amerika dan Eropa Utara. Belakangan akademisi di negara tersebut megkampanyekan pelanggaran HAM dan genosida di Palestina walaupun mereka direpresi secara digital tapi berani menyuarakan ini ada masalah human rights secara global.

“Akademisi Di Indonesia tidak ada yang memperhatikan ini karena kita disibukkan oleh persoalan domestik,” pungkasnya.

Kebebasan Akademik

Perguruan tinggi idealnya menjadi ruang yang otonom dan progresif untuk melawan sistem kekuasaan yang tidak sehat. Alih-alih mewujudkan hal tersebut, pemaknaan kebebasan akademik di Indonesia masih cukup rumit.

Setidaknya ada tiga pemaknaan akademik yang menimbulkan masalah. Pertama sciencetific freedom yakni dosen bebas mengajar, meneliti, dan publikasi kemudian melaporkan secara administratif.

“Dalam bahasa lain dosen adalah birokrat (mengerjakan tugas dan melaporkan),” ujarnya.

Makna kedua adalah kebebasan akademik dengan perspektif utilitarian pragmatic. Artinya dosen harus bebas mengajar, meneliti, namun harus fokus menyiapkan lulusan atau mahasiswa yang siap kerja.

Terakhir, sebagai perspektif kepublikan atau demokrasi, tugas akademisi sejatinya memfasilitasi persoalan sosial ekonomi politik. Akademisi dan universitas adalah rujukan moral warga negara.

“Yang menjadi problem adalah pemaknaan atas kebebasan akademik terutama di Indonesia berhenti di kategori satu dan dua. Direduksi menjadi kebebsan otonomi akademik dalam mengembangkan IPTEK dosen bebas tapi harus bertanggung jawab. Mayoritas memahami kebebasan akdemik sebagai kebebasan scientific bukan yang bervisi kepublikan, implikasinya ketika ada represi negara terhadap akademisi untuk berbicara diluar kewenangannya itu dianggap tidak masalah itu tidak masuk dalam kebebasan akademik,” ucap Prof. Masduki.

Sementara pada jurusan Ilmu Komunikasi di Indonesia justru fokus pada tingkat pemaknaan kedua, dan minim ilmu yang memberdayakan.

“Ilmu yang diarahkan murni scientific dan belakangan diarahkan ke utilitarian tapi tidak diarahkan sebagai ilmu yang memberdayakan alumninya memberikan otonomi alumninya. Aktivis kebebasn pers jarang dari lulusan Ilmu Komunikasi. Komunikasi selalu berhubungan dengan kuasa, era kolonialisme sebagai propaganda, era pembangunan Soeharto sama, sekarang Ilmu Komunikasi sebagai agen propaganda bisnis platform digital,” ujarnya lagi.

Catatan Rekomendasi

Setidaknya ada tiga catatan rekomendasi dalam menanggapi persoalan tersebut antara lain:

“Pertama perlu otoritas pendidikan, kemeterian baik institusi dibawahnya untuk berupaya keras mengembalikan Haluan pendidikan kita supaya sesuai dengan konstitusi agar mencerdaskan kehidupan bangsa bukan justru membodohkan.”

“Kedua, akademisi perlu menjaga kewarasan jangan sampai menjadi intelektual yang berkolaborasi tanpa kritik dengan pihak yang selama ini melakukan represi. Perguruan tinggi perlu segera meninjau berbagai standar penyelenggaraan kebebasn akademik. Banyak yang buat tapi tidak ada yang demokrasi.”

“Terakhir, kita perlu satu gerakan global (global movement) karena ada terminologi yang disebut the suistanibility of academic life. Perlu ada keberlanjutan kehidupan akademik yang sehat yang diawali kesadaran bahwa (foucalt) pengetahuan diciplinary power discourse bahwa pengetahuan akademi perguruan tinggi itu bukan sebagai alat untuk penundukan kritisisme politik. Dia bukan hanya homoeconomicus tapi homo ploticus yang kritis dan otonom.”

Televisi

Menunggu waktu buka puasa masyarakat Indonesia kerap mengisinya dengan berbagai kegiatan. Ada yang mengisinya dengan beribadah, memasak, jalan-jalan mencari takjil, hingga berdiam diri di rumah sambil menikmati berbagai tontonan spesial Ramadan.

Meski banyak media yang dapat diakses, ternyata televisi menjadi platform favorit yang dipilih masyarakat Indonesia untuk menemani buka puasa. Data yang publikasikan oleh Katadata Insight Center (KIC) presentasenya mencapai 47,1%.

Presentase tersebut mengalahkan YouTube yang menempati posisi kedua yakni 27%, disusul Radio dengan presentase 6%, layanan streaming berbayar seperti Netflix atau Disney+ sebesar 5,5%, dan terakhir Spotify sebanyak 1%, sementara 13,4% lainnya tak menyebutkan.

Data tersebut merujuk pada responden di Pulau Jawa (selain Jakarta) 63,8%, Jakarta 15,7%, Sumatra 10,4%, dan Sulawei, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua di rentang 0,3% hingga 4,3%. Data diambil pada 24-31 Maret 2023 dengan metode computer web interviewing (CAWI) dengan margin of error 4% dan tingkat kepercayaab 95%.

Tayangan TV Masih jadi Favorit di Bulan Ramadan

Hampir seluruh stasiun televisi memproduksi tayangan spesial di bulan Ramadan. Perayaan Ramadan semakin terasa dengan tagline yang ditayangkan secara berkala, sebut saja Indosiar yang mengusung “Ramadan Penuh Berkah” dan RCTI mengusung tagline “Keberkahan Ramadan”.

Dominasi tagline tersebut membuat para penonton begitu dekat dan merasa terbawa dengan suasana Ramadan. Selain itu, televisi sebagai media informasi memiliki sifat yang bisa dinikmati sembari melakukan aktivitas lainnya. Hal tersebut diungkap oleh dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Ida Nuraini Dewi Kodrat Ningsih, S.I.Kom., M.A. dalam risetnya ditemukan bahwa ibu-ibu rumah tangga tetap menyalakan televisi sembari melakukan aktivitas rumah tangga.

Dalam konteks tayangan spesial Ramadan, beberapa program tetap mampu diakses secara audio sembari melakukan kegiatan buka puasa. Dengan tayangan bertema Ramadan akan menambah kehangatan bulan suci.

“Televisi media yang bisa dilakukan dengan multitasking, bisa dinikmati audio visual maupun audio saja. Dalam tayangan spesial Ramadan kemungkinan orang-orang yang sedang buka puasa menikmati tayangan spesial Ramadan lebih ke audio,” ujarnya.

“Sementara kalau YouTube itu kan lebih harus kita manage sendiri,” tambahnya.

Dominasi Tayangan Ramadan di Televisi

Dominasi tayangan spesial Ramadan selama sebulan tak luput dari pantauan Majelis Ulama Indonesia. Melansir dari laman Antara, Ketua Infokom MUI, Mabroer menyebutkan jika tayangan televisi spesial Ramadan harus memberikan spirit dan pesan moral agama yang mencerahkan.

“Semua program televisi yang tayang pada bulan suci Ramadhan ini harus memberikan spirit dan juga pesan moral agama yang sifatnya mencerahkan. Dari yang belum tahu menjadi tahu, yang sudah tahu menjadi semakin kuat pengetahuannya,” ujarnya pada laman Antara.

Pemantauan ini telah dilakukan MUI sejak tahun 2005, pihaknya memantau dan memberikan catatan bagi stasiun televisi yang tak menunjukkan pesan pencerahan.

Dengan dominasi tayangan spesial Ramadan ini membuat jumlah penonton sepanjang bulan suci selalu meningkat. Tercatat survei Nielsen yang menunjukkan rata-rata Angka TV Rating (ATR) kenaikan tahun 2019 mencapai 13,4%, 2020 naik 14,6%, dan tahun 2021 mencapai 11,8%.

Menurut MUI, televisi memiliki peran sebagai agen perubahan sehingga sangat penting untuk dilakukan pengawasan.

“Televisi merupakan agen perubahan, baik itu prilaku, pemahaman maupun peradaban. Televisi sangat penting untuk kita awasi bersama. Jika penayangan televisi tidak dilakukan pemantauan, maka ditakutkan ke depannya peradaban akan sulit untuk dikendalikan,” tandasnya.

 

Penulis: Meigitaria Sanit

YTBN

Yayasan Tunas Bakti Nusantara (YTBN) menggandeng Program Studi Ilmu Komunikasi UII untuk turut serta “Bakti Nusantara” di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Pada kesempatan ini, YTBN bertandang ke Desa Batuputih Daya, Kecamatan Batuputih, Kabupaten Sumenep, Madura.

Selama dua hari, tepatnya pada 30 September hingga 1 Oktober 2023, para relawan yang berasal dari berbagai penjuru negeri diterjunkan untuk mengisi berbagai kelas edukasi untuk masyarakat di sekitar Kecamatan Batuputih. Empat relawan dari Prodi Ilmu Komunikasi UII antara lain Desyatri Parawahyu Mayangsari, Rizka Aulia Ramadhani, Meigitaria Sanita, serta mahasiswa Ilmu Komunikasi International Program, Lalu Muhammad Lutfi Maududy yang turut serta menjadi tim media dokumentasi.

Kecamatan Batuputih masuk dalam daftar daerah 3T dengan letak geografis di pesisir pantai dan perbukitan kapur, sehingga membuat warganya kesulitan mendapatkan air bersih. Bahkan masyarakat sekitar harus menadah air di musim penghujan di tandon rumah masing-masing. Namun, hal itu belum mampu mencukupi kebutuhan masyarakat sehingga fasilitas pengadaan air bersih sangat dibutuhkan.

YTBN

Kegiatan dalam fasilitas kesehatan
Foto: Lalu Muhammad Lutfi Maududy

Kesulitan ini tentu perlu mendapat penanganan segera. YTBN berinisiatif membangun sumur untuk masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersih. YTBN merupakan organisasi inklusif penggerak bagi berbagai pihak yang turut serta bergabung dengan semangat kebersamaan, kepedulian, dan gotong royong yang berfokus pada pembangunan daerah 3T (Tertinggal, Terluar, Terdepan) di Indonesia.

Kegiatan besar yang digelar di Batuputih meliputi tiga program yakni Bangun Nusantara, Sehat Nusantara, dan Inspirasi Nusantara melalui semangat gotong royong.

Teguh Dwi Nugroho selaku Ketua YTBN menyebut bahwa seluruh kegiatan yang menjadi program YTBN demi pemerataan fasilitas di Indonesia terutama daerah 3T.

“Semangat bersatu bergotong-royong harus selalu dikobarkan mengingat kondisi kesenjangan pembangunan dan pemerataan fasilitas di Indonesia menjadi isu nyata yang masih memerlukan perhatian lebih. Akses fasilitas kesehatan, pendidikan, dan juga lahan pekerjaan di daerah 3T masih belum merata tersedia,” ungkapnya dalam sambutan.

Edisi Bakti Nusantara di Desa Batuputih meliputi penyediaan fasilitas air bersih yang menjadi program Bangun Nusantara. Selanjutnya Sehat Nusantara yang meliputi penyuluhan gizi dan pemberian paket gizi, pemeriksaan kesehatan, dan sunatan masal. Terakhir, program Inspirasi Nusantara yang mencakup tiga kegiatan yakni psikoedukasi pernikahan dini, peningkatan kapasitas guru bersama KGBN dan PGRI, serta kemah perdamaian bersama MoP Indonesia.

Peran Prodi Ilmu Komunikasi

YTBN

Tim Prodi Ilmu Komunikasi UII dalam dokumentasi Bakti Nusantara di Sumenep, Madura
Foto: YTBN

YTBN menggandeng Prodi Ilmu Komunikasi UII sejak tahun 2022, berawal dari Bakti Nusantara di Aik Mual, Lombok Tengah, NTB serta kegiatan fasilitasi literasi yang diinisiasi oleh dosen, staf, dan mahasiswa di Sekon, Insana Timor Tengah Utara, NTT. Hingga kini, prodi Ilmu Komunikasi UII masih aktif turut serta dalam kegiatan pemerataan pembangunan di daerah 3T.

Selain memberikan fasilitasi, pada beberapa kesempatan, Prodi Ilmu Komunikasi menjadi tim media dokumentasi utama pada kegiatan Bangun Nusantara yang dijalani YTBN. Kegiatan ini selaras dengan visi dan misi Prodi Ilmu Komunikasi yakni Communications for Empowerment atau Komunikasi untuk Pemberdayaan. Tagline yang telah diusung sejak 2014 ini dibuktikan dengan berbagai kegiatan yang dilakoni oleh para dosen, staf, serta mahasiswa.

YTBN

Kegiatan dokumentasi dan wawancara tentang pembangunan faslitas air bersih di Desa Batuputih Daya Sumenep
Foto: Desyatri Parawahyu Mayangsari

“Menjadi bagian dari Bakti Nusantara adalah kesempatan berharga, memotret kebaikan adalah kegiatan kemanusiaan yang tak mampu diukur dengan materi.”

Desyatri Parawahyu Mayangsari, relawan Prodi Ilmu Komunikasi UII.

“Kegiatan Bakti Nusantara di daerah 3T yang berlangsug di Sumenep ini tak hanya fokus pada pembangunan fisik daerah, melainkan juga pemberdayaan serta edukasi untuk masyarakat. Tujuan ini tentu selaras dengan visi misi Prodi Ilmu Komunikasi UII dengan basis Communication for Empowerment. Sebagai penulis, inilah saatnya menulis kebaikan untuk kemanusiaan.”

Meigitaria Sanita, relawan Prodi Ilmu Komunikasi UII.

“Kami tim di balik layar, menyaksikan berbagai aksi sosial yang begitu berarti untuk sebagian orang adalah kerja yang tak melelahkan dan justru menjadikan diri kita mendapat energi positif. Communication for Empowement ini begitu nyata. Semangat dan senyuman dari warga Sumenep Kecamatan Batuputih, mengartikan dengan kondisi apapun tetap harus mensyukuri segalanya.”

Rizka Aulia Ramadhani, relawan Prodi Ilmu Komunikasi UII.

“Masa menjadi mahasiswa tak datang dua kali, Prodi Ilmu Komunikasi memberi banyak kesempatan untuk saya bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Saya berharap kesempatan seperti ini tak datang sekali. Selain menambah skill dalam dunia fotografi, saya juga belajar kemanusiaan.”

Lalu Muhammad Lutfi Maududy, Mahasiswa relawan Prodi Ilmu Komunikasi UII.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Noice

Noice sebagai salah satu platform konten audio lokal telah merilis audioseries Journal of Terror: Kelana Season 3 pada 25 Juli 2023. Audioseries ini merupakan konten terlaris dari Noice yang ditulis oleh Sweta Kartika. Dalam peluncurannya, ada wajah baru yang akan mendampingi tokoh utama. Ia adalah Pretisya Rahmani yang berperan sebagai Nawang.

Syasya, panggilan akrabnya, adalah alumni Ilmu Komunikasi UII yang mencuri perhatian karena wajahnya muncul di berbagai media nasional pada akhir Juli lalu. Setelah berkecimpung dan menekuni bidang voice over dan dubbing dari lulus kuliah, akhirnya kerja kerasnya menuai hasil.

Profesi ini cukup unik dan menjanjikan, dan tentu saja tak semua orang mampu untuk melakukannya. Dibutuhkan skill khusus untuk menjadi voice talent profesional. Mengutip inavoice.com, voice over talent merupakan profesi pembaca naskah untuk produk audio maupun audio visual.

Menjalani profesi yang unik ini ternyata membawa Syasya menemukan passion-nya. Terlebih, di era digital, profesi voice over talent cukup menjanjikan dan dibutuhkan oleh konten media sosial, advertising, hingga sulih suara film.

Journal of Terror: Kelana Season 3 sendiri berkisah tentang kultur dan klenik di Sunda. Berawal dari petualangan Prana saat KKN (Kuliah Kerja Nyata) bersama 12 temannya di Kampung Cilambayung, Jawa Barat. Prana dan teman-temannya menemui sebuah keganjilan, ia mencoba mengungkap misteri di kampung itu. Salah satu temannya bernama Nawang yang juga anak indigo akhirnya bekerja sama dan mengungkap fakta bahwa desa tersebut adalah kampung pesugihan. Cerita ini didukung dengan riset yang dilakukan oleh penulis terkait cerita budaya Nusantara.

Lantas bagaimana cerita Syasya bisa mendapat peran Nawang dan proses kerja sesuai dengan passion? Berikut pengalaman dan tips-tips yang dibagikan.

Noice

Pretisya Rahmani (kedua dari kanan) resmi menjadi voice talent di audioseries Journal of Terror: Kelana Season 3

Sebenarnya, apa sih nama profesimu ini?

Alhamdulillah, profesiku saat ini menjadi freelancer voice talent, lebih tepatnya ke area voice over talent dan dubbing. Ada yang bilang profesi ini adalah voice actor karena sudah melingkupi semuanya.

Sudah berapa lama memulai karier tersebut? Boleh diceritakan awal mulanya?

Awal mulanya di tahun 2021 aku mulai iseng cari-cari pelatihan online, yah itung-itung isi waktu. Ada beberapa pelatihan online yang aku ikuti. Menurutku, yang paling berkesan adalah pelatihan content creator dan pembuatan audio drama. Nah dari audio drama, ini semua dimulai.

Pelatihan yang membawa aku sampai tahap ini adalah pembuatan audio drama. Kenapa aku memilih itu karena jarang ada ya, kayaknya ini menarik deh, dan perlu untuk dipelajari. Jadi akhirnya aku ikut pelatihan itu.

Pertemuan kedua atau ketiga, host-nya bilang output dari pelatihan ini adalah peserta harus membuat audio drama sendiri. Nah di situ sibuk para peserta mencari kelompoknya, singkat cerita aku dapet teman kelompok. Terus kita mulai menggarap proyek sambil ngobrol banyak hal. Di situ aku tahu, ada dua teman kelompokku yang sudah terjun duluan ke dunia voice over. Bahkan salah satunya adalah ketua komunitas suara, Rumah Suara Kita. Karena aku penasaran, aku gabung komunitasnya. Akhirnya aku diikutkan dalam proyek internalnya.

Lanjut tahun 2022, tepatnya bulan Januari, untuk pertama kalinya aku dan teman-temanku ikut pelatihan basic dubbing di Bandung. Saat itu mentornya Ibu Novi Burhan dan Kak Ihwan Said. Di Bandung itu titik mulai aku memutuskan untuk belajar lebih dalam dunia voice over dan dunia dubbing. Aku merasa jatuh cinta dan mendapatkan support. Akhirnya aku banyak ikut kelas, casting yang tersedia, dan Alhamdulillah di tahun yang sama aku dapet proyek pertama yaitu proyek dubbing. Ada juga proyek voice over sampai sekarang.

Sekarang ‘kan resmi gabung di Noice. Gimana sih tipsnya bisa sampai ke tahap ini?

Alhamdulillah, sekarang aku resmi bergabung ke dalam salah satu proyek audioseries Noice  yang berjudul Journal of Terror: Kelana Seasson 3. Itu ceritanya tentang cowok yang bernama Prana memiliki kemampuan indigo. Seperti namanya jurnal ya berisi catatan-catatn pribadi Prana, tentang pengalamannya yang melibatkan makhluk-makhluk dari dunia lain. Journal of Terror ini adalah audioseries terfavorit di Noice.

Kalau ditanya apa sih tips bisa bergabung? Harus pandai melihat peluang mungkin, jadi aku kebetulan bisa bergabung dan menjadi voice over talent di audioseries tersebut karena ada casting online. Dulu aku lihat di Instagram Noice ada open casting voice over talent for audioseries special project. Tidak cuma dari Instagram, tapi dari grup komunitas yang aku ikuti juga nge-share info tersebut. Qodarullah, aku terpilih menjadi 3 besar finalis dan selanjutnya ada tahap voting online.

Berkat semua dukungan, aku bisa sampai di posisi ini, memiliki kesempatan emas yang datang. Aku benar-benar berterima kasih pada Allah, keluarga, teman-teman, dan komunitas yang benar-benar solid. Support system-nya kuat banget. Aku benar-benar terharu ternyata ada banyaj orang yang aku kenal bahkan gak kenal akupun mau mendukung aku.”

Apakah profesi ini sudah sesuai dengan passion kamu?

Aku bisa bilang iya soalnya aku merasa enjoy banget menjalani ini. Aku merasa lebih hidup, bermakna, punya rutinitas baru yang aku senangi walaupun awal-awal masih ditentang oleh keluarga. Ini juga freelance waktunya tidak menentu, lokasinya juga bisa di mana-mana. Aku pernah dapat project remote, aku rekaman malam-malam bahkan pernah sampai pagi untuk ngejar deadline. Aku juga pernah rekaman di studio yang jauh banget di daerah Gunung Sindur di Bogor.

Apakah profesimu ini sesuai bidang minat saat kuliah?

Bidang minat saat kuliah itu komunikasi strategis. Tetapi sebelumnya dari semester satu, sebenarnya tertarik pada bidang budaya media kreatif. Aku pengen banget masuk bidang minat itu. Pas semester tiga, aku mulai galau antara budaya media kreatif atau komunikasi strategis. Aku tanya dan konsultasi ke keluarga, senior, teman-teman, dan dosen. Akhirnya aku memilih komunikasi strategis. Tapi kalau ditanya sesuai bidang minat atau engga? Kalau “dicocoklogikan”, pekerjaan aku saat ini menjadi voice talent itu masih bisa nyambung. Soalnya di dunia periklanan terutama digital masih butuh jasa voice over, nah aku masih bisa masuk.

O iya dulu aku aktif di Galaxy Radio (salah satu unit kegiatan mahasiswa di Ilmu Komunikasi UII). Jadi waktu awal aku belajar voice over, aku merasa ini kok mirip ya dasar-dasarnya, cara pemanasannya, sama kayak aku belajar jadi penyiar. Jadi masih ada kaitan antara jurusanku Ilmu Komunikasi, bidang minatku Komunikasi Strategis, dan pengalamanku sebelumnya.

Apa tantangan yang biasa dihadapi profesi ini?

Pengalaman aku dapet proyek voice over, jadi sebagai talent kita harus cepat paham brief dari klien. Dan klien kemauannya bisa berubah-berubah kita harus paham, harus sabar banget. Kalau misal klien minta A kita turutin, mau B kita ikutin. Terus kita sebagai talent juga harus punya referensi suara berbeda entah di tone dan emphasize, atau iramanya. Kita harus punya referensi. Nanti klien tinggal memilih mau yang mana.

Punya pengalaman menarik atau mistis selama melakukan profesi ini? Apalagi ini cerita tentang hal yang tak kasat mata?

Alhamdulillah belum memiliki pengalaman mistis selama belajar di profesi ini. Dan jangan sampai aku punya pengalaman itu. Untuk pengalaman paling menarik, semuanya menarik. Semula aku kira bakal dapet proyek dubbing animasi gitu dan ternyata realitanya aku dapet proyek reality show. Perannya manusia asli, output suara yang diinginkan itu harus bisa senatural mungkin selayaknya manusia pada umumnya. Gak ada tuh yang dianeh-anehin, dilucu-lucuin.

Nah menurutku itu susah, apalagi saat itu peranku sebagai pasangan muda. Aku harus retake berkali-kali karena emosinya engga dapet. Terus aku tanya sama voice director-nya, gimana caranya aku bisa memerankan tokoh ini dengan baik. Akhirnya diberi saran untuk recall memory momen bersama pacar. Ketika aku dapat jawaban itu, aku ingin nangis. Aku belum pernah punya pengalaman seperti itu, aku belum punya pengalaman romantis.

Resmi gabung di Noice, gimana sih rasanya diliput banyak media?

Sebagai orang baru di dunia voice acting ini deg-degan parah. Jadi media session itu tujuannya untuk memperkenalkan dan membangun awareness dari Jurnal Kelana Session 3 yang baru rilis dengan efek binaural audio lewat program listening session. Jadi di hari itu kita sambil denger trailer dan episode pertamanya. Itu mengundang media dan partner lainnya. Saat itu aku dan Kak Sigi pemeran Prana mewakili pengisi suara dari Journal of Terror: Kelana Season 3. Dan aku juga mewakili pemenang dari casting online Noice special project.

Bertemu circle baru yang bakal dikenal banyak publik, bagaimana cara kamu menghadapinya?

Kalau aku pribadi, aku tetap ingin menjadi Pretisya sih hehehe, namun menjadi Pretisya yang berprogres menjadi lebih baik dan terus belajar menjadi voice talent professional bahkan aku ingin dikenal karena karakter suara aku sendiri. Branding, PR banget. Bagaimana caranya aku membranding diri aku. Niat ada, ide ada, realisasinya itu yang sulit.

Bagaimana Comss apakah tertarik dengan profesi voice over talent? Jika tertarik, tentu bisa mempersiapkan sejak sekarang. Salah satu cara adalah bergabung dengan komunitas seperti pengalaman Pretisya.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Komunitas

Resmi menjadi mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi UII tentu wajib tahu apa saja komunitas-komunitas yang ada di dalamnya. Bagi mahasiswa baru (maba) informasi terkait komunitas sangat penting demi menyalurkan bakat dan minat.

Di Prodi Ilmu Komunikasi terdapat lima komunitas yang berada di bawah naungan Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII (Himakom). Lima komunitas tersebut fokus terhadap dunia Ilmu Komunikasi yang akan bermanfaat untuk kariermu dalam jangka panjang mulai dari dunia fotografi, film, riset, jurnalistik, dan broadcasting.

Perlu maba ketahui, manfaat bergabung komunitas antara lain memperluas koneksi, melatih keterampilan komunikasi, berbagi ilmu dan pengalaman, berkolaborasi, dan perspektif baru.

Lantas perlukah bergabung dalam suatu komunitas? Yang pasti dengan bergabung di komunitas, Anda akan menemui banyak orang dengan background yang berbeda bahkan dengan pengalaman-pengalaman yang mumpuni di bidangnya.

Berikut beberapa komunitas-komunitas yang ada di Prodi Ilmu Komunikasi UII yang dapat diikuti oleh maba.

  1. Klik 18

Klik 18 atau Komunitas Lensa Ilmu Komunikasi UII yang aktif pada bidang fotografi. Banyak sekali kegiatan yang dilakukan oleh komunitas ini mulai dari workshop, hunting foto, hingga lomba-lomba nasional.

Salah satu agenda yang rutin digelar adalah gelar karya. Beberapa bulan lalu, Klik 18 menggelar pameran bertajuk  “Hidden Gems Photography Exhibition: Potret Pesona Hidden Gems Indonesia dalam Fotografi Landscape di Yogyakarta tahun 2022”.

Bagaimana tertarik menyalurkan bakat fotografimu? Klik 18 adalah komunitas yang tepat untukmu.

Instagram                    : klik18uii

Contact person            : 082281189164

  1. Kompor.kom

Kompor.kom adalah akronim dari Komunitas Pilem Orang Komunikasi, bagi Anda yang tertarik dengan dunia perfilman wajib untuk bergabung dengan komunitas ini.

Bergabung dengan komunitas ini akan mempertemukan Anda dengan sineas-sineas Tanah Air. Pengalaman menggarap proyek film dari menulis skrip, mengatur peran talent, hingga teknik videografi akan didapatkan di sini.

Beberapa kegiatan yang dilakukan komunitas adalah screening sekaligus diskusi film dari berbagai perspektif yang menarik. Apakah tertarik menjadi bagian dari komunitas ini?

Instagram                    : kompor.com

  1. RedAksi

RedAksi memiliki tagline “Lugas Membaca Realita” merupakan komunitas jurnalistik Ilmu Komunikasi UII.

Komunitas ini berfokus pada kondisi-kondisi sosial yang terjadi dan menuliskannya menjadi sebuah karya jurnalistik. Selain itu, RedAksi aktif melakukan kegiatan sosial, baru-baru ini RedAksi berkolaborasi dengan Literasik.Kom melakukan kegiatan pemberdayaan di Panti Asuhan Al Wahhaab Sinar Melati 11 dengan tajuk “Pengembangan Literasi pada Anak Membuahkan Sebuah Karya”.

Menariknya komunitas ini juga ada kegiatan visit media, beberapa media yang pernah dikunjungi adalah Hipwee, Hookspace, Provoke Magazine Jogja, dan Mojok. Visit ini bertujuan untuk sharing dan diskusi terkait kerja media.

Ingin terjun ke dunia jurnalistik? Sepertinya cocok untuk belajar di RedAksi dengan pengalaman-pengalaman menarik dari anggota yang lain.

Instagram                    : redaksikomunikasi

  1. Dispensi

Dispensi merupakan akronim dari Diskusi dan Penelitian Komunikasi. Dalam akun Instagramnya disebut “Dispensi adalah counterculture berkedok komunitas diskusi dan penelitian”. Komunitas ini adalah wadah bagi kamu yang memiliki perspektif kritis. Apa saja bisa didiskusikan hingga menjadi bahan penelitian!

Dispensi juga menjadi salah satu komunitas yang paling aktif karena rutin menggelar diskusi bulanan yang berkolaborasi dengan PDMA Nadim. Isu-isu menarik dibahas, seperti diskusi beberapa waktu lalu yang bertajuk “Wacana Keseharian Para penggemar K-Pop” menjadi perbincangan menarik dalam perspektif komunikasi.

Apakah kamu tertarik dengan komunitas ini? Cari tahu melalui akun Instagram di bawah ini ya.

Instagram                    : dispensi_uii

  1. Galaxy Radio

Galaxy Radio dengan saluran 107.8 ini merupakan komunitas radio kebanggaan Prodi Ilmu Komunikasi UII. Dengan tagline “Your Universe of Music” komunitas ini selalu menemani para mahasiswa dengan musik-musik populer saat bersantai di sekitar kampus.

Bagi kamu yang tertarik dengan dunia penyiaran, wajib untuk bergabung dengan komunitas ini. Kamu bisa belajar dari announcer cara mengolah vokal, manajemen siaran radio, teknis operasional siaran, kegiatan lain seperti pengembangan skill, workshop, hingga visit ke beberapa radio komersial maupun radio komunitas.

Instagram                    : 107.8galaxyradio

Bagaimana Comms tertarik dengan komunitas yang mana nih? Tenang, biasanya komunitas-komunitas ini akan membuka pendaftaran pada bulan September. Siap-siap ya!

 

Penulis: Meigitaria Sanita